Berjalan Bersama, Lebih Jauh, Lebih Cepat: Catatan dari Sustainable Energy for All Forum 2017

“In Quebec, there are no climate change sceptics,” Pierre Arcand, politisi dari Quebec menjawab pertanyaan mengapa Quebec sangat progresif dalam mengejar efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan.

Pierre menambahkan, “Tentu pilihan politik bisa berbeda, tapi untuk urusan satu ini, semua satu suara.”

Awal April 2017, lebih dari 1.000 orang yang mewakili pemerintah, sektor swasta, organisasi sipil masyarakat, dan organisasi internasional menghadiri Sustainable Energy for All Forum di New York, Amerika Serikat. Cerita Pierre Arcand adalah satu di antara melimpahnya cerita keberhasilan dan dampak transisi energi yang dibagikan dalam forum tersebut.

Dunia memang sedang mengalami transisi energi. Era keemasan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara sudah menurun. Tak hanya karena cadangannya mulai habis, juga karena dampaknya yang tak baik pada bumi dan kesehatan manusia. Sustainable energy merupakan salah satu aspek dalam tujuan pembangunan global yang berkelanjutan, guna memastikan kebutuhan energi dunia dipenuhi dari sumber-sumber energi bersih dan terbarukan.

Dalam SE4ALL Forum ini ini, tiga tujuan energi global dibahas dalam kerangka cerita dan diskusi di lebih dari 60 sesi. Tiga tujuan itu, yaitu akses listrik, energi terbarukan, dan efisiensi energi, direfleksikan bersama untuk dilihat perkembangan yang sudah dibuat, tantangan yang muncul, dan bagaimana proyeksi ke depan untuk mengantisipasi target bersama di tahun 2030: pemenuhan akses pada energi modern, menggandakan efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan.

Dalam recap yang disampaikan di pembukaan forum, Rachel Kyte, CEO SE4ALL dan Special Representative of the United Nations Secretary-General for Sustainable Energy for All menggarisbawahi sebuah pernyataan “We need to move faster.” Dalam laporan 2017 Global Tracking Framework yang juga diluncurkan dalam forum, tren negara-negara di dunia menunjukkan peningkatan jumlah akses pada energi bersih untuk memasak, listrik, dan energi terbarukan, namun masih terdapat 1 miliar orang atau 1 dari setiap 7 orang di dunia yang masih hidup dalam gelap. Indonesia adalah salah satu negara high impact, di mana lebih dari 56 juta orang saat ini sudah menggunakan energi bersih untuk memasak.

Pelaku teknologi dan swasta juga banyak berbagi cerita. Teknologi energi terbarukan saat ini berkembang pesat, yang membuat biaya energi terbarukan juga menurun, misalnya harga solar PV yang turun hingga dua kali lipat sejak tahun 2012. Dengan perkembangan teknologi ini, energi terbarukan bisa menjangkau lebih banyak area, pengguna, dan menciptakan dampak yang lebih besar.

Kawasan yang menjadi fokus dalam forum ini adalah Afrika Timur, seperti Kenya dan Tanzania. Pemerintah yang terbuka pada investasi dan teknologi energi terbarukan, terutama energi sirya, serta penggunaan telepon genggang dan mobile money membuat Afrika Timur menjadi kawasan yang ramah untuk energi bersih terdesentralisasi. Faktor-faktor ini juga ditambah dengan kebijakan yang mendukung, misalnya tarif dan biaya impor yang rendah, tersedianya dukungan pendanaan lokal, dan target energi terbarukan yang jelas.

Cerita-cerita dari level akar rumput pun tak luput diangkat, seperti Ibu Niru Shresta dari Nepal yang berhasil menjual lebih dari 6.000 tungku bersih biomassa dalam 1 tahun. Sebagai salah satu penerima penghargaan ENERGIA Women Entrepreneurship Award 2017, Ibu Niru Shresta mengajak puluhan perempuan lain di sekitar tempat tinggalnya untuk peduli energi bersih dan berganti ke tungku bersih biomassa untuk memasak. Dari Indonesia, Ibu Detty sebagai peserta Program Wonder Women Kopernik memiliki cerita serupa. Sebagai ibu, istri, dan juga guru sekolah; Ibu Detty aktif berbagi mengenai pentingnya energi bersih dan dampaknya pada kesehatan dan lingkungan. Dengan berwirausaha mendistribusikan teknologi energi bersih, Ibu Detty bahagia karena melihat banyak orang merasakan dampak positifnya: keluarga dapat menghemat waktu, biaya, dan lebih sehat.

Pencapaian target energi global memang mensyaratkan kerjasama berbagai pihak. Percepatan pemenuhan energi global dengan energi bersih dan terbarukan ini juga mencakup kesetraan gender, inklusi sosial, dan pemberdayaan perempuan. Dengan berkolaborasi, kita bisa memastikan bahwa transisi energi ini memberikan dampak bagi semua orang.

Leaves no one behind. We need to move faster, further, together.

Foto kredit: SEforALL.org

Mengevaluasi Kinerja 2 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Pada 20 Oktober 2016, duet Jokowi-JK genap dua tahun lamanya dalam memimpin Republik Indonesia. Koalisi Masyarakat Sipil PWYP Indonesia menyoroti kinerja dari dua tahun pertama masa pemerintahan Jokowi-JK, khususnya dalam sektor energi dan sumberdaya mineral (ESDM). Dalam mensosialisasikan hasil evaluasi tersebut, PWYP Indonesia menyelenggarakan media briefing dengan menghadirkan Maryati Abdullah (Koordinator PWYP Indonesia), Fabby Tumiwa (Direktur IESR), dan Berly Martawardaya (Akademisi Universitas Indonesia) sebagai nara sumbernya. Media briefing tersebut diselenggarakan di kawasan Cikini pada 21 Oktober 2016.

Jokowi-JK mengusung nawacita sebagai sembilan agenda prioritas selama masa kepemimpinannya. Empat dari sembilan agenda tersebut terkait langsung dengan sektor ESDM, yaitu nawacita nomor 1, 2, 4, dan 7. Keempat agenda tersebut menghasilkan sembilan program yang terkait langsung dengan sektor ESDM. Program-program tersebut adalah:

  1. aspek regulasi, ketahanan, keamanan, dan penegakan hukum;
  2. aspek pemberantasan korupsi;
  3. aspek produksi dan penerimaan negara dari sektor SDA;
  4. bidang energi;
  5. peningkatan nilai tambah dan hilirisasi industri SDA;
  6. renegosiasi kontrak pertambangan;
  7. investasi, perdagangan dan pengembangan industri;
  8. aspek sosial: konflik dan hak masyarakat; dan
  9. aspek kelembagaan.

Komitmen pemerintah dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tercermin dalam terbentuknya Korsup Energi yang anggotanya merupakan gabungan dari masyarakat sipil dengan KPK. Selain itu, pemerintah juga melakukan penataan izin usaha pertambangan dengan melakukan, salah satunya, pencabutan izin usaha pertambangan yang bersifat non Clean and Clear. Namun, kemajuan yang tidak terlalu signifikan dalam isu renegosiasi kontrak pertambangan juga terlihat selama dua tahun terakhir ini. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya jumlah perusahaan PKP2B dan KK yang telah menandatangani amandemen Kontrak Karya sesuai amanat UU Minerba.

Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor ESDM, pemerintah melakukan upaya untuk menaikkan tingkat produksi dan jumlah investasi serta meningkatkan transparansi penerimaan. Untuk meningkatkan jumlah produksi, pemerintah mengeluarkan insentif fiskal dan juga mengembangkan teknologi Enhanced Oil Recovery. Terkait dengan upaya peningkatan investasi, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi pembangunan kilang dan infrastruktur listrik. Di samping itu, izin investasi disederhanakan hingga 60% dalam dua tahun terakhir. Namun sayangnya nilai investasi di sektor ESDM tetap saja terus menurun. Implementasi dari Extractive Industry Transparency Initiative dalam tata kelola sektor pertambangan di Indonesia pun juga dilakukan untuk meningkatkan transparansi penerimaan.

Pemerintah pun telah melakukan perubahan tata kelola dalam bidang energi selama dua tahun terakhir ini, seperti menetapkan tata niaga gas dan mengalihkan subsidi dari sektor energi ke sektor produktif lainnya. Mengenai peningkatan hilirisasi industri SDA, saat ini sudah banyak perusahaan pertambangan yang membangun pabrik smelter. Meskipun begitu, di sisi lain, pemerintah tidak menunjukkan upaya yang progresif dalam mengatasi konflik dan pemenuhan hak masyarakat.

Mengenai aspek kelembagaan, pemerintah melakukan upaya penguatan kelembagaan melalui pembentukan Direktoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Percepatan Infrastrukur Migas yang menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam mengantisipasi kebocoran penerimaan di sektor ini.

Pemanfaatan EBT dalam Listrik

Di dalam Kebijakan Energi Nasional melalui PP No. 79/2014, ditargetkan bahwa, pada tahun 2025, peran EBT adalah minimal 23% serta kapasitas pembangkit listrik adalah 115 GW. Konsekuensinya, EBT harus menjadi sumber pembangkit listrik dengan kapasitas sebesar 45 GW pada tahun 2025. Diketahui bahwa kapasitas pembangkit listrik EBT saat ini adalah 9 MW; sehingga dibutuhkan tambahan 36 MW lagi sampai akhir tahun 2025. Untuk dapat mencapai target tersebut, diharapkan ada tambahan 16 MW sampai akhir tahun 2019; sehingga terdapat total 25 GW kapasitas pembangkit listrik EBT pada 2019.

Namun, sangat disayangkan, pengembangan pembangkit listrik EBT dalam dua tahun terakhir ini tidak signifikan. Tidak ada pembangkit listrik EBT dengan kapasitas ratusan MW yang masuk ke dalam grid. Sebenarnya, ada beberapa pembangkit listrik EBT dengan skala kecil (kapasitas ratusan KW) masuk ke dalam grid, namun ini semua berasal dari proyek Kementerian ESDM sebagai bagian dari program listrik desa.

Di dalam rancangan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang akan segera disahkan oleh Jokowi melalui Perpres, kembali ditegaskan bahwa 45 GW listrik pada tahun 2025 ditargetkan berasal dari EBT. Meskipun demikian, RUPTL 2016-2025[1] memasang target yang lebih rendah untuk tambahan pemanfaatan EBT dalam penyediaan listrik, yaitu sekitar 22 GW, pada tahun 2025. Hal ini mengakibatkan total pemanfaatan EBT dalam penyediaan listrik adalah 31 GW (22+9) pada akhir tahun 2025. Dengan kata lain, PLN hanya dapat menyediakan 2/3 dari target RUEN. Oleh karena itu, pemerintah harus dapat mengakselerasi pemanfaatan EBT sebagai sumber pembangkit listrik dalam 3 tahun ke depan.

Untuk itu, pemerintah harus dapat mengatasi permasalahan yang mengakibatkan mandeknya pemanfaatan EBT dalam sumber listrik selama dua tahun terakhir ini, yaitu:


1Dokumen ini menjadi acuan oleh PLN dalam menjalankan bisnisnya.

  1. PLN tidak mau bekerja sama dengan IPP dalam pemasokan listrik EBT

Selama ini, PLN menolak untuk menandatangani Purchase Power Agreement dengan harga Feed-in Tariff (FiT) yang telah ditentukan oleh pemerintah. Menurut PLN, FiT tersebut lebih mahal daripada biaya produksi PLN ataupun harga yang PLN terima ketika PLN melakukan kontrak langsung dengan perusahaan lain (Business to Business). PLN tidak ingin menanggung kerugian dari selisih harga ini. Ketidakpastian sikap PLN ini dianggap sebagai risiko investasi yang besar oleh perusahaan penyedia listrik (IPP).

2) Tidak adanya paket regulasi insentif pemanfaatan EBT yang komprehensif, baik untuk PLN dan IPP

3) Sulit mendapatkan pendanaan untuk proyek-proyek listrik EBT

Selama ini, tidak ada kerangka regulasi perbankan yang memungkinkan adanya pinjaman-pinjaman skala kecil dan menengah untuk proyek-proyek listrik EBT sehingga proyek-proyek ini cenderung tidak dapat disetujui oleh pihak perbankan.

Listrik

Satu hal positif dari pemerintahan Jokowi-JK adalah terjadinya peningkatan rasio elektrifikasi sebesar 1,2% dari 2015 sampai Juni 2016.

Pemerintahan Jokowi-JK memiliki dua program utama: (1) meningkatkan kapasitas pembangkit listrik sehingga dapat meningkatkan tingkat konsumsi per kapita; dan (2) meningkatkan rasio elektrifikasi dari 82% pada 2014 menjadi 97% pada 2019. Strategi utama dalam menjalankan program tersebut adalah: (2) meningkatkan kapasitas pembangkit listrik dengan program 35 GW; (2) meningkatkan rasio elektrifikasi di perdesaan serta di daerah terpencil.

Namun, pada nyatanya, apa yang terjadi? (1) belum ada kemajuan yang substansial dari pelaksanaan program 35 GW; (2) tidak seluruh pembangkit listrik beroperasi, bahkan masih ada beberapa pembangkit listrik yang mengalam krisis; (3) tingginya jumlah investasi yang dibutuhkan untuk pembangkit, listrik, transmisi dan distribusi, yaitu hampir Rp 2.000 T untuk 10 tahun mendatang.

Untuk mencapai akses listrik universal, pilihan penyediaan listrik dengan skema off-grid patut dipertimbangkan mengingat tidak semua daerah listrik bisa dijangkau dengan skema on-grid. Dalam penyediaan listrik dengan skema on-grid, institutional arrangement menjadi penting selain isu teknis. Pihak lokal harus dilibatkan dalam proses perawatan dan monitoring secara berkala.

Mineral

Dalam perjalanannya mengelola mineral, sudah sepatutnya Indonesia memiliki perusahan mineral skala dunia. Hal ini penting mengingat sifat mineral yang tidak terbarukan.

Rekomendasi

Secara umum, untuk ke depannya, dalam rangka mencapai target-target yang telah tertuang dalam dokumen-dokumen perencanaan seperti RPJMN, RUEN, dan lain sebagainya, pemerintah harus konsistensi dalam pembuatan regulasi, konsistensi dalam pelaksanaan regulasi, serta konsistensi dalam kaitannya dengan pencapaian target.[1] Dokumen ini menjadi acuan oleh PLN dalam menjalankan bisnisnya.

Menyerap Aspirasi Masyarakat Setempat dalam Pembangunan Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) di Muara Laboh

Listrik memang telah menjadi kebutuhan mendasar bagi masyarakat. Namun siapkah masyarakat jika sebuah pembangkit listrik dibangun di desa mereka. Apa saja keuntungan yang akan mereka dapatkan, dan bagaimana dengan dampak serta resiko yang akan mereka hadapi? Sebuah konsultasi publik bisa menjadi media bagi perusahaan, pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengurangi resiko dari pembangunan sebuah proyek energi.

menyerap-aspirasi-masyarakat-setempat“Apakah pengeboran sumur uap air ini akan membuat sumber mata air kami menjadi kering? Bagaimana dengan sawah kami nantinya? Apakah sumur ini bisa mengalami kebocoran seperti yang terjadi di pulau Jawa sana?”

“Anak saya sudah mengirimkan lamaran kerja kepada wali nagari, tapi mengapa tidak dipanggil untuk wawancara? Apakah perusahaan menyediakan pelatihan bagi para karyawan?”

Berbagai pertanyaan tersebut disampaikan masyarakat Muara Laboh saat mengikuti acara konsultasi publik yang diselenggarakan PT Supreme Energi Muara Laboh (PT SEML) pada Rabu lalu (28/9), sebagai persiapan untuk pembangunan konstruksi 13 sumur Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang rencananya akan dimulai pada Januari 2017.

Jika pembangunan kontruksi ini berjalan dengan lancar selama dua tahun, maka PLTP Muara Laboh yang memiliki kapasitas 80 MW, akan siap beroperasi untuk menyediakan pasokan listrik bagi PLN di wilayah Sumatera (Riau, Jambi dan Sumatera Barat), termasuk juga kebutuhan listrik untuk masyarakat Muara Laboh sendiri.

Pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi atau PLTP adalah sesuatu yang baru bagi masyarakat Muara Laboh yang terletak di Kabupaten Solok Selatan, sekitar 150 km dari kota Padang, Sumatera Barat. Ada berbagai kekhawatiran sekaligus harapan yang muncul dengan adanya proyek ini. Jika situasi ini tidak dikelola secara baik dapat muncul resiko yang serius terjadinya konflik antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah

“Konsultasi publik ini merupakan media untuk mengurangi resiko tersebut.” jelas Ismoyo Argo, Manager of Business Relations Supreme Energy.

Melalui konsultasi publik ini, jelasnya lagi, masyarakat akan mendapatkan informasi yang benar mengenai keberadaan sebuah proyek energi di wilayah mereka. Dengan begitu mereka bisa memahami apa yang menjadi saja yang menjadi keuntungan atau resikonya bagi kehidupan mereka.

Proses konsultasi publik sendiri merupakan bagian dari persyaratan yang ditetapkan oleh Asian Development Bank (ADB) atas pinjaman 90 juta dollar yang diberikan kepada Supreme Energy Muara Laboh yang sahammnya dimiliki oleh PT Supreme Energy, Sumitomo dan Engie Electrabel SA.

Sesuai dengan naskah Safeguard ADB, proyek ini memiliki dampak lingkungan berkategori A, pemindahan penduduk berkategori B, dan masyarakat adat berkategori C. Berdasarkan kategori tersebut, PT SEML harus melakukan pencegahan dampak lingkungan dan merancang relokasi penduduk lokal. Kedua aspek tersebut diatas tentunya berpotensi menciptakan ketegangan dengan masyarakat setempat dan Pemda, apabila tidak dapat dikendalikan dan diantisipasi dengan baik.

Tim SEML sepertinya berusaha mempersiapkan acara konsultasi publik dengan sebaik-baiknya. Konsultasi ini juga yang dihadiri oleh sekitar 260 peserta dari berbagai kalangan. IESR dan WWF Indonesia adalah dua organisasi non-pemerintah yang diundang pada acara konsultasi publik ini.

“Kami mengundang perwakilan dari pemerintah hingga wali nagari, termasuk pula tokoh masyarakat dan adat dan perwakilan kelompok masyarakat. Kami juga menyiapkan tim dari Jakarta dan Muara Laboh guna memberikan penjelasan yang berkaitan dengan proses teknis konstruksi dan dampak lingkungan,” ujar Ismoyo

Untuk menanggapi berbagai keluhan masyarakat, PT SEML juga menyiapkan mekanisme penanganan keluhan serta tim khusus yang menanganinya. Pihak Supreme Energy juga telah menyiapkan langkah-langkah mitigasi untuk mengatasi persoalan lingkungan akibat kegiatan konstruksi tersebut, termasuk pengelolaan arus lalu lintas kendaraan proyek.

Secara keseluruhan masyarakat Muara Laboh terlihat cukup antusias dan aktif dalam mengikuti konsultasi ini. Terlebih dalam forum ini juga dibahas mengenai peluang kerja dan usaha yang tersedia bagi masyarakat dan juga pasokan listrik yang selama ini telah ditunggu-tunggu masyarakat. Penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa lokal juga memudahkan masyarakat untuk membahasi topik pembahasan dan kerakraban dalam proses dialog.

Para peserta konsultasi juga diperkenalkan dengan komite yang berperan sebagai mediator antara perusahaan dan perwakilan wali nagari. Komite ini nantinya akan melakukan pendataan kebutuhan tenaga kerja serta pemasok lokal untuk material pembangunan sumur PLTP.

Namun demikian, ada pula sejumlah masukan yang disampaikan IESR kepada Supreme Energy dalam memperkuat pelaksanaan konsultasi publik di kemudian hari. Saran ini mungkin juga perlu diperhatikan bagi perusahaan lain yang melakukan konsultasi publik, sejenis yaitu:

  • Proses konsultasi publik. Idealnya konsultasi publik dilakukan di setiap tahap proyek, masa persiapan, implementasi dan pengoperasian. Pertemuan konsultasi publik juga dapat dirancang secara bersama-sama atau dilakukan untuk masing-masing kelompok pemangku kepentingan. Konsultasi publik membutuhkan persiapan matang yang dipakai untuk memetakan pemangku kepentingan, jenis kepentingan, kebutuhan dan keinginan masyarakat setempat, potensi konflik horizontal, perilaku dan isu-isu spesifik yang muncul dan berkembang. Memahami aspirasi masyarakat dan kebutuhan serta keinginan mereka akan membantu perusahaan mempersiapkan materi dan tanggapan yang sebaik-baiknya, yang dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan.
  • Pengelolaan waktu. Sebuah konsultasi publik efektif berjalan antara 2-4 jam saja. Hal ini disebabkan oleh kemampuan berkonsentrasi dari para pesertanya. Oleh karena itu waktu yang singkat ini perlu dikelola dengan baik sehingga seluruh topik yang hendak dibahas mendapatkan porsi yang cukup, demikian pula waktu yang cukup bagi masyarakat untuk bertanya atau berdiskusi. Salah satu cara untuk mengefektifkan waktu adalah adalah dengan menyiapkan materi pembahasan dalam bentuk alat peraga, animasi, atau media komunikasi lain yang lebih sederhana. Ini dapat membantu masyarakat memahami PLTP dengan lebih baik, ketimbang menggunakan presentasi dengan power point berikut dengan paparan yang sangat teknis.
  • Keberadaan Fasilitator. Fasilitator berbeda dengan pembawa acara atau MC. Fasilitator berperan untuk mengatur lalu lintas percakapan dalam konsultasi termasuk menggali aspirasi masyarakat dan membantu n warga untuk mengekspresikan gagasan. Seorang fasilitator juga mengelola waktu dan mengalokasikan waktu yang cukup untuk proses diskusi yang seimbang diantara para pemangku kepentingan, dan merangkum hasil konsultasi yang nantinya bisa disebarkan kepada masyarakat lainnya. Fasilitator juga berperan untuk memastikan bahwa suara kelompok perempuan, masyarakat kurang mampu dan yang berkebutuhan khusus bisa disampaikan di dalam forum konsultasi.
  • Suara dan aspirasi kelompok perempuan. Dalam forum pertemuan atau konsultasi kelompok perempuan sering kali terabaikan atau dianggap telah diwakili oleh kelompok laki-laki. Padahal mereka mempunyai peran yang khusus dan penting dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, termasuk yang berkaitan dengan pemenuhan akses energi, seperti air, penerangan dan alat masak. Perempuan juga berperan untuk menjamin kelangsungan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan hidup keluarganya. Oleh karena itu suara perempuan perlu diperhatika untuk memastikan bahwa pembangunan sebuah proyek energi seperti PLTP dapat mendukung peran dan tugas perempuan dan bukan malah menambah beban dan persoalan baru.

Konsultasi publik bukanlah ajang untuk mendapatkan persetujuan, tetapi suatu tahap dari sebuah proses untuk membantu masyarakat untuk memahami proyek yang akan dilaksanakan, dan mengidentifikasi manfaat yang akan diterima langsung atau tidak langsung. Pemahaman yang baik atas proyek dan kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas perusahaan merupakan faktor penting mendapatkan persetujuan dan sokongan masyarakat setempat.

Indonesia dan Ratifikasi Paris Agreement: Di Manakah Kita?

Paris Agreement atau Kesepakatan Paris yang diadopsidi Conference of Party (COP) 21, dinilai sebagai keberhasilan diplomasi perubahan iklim global. Paris Agreement merupakan angin segar bagi diplomasi multilateral perubahan iklim setelah kegagalan COP 15 di Copenhagen tahun 2009 dalam menyepakati rejim iklim global. Paris Agreement yang bertujuan untuk membatasi kenaikan temperatur global dibawah 2°C dan disepakati oleh 195 negara, diibaratkan oleh Christiana Figueres, yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif UNFCCC, sebagai huge flame of hope. Paris Agreement menjadi model kontrak sosial dunia yang baru dalam mengatasi persoalan-persoalan global.

Kesepakatan Paris yang mengadopsi prinsip applicable to all Parties (berlaku untuk seluruh Pihak), memberikan pekerjaan rumah yang cukup besar untuk negara berkembang. Negara-negara berkembang, yang dalam konvensi disebut sebagai negara non-Annex, harus ikut serta dalam upaya global untuk me-mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) dan pada saat yang bersamaan harus beradaptasi menghadapi dampak perubahan iklim. Untuk itu negara-negara tersebut harus ber-transformasi dengan cepat, menuju pembangunan rendah karbon dan berdaya lenting terhadap dampak perubahan iklim.

Bagi negara-negara non-Annex yang berstatus emerging economy, tantangan yang lebih berat terletak di aspek dukungan pendanaan perubahan iklim, mengingat prioritas dana perubahan iklim akan lebih banyak dialokasikan bagi negara-negara di blok Least Developing Countries (LDCs) dan Small Island Developing States (SIDS).

Sebelum Kesepakatan Paris diadopsi oleh seluruh Negara Pihak yang tergabung dalam UNFCCC, terdapat pertimbangan bahwa akan diperlukan waktu yang cukup lama, sebelum New Agreement – istilah yang digunakan saat itu – dapat berlaku (entry into force). Hal ini didasarkan pada pengalaman pemberlakuan Protokol Kyoto, yang diadopsi pada 11 Desember 1997, namun baru bisa berlaku (entry into force) di tahun 2005. Itu sebabnya, pada negosiasi awal, tahun 2020 menjadi tenggat waktu yang disepakati bersama untuk memberlakukan Kesepakatan Paris. Namun, di Paris disepakati bahwa Kesepakatan Paris akan berkekuatan hukum pada saat minimal 55 negara yang mewakili 55% dari total emisi gas rumah kaca global meratifikasi kesepakatan ini[1].

Pada kenyataannya, ratifikasi berjalan cukup cepat. Sampai dengan 4 Oktober 2016, tercatat 62 negara yang telah meratifikasi Kesepakatan Paris, dengan total emisi sebesar 51,89% dari 55% yang dibutuhkan.

Tabel 1 Lima Negara yang telah meratifikasi Kesepakatan Paris dengan emisi terbesar

Negara yang telah meratifikasi Kesepakatan Paris Emisi yang diwakilkan oleh Negara tersebut
Amerika Serikat 17.89%
Brazil 2.48%
China 20.09%
India 4.10%
Meksiko 1.70%

Sesuai dengan ketentuan PBB, ada dua langkah yang perlu untuk dilakukan Negara Pihak (Parties) pada Konvensi untuk menyatakan kesediaannya meratifikasi Kesepakatan Paris. Pertama adalah melakukan proses domestik yang diperlukan dan/atau prosedur legislatif untuk menyetujui instrumen legal untuk ratifikasi perjanjian yang dimaksud; dalam hal ini Paris Agreement. Kedua adalah melakukan deposit instrumen ratifikasi yang diperlukan ke Depositary PBB[2]. Instrumen ratifikasi ini merupakan pernyataan dari Negara Pihak yang bersangkutan mengenai kesediaannya untuk mengikatkan diri pada kesepakatan yang dimaksud; dalam hal ini Kesepakatan Paris.

Dengan status saat ini, dimana diperlukan 3,11% dari total emisi lagi untuk memenuhi persyaratan minimal untuk diberlakukannya Kesepakatan Paris, maka jika sebelum tanggal 7 Oktober 2016 terdapat Negara Pihak yang mendepositkan instrumen ratifikasinya dengan besar emisi minimal 4%, maka Kesepakatan Paris akan resmi dimulai pada COP 22 di Marakesh.

Setelah ratifikasi, lalu?

Meratifikasi Kesepakatan Paris berarti mengambil tempat di dalam forum pengambilan keputusan untuk Konferensi Para Pihak (COP) yang diadakan di bawah payung Kesepakatan Paris, atau yang nantinya akan disebut sebagai Conference of Parties serving as the Meeting of the Parties to this Agreement (CMA). CMA, serupa dengan CMP untuk Protokol Kyoto, adalah forum pengambilan keputusan tertinggi untuk mengimplementasikan Kesepakatan Paris. Adapun bagi Negara Pihak yang tidak meratifikasi Kesepakatan Paris tidak akan memiliki hak suara di dalam forum tersebut. Dalam kasus CMP, Amerika Serikat tidak menjadi bagian dan tidak memiliki hak suara terkait implementasi Protokol Kyoto, dikarenakan Amerika Serikat tidak meratifikasi Protokol Kyoto. Itu sebabnya, sangat penting bagi suatu negara untuk meratifikasi Kesepakatan Paris sehingga memiliki suara dan dapat terlibat dalam pembahasan tentang penentuan mekanisme, penyusunan kelengkapan (modalitas) yang diperlukan untuk mengimplementasikan Kesepakatan Paris yang nantinya akan dibahas di CMA.

Salah satu contoh Artikel yang masih abu-abu di dalam Kesepakatan Paris adalah Artikel 6 mengenai Pendekatan Kooperatif (Cooperative Approaches), tentang penggunaan mekanisme pasar karbon dan non-pasar karbon untuk pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC). Artikel ini masih memerlukan begitu banyak rincian sebelum dapat dilaksanakan, contohnya mendefinisikan apa yang dimaksud dengan mekanisme non-pasar atau transaksi internasional terkait dengan keluaran mitigasi (mitigation outcome). Selain itu Artikel ini juga memuat ketentuan penyisihan pendapatan (share of proceeds) dari pasar karbon untuk pendanaan adaptasi, yang kemungkinan besar hanya akan dapat dinikmati oleh negara-negara yang meratifikasi Kesepakatan ini.

Perlukah Indonesia meratifikasi Kesepakatan Paris?

Meratifikasi Kesepakatan Paris sesungguhnya dapat membantu Indonesia untuk memastikan aksi mitigasi dan aksi adaptasi perubahan iklim untuk sungguh-sungguh dilakukan dan terencana secara ke dalam rencana pembangunan nasional.

Kesepakatan Paris menetapkan proses kajian berkala. Dengan demikian NDC yang dikomunikasikan kepada UNFCCC akan ditinjau bersama-sama setiap lima tahun. Dari proses ini diharapkan upaya atau ambisi dari masing-masing Negara Pihak akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Itu sebabnya, akan lebih mudah bagi Indonesia untuk menyusun NDC dengan mengacu pada perencanaan jangka panjang dan menengah yang sudah ada. Misalnya, target dan aksi mitigasi sektor energi di NDC disusun dengan mempertimbangkan dan mengacu pada Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) serta mempertimbangkan hasil dari implementasi Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK).

Dengan mengacu pada perencanaan yang sudah ada, Indonesia dapat memastikan bahwa aksi-aksi perubahan iklim di sektor-sektor terkait dapat diintegrasikan dalam perencanaan pembangunan dan dilaksanakan dengan dukungan pendanaan yang memadai. Dalam jangka menengah, dokumen-dokumen perencanaan sektoral ini pun dapat juga diselaraskan dengan perkembangan negosiasi perubahan iklim global. Kondisi ini menuntut perencanaan sektoral yang lebih fleksibel tapi berorientasi pada penurunan emisi GRK dan peningkatan daya lenting.

Perlu disadari juga, bahwa terdapat perbedaan pada status Indonesia jika meratifikasi Kesepakatan Paris dibandingkan dengan ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) atau Protokol Kyoto. Dengan meratifikasi Kesepakatan Paris Indonesia akan terikat dengan segala ketentuan yang berlaku, termasuk ketentuan melakukan penurunan emisi gas rumah kaca secara konsisten sebagaimana yang akan dijanjikan dalam naskah NDC.

Kesepakatan Paris mewajibkan seluruh Negara Pihak untuk transparan dan bertanggung-gugat (accountable) dalam melakukan aksinya. Negara-negara secara universal diminta untuk melaporkan hasil aksi mitigasinya, pembangunan dan penguatan daya lenting dalam rangka aksi adaptasi, dan mampu melakukan penelusuran (tracking) berbagai dukungan yang didapat baik melalui mekanisme bilateral maupun bilateral. Kesepakatan Paris telah menyetujui proses untuk memverifikasi data dan informasi untuk aksi-aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan cara atau mekanisme yang diberikan untuk mendukung aksi-aksi tersebut. Kesepakatan Paris juga menetapkan adanya sebuah komite, yang bertugas untuk memfasilitasi implementasi kesepakatan-kesepakatan yang ada, dan mempromosikan kepatuhan. Modalitas dan mekanisme kerja dari komite ini belum ditetapkan tetapi akan menjadi bagian dari pembahasan dalam CMA.

Oleh karena itu sebagai anggota CMA nantinya Indonesia dituntut untuk menerapkan seluruh ketentuan transparansi dan akuntabilitas melalui pelaksanaan instrumen MRV (measured, reported and verified) dalam melakukan aksi mitigasi, aksi adaptasi, penggunaan dukungan pendanaan, teknologi, dan pengembangan kapasitas. Instrumen MRV tidak hanya melibatkan aksi mitigasi dari proyek-proyek publik, tapi juga aksi mitigasi yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara khususnya industri dan bisnis, yang akan terkena ketentuan untuk melakukan aksi mitigasi. Sistem MRV untuk aksi adaptasi dan dukungan-dukungan yang diterima dalam bentuk dana, teknologi, dan pengembangan kapasitas juga perlu dibangun dan terintegrasi serta terpelihara.

Dalam hal transparansi untuk dukungan (support) saja, perlu sistem yang mengintegrasikan hibah luar negeri, pinjaman dan dukungan pendanaan lainnya, serta bantuan teknis dari untuk aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dari sumber-sumber bilateral dan multilateral yang perlu dikonsolidasikan secara nasional. Sistem result-based support/result based finance (bantuan/pendanaan berbasis hasil) yang menjadi roh dari elemen pendukung (support) dalam Kesepakatan Paris perlu mulai ditelaah kompatibilitasnya dengan instrumen penganggaran dan pelaporan yang saat ini berlaku di Indonesia.

Tantangan lainnya adalah memobilisasi pendanaan di tingkat domestik untuk mendanai aksi-aksi perubahan iklim. Dengan demikian Indonesia tidak harus selalu mengandalkan bantuan internasional, khususnya untuk melakukan aksi mitigasi yang dijanjikan dalam NDC.

Walaupun, kebutuhan pendanaan negara berkembang untuk mengimplementasikan masih menjadi prioritas untuk dukungan pendanaan, namun untuk negara seperti Indonesia sebaiknya mulai mengoptimalkan sumber pendanaan domestik yang tersedia, sembari memperbaiki kesiapan institusi domestik dan kemampuan mengakses pendanaan iklim di tingkat internasional secara langsung (direct access).

Bank Dunia dalam kajiannya yang bejudul Turn Down the Heat[3], menyatakan bahwa wilayah Asia Tenggara akan mengalami risiko di daerah pesisir dan juga dari segi produktivitas. Hal ini disebabkan karena Asia Tenggara memiliki paparan yang terus meningkat terhadap dampak slow-onset yang terkait dengan kenaikan muka air laut, pemanasan laut dan peningkatan asidifikasi yang dikombinasikan dengan peningkatan panas ekstrim dengan cepat. Kajian tersebut menyatakan bahwa hampir semua terumbu karang di wilayah Asia Tenggara akan mengalami tegangan termal dengan tingkat pemanasan antara 1.5oC – 2oC. Terkait dengan hal ini, kajian tersebut menyatakan bahwa Indonesia merupakan daerah wisata yang paling rentan dengan dampak ini.

Meratifikasi Kesepakatan Paris juga memberi kesempatan bagi Indonesia memahami secara utuh dampak perubahan iklim yang akan terjadi di Indonesia, termasuk potensi kehilangan dan kerusakan yang akan terjadi, jika temperatur rata-rata bumi meningkat lebih dari 2oC. Ini adalah modal baik untuk menetapkan sektor-sektor prioritas di masa depan, sasaran dan ragam intervensi yang perlu diambil untuk meningkatkan daya lenting dan mengurangi resiko dampak perubahan iklim. Meratifikasi Kesepakatan Paris berarti Indonesia juga memikirkan masa depan bangsa dengan berkontribusi secara global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, demi mengurangi dampak perubahan iklim yang mungkin terjadi di Indonesia.

Memperhatikan beberapa keperluan yang disebutkan di atas, sepertinya tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak meratifikasi Kesepakatan Paris, sebelum CMA 1 berlangsung, yang diperkirakan akan terjadi pada COP 22 di Marakesh mendatang. Sebagai negara yang merepresentasikan 1,49% dari total emisi dunia[4], Indonesia sudah seharusnya menunjukkan komitmennya untuk berbagi upaya (effort sharing) dengan negara lainnya, baik negara maju maupun negara berkembang, untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, serta mendukung aksi-aksi perubahan iklim lainnya, termasuk adaptasi perubahan iklim baik secara domestik, maupun bekerja sama melalui Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation).

Kerjasama erat dan komunikasi dari eksekutif, yang diwakili oleh Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan legislative yaitu DPR dan DPD merupakan kunci untuk Indonesia dapat meratifikasi Kesepakatan Paris melalui instrumen Undang-Undang sebelum COP-22 yang akan berlangsung mulai tanggal 7 November 2016. Tidak bisa ditinggalkan juga adalah kepedulian dan dukungan publik untuk memastikan Indonesia mengambil tanggung jawab yang sesuai dengan kemampuan dan situasi nasional untuk mengatasi tantangan perubahan iklim global.

[1] Artikel 21 dari Kesepakatan Paris paragraf pertama menyatakan bahwa, Kesepakatan Paris akan diberlakukan pada hari ketigapuluh setelah tanggal di mana 55 negara Pihak di bawah Konvensi dengan total perhitungan kontribusi emisi gas rumah kaca sebesar 55%, telah mendepositkan instrumen ratifikasi, penerimaan, atau pun aksesi.

[2] UNFCCC Legal Affairs Programme. Entry into force of the Paris Agreement: legal requirements and implications. Information Note.

[3] World Bank. Turn Down the Heat. Juni 2013.

[4] Report of the Conference of the Parties on its 21st session: Proceedings, Annex I, diambil dari: http://unfccc.int/resource/docs/2015/cop21/eng/10.pdf#page=30

Program Energiewende di Jerman : Pembelajaran untuk Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia

Sejak terjadinya musibah tsunami yang merusak pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima, Jepang, tahun 2011 lalu, muncul trend di negara-negara Eropa untuk meninggalkan energi nuklir dan bahan bakar fosil dan beralih pada penggunaan energi baru dan terbarukan.

Pemerintah Perancis misalnya, pada Maret 2015 telah mengeluarkan undang-undang energi yang mengurangi penggunaan energi nuklir sebesar 80% pada saat ini menjadi 50% di tahun 2030, dan separuhnya lagi dipenuhi dari dari pasokan energi baru dan terbarukan.

Sementera di Jerman, tahun 2011 Kanselir Angela Markel secara resmi meluncurkan Program Energiewende atau program transisi energi dengan empat target utamanya yaitu:

  1. Penghentian pemakaian PLTN secara bertahap hingga sepenuhnya dihilangkan pada tahun 2022;
  2. Pengurangan emisi gas rumah kaca dengan baseline tahun 1990: 40% pada 2020, 55% pada 2030, 70% pada 2040, 80-95% pada 2050;
  3. Pengembangan energi terbarukan dan peningkatan peranannya dalam konsumsi listrik: 40-45% pada 2025, 55-60% pada 2035, lebih dari 80% pada 2050;
  4. Peningkatan efisiensi energi sehingga terjadi pengurangan konsumsi listrik dengan baseline tahun 2008: 10% pada 2020, 25% pada 2050.

Menurut Lard Waldmann dari Angora Energiewende, sebuah lembaga think tank Jerman yang bekerja untuk kebijakan energi di Jerman, salah satu kunci utama keberhasilan program energiewende ini adalah komitmen para pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, lembaga riset dan kelompok-kelompok kepentingan di masyarakat.

Pada mulanya pelaksanaan program energiewende bukan sebuah proses yang mudah. Apalagi banyak pihak-pihak yang tetap menginginkan proyek-proyek berbahan bakar fosil terus berjalan dan bertahan. Namun pemerintah Jerman sangat konsisten untuk mengajak semua pihak berdiskusi, menyamakan persepsi dan pengetahuan mengenai tantangan dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan, serta mencari berbagai macam solusi.

Ide mengenai program transisi energi sendiri ini sebetulnya bukan hal yang baru bagi masyarakat Jerman, karena sejak tahun 1970-an telah tumbuh gerakan yang menolak menolak penggunaan nuklir sebagai sumber energi.

Program Energiewende di Jerman 1Selain itu, pemerintah juga telah menerapkan kebijakan green fee di tahun 1986. Pada mulanya, green fee dimaksudkan untuk mendorong komitmen pengurangan emisi CO2 dengan cara penerapan pajak untuk konsumsi energi, seperti transmisi listrik, bahan bakar dan listrik yang dikonsumsi masyarakat. Namun lambat laun penerapan kebijakan ini justru mendorong Jerman untuk menerapkan efisiensi energi. Dana yang terkumpul dari pajak konsumsi energi kemudian dipergunakan untuk membiayai berbagai kegiatan dan program pengembangan energi baru terbarukan. Termasuk kegiatan yang mendorong para insinyur dalam mengembangkan dan memasarkan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi energi.

Tak heran jika dalam kurun waktu 25 tahun, produk dan teknologi energi terbarukan buatan Jerman berkembang sangat pesat dan dikenal sebagai produk yang efisien dengan harga yang terjangkau.

Perusahaan di Jerman kini mampu memproduksi listrik dari solar panel dengan harga kisaran 8-9 cent euro/kwh, dan di masa depan banyak kalangan yang memperkirakan harha ini turun lagi hingga 2 euro cent/kwh. Ini merupakan harga teknologi yang paling murah di dunia.

Selain teknologi solar panel, teknologi windmill juga tumbuh dengan pesat. Saat ini, harga listrik dari windmill (di daratan) berkisar 6-9 cent euro/kwh. Dengan begitu, windmill (di daratan) dan solar panel saat ini sudah sangat kompetitif dibandingkan dengan teknologi berbahan bakar fosil seperti gas atau batubara.

Selain itu, Jerman juga membangun infrastruktur jaringan listrik yang saling terintegrasi. Sistem pengelolaan jaringan juga dirancang secara rinci untuk memudahkan proses distribusi pasokan listrik dari wilayah penghasil ke wilayah konsumsi. Voltase listrik tingkat tinggi dan sedang akan didistribuskan ke kawasan yang besar, sementara voltase tingkat rendah didistribusikan ke tingkat perumahan atau masyarakat. Tempat penyimpanan atau storage dibanguun dengan kapasitas yang sangat memadai guna mengantisipasi kebutuhan listrik di malam hari atau saat tak ada sinar matahari.

Pemerintah Jerma juga mengintegrasikan semua tipe pembangkit energi terbarukan ke dalam European Interconnected Electricity Grid, yang secara otomatis dalam digunakan sewaktu waktu untuk memenuhi kebutuhan listrik ketika kondisi cuaca sedang memburuk, seperti hujan, kecepata angin yang rendah atau sinar matahari yang kurang terik.

Insentif

Ditambahkan oleh Lars kunci keberhasilan lain dari program Energiwende ini adalah kerja keras pemerintah untuk menciptakan situasi yang kondusif, baik untuk kalangan investor dan pilihan bagi masyarakat untuk menggunakan jenis teknologi dan layanan.

Pemerintah Jerman mengenalkan sistem feed-in tariff khususnya industri solar panel dan windmill. Dengan sistem ini investor (baik itu individu maupun perusahaan) mendapatkan tawaran keuntungan investasi jangka panjang melalui pemasangan solar panel dan windmill ke dalam jaringan listrik. Jadi selama masih tersambung ke dalam jaringan listrik dan masih menghasilkan listrik, maka investor akan mendapatkan uang untuk setiap kwh yang dihasilkannya. Skema ini berbeda dari insentif pajak dimana investor akan mendapatkan dana di muka pada saat memulai investasinya namun tidak mendapatkan insentif lain pada saat beroperasi. Selain sistem feed-in tariff, investor di Jerman pun memiliki jaminan dari pemerintah bahwa uang yang mereka investasikan akan dikembalikan dalam periode tertentu.

Saat ini sambungan solar panel ke dalam jaringan listrik mencapai 2,5 GW per tahun dan windmill mencapai 3,5 GW per tahun.

Program percepatan listrik di Indonesia

Program Energiewende ini tentu sangat menarik dan banyak pelajaran yang bisa diambil terutama untuk mendorong program percepatan pembangunan listrik 35000 MW yang akan dilaksanakan pemerintah selama lima tahun. Kira-kira mana teknologi yang dapat digunakan untuk mendorong pelaksanaan program ini?

Ada beberapa alternatif yang bisa digunakan, misalnya pengalaman dari Pemerintah India yang memilih teknologi solar panel yang diinstal dalam waktu yang singkat dan kemudian disambungkan. Atau pengalaman Jerman yang menginstal solar panel dengan kapasitas 8 GW dalam waktu 6 bulan.

Menurut perhitungan Lars, dengan kawasan lima kali lebih luas dari Jerman, maka Indonesia membutuhkan lahan maksimum sebesar 15.000 m2 untuk instalasi solar panel yang lengkap sehingga dapat menghasilkan listrik sebesar 40.000 MW (atau sekitar 7-8m2/KW). Dan dengan tingat efisiensi yang sangat tinggi dari solar panel, maka dibutuhkan sekitar 11.000-12.000 m2 untuk menghasilkan jumlah listrik yang sama. Sebagai bandingan, diperlukan 300 km2 (hampir 2% dari luas gurun sahara) untuk dapat menyediakan listrik untuk seluruh dunia dengan teknologi solar panel.

Di samping solar panel, windmill pun memungkinkan untuk diinstal dan dimasukkan ke dalam jaringan listrik dalam waktu yang singkat dibandingkan dengan pembangkit listrik skala besar mengingat ada banyak isu terkait dengan pembangkit listrik skala besar, seperti, isu tanah, teknologi, lingkungan, keamanan, besaran investasi.

Ratusan windmill dapat diinstalal dengan cepat. Secara teknis, potensial angin di dataran rendah di Indonesia adalah 2-5 meter per second wind speed (dimana kecepatan ini lebih stabil dibanding di Jerman). Apabila generator yang sangat kecil di daerah dengan kecepatan angin seperti itu, maka windmill akan terus bergerak dan menghasilkan listrik secara konstan. Dengan cara lain, generator tersebut dapat diinstal di rooftop (atap) gedung yang membutuhkan listrik); dan itu hanya membutuhkan biaya instalasi 8-9 USD.

Mengenai industri dan pasar listrik di Indonesia, hanya ada satu supplier listrik di Indonesia. Secara konstitusi, hanya satu perusahaan yang bisa menyediakan listrik di Indonesia, yaitu PLN; namun masyarakat tidak dibatasi dalam konstitusi untuk memilih listrik harus dari PLN. Jadi ketika ada pilihan solar panel yang diinstal di atap bangunan yang dilakukan secara masif di Jawa Bali, maka PLN mungkin akan menyadari bahwa dia harus merubah mekanisme penyediaan listriknya.

Hasil Survei IESR : Publik Menginginkan Menteri ESDM yang Berintegritas, Bebas Konflik Kepentingan, Kompeten dan Berpengalaman

Sebanyak 1874 responden telah menyuarakan mengenai kriteria dan nama calon Menteri ESDM. Apa saja kriteria yang mereka anggap penting dan siapa tokoh-tokoh yang pantas menduduki jabatan strategis ini.

Bagaimana pula tanggapan publik mengenai calon nama menteri yang berafiliasi dengan partai politik? Mari kita simak laporan survei publik IESR.

Selamat menikmati dan terima kasih atas partisipasinya.

Memilih Kriteria dan Calon Menteri ESDM from IESR Indonesia

Energi dan Polusi Udara

“Polusi udara adalah sumber resiko kesehatan terbesar keempat di dunia. Di seluruh dunia, sebanyak 3,5 juta kasus kematian dini (premature deaths) terjadi akibat kemiskinan energi dalam hal penggunaan biomassa tradisional untuk memasak, dan minyak tanah untuk penerangan. Dan sekitar 3 juta kasus kematian dini akibat polusi udara luar ruangan (outdoor air pollution) sebagian besar terjadi wilayah di perkotaan,” demikian yang disampaikan Dr. Fatih Birol, Direktur International Energy Agency (IEA), dalam peluncuran WEO Special Report, Energy and Air Pollution, yang berlangsung di Jakarta, Selasa 19 Juli 2016.

Dari 3 juta kasus tersebut, China dan India berkontribusi sekitar 60 persen dari angka kematian prematur akibat polusi udara luar (outdoor air pollution). Secara global, angka tersebut akan meningkat menjadi 4,5 juta pada tahun 2040, dengan kebijakan yang telah direncanakan.

Energi dan Polusi Udara 2

Di Indonesia sendiri diperkirakan 70 ribu kasus kematian prematur akibat polusi udara luar akan meningkat menjadi 120 ribu pada tahun 2040, dan 140 ribu kasus kematian prematur akibat polusi udara di dalam rumah (household air pollution).

Gambar 1. Kematian prematur karena polusi udara luar

Energi dan Polusi Udara 6

Sumber: bahan presentasi peluncuran WEO Special Report (IEA, 2016)

Dr Birol menjelaskan bahwa produksi dan penggunaan energi merupakan sumber-sumber polutan udara buatan manusia yang terbesar. Itu sebabnya, sektor energi berperan sangat penting karena menjadi akar penyebab sekaligus obat untuk menangkal terjadinya polusi dan memburuknya kualitas udara. Pembakaran bahan bakar fosil yang digunakan untuk pembangkit listrik, khususnya batu bara, proses industri serta pembakaran bahan bakar untuk tranportasi merupakan sumber-sumber bagi pencemaran udara.

Menurut data IEA, saat ini hanya delapan persen produksi energi yang bebas pembakaran, dan ada lebih dari separuh produksi energi yang tidak memiliki teknologi untuk mengendalikan emisi dan pencemaran udara. Teknologi sendiri, menurut Dr Birol bukanlah sebuah tantangan, karena teknologi dapat berperan untuk menangka dan mengurangi pencemaran udara yang tersedia. Sejumlah negara kini telah meningkatkan berbagai upaya untuk menangan persoalan ini, dan mereka benar-benar berhasil untuk mengatasi persoalan pencemaran udara.

Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan kualitas udara yang buruk, berdasarkan kualitas udara bersih PM2.5, SO2, NO2. Walaupun indikator parameter PM2.5 sudah memenuhi target interim WHO, tetapi tidak demikian untuk SO2 dan NO2. Standar kualitas udara untuk PM10, SO2 dan NO2 sangat rendah jika dibandingkan dengan standar WHO.

Polusi udara luar akan semakin memburuk jika pembangkit batubara terus ditingkatkan dan beroperasi di masa depan. Menurut Greenpeace (2015), setiap operasi pembangkit batu bara dengan kapasitas 1000 MW dapat membunuh 600 orang Indonesia per tahun. Dengan penambahan 20 GW PLTU Batubara dari program 35 GW, maka jumlah kematian yang disebabkan oleh polusi PLTU diperkirakan mencapai 12 ribu orang setelah 2020.

Berdasarkan kajian skenario IEA, penetapan standar kualitas udara yang ketat untuk pembangkit batu bara merupakan kebijakan yang sangat penting dan memiliki dampak yang besar untuk kawasan Asia Tenggara. Adanya standar yang lebih ketat untuk PLTU batu bara dan peningkatan energi terbarukan dalam sistem pasokan energi dapat menurunkan intensitas PM2.5 dan SO2, sedangkan intensitas NO2 relatif tetap.

WEO Special Report ini juga mengidentifikasi tiga aspek penting untuk aksi pemerintah yaitu

  • Menetapkan tujuan jangka panjang yang ambisius mengenai kualitas udara, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan jangka panjang, dan secara efektif menganalisa tujuan tersebut;
  • Menyusun paket kebijakan udara bersih (clean air policies) untuk sektor energi dalam rangka mencapai target jangka panjang;
  • Memastikan proses monitoring yang efektif, penegakan hukum/aturan, evaluasi dan melakukan komunikasi dengan para pihak secara efektif.

Jika mengikuti rekomendasi IEA tersebut, maka pemerintah Indonesia seharusnya tidak lagi menunda-nunda untuk memperbarui dan meningkatkan standar kualitas udara ambien (SO2, NO2, PM10, PM2.5, CO, dsb) untuk PLTU batubara dan pembangkit-pembangkit thermal lainnya yang saat ini sangat rendah.

Pemerintah juga perlu mengurangi sumber polusi udara untuk jangka panjang dari pembangkit PLTU dengan cara membatasi pembangunan PLTU baru dan mendorong pengembangan energi terbarukan secara besar-besaran untuk mengurangi proporsi pembangkit thermal dalam bauran energi.

Energi dan Polusi Udara 4Selain itu juga diperlukan upaya perbaikan kualitas bahan bakar minyak (bbm) bagi kendaraan bermotor yang beredar dan dipasarkan di Indonesia. Pemerintah juga perlu mempercepat adopsi standar Euro IV dan yang lebih tinggi untuk kualitas bbm, serta mendorong fuel economy standard untuk mengurangi permintaan atau konsumsi bbm, yang berdampak pada perbaikan kualitas udara.

Paris Agreement dan Implikasinya terhadap [I]NDC Indonesia

Pada pertemuan terakhir COP 21 pada hari sabtu malam, 12 Desember 2015 di kompleks Le Bourget, Paris, setelah berunding selama dua minggu delegasi dari 196 negara akhirnya menyepakati Paris Agreement (Kesepakatan Paris). Sebelumnya negosiasi sepanjang minggu kedua berlangsung dengan cukup alot. Negosiasi COP 21 yang seharusnya berakhir di hari Jumat, diperpanjang satu hari. Para peserta COP 21 juga masih dibayang-bayangi kegagalan COP 15 di Copenhagen enam tahun sebelumnya. Kegagalan di Copenhagen bahkan nyaris menghancurkan proses negosiasi perubahan iklim itu sendiri.

Paris Agreement1Untungnya proses negosiasi yang dilakukan secara maraton oleh Presiden COP, yang juga Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius sejak Sabtu siang hingga malam berhasil mengakomodasi kepentingan dan posisi berbagai negara dan blok negosiasi. Titik temu dan kesepahaman berhasil tercapai terutama untuk isu-isu yang masih alot dibahas hingga Sabtu pagi, diantaranya: target temperature global, diferensiasi, fleksibilitas dan dukungan bagi negara berkembang untuk melakukan aksi.

Kesepakatan kunci dalam Paris Agreement terkait dengan aksi mitigasi

  1. Menjaga kenaikan temperatur global dibawah 2°C dan berusaha untuk menjaga kenaikan temperatur global pada 1,5°C (Article 2). Isi artikel 2 menyatakan bahwa kenaikan temperatur dibatasi dibawah 2°C dengan target akhir 1,5°C diatas temperatur bumi di era pra-industri. Target ini merupakan kesepakatan yang ambisus sekaligus terobosan dalam perundingan perubahan iklim. Target 2°C dan 1.5°C pertama kali muncul sebagai pilihan dalam naskah Copenhagen Accord. Pada saat itu, batas kenaikan temperatur 2°C dianggap sebagai sebuah kompromi tetapi batas tersebut bukanlah kompromi yang baik karena kenaikan hingga 2°C dikuatirkan telah melampaui tipping point, menurut penasehat perubahan iklim Kanselir Jerman, Hans Joachim Schellnhuber. Sedangkan ahli perubahan iklim NASA, James Hansen, menyatakan jika terjadi pemanasan global sebesar 2°C maka akan ada konsekuensi yang dapat dikatakan sangat merusak (disastrous). Dengan demikian, menjaga kenaikan temperatur tetap dibawah 2°C, bahkan 1,5°C merupakan pilihan yang lebih aman bagi masa depan manusia dan ekosistem.
    Kenaikan temperatur global sudah terjadi. Pada bulan November 2015, NOAA mencatat kenaikan temperatur global telah mencapai hampir 1°C. Dengan demikian dibutuhkan upaya ekstra keras untuk membatasi kenaikan temperatur dibawah 2°C dan stabil pada 1,5°C pada akhir abad ini.
  1. Emisi Netto Nol (net-zero emission) sebagai tujuan jangka panjang (Article 4). Isi article 4 mengisyaratkan bahwa untuk mencapai gol temperatur global jangka panjang yaitu kenaikan dibawah 2°C dan menuju 1,5°C, maka emisi global harus mencapai puncak segera mungkin dan turun hingga “tercapai keseimbangan antara gas-gas emisi anthropogenic sesuai sumbernya dan penghilangan oleh suang-suang (sinks) pada paruh kedua abad ini.” Net-zero emission berarti emisi dapat naik tetapi harus diimbangi dengan teknologi yang mengandung emisi negatif (teknologi yang menyerap emisi). Jika secara global tercapai net-zero emsission artinya terjadi carbon neutral. IPCC menyatakan bahwa untuk mencapai net-zero emission maka emisi dari fossil fuel harus turun pada rentang 2040-2070 dan setelah itu menjadi nol. Kajian Climate Analytics menyatakan untuk mencapai target 2°C maka besaran emisi pada tahun 2050 hanya separuh dari besaran emisi 2010, dan net-zero emission harus tercapai antara 2080-2100. Untuk mencapai target 1,5°C maka besaran emisi pada tahun 2050 hanya boleh mencapai 5-30% dari besaran emisi 2010 dan net-zero emission harus tercapai pada 2060-2080.
  1. Janji untuk membatasi emisi gas rumah kaca melalui Nationally Determined Contribution (NDC). Aksi mitigasi sukarela seluruh negara anggota UNFCCC mulai dilakukan paska COP 15 Copenhagen. Saat itu seluruh negara diminta menyampaikan dukungan penurunan emisi sebagaimana yang tercantum dalam Copenhagen Accord. Pada COP 16 Cancun, proses ini diformalkan dan negara–negara anggota UNFCCC pun diminta untuk menyampaikan rencana penurunan emisi GRK hingga 2020. Keputusan Ad Hoc Working Group on Durban Platform (ADP) dalam 1/CP. 19 meminta negara-negara melakukan persiapan penyusunan Intended Nationally Determine Contribution (INDC) paska 2020, terlepas dari bentuk legal kontribusi tersebut. Keputusan 1/CP.20 mengundang para negara anggota UNFCCC untuk menyampaikan INDC sebelum COP 21. Hingga akhir 2015, terdapat 160 submisi Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yang mencakup 188 negara. INDC yang disampaikan tidak hanya mencakup komponen mitigasi tetapi juga adaptasi. Dalam articles 4.2 dan 4.3, disepakati bahwa setiap negara akan mempersiapkan dan mengkomunikasikan Nationally Determine Contribution (NDC) yang merupakan aksi mitigasi di tingkat domestik yang seambisius mungkin. Pada article 4.4. Upaya mitigasi dipimpin oleh negara maju dengan menerapkan economy-wide absolute emission reduction target, sedangkan negara berkembang dihimbau untuk meningkatkan target penurunan emisi mereka dan perlahan menuju economy wide emission reduction/limitation target.
    Menurut perhitungan Climate Interactive dengan menggunakan model C-ROADS, submisi INDC yang sifatnya unconditional (tanpa syarat) masih mengarah pada trend kenaikan temperatur global 3,5°C pada akhir abad ini. Hasil ini sedikit berbeda dengan perhitungan yang dilakukan oleh Climate Action Tracker (CAT) yang mencakup seluruh janji (pledges) dalam INDC baik bersyarat maupun tidak, yang menghasilkan penurunan atas proyeksi kenaikan temperatur global menjadi 2,7°C, jika janji tersebut tercapai seluruhnya.
    Walaupun berbeda, kedua hasil ini menunjukan bahwa janji penurunan emisi negara-negara anggota UNFCCC dalam bentuk INDC masih belum cukup untuk memenuhi target penurunan emisi untuk mencapai target yang dicanangkan dalam Article 2 Paris Agreement.
  1. Global stocktake secara berkala. Artice 14.1 dan 14.2 menyepakati proses tinjauan global dimana tinjauan proses tinjauan terhadap kemajuan implementasi Paris Agreement dilakukan melalui global stocktake yang dimulai pada tahun 2023 dan setiap lima tahun sesudahnya. Tujuan dari global stocktake ini adalah adalah memberikan informasi kepada negara-negara untuk memutakhirkan dan meningkatkan aksi dan dukungan mereka. Proses stock taking akan dimulai pada 2018 untuk mengkaji hasil implementasi penurunan emisi secara sukarela pra-2020 terhadap target yang dicantumkan dalam Paris Agreement article 2.1 serta dalam rangka mempersiapkan NDC yang disampaikan pada tahun 2020.

Implikasi target kenaikan temperatur global dibawah 2°C dan 1,5°C

Kajian yang dilakukan oleh Climate Interactive dengan menggunakan perangkat pemodelan C-ROADS memberikan gambaran berbagai skenario hasil dari aksi mitigasi global terhadap target Paris Agreement (Gambar 1).

Gambar 1. Ringkasan skenario dan perhitungan emisi GRK

Paris Agreement2

 

Skenario:

  1. Business as Usual (BaU): tidak ada aksi mitigasi yang dilakukan. Kenaikan temperatur global akan mencapai 4,5°C
  2. INDCs Strict: tidak ada perubahan selepas janji penurunan emisi yang disampaikan dalam INDC. Kenaikan temperatur global akan mencapai 3,5°
  3. Ratchet 1: INDC ditambahkan dengan janji penurunan emisi terus berlanjut pasca periode penurunan berakhir (2025 atau 2030). Temperatur global akan naik mencapai 3°
  4. Ratchet 2: INDC ditambah dengan China menambahkan jenis GHG dan menurunkan emisi GRK-nya setelah mencapai puncak (emission peak) pada 2030 sebesar 2% per tahun. Temperatur global akan naik mencapai 2,6°
  5. Ratchet Success: INDC ditambah dengan semua negara dapat mencapai puncak emisi (emission peak) sebelum 2030, dan setelah itu emisinya berkurang secara bertahap. Temperatur global akan naik mencapai 1,8°
  6. Ratchet to 1,5: INDC ditambah dengan negara maju melakukan pemotongan yang tajam (deeper cuts), emisi negara-negara lainnya mencapai puncak (peak) pada 2025 dan setelah itu turun secara bertahap.

Dari skenario ini dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai target kenaikan temperature dibawah 2°C, maka emisi GRK pada tahun 2050 harus dikurangi hingga mencapai separuh emisi GRK di tahun 2010 yaitu sebesar 23 GtCO2eq/tahun. Sedangkan untuk mencapai target 1,5°C maka emisi global harus dikurangi hingga kurang dari seperlima dari emisi GRK di tahun 2010, yaitu sebesar 12 GtCO2eq/tahun.

Implikasi terhadap [I]NDC Indonesia

Menurut kajian Climate Action Tracker (CAT), INDC Indonesia (tanpa memperhitungkan emisi dari kehutanan) dikategorikan insufficient untuk memenuhi target 2°C (gambar 2). Penilian CAT didasarkan pada ketidakjelasan penurunan emisi untuk setiap sektor, termasuk ketidakjelasan penurunan emisi dari penurunan laju deforestasi.

Gambar 2. Penilaian INDC Indonesia oleh CAT

 

Paris Agreement3

Dengan menggunakan data output dari skenario hasil pemodelan C-ROADS maka hasil perhitungan yang saya lakukan secara kasar dengan mempertimbangkan proporsionalitas prosentase emisi Indonesia yang tetap terhadap emisi global. Pada tahun 2030, emisi Indonesia diperkirakan mencapai 3,5-3,7% dari total emisi global berdasarkan skenario INDC. Perhitungan saya menunjukan bahwa untuk berkontribusi terhadap skenario kenaikan temperatur dibawah 2°C maka target emisi Indonesia dalam INDC sebesar 2,045 GtCO2eq/tahun di tahun 2030 harus turun sebesar 18% sehingga mencapai 1,676 GtCO2eq/tahun. Untuk berkontribusi terhadap target 1,5°C maka di tingkat emisi INDC di tahun 2030 harus turun sebesar 33% sehingga mencapai 1,37 GtCO2eq/tahun. Masing-masing 10% diatas dan 6% dibawah level emisi Indonesia tahun 2010.

Berdasarkan perhitungan kasar ini maka, penurunan emisi Indonesia pada 2030 harus mencapai 42% dari emisi BAU (2,881 GtCO2eq) untuk mendukung target kenaikan temperatur dibawah 2°C dan 52% dari emisi BAU untuk mendukung target kenaikan temperatur 1,5°C.

[1] Direktur Eksekutif IESR dan Koordinator Climate Action Network South East Asia (CANSEA), salah seorang negosiator RI pada COP 21.

Penutupan COP20

COP20 ditutup pada hari Minggu dini hari, setelah Presiden COP20, Manuel Pulgar-Vidal, Menteri Lingkungan Hidup Peru, mengeluarkan draf keputusan COP untuk Ad hoc Working Group on Durban Platform. Menteri Manuel mengerluarkan draf tersebut pada hari Sabtu 13 Desember 2014 pukul 23.00 dan memberikan waktu untuk para Negara Pihak untuk memberikan komentar mereka. Dibuka kembali pada hari Minggu, 14 Desember 2014 pukul 1.30, Para Pihak tidak menyatakan adanya keberatan mengenai draf keputusan yang diajukan oleh Presiden COP.

Manuel memasukkan komponen loss and damage sebagai preamble dari draf keputusan tersebut, kemudian terdapat penguatan bahasa untuk penyediaan pendanaan dan dukungan yang relevan, serta informasi yang diperlukan untuk setiap negara pada saat pengajuan Intended Nationally Determined Contribution (INDC) masing-masing.

COP20 telah berakhir, namun perjalanan menuju Paris, merupakan perjalanan yang masing memerlukan upaya-upaya signifikan dari negara-negara maju untuk menurunkan emisi serta menyediakan pendanaan, dan negara-negara berkembang untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim, dengan kemampuan yang mereka miliki saat ini.