Program Energiewende di Jerman : Pembelajaran untuk Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia

Sejak terjadinya musibah tsunami yang merusak pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima, Jepang, tahun 2011 lalu, muncul trend di negara-negara Eropa untuk meninggalkan energi nuklir dan bahan bakar fosil dan beralih pada penggunaan energi baru dan terbarukan.

Pemerintah Perancis misalnya, pada Maret 2015 telah mengeluarkan undang-undang energi yang mengurangi penggunaan energi nuklir sebesar 80% pada saat ini menjadi 50% di tahun 2030, dan separuhnya lagi dipenuhi dari dari pasokan energi baru dan terbarukan.

Sementera di Jerman, tahun 2011 Kanselir Angela Markel secara resmi meluncurkan Program Energiewende atau program transisi energi dengan empat target utamanya yaitu:

  1. Penghentian pemakaian PLTN secara bertahap hingga sepenuhnya dihilangkan pada tahun 2022;
  2. Pengurangan emisi gas rumah kaca dengan baseline tahun 1990: 40% pada 2020, 55% pada 2030, 70% pada 2040, 80-95% pada 2050;
  3. Pengembangan energi terbarukan dan peningkatan peranannya dalam konsumsi listrik: 40-45% pada 2025, 55-60% pada 2035, lebih dari 80% pada 2050;
  4. Peningkatan efisiensi energi sehingga terjadi pengurangan konsumsi listrik dengan baseline tahun 2008: 10% pada 2020, 25% pada 2050.

Menurut Lard Waldmann dari Angora Energiewende, sebuah lembaga think tank Jerman yang bekerja untuk kebijakan energi di Jerman, salah satu kunci utama keberhasilan program energiewende ini adalah komitmen para pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, lembaga riset dan kelompok-kelompok kepentingan di masyarakat.

Pada mulanya pelaksanaan program energiewende bukan sebuah proses yang mudah. Apalagi banyak pihak-pihak yang tetap menginginkan proyek-proyek berbahan bakar fosil terus berjalan dan bertahan. Namun pemerintah Jerman sangat konsisten untuk mengajak semua pihak berdiskusi, menyamakan persepsi dan pengetahuan mengenai tantangan dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan, serta mencari berbagai macam solusi.

Ide mengenai program transisi energi sendiri ini sebetulnya bukan hal yang baru bagi masyarakat Jerman, karena sejak tahun 1970-an telah tumbuh gerakan yang menolak menolak penggunaan nuklir sebagai sumber energi.

Program Energiewende di Jerman 1Selain itu, pemerintah juga telah menerapkan kebijakan green fee di tahun 1986. Pada mulanya, green fee dimaksudkan untuk mendorong komitmen pengurangan emisi CO2 dengan cara penerapan pajak untuk konsumsi energi, seperti transmisi listrik, bahan bakar dan listrik yang dikonsumsi masyarakat. Namun lambat laun penerapan kebijakan ini justru mendorong Jerman untuk menerapkan efisiensi energi. Dana yang terkumpul dari pajak konsumsi energi kemudian dipergunakan untuk membiayai berbagai kegiatan dan program pengembangan energi baru terbarukan. Termasuk kegiatan yang mendorong para insinyur dalam mengembangkan dan memasarkan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi energi.

Tak heran jika dalam kurun waktu 25 tahun, produk dan teknologi energi terbarukan buatan Jerman berkembang sangat pesat dan dikenal sebagai produk yang efisien dengan harga yang terjangkau.

Perusahaan di Jerman kini mampu memproduksi listrik dari solar panel dengan harga kisaran 8-9 cent euro/kwh, dan di masa depan banyak kalangan yang memperkirakan harha ini turun lagi hingga 2 euro cent/kwh. Ini merupakan harga teknologi yang paling murah di dunia.

Selain teknologi solar panel, teknologi windmill juga tumbuh dengan pesat. Saat ini, harga listrik dari windmill (di daratan) berkisar 6-9 cent euro/kwh. Dengan begitu, windmill (di daratan) dan solar panel saat ini sudah sangat kompetitif dibandingkan dengan teknologi berbahan bakar fosil seperti gas atau batubara.

Selain itu, Jerman juga membangun infrastruktur jaringan listrik yang saling terintegrasi. Sistem pengelolaan jaringan juga dirancang secara rinci untuk memudahkan proses distribusi pasokan listrik dari wilayah penghasil ke wilayah konsumsi. Voltase listrik tingkat tinggi dan sedang akan didistribuskan ke kawasan yang besar, sementara voltase tingkat rendah didistribusikan ke tingkat perumahan atau masyarakat. Tempat penyimpanan atau storage dibanguun dengan kapasitas yang sangat memadai guna mengantisipasi kebutuhan listrik di malam hari atau saat tak ada sinar matahari.

Pemerintah Jerma juga mengintegrasikan semua tipe pembangkit energi terbarukan ke dalam European Interconnected Electricity Grid, yang secara otomatis dalam digunakan sewaktu waktu untuk memenuhi kebutuhan listrik ketika kondisi cuaca sedang memburuk, seperti hujan, kecepata angin yang rendah atau sinar matahari yang kurang terik.

Insentif

Ditambahkan oleh Lars kunci keberhasilan lain dari program Energiwende ini adalah kerja keras pemerintah untuk menciptakan situasi yang kondusif, baik untuk kalangan investor dan pilihan bagi masyarakat untuk menggunakan jenis teknologi dan layanan.

Pemerintah Jerman mengenalkan sistem feed-in tariff khususnya industri solar panel dan windmill. Dengan sistem ini investor (baik itu individu maupun perusahaan) mendapatkan tawaran keuntungan investasi jangka panjang melalui pemasangan solar panel dan windmill ke dalam jaringan listrik. Jadi selama masih tersambung ke dalam jaringan listrik dan masih menghasilkan listrik, maka investor akan mendapatkan uang untuk setiap kwh yang dihasilkannya. Skema ini berbeda dari insentif pajak dimana investor akan mendapatkan dana di muka pada saat memulai investasinya namun tidak mendapatkan insentif lain pada saat beroperasi. Selain sistem feed-in tariff, investor di Jerman pun memiliki jaminan dari pemerintah bahwa uang yang mereka investasikan akan dikembalikan dalam periode tertentu.

Saat ini sambungan solar panel ke dalam jaringan listrik mencapai 2,5 GW per tahun dan windmill mencapai 3,5 GW per tahun.

Program percepatan listrik di Indonesia

Program Energiewende ini tentu sangat menarik dan banyak pelajaran yang bisa diambil terutama untuk mendorong program percepatan pembangunan listrik 35000 MW yang akan dilaksanakan pemerintah selama lima tahun. Kira-kira mana teknologi yang dapat digunakan untuk mendorong pelaksanaan program ini?

Ada beberapa alternatif yang bisa digunakan, misalnya pengalaman dari Pemerintah India yang memilih teknologi solar panel yang diinstal dalam waktu yang singkat dan kemudian disambungkan. Atau pengalaman Jerman yang menginstal solar panel dengan kapasitas 8 GW dalam waktu 6 bulan.

Menurut perhitungan Lars, dengan kawasan lima kali lebih luas dari Jerman, maka Indonesia membutuhkan lahan maksimum sebesar 15.000 m2 untuk instalasi solar panel yang lengkap sehingga dapat menghasilkan listrik sebesar 40.000 MW (atau sekitar 7-8m2/KW). Dan dengan tingat efisiensi yang sangat tinggi dari solar panel, maka dibutuhkan sekitar 11.000-12.000 m2 untuk menghasilkan jumlah listrik yang sama. Sebagai bandingan, diperlukan 300 km2 (hampir 2% dari luas gurun sahara) untuk dapat menyediakan listrik untuk seluruh dunia dengan teknologi solar panel.

Di samping solar panel, windmill pun memungkinkan untuk diinstal dan dimasukkan ke dalam jaringan listrik dalam waktu yang singkat dibandingkan dengan pembangkit listrik skala besar mengingat ada banyak isu terkait dengan pembangkit listrik skala besar, seperti, isu tanah, teknologi, lingkungan, keamanan, besaran investasi.

Ratusan windmill dapat diinstalal dengan cepat. Secara teknis, potensial angin di dataran rendah di Indonesia adalah 2-5 meter per second wind speed (dimana kecepatan ini lebih stabil dibanding di Jerman). Apabila generator yang sangat kecil di daerah dengan kecepatan angin seperti itu, maka windmill akan terus bergerak dan menghasilkan listrik secara konstan. Dengan cara lain, generator tersebut dapat diinstal di rooftop (atap) gedung yang membutuhkan listrik); dan itu hanya membutuhkan biaya instalasi 8-9 USD.

Mengenai industri dan pasar listrik di Indonesia, hanya ada satu supplier listrik di Indonesia. Secara konstitusi, hanya satu perusahaan yang bisa menyediakan listrik di Indonesia, yaitu PLN; namun masyarakat tidak dibatasi dalam konstitusi untuk memilih listrik harus dari PLN. Jadi ketika ada pilihan solar panel yang diinstal di atap bangunan yang dilakukan secara masif di Jawa Bali, maka PLN mungkin akan menyadari bahwa dia harus merubah mekanisme penyediaan listriknya.

Hasil Survei IESR : Publik Menginginkan Menteri ESDM yang Berintegritas, Bebas Konflik Kepentingan, Kompeten dan Berpengalaman

Sebanyak 1874 responden telah menyuarakan mengenai kriteria dan nama calon Menteri ESDM. Apa saja kriteria yang mereka anggap penting dan siapa tokoh-tokoh yang pantas menduduki jabatan strategis ini.

Bagaimana pula tanggapan publik mengenai calon nama menteri yang berafiliasi dengan partai politik? Mari kita simak laporan survei publik IESR.

Selamat menikmati dan terima kasih atas partisipasinya.

Memilih Kriteria dan Calon Menteri ESDM from IESR Indonesia

Energi dan Polusi Udara

“Polusi udara adalah sumber resiko kesehatan terbesar keempat di dunia. Di seluruh dunia, sebanyak 3,5 juta kasus kematian dini (premature deaths) terjadi akibat kemiskinan energi dalam hal penggunaan biomassa tradisional untuk memasak, dan minyak tanah untuk penerangan. Dan sekitar 3 juta kasus kematian dini akibat polusi udara luar ruangan (outdoor air pollution) sebagian besar terjadi wilayah di perkotaan,” demikian yang disampaikan Dr. Fatih Birol, Direktur International Energy Agency (IEA), dalam peluncuran WEO Special Report, Energy and Air Pollution, yang berlangsung di Jakarta, Selasa 19 Juli 2016.

Dari 3 juta kasus tersebut, China dan India berkontribusi sekitar 60 persen dari angka kematian prematur akibat polusi udara luar (outdoor air pollution). Secara global, angka tersebut akan meningkat menjadi 4,5 juta pada tahun 2040, dengan kebijakan yang telah direncanakan.

Energi dan Polusi Udara 2

Di Indonesia sendiri diperkirakan 70 ribu kasus kematian prematur akibat polusi udara luar akan meningkat menjadi 120 ribu pada tahun 2040, dan 140 ribu kasus kematian prematur akibat polusi udara di dalam rumah (household air pollution).

Gambar 1. Kematian prematur karena polusi udara luar

Energi dan Polusi Udara 6

Sumber: bahan presentasi peluncuran WEO Special Report (IEA, 2016)

Dr Birol menjelaskan bahwa produksi dan penggunaan energi merupakan sumber-sumber polutan udara buatan manusia yang terbesar. Itu sebabnya, sektor energi berperan sangat penting karena menjadi akar penyebab sekaligus obat untuk menangkal terjadinya polusi dan memburuknya kualitas udara. Pembakaran bahan bakar fosil yang digunakan untuk pembangkit listrik, khususnya batu bara, proses industri serta pembakaran bahan bakar untuk tranportasi merupakan sumber-sumber bagi pencemaran udara.

Menurut data IEA, saat ini hanya delapan persen produksi energi yang bebas pembakaran, dan ada lebih dari separuh produksi energi yang tidak memiliki teknologi untuk mengendalikan emisi dan pencemaran udara. Teknologi sendiri, menurut Dr Birol bukanlah sebuah tantangan, karena teknologi dapat berperan untuk menangka dan mengurangi pencemaran udara yang tersedia. Sejumlah negara kini telah meningkatkan berbagai upaya untuk menangan persoalan ini, dan mereka benar-benar berhasil untuk mengatasi persoalan pencemaran udara.

Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan kualitas udara yang buruk, berdasarkan kualitas udara bersih PM2.5, SO2, NO2. Walaupun indikator parameter PM2.5 sudah memenuhi target interim WHO, tetapi tidak demikian untuk SO2 dan NO2. Standar kualitas udara untuk PM10, SO2 dan NO2 sangat rendah jika dibandingkan dengan standar WHO.

Polusi udara luar akan semakin memburuk jika pembangkit batubara terus ditingkatkan dan beroperasi di masa depan. Menurut Greenpeace (2015), setiap operasi pembangkit batu bara dengan kapasitas 1000 MW dapat membunuh 600 orang Indonesia per tahun. Dengan penambahan 20 GW PLTU Batubara dari program 35 GW, maka jumlah kematian yang disebabkan oleh polusi PLTU diperkirakan mencapai 12 ribu orang setelah 2020.

Berdasarkan kajian skenario IEA, penetapan standar kualitas udara yang ketat untuk pembangkit batu bara merupakan kebijakan yang sangat penting dan memiliki dampak yang besar untuk kawasan Asia Tenggara. Adanya standar yang lebih ketat untuk PLTU batu bara dan peningkatan energi terbarukan dalam sistem pasokan energi dapat menurunkan intensitas PM2.5 dan SO2, sedangkan intensitas NO2 relatif tetap.

WEO Special Report ini juga mengidentifikasi tiga aspek penting untuk aksi pemerintah yaitu

  • Menetapkan tujuan jangka panjang yang ambisius mengenai kualitas udara, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan jangka panjang, dan secara efektif menganalisa tujuan tersebut;
  • Menyusun paket kebijakan udara bersih (clean air policies) untuk sektor energi dalam rangka mencapai target jangka panjang;
  • Memastikan proses monitoring yang efektif, penegakan hukum/aturan, evaluasi dan melakukan komunikasi dengan para pihak secara efektif.

Jika mengikuti rekomendasi IEA tersebut, maka pemerintah Indonesia seharusnya tidak lagi menunda-nunda untuk memperbarui dan meningkatkan standar kualitas udara ambien (SO2, NO2, PM10, PM2.5, CO, dsb) untuk PLTU batubara dan pembangkit-pembangkit thermal lainnya yang saat ini sangat rendah.

Pemerintah juga perlu mengurangi sumber polusi udara untuk jangka panjang dari pembangkit PLTU dengan cara membatasi pembangunan PLTU baru dan mendorong pengembangan energi terbarukan secara besar-besaran untuk mengurangi proporsi pembangkit thermal dalam bauran energi.

Energi dan Polusi Udara 4Selain itu juga diperlukan upaya perbaikan kualitas bahan bakar minyak (bbm) bagi kendaraan bermotor yang beredar dan dipasarkan di Indonesia. Pemerintah juga perlu mempercepat adopsi standar Euro IV dan yang lebih tinggi untuk kualitas bbm, serta mendorong fuel economy standard untuk mengurangi permintaan atau konsumsi bbm, yang berdampak pada perbaikan kualitas udara.

Paris Agreement dan Implikasinya terhadap [I]NDC Indonesia

Pada pertemuan terakhir COP 21 pada hari sabtu malam, 12 Desember 2015 di kompleks Le Bourget, Paris, setelah berunding selama dua minggu delegasi dari 196 negara akhirnya menyepakati Paris Agreement (Kesepakatan Paris). Sebelumnya negosiasi sepanjang minggu kedua berlangsung dengan cukup alot. Negosiasi COP 21 yang seharusnya berakhir di hari Jumat, diperpanjang satu hari. Para peserta COP 21 juga masih dibayang-bayangi kegagalan COP 15 di Copenhagen enam tahun sebelumnya. Kegagalan di Copenhagen bahkan nyaris menghancurkan proses negosiasi perubahan iklim itu sendiri.

Paris Agreement1Untungnya proses negosiasi yang dilakukan secara maraton oleh Presiden COP, yang juga Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius sejak Sabtu siang hingga malam berhasil mengakomodasi kepentingan dan posisi berbagai negara dan blok negosiasi. Titik temu dan kesepahaman berhasil tercapai terutama untuk isu-isu yang masih alot dibahas hingga Sabtu pagi, diantaranya: target temperature global, diferensiasi, fleksibilitas dan dukungan bagi negara berkembang untuk melakukan aksi.

Kesepakatan kunci dalam Paris Agreement terkait dengan aksi mitigasi

  1. Menjaga kenaikan temperatur global dibawah 2°C dan berusaha untuk menjaga kenaikan temperatur global pada 1,5°C (Article 2). Isi artikel 2 menyatakan bahwa kenaikan temperatur dibatasi dibawah 2°C dengan target akhir 1,5°C diatas temperatur bumi di era pra-industri. Target ini merupakan kesepakatan yang ambisus sekaligus terobosan dalam perundingan perubahan iklim. Target 2°C dan 1.5°C pertama kali muncul sebagai pilihan dalam naskah Copenhagen Accord. Pada saat itu, batas kenaikan temperatur 2°C dianggap sebagai sebuah kompromi tetapi batas tersebut bukanlah kompromi yang baik karena kenaikan hingga 2°C dikuatirkan telah melampaui tipping point, menurut penasehat perubahan iklim Kanselir Jerman, Hans Joachim Schellnhuber. Sedangkan ahli perubahan iklim NASA, James Hansen, menyatakan jika terjadi pemanasan global sebesar 2°C maka akan ada konsekuensi yang dapat dikatakan sangat merusak (disastrous). Dengan demikian, menjaga kenaikan temperatur tetap dibawah 2°C, bahkan 1,5°C merupakan pilihan yang lebih aman bagi masa depan manusia dan ekosistem.
    Kenaikan temperatur global sudah terjadi. Pada bulan November 2015, NOAA mencatat kenaikan temperatur global telah mencapai hampir 1°C. Dengan demikian dibutuhkan upaya ekstra keras untuk membatasi kenaikan temperatur dibawah 2°C dan stabil pada 1,5°C pada akhir abad ini.
  1. Emisi Netto Nol (net-zero emission) sebagai tujuan jangka panjang (Article 4). Isi article 4 mengisyaratkan bahwa untuk mencapai gol temperatur global jangka panjang yaitu kenaikan dibawah 2°C dan menuju 1,5°C, maka emisi global harus mencapai puncak segera mungkin dan turun hingga “tercapai keseimbangan antara gas-gas emisi anthropogenic sesuai sumbernya dan penghilangan oleh suang-suang (sinks) pada paruh kedua abad ini.” Net-zero emission berarti emisi dapat naik tetapi harus diimbangi dengan teknologi yang mengandung emisi negatif (teknologi yang menyerap emisi). Jika secara global tercapai net-zero emsission artinya terjadi carbon neutral. IPCC menyatakan bahwa untuk mencapai net-zero emission maka emisi dari fossil fuel harus turun pada rentang 2040-2070 dan setelah itu menjadi nol. Kajian Climate Analytics menyatakan untuk mencapai target 2°C maka besaran emisi pada tahun 2050 hanya separuh dari besaran emisi 2010, dan net-zero emission harus tercapai antara 2080-2100. Untuk mencapai target 1,5°C maka besaran emisi pada tahun 2050 hanya boleh mencapai 5-30% dari besaran emisi 2010 dan net-zero emission harus tercapai pada 2060-2080.
  1. Janji untuk membatasi emisi gas rumah kaca melalui Nationally Determined Contribution (NDC). Aksi mitigasi sukarela seluruh negara anggota UNFCCC mulai dilakukan paska COP 15 Copenhagen. Saat itu seluruh negara diminta menyampaikan dukungan penurunan emisi sebagaimana yang tercantum dalam Copenhagen Accord. Pada COP 16 Cancun, proses ini diformalkan dan negara–negara anggota UNFCCC pun diminta untuk menyampaikan rencana penurunan emisi GRK hingga 2020. Keputusan Ad Hoc Working Group on Durban Platform (ADP) dalam 1/CP. 19 meminta negara-negara melakukan persiapan penyusunan Intended Nationally Determine Contribution (INDC) paska 2020, terlepas dari bentuk legal kontribusi tersebut. Keputusan 1/CP.20 mengundang para negara anggota UNFCCC untuk menyampaikan INDC sebelum COP 21. Hingga akhir 2015, terdapat 160 submisi Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yang mencakup 188 negara. INDC yang disampaikan tidak hanya mencakup komponen mitigasi tetapi juga adaptasi. Dalam articles 4.2 dan 4.3, disepakati bahwa setiap negara akan mempersiapkan dan mengkomunikasikan Nationally Determine Contribution (NDC) yang merupakan aksi mitigasi di tingkat domestik yang seambisius mungkin. Pada article 4.4. Upaya mitigasi dipimpin oleh negara maju dengan menerapkan economy-wide absolute emission reduction target, sedangkan negara berkembang dihimbau untuk meningkatkan target penurunan emisi mereka dan perlahan menuju economy wide emission reduction/limitation target.
    Menurut perhitungan Climate Interactive dengan menggunakan model C-ROADS, submisi INDC yang sifatnya unconditional (tanpa syarat) masih mengarah pada trend kenaikan temperatur global 3,5°C pada akhir abad ini. Hasil ini sedikit berbeda dengan perhitungan yang dilakukan oleh Climate Action Tracker (CAT) yang mencakup seluruh janji (pledges) dalam INDC baik bersyarat maupun tidak, yang menghasilkan penurunan atas proyeksi kenaikan temperatur global menjadi 2,7°C, jika janji tersebut tercapai seluruhnya.
    Walaupun berbeda, kedua hasil ini menunjukan bahwa janji penurunan emisi negara-negara anggota UNFCCC dalam bentuk INDC masih belum cukup untuk memenuhi target penurunan emisi untuk mencapai target yang dicanangkan dalam Article 2 Paris Agreement.
  1. Global stocktake secara berkala. Artice 14.1 dan 14.2 menyepakati proses tinjauan global dimana tinjauan proses tinjauan terhadap kemajuan implementasi Paris Agreement dilakukan melalui global stocktake yang dimulai pada tahun 2023 dan setiap lima tahun sesudahnya. Tujuan dari global stocktake ini adalah adalah memberikan informasi kepada negara-negara untuk memutakhirkan dan meningkatkan aksi dan dukungan mereka. Proses stock taking akan dimulai pada 2018 untuk mengkaji hasil implementasi penurunan emisi secara sukarela pra-2020 terhadap target yang dicantumkan dalam Paris Agreement article 2.1 serta dalam rangka mempersiapkan NDC yang disampaikan pada tahun 2020.

Implikasi target kenaikan temperatur global dibawah 2°C dan 1,5°C

Kajian yang dilakukan oleh Climate Interactive dengan menggunakan perangkat pemodelan C-ROADS memberikan gambaran berbagai skenario hasil dari aksi mitigasi global terhadap target Paris Agreement (Gambar 1).

Gambar 1. Ringkasan skenario dan perhitungan emisi GRK

Paris Agreement2

 

Skenario:

  1. Business as Usual (BaU): tidak ada aksi mitigasi yang dilakukan. Kenaikan temperatur global akan mencapai 4,5°C
  2. INDCs Strict: tidak ada perubahan selepas janji penurunan emisi yang disampaikan dalam INDC. Kenaikan temperatur global akan mencapai 3,5°
  3. Ratchet 1: INDC ditambahkan dengan janji penurunan emisi terus berlanjut pasca periode penurunan berakhir (2025 atau 2030). Temperatur global akan naik mencapai 3°
  4. Ratchet 2: INDC ditambah dengan China menambahkan jenis GHG dan menurunkan emisi GRK-nya setelah mencapai puncak (emission peak) pada 2030 sebesar 2% per tahun. Temperatur global akan naik mencapai 2,6°
  5. Ratchet Success: INDC ditambah dengan semua negara dapat mencapai puncak emisi (emission peak) sebelum 2030, dan setelah itu emisinya berkurang secara bertahap. Temperatur global akan naik mencapai 1,8°
  6. Ratchet to 1,5: INDC ditambah dengan negara maju melakukan pemotongan yang tajam (deeper cuts), emisi negara-negara lainnya mencapai puncak (peak) pada 2025 dan setelah itu turun secara bertahap.

Dari skenario ini dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai target kenaikan temperature dibawah 2°C, maka emisi GRK pada tahun 2050 harus dikurangi hingga mencapai separuh emisi GRK di tahun 2010 yaitu sebesar 23 GtCO2eq/tahun. Sedangkan untuk mencapai target 1,5°C maka emisi global harus dikurangi hingga kurang dari seperlima dari emisi GRK di tahun 2010, yaitu sebesar 12 GtCO2eq/tahun.

Implikasi terhadap [I]NDC Indonesia

Menurut kajian Climate Action Tracker (CAT), INDC Indonesia (tanpa memperhitungkan emisi dari kehutanan) dikategorikan insufficient untuk memenuhi target 2°C (gambar 2). Penilian CAT didasarkan pada ketidakjelasan penurunan emisi untuk setiap sektor, termasuk ketidakjelasan penurunan emisi dari penurunan laju deforestasi.

Gambar 2. Penilaian INDC Indonesia oleh CAT

 

Paris Agreement3

Dengan menggunakan data output dari skenario hasil pemodelan C-ROADS maka hasil perhitungan yang saya lakukan secara kasar dengan mempertimbangkan proporsionalitas prosentase emisi Indonesia yang tetap terhadap emisi global. Pada tahun 2030, emisi Indonesia diperkirakan mencapai 3,5-3,7% dari total emisi global berdasarkan skenario INDC. Perhitungan saya menunjukan bahwa untuk berkontribusi terhadap skenario kenaikan temperatur dibawah 2°C maka target emisi Indonesia dalam INDC sebesar 2,045 GtCO2eq/tahun di tahun 2030 harus turun sebesar 18% sehingga mencapai 1,676 GtCO2eq/tahun. Untuk berkontribusi terhadap target 1,5°C maka di tingkat emisi INDC di tahun 2030 harus turun sebesar 33% sehingga mencapai 1,37 GtCO2eq/tahun. Masing-masing 10% diatas dan 6% dibawah level emisi Indonesia tahun 2010.

Berdasarkan perhitungan kasar ini maka, penurunan emisi Indonesia pada 2030 harus mencapai 42% dari emisi BAU (2,881 GtCO2eq) untuk mendukung target kenaikan temperatur dibawah 2°C dan 52% dari emisi BAU untuk mendukung target kenaikan temperatur 1,5°C.

[1] Direktur Eksekutif IESR dan Koordinator Climate Action Network South East Asia (CANSEA), salah seorang negosiator RI pada COP 21.

Penutupan COP20

COP20 ditutup pada hari Minggu dini hari, setelah Presiden COP20, Manuel Pulgar-Vidal, Menteri Lingkungan Hidup Peru, mengeluarkan draf keputusan COP untuk Ad hoc Working Group on Durban Platform. Menteri Manuel mengerluarkan draf tersebut pada hari Sabtu 13 Desember 2014 pukul 23.00 dan memberikan waktu untuk para Negara Pihak untuk memberikan komentar mereka. Dibuka kembali pada hari Minggu, 14 Desember 2014 pukul 1.30, Para Pihak tidak menyatakan adanya keberatan mengenai draf keputusan yang diajukan oleh Presiden COP.

Manuel memasukkan komponen loss and damage sebagai preamble dari draf keputusan tersebut, kemudian terdapat penguatan bahasa untuk penyediaan pendanaan dan dukungan yang relevan, serta informasi yang diperlukan untuk setiap negara pada saat pengajuan Intended Nationally Determined Contribution (INDC) masing-masing.

COP20 telah berakhir, namun perjalanan menuju Paris, merupakan perjalanan yang masing memerlukan upaya-upaya signifikan dari negara-negara maju untuk menurunkan emisi serta menyediakan pendanaan, dan negara-negara berkembang untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim, dengan kemampuan yang mereka miliki saat ini.

COP20 : GCF Menuai 10 Milyar Dollar

Terlepas dari banyak kekecewaan yang dituai oleh Negara-negara Pihak sehubungan dengan hasil Lima, terutama untuk masalah pendanaan, namun, COP20 tetap memunculkan harapan baru terkait dengan pledges yang mengalir untuk mengisi pundi GCF. Total pledges yang terkumpul untuk GCF sebagaimana yang dilaporkan oleh Sekretariat GCF, termasuk di dalamnya, adalah biaya untuk administrasi dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan readiness. Climate Action Network Europe menyusun kompilasi dari seluruh pledges untuk GCF, terhitung hingga akhir COP20, yang dapat dilihat dari Tabel di bawah ini (dalam bahasa Inggris).

COP201

Walau demikian, tanggung jawab negara-negara maju untuk memobilisasi dana sebesar USD 100 milyar per tahun 2020 masih belum juga terlihat. Pledges yang diberikan untuk GCF pun masih memperhitungkan kontribusi negara-negara berkembang. Itu sebabnya, negara-negara maju masih harus didorong untuk merealisasikan pendanaan yang telah mereka janjikan di Kopenhagen tahun 2009 yang lalu.

COP20 Lima : Langkah Menuju Kesepakatan 2015

Koferensi Para Pihak (Conference of Parties) ke-20 tahun ini berlangsung di Lima, Peru. Bertempat di San Borja, konferensi ini digelar mulai tanggal 1 Desember 2014 lalu hingga (rencananya) 12 Desember 2014. Namun, sehari sebelum konferensi ini berakhir masih ada beberapa agenda yang belum diselesaikan, dan diputuskan untuk dibawa ke Presiden COP.

Beberapa hal mendesak memang harus diselesaikan di COP 20. Misalnya adalah draf teks negosiasi untuk kesepakatan 2015 sudah harus mulai dihasilkan. Latar belakang dari tujuan ini adalah menurut ketentuan dari UNFCCC, apabila suatu kesepakatan akan dihasilkan, maka, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sebelum kesepakatan tersebut dihasilkan, teks kesepakatan sudah harus diterjemahkan ke dalam 6 bahasa UN.

Kesepakatan 2015 yang akan diimplementasikan pada tahun 2020, diharapkan untuk diluncurkan pada COP 21 di Paris. Dengan menghitung mundur, idealnya pada bulan Mei 2015, teks kesepakatan tersebut sudah harus final dan diterjemahkan ke dalam 6 bahasa UN.

Itu sebabnya, Lima merupakan salah satu COP yang paling penting dalam konstruksi Kesepakatan 2015.

Versi terbaru dari draf keputusan COP yang diajukan oleh co-chairs ADP, cukup banyak dikritisi oleh kebanyakan negara-negara berkembang karena kurangnya penegakan prinsip dari Konvensi, serta masalah pembedaan ‘differentiation‘. Hal yang paling banyak dipermasalahkan dalam dokumen ini adalah paragraf 6 dari draf keputusan COP, yang berbunyi:

Agrees that developed country Parties and other Parties in a position to do so will, in the context of the protocol, another legal instrument or agreed outcome with legal force under the Convention applicable to all Parties, mobilize and provide support for ambitious mitigation and adaptation action, especially for Parties particularly vulnerable to the adverse effects of climate change“.

Draf teks negosiasi terbaru dikeluarkan pada pukul 10.30 PM waktu Lima, Peru tanggal 11 Desember 2014, yang baru dibahas pada pagi hari tanggal 12 Desember 2014, memberikan waktu pada Negara-negara Pihak untuk melakukan koordinasi dengan grup regional masing-masing.

Konferensi Para Pihak dijadwalkan untuk ditutup pada hari Jum’at tanggal 12 Desember 2014 waktu Lima. Draf teks keputusan masih menyisakan 4 paragraf dengan 3 opsi, yang harus dikerucutkan sebelum keputusan diambil.

Saat ini, pukul 3 PM waktu Lima, selain ADP, isu pendanaan juga masih harus diputuskan di tingkat menteri. Dua isu yang tidak dapat diselesaikan di tingkat negosiator adalah isu mengenai Green Climate Fund dan Long term Finance.

Catatan:

Draf teks keputusan COP yang dimaksud di sini dapat diunduh di :
http://unfccc.int/files/meetings/lima_dec_2014/in-session/application/pdf/adp2-7_i3_11dec14t2230_dt.pdf

No Justice No Deal!

Kecewa karena teks yang dikeluarkan oleh co-chair ADP pada tanggal 13 Desember 2014 sekitar pukul 2 dini hari waktu Lima di COP20, beberapa kelompok masyarakat sipil menyatakan ketidakpuasannya. Tagline yang mereka gunakan adalah “No Justice, No Deal”.

Isu-isu seperti Loss and Damage dan pendanaan dinilai sangat lemah di teks yang dihasilkan oleh co-chair ADP (FCCC/ADP/2014/L5), memicu aktivitas ini.

Terlambat 2 Hari, COP Belum Juga Ditutup

COP20 yang dijadwalkan untuk ditutup pada hari Jum’at, 12 Desember 2014, harus diperpanjang selama 2 hari, dikarenakan beberapa agenda yang tidak dapat diselesaikan. Terdapat 2 agenda yang memerlukan waktu tambahan oleh Negara Pihak untuk diselesaikan. Isu pendanaan di bawah Konvensi, yaitu Guidance for Green Climate Fund dan Pendanaan Jangka Panjang (Long-term Finance) merupakan 2 agenda penting yang memerlukan waktu tambahan untuk diselesaikan. Sedangkan pekerjaan di bawah Ad hoc Working Group on Durban Platform, juga meminta waktu tambahan.

Isu yang paling sulit untuk diselesaikan Guidance for Green Climate Fund salah satunya adalah hubungan antara Green Climate Fund dengan Perserikatan Bangsa-bangsa, dalam rangka untuk mendapatkan fasilitas imunitas yang sama sebagaimana organisasi-organisasi yang memiliki hubungan dengan perserikatan bangsa-bangsa. Paragraf yang diperdebatkan oleh negara-negara maju dan berkembang adalah paragraf 21 dari draf keputusan untuk isu tersebut, dimana berbunyi:

Urges developing country Parties to enter into bilateral agreements with the Green Climate Fund based on the template to be approved by the Board of the Green Climate Fund, in order to provide privileges and immunities for the Fund, in accordance with the Green Climate Fund Board decision B.08/24, para b;

Pada paragraf ini, hanya negara-negara berkembang yang dituntut untuk memiliki kesepakatan dengan Green Climate Fund, sedangkan negara-negara maju tidak. Kelompok negara-negara G77 dan China mempertanyakan, mengapa tidak menggunakan kata ‘Parties’ untuk mencakup negara-negara maju dan berkembang, apabila memiliki tujuan yang sama? Namun, sebagai bentuk kompromi, maka langkah yang diambil adalah dengan membiarkan kalimat tersebut sebagaimana adanya, terutama karena bahasa tersebut merupakan bahasa yang dihasilkan dari negosiasi di tingkat menteri.

Di isu ADP, draf teks baru yang dikeluarkan pada sekitar pukul 2 dini hari tanggal 13 Desember 2014 oleh pimpinan sidang, dinilai telah menghilangkan dan memperlemah beberapa isu. Diantaranya adalah:

  1. Isu loss and damage tidak lagi tertera di dalam teks negosiasi. Teks sebelumnya menyatakan bahwa loss and damage harus berada di bawah adaptasi, dimana beberapa kelompok negara terutama AOSIS menuntut agar isu loss and damage berdiri sendiri di dalam kerangka Kesepakatan 2015.
  2. Isu terkait dengan support (pendukung) atau biasa disebut dengan isu Means of Implementation. Isu ini, terutama pendanaan, tidak tercermin dengan baik di dalam draf teks. Tidak ada ketentuan mengenai kewajiban negara-negara maju untuk memenuhi komitmen mereka dalam menyediakan pendanaan, atau bentuk dukungan lainnya.

Beberapa negara menyatakan kekecewaannya akan teks yang dihasilkan oleh co-chairs tersebut. Bahkan beberapa kelompok masyarakat sipil menyatakan kekecewaannya. Paska review oleh Negara Pihak, co-chairs memutuskan untuk menghentikan sidang ADP dan membawa isu-isu ADP ke Presiden COP untuk mendapatkan arahan mengenai langkah selanjutnya. Hingga hari Minggu, 14 Desember 2014 menjelang pukul 1 dini hari, belum ada tanda-tanda COP dapat diakhiri.