Siaran Pers 05 September 2019: Investor asing lari ke Vietnam

Investor lari ke Vietnam: Kerangka kebijakan dan regulasi di Indonesia tidak menarik. Presiden Jokowi perlu evaluasi kebijakan dan regulasi sektoral yang menghambat investasi di bidang energi  

Menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (4/9/2019) yang kecewa bahwa investasi yang pindah dari Tiongkok masuk ke Vietnam bukan ke Indonesia, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyarankan agar pemerintah Jokowi melakukan introspeksi dan evaluasi atas kebijakan dan peraturan di tingkat sektoral yang dibuat beberapa tahun terakhir yang justru membuat risiko investasi di Indonesia meningkat dan membuat investor menunda berinvestasi di Indonesia.

Menurut Fabby, minimnya Foreign Direct Investment (FDI) di bidang energi dalam 3 tahun terakhir karena kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan tidak mempertimbangkan persepsi risiko investor.

Selain itu ada ketidakselarasan antara regulasi teknis dengan kebijakan utama juga membuat investor ragu-ragu.

Dalam konteks Investasi di sektor Energi, sejumlah investor energi terbarukan sebenarnya bersiap berinvestasi di Indonesia pada 2014-2016. Pada saat itu mereka melihat peluang investasi dengan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 79/2014 yang mematok target energi terbarukan 23%. Pengalaman Indonesia dengan adanya kebijakan feed in tariff sebelumnya dinilai sebagai faktor positif oleh investor. Sayangnya adanya pergantian Menteri ESDM pada 2016 lalu sebanyak 4 kali dan diikuti dengan lahirnya berbagai kebijakan Menteri ESDM yang berkaitan dengan energi terbarukan melalui Permen ESDM No. 10/2017, 12/2017 jo 50/2017, Permen No. 49/2018 dan peraturan lainnya yang bertolak belakang dengan kebijakan sebelumnya, justru mematikan minat investasi dari investor-investor asing dan domestik.

Menurut analisa IESR, peraturan-peraturan ini justru meningkatkan ketidakpastian, menambah risiko, ketidakpastian proses bisnis untuk merealisasikan proyek yang memberikan tingkat pengembalian investasi yang wajar, serta membuat lembaga keuangan enggan membiayai proyek-proyek tersebut.

“Hasil dari regulasi yang dibuat oleh Menteri ESDM seperti yang kita lihat adalah pertumbuhan jumlah pembangkit energi terbarukan di era 2014-2019 lebih rendah dari periode sebelumnya. Itu pun berasal dari proyek-proyek yang sudah disiapkan sebelum 2014 dan 2015, yang kemudian berhasil COD dalam 1 dan 2 tahun belakangan ini. Sementara itu proyek-proyek baru justru mengalami kendala bankability,” kata Fabby.

Investor-investor yang awalnya melirik Indonesia sejak 2016 menjadi hijrah ke Vietnam. Dengan kebijakan dan regulasi yang lebih menarik, Vietnam mengalami booming dalam investasi energi terbarukan. Kualitas kebijakan dan regulasi di Vietnam memberikan kepastian usaha yang lebih baik, proses bisnis yang lebih jelas dan tingkat pengembalian ekonomi proyek yang lebih baik dibandingkan proyek di Indonesia. Menurut Fabby, faktor-faktor ini membuat investor lebih nyaman berinvestasi di Vietnam ketimbang di Indonesia.

Hasilnya, sejak 2017 hingga Juni 2019, energi surya bertumbuh menjadi 4,5 GW. Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Angin (wind power) dari 0 menjadi 228 MW pada akhir 2018. Saat ini pemerintah Vietnam sedang mempersiapkan proyek baru untuk  mengejar target kapasitas PLTB menjadi 800 MW pada 2020.

IESR mendesak pemerintah Jokowi melakukan evaluasi yang serius atas kebijakan dan regulasi di bidang energi untuk merevitalisasi minat investor, khususnya regulasi-regulasi di bidang energi terbarukan. Hasil perhitungan IESR menunjukan untuk mencapai target energi terbarukan sebanyak 23% dari bauran energi pada 2025, dibutuhkan investasi sebesar $70-120 miliar. Sekitar 80-85% dari kebutuhan investasi ini diperkirakan berasal dari investor swasta domestik dan asing.

Jika Presiden serius menarik investasi energi terbarukan yang berasal dari Foreign Direct Investment (FDI) yang dibutuhkan Indonesia saat ini, maka perlu ada upaya untuk merombak total arah kebijakan dan regulasi serta instrumen pendukung untuk energi terbarukan kata Fabby Tumiwa.

Jakarta, 5 September 2019

Unduh versi PDF

Membangun Indonesia: Akses Energi untuk Mendorong Kemajuan Desa

Hingga 74 tahun merdeka, Indonesia masih menghadapi tantangan penyediaan akses energi yang berkualitas untuk semua warga negaranya. Banyak desa di Indonesia, terutama di kawasan timur Indonesia belum menikmati akses energi modern, padahal energi modern adalah prasyarat kemajuan dan pembangunan. Kebutuhan akses energi juga tidak berhenti pada penyediaan listrik saja, melainkan juga bagaimana akses energi dapat mendorong kegiatan produktif, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pendidikan dan pembangunan desa. 

Berdasarkan ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Catholic Agency for Overseas Development/CAFOD (bermarkas di Inggris) mengawali proyek percontohan penyediaan akses energi dengan menggunakan perangkat Energy Delivery Model (EDM) di Desa Boafeo, Ende, Nusa Tenggara Timur. 

Siaran Pers Energi surya untuk kota: IESR mengapresiasi Instruksi Gubernur DKI Jakarta No. 66/2019

Siaran Pers

Energi surya untuk kota: IESR mengapresiasi Instruksi Gubernur DKI Jakarta No. 66/2019

IESR menyambut baik keluarnya Instruksi Gubernur DKI Jakarta No. 66/2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Pada butir ketujuh (7), Gubernur DKI Jakarta menginstruksikan pemasangan rooftop solar  untuk bangunan publik. Instruksi ini sejalan dengan rekomendasi Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam laporan Powering the Cities: Technical Potential of Rooftop Solar for Public and Commercial Buildings in Two Metropolitan Cities in Indonesia yang diluncurkan Selasa (30 Juli) lalu di Jakarta.

“DKI Jakarta punya potensi listrik surya yang cukup besar. Estimasi potensi teknis yang kami lakukan untuk 19 gedung pemerintah (Pemprov DKI Jakarta), 17 rumah sakit pusat dan daerah, serta 2 universitas, menunjukkan total potensi rooftop solar hingga 9,5 Megawatt-peak (MWp). Jumlah ini tidak memasukkan Kantor Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Jakfire) yang baru saja memasang 300 kWp di atapnya. Potensi ini juga akan lebih besar bila mencakup semua fasilitas pelayanan publik dan pemerintah di lingkup Pemprov DKI Jakarta, termasuk mall-mall besar di Jakarta,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Salah satu strategi pencapaian target energi terbarukan dalam Rencana Umum Energi Nasional adalah pemberlakuan kewajiban penggunaan listrik surya atap sebesar minimal 30% luasan atap bangunan milik pemerintah. Untuk mengetahui secara lebih jelas potensi energinya, IESR melakukan perhitungan potensi teknis listrik surya atap untuk bangunan milik pemerintah (kantor, rumah sakit, universitas, dan sekolah) serta bangunan komersial (mall dan pusat perbelanjaan) di 2 kota besar di Indonesia, salah satunya Jakarta.

Potensi teknis rooftop solar di Jakarta mencapai 22 MWp, yaitu potensi gabungan bangunan pemerintah milik Pemprov DKI Jakarta, gedung kementerian, rumah sakit, dan 5 mall besar.

“Mall merupakan bangunan dengan atap yang luas, sehingga potensinya tinggi. Lima mall besar di Jakarta memiliki potensi rooftop solar hingga 6,7 MWp. Sebagai contoh Mall Kelapa Gading saja memiliki potensi 2,3 MWp,” Fabby menambahkan.

Di Jakarta, mall dan pusat perbelanjaan merupakan kompleks bangunan dengan potensi tertinggi dibanding bangunan lain yang dihitung potensinya. Gedung perkantoran pemerintah pusat (kementerian), pemerintah provinsi, dan pemerintah kota memiliki potensi yang lebih rendah karena kebanyakan berupa high-rise

buildings (bangunan tinggi dengan luasan atap terbatas). Kompleks universitas negeri di Jakarta juga memiliki potensi tinggi, yaitu Universitas Negeri Jakarta (1,7 MWp) dan Universitas Indonesia Salemba (1,4 MWp).

Listrik surya atap menjadi relevan dengan kebutuhan listrik di kantor pemerintahan dan universitas mengingat kegiatan utama mereka dilakukan pada siang hari. Selain itu, langkah yang ditempuh Gubernur DKI Jakarta melalui instruksi ini merupakan langkah baik yang dapat diikuti oleh pemerintah daerah lain untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan di wilayah kewenangan masing-masing dan sebisa mungkin menjadi bagian Rencana Umum Energi Daerah (RUED).

“Selain memasang rooftop solar, pemerintah DKI juga diingatkan untuk memastikan adanya perawatan dan pengoperasian (O&M) PLTS atap yg dipasang. Caranya adalah dengan membentuk Unit Teknis untuk melakukan O&M atau menugaskan BUMD yang memiliki kapasitas teknis, misalnya Jakpro. Dengan melakukan O&M yang tepat, manfaat rooftop solar dapat dimaksimalkan, dan uang pajak rakyat pun tidak disia-siakan,” kata Fabby.

Di samping melakukan estimasi potensi teknis, IESR juga melakukan studi pasar untuk PLTS atap  untuk segmen rumah tangga di Jabodetabek. Hasil studi pasar ini menunjukkan adanya potensi rumah tangga yang tertarik untuk memasang PLTS atap dengan sedikit atau tanpa perhitungan finansial yang ketat, yang dikategorikan sebagai early adopters. Ada juga kelompok rumah tangga  yang akan memasang PLTS atap dengan pertimbangan untung-rugi dan beban investasi awal, yang masuk dalam kategori early followers. Persentase rumah tangga yang menjadi  early adopters dan early followers sebesar 13% untuk Jabodetabek. Angka ini setara dengan potensi rooftop solar sebesar 1,2 – 1,9 GWp, angka yang tidak kecil bila dibandingkan dengan target RUEN sebesar 6,5 GW pada tahun 2025.

Dengan biaya Rp. 13 – 18 juta/kWp, investasi modal awal untuk PLTS atap masih menjadi pertimbangan penting bagi sebagian besar masyarakat. Namun, kelompok early followers akan lebih cepat memutuskan  memasang  PLTS atap apabila memiliki informasi tentang teknologi listrik surya atap yang lengkap, informasi penyedia yang kredibel, tersedianya skema pembiayaan berupa cicilan tetap dengan bunga rendah, paket sistem listrik surya atap berkualitas yang bergaransi dan memiliki layanan purna jual, serta insentif fiskal, yang akhirnya diharapkan dapat mengurangi biaya dan meningkatkan manfaat.

“Persepsi mengenai harga listrik surya atap yang mahal membuat responden mengharapkan adanya skema pendanaan dalam bentuk cicilan tetap dengan tenor minimal 5 tahun dan adanya insentif lain dari pemerintah yang dapat meringankan biaya di muka (upfront cost), serta jaminan kualitas produk,” Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR menjelaskan.

Untuk meningkatkan daya tarik masyarakat untuk memasang PLTS atap, maka IESR merekomendasikan subsidi harga panel/modul surya oleh pemerintah dan pemerintah daerah, dan diskon Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk periode waktu tertentu bagi rumah yang memasang PLTS atap. Berbagai insentif ini dapat meningkatkan kelayakan finansial dan pengembalian investasi bagi pemilik rumah/bangunan.

Pemerintah daerah seperti DKI Jakarta  punya kapasitas fiskal dan mampu menyediakan insentif ini, sesuai dengan kewenangan mereka melalui regulasi daerah. Pemprov Bali, misalnya, akan segera mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang Energi Bersih, yang juga telah mengakomodasi rekomendasi ini.

“Adanya insentif dapat meningkatkan minat masyarakat dan bentuk apresiasi bagi pengguna listrik surya atap, yang juga berkontribusi pada perbaikan kualitas udara melalui pemanfaatan energi terbarukan. Oleh

karena itu Pemprov DKI Jakarta kiranya dapat mempertimbangkan pemberian insentif fiskal atau finansial untuk masyarakat yang ingin menggunakan rooftop solar,” kata Fabby.

Jakarta, 2 Agustus 2019


Narahubung:

Gandahaskara Saputra, Koordinator Komunikasi, IESR

Email: ganda@iesr.or.id, nomor seluler: 081235563224

 

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR

Email: citra@iesr.or.id, nomor seluler: 081945526737

Tanggapan IESR Terhadap pernyataan MESDM di Pertemuan G20 Jepang

Tanggapan  IESR terhadap pernyataan Menteri ESDM, Ignasius Jonan, di ‘Pertemuan tingkat Menteri G20 untuk Transisi Energi dan Lingkungan Global untuk Pembangunan yang Berkelanjutan’ di Karuizawa, Tokyo, Jepang

_____

“Secara global, tren harga energi terbarukan terus menurun dan semakin kompetitif terhadap bahan bakar fosil. Pemerintah Indonesia perlu menyusun dan melaksanakan kebijakan dan regulasi yang menciptakan “level of playing field” untuk energi terbarukan sehingga dapat berkembang pesat ”

Siaran Pers – Narasi Energi Terbarukan tidak terjangkau harus di evaluasi (18 Juni 2019)

Tanggapan  IESR terhadap pernyataan Menteri ESDM, Ignasius Jonan, di ‘Pertemuan tingkat Menteri G20 untuk Transisi Energi dan Lingkungan Global untuk Pembangunan yang Berkelanjutan’ di Karuizawa, Tokyo, Jepang

_____

“Secara global, tren harga energi terbarukan terus menurun dan semakin kompetitif terhadap bahan bakar fosil. Pemerintah Indonesia perlu menyusun dan melaksanakan kebijakan dan regulasi yang menciptakan “level of playing field” untuk energi terbarukan sehingga dapat berkembang pesat ”

Download the English Version here.

Siaran Pers: Belt & Road Initiative Mendukung Pengembangan Energi Bersih di Indonesia

Jakarta, Kamis, 21 Maret, 2019 – IESR, think tank yang memiliki fokus advokasi percepatan transisi energi rendah karbon di Indonesia, dalam kesempatan ini menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dipembukaan Standard Chartered CEO Connect Forum yang bertajuk “Connecting Indonesia and China through the Belt & Road Initiative (BRI)” di Jakarta pada Selasa (19 Maret) lalu, yang menyatakan bahwa Indonesia siap mengajukan 28 proyek senilai US$91,1 miliar (setara 1.200 triliun Rupiah) pada para investor Tiongkok Rabu ini sebagai bagian dari partisipasi Indonesia di China’s Belt and Road Initiative (BRI). Dari 28 proyek tersebut sedikitnya ada 3 proyek yang di usulkan merupakan proyek PLTU dengan kapasitas 2,1GW dengan nilai investasi setidaknya sekitar US$2.94 miliar.

“Indonesia dapat memanfaatkan BRI Cooperation Forum ini untuk mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia, yang jelas membutuhkan investasi besar. Selama ini Tiongkok lebih fokus berinvestasi di PLTU batubara, padahal Indonesia harus mulai meninggalkan batubara dan mempercepat pengembangan energi terbarukan. Sesuai dengan target KEN, untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% diperlukan tambahan 35 GW pembangkit ET hingga 2025. RUPTL PLN 2019-2028 merencanakan pembangunan pembangkit ET hanya sebesar 16 GW sampai 2028, ” kata  Fabby Tumiwa

Potensi ET yang dapat dikembangkan di Indonesia mencapai 716 GW sampai tahun 2030. Dari hasil perhitungan IESR, untuk mencapai target KEN diperlukan investasi sebesar 72,5 miliar USD hingga 2025. IESR menyarankan agar pemerintah Indonesia mengusulkan kerjasama bilateral melalui forum BRI ini untuk “10 GW Clean Energy Acceleration Development Initiative” yang difokuskan pada pengembangan pembangunan listrik tenaga surya (PLTS) skala utilitas, PLT Bayu, PLT Panas Bumi, dan PLT Biomassa serta PLT Mini Hidro.

Inisiatif ini meliputi kerjasama teknologi, pendanaan dan investasi, yang melibatkan PLN, PGE, Geodipa dan BUMN lain serta  pelaku usaha swasta Indonesia, institusi finansial dan rekanan mereka, kerjasama dalam pemetaan sumber daya energi terbarukan yang akurat, dan transfer pengetahuan serta riset gabungan antar negara terutama di bidang integrasi VRE dan pumped storage.

Program utama dari inisiatif ini adalah pengembangan kapasitas terpasang PLTS sebesar 4 GW, PLTB sebesar 1 GW, PLTBm sebesar 2 GW, PLTMH sebesar 1 GW dan PLTP sebesar 2 GW dengan total investasi yang dibutuhkan sekitar 17,3 miliar USD. Menurut IESR, pengalihan investasi ini untuk mensubstitusi investasi PLTU yang selama ini didukung oleh China.

IESR mengukuhkan pernyataan ini dengan hasil studi dan temuan riset kami yang dapat diakses di:

Green Belt and Road Initiative (BRI) IESR
[Data di paparkan dalam Bahasa Inggris]

Siaran Pers – Belt & Road Initiative Mendukung pengembangan Energi Bersih di Indonesia

##

Siaran Pers: Permen ESDM No. 49/2018 Menurunkan Minat Investasi Masyarakat dan Industri

Menteri Ignatius Jonan akhirnya menandatangani dan mengeluarkan Peraturan Menteri No. 49 tahun 2018 tentang penggunaan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS Atap) oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) pada tanggal 16 November 2018.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menghargai keluarnya Permen No. 49/2108 sebagai payung hukum bagi pelanggan PLN untuk menggunakan lisrik berbasis energi bersih. Namun IESR mengkritik sejumlah aturan pokok yang ditetapkan dalam Permen ini, karena lebih banyak melindungi kepentingan PLN dan melemahkan minat masyarakat dan kalangan industri untuk beralih pada energi bersih dengan memasang listrik surya atap di atas bangunan.

“Pemerintah telah membuang kesempatan dan peluang minat masyarakat dan kalangan industri untuk menggunakan energi bersih dengan berinvestasi secara mandiri dan tanpa dukungan pendanaan dari pemerintah.  Permen 49/2018 ini juga melemahkan inisiatif yang telah dicanangkan oleh pemerintah sendiri bersama kalangan akademisi, asosiasi bisnis dan masyarakat melalui Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) yang mendorong Indonesia dalam memanfaatkan teknologi surya sehingga tercapai kapasitas satu Gigawatt (1 GW) pada tahun 2020,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Permen 49/2018 ini menurutnya, juga tidak mencerminkan semangat untuk percepatan (akselerasi) pencapaian target bauran energi terbarukan seperti yang diamanatkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dimana pada tahun 2025 target energi terbarukan mencapai 45 Gigawatt (GW) dimana 6,5 GW diantaranya berasal dari kapasitas listrik surya atap.

Fabby melihat setidaknya ada tiga aturan pokok menjadi disinsentif dan membuat pengembangan listrik surya atap (rooftop solar) akan berjalan lambat di Indonesia.

Pertama, Nilai transaksi listrik.  Aturan ini menetapkan nilai transaksi ekspor listrik ke jaringan PLN sebesar 65%. Besaran ini menjadi tidak menarik secara ekonomis bagi masyarakat, karena tarif ekspor yang lebih rendah akan memperpanjang masa pengembalian investasi (payback period) dan menurunkan tingkat keekonomian menjadi 11-12 tahun dengan harga saat ini.

“Ketentuan ini tentu membuang peluang penggunaan listrik surya atap dari kalangan pelanggan rumah R1 2200 VA, R2 dan R3 yang berpotensi sebagai early followers.  Berdasarkan survei potensi pasar PLST Atap yang dilakukan IESR dan GIZ pada Oktober lalu menunjukan setidaknya ada 4-4,5 juta rumah tangga di pulau Jawa yang berminat untuk memasang PLST Atap, dengan syarat, adanya potensi penghematan listrik sebesar 30%, skema kredit dan biaya investasi dapat kembali di bawah jangka waktu tujuh tahun,” jelas Fabby.

Kedua, Proses perizinan yang menimbulkan ketidakpastian dan rumit. Aturan ini menjelaskan bahwa proses perizinan diberikan oleh PLN namun tidak ada ketentuan yang jelas bahwa PLN wajib menyetujui permohonan pelanggan serta batas waktu PLN dalam menyediakan exim meter dan melakukan pergantian. Prosedur pemasangan juga dinilai lebih rumit karena mensyaratkan pelanggan untuk mengajukan izin sebelum memasang PLST Atap dan menggunakan Badan Usaha dengan sertifikasi tertentu

Ketiga, Kontradiksi untuk pelanggan sektor industri. Aturan memuat adanya pasal yang mengecualikan pelanggan industri untuk memasang PLTS Atap dari Permen ESDM No. 1/2017, namun menyebutkan adanya ketentuan mengenai capacity charge dan emergency charge untuk pelanggan industri untuk melakukan memasang PLTS Atap yang tersambung ke jaringan PLN. Ketentuan ini tentu saja akan menjadi disinsentif karena menambah biaya yang lebih besar bagi kalangan industri.

Menanggapi adanya kekhwatiran bahwa keberadaan listrik surya atap dapat mengancam bisnis PLN, Fabby menegaskan, PLN seharunya tidak perlu merasa terancam, sebab jika target 1.000 MW atau 1 GW dari pembangkit listrik surya atap terpenuhi itu hanya menggantikan 0,5% dari total produksi listrik PLN selama 1 tahun.

Dia juga menyarankan PLN sebaiknya segara melakukan adaptasi dan mulai serius untuk menekuni bisnis di sektor energi terbarukan. Keikutsertaan PLN dalam mengembangkan listrik tenaga surya, akan mendorong terjadinya kompetisi yang sehat untuk harga energi, dengan begitu harga listrik dari energi surya bisa semakin turun dan terjangkau.

“PLN seharusnya bisa berkaca dari pengalaman perusahaan listrik di negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Singapura yang semakin agresif berinvestasi di sektor energi surya dan melakukan upaya kampanye untuk menarik minat pelanggan untuk menggunakan listrik surya atap. Terlebih, saat ini saat ini juga gerakan global oleh perusahaan-perusahaan multinasional, untuk berkomitmen menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan hingga mencapai 100% yang dinamakan RE100[1]

“Ini merupakan peluang dan potensi bisnis yang sangat menjanjikan di masa depan.” Ujar Fabby.

Jakarta, 3 Desember 2018

###

Tentang IESR

Institute for Essential Services Reform adalah  adalah sebuah lembaga riset dan advokasi kebijakan di sektor energi dan lingkungan. Dengan menggabungkan antara kajian yang mendalam  mengenai analisis kebijakan, peraturan dan aspek tekno-ekonomi di sektor energi, IESR menjadi sebuah lembaga pemikir (think tank) yang unik yang meletakkan kepentingan advokasi publik untuk mempengaruhi perubahan kebijakan di tingkat nasional, sub-nasional dan global.

Kontak media:

Yesi Maryam |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477

[1]  Beberapa perusahaan yang menjadi anggota RE100 yang ada di Indonesia, antara lain: AEON, Akzo Nobel, Aztra Zeneca, AXA, Citi, Coca Cola, Danone, DBS Bank, GM, Google, H&M, HP, HSBC,  IKEA,  Johnson & Johnson, M&S, Nestle, Nike, P&G, Prudential, Phillips, Ricoh, Schneider Electric, SGS, Starbucks, Tetra Pak, Unilever, dsb.

 

 

Siaran Pers: Laporan IPCC #SR15 dan Implikasinya bagi Sektor Energi Indonesia

 

Pada Senin, 8 Oktober 2018, Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) meluncurkan Special Report on Global Warming of 1.5C (Laporan Khusus tentang Pemanasan Global 1,5 Derajat)[1]. Laporan ini memuat berbagai dampak akibat pemanasan global pada kesehatan manusia, ketahanan pangan, ekosistem, dsb  yang dapat dihindari dengan membatasi kenaikan temperatur 1,5 derajat Celcius (C) diatas temperatur rata-rata sebelum masa pra-industri.

Dengan kecepatan pertumbuhan emisi gas rumah kaca (GRK) saat ini, IPCC mengingatkan bahwa kesempatan untuk mencapai target ini hanya tersisa 12 tahun atau 2030. Untuk mencapai target 1,5 derajat maka emisi gas rumah kaca global harus mencapai puncak selambatnya 2030 dan kemudian harus turun drastis hingga mencapai net-zero emission pada 2050. Menurut IPCC, untuk mencapai hasil tersebut maka diperlukan upaya mitigasi yang sangat ekstrem, cepat, menjangkau jauh kedepan yang dilakukan semua pihak di seluruh dunia.

Konsekuensi dari target tersebut adalah:  1) tingkat emisi global pada 2030 harus turun setara dengan 45% tingkat emisi 2010 (20 GtCO2eq); 2) penggunaan batubara harus turun sebanyak 59-78% dari tingkat 2010 dan sama sekali tidak dikonsumsi lagi setelah 2050; 3) konsumsi minyak harus turun 32-87% dari tingkat 2010, dan 5) energi terbarukan menyediakan 85% pasokan listrik di dunia pada 2050; 6) emisi global harus menjadi nol (zero) pada 2050.

Indonesia sebagai salah satu negara ekonomi terbesar di dunia, dan penyumbang 3,5-4% total emisi dunia, seharusnya tidak lepas dari upaya mengatasi pemanasan global dan ancaman perubahan iklim. Pada 2015 Presiden Joko Widodo menyatakan persetujuan pada Paris Agreement pada COP-23, dan pada 2016, pemerintah Indonesia meratifikasi Paris Agreement melalui UU No. 16/2016. Pada 2016, pemerintah Indonesia menyampaikan komitmen penurunan emisi GRK sebesar 29-41% pada 2030 yang dinyatakan dalam Nationally Determined Contribution (NDC)[2].

Menurut proyeksi Climate Action Tracker (CAT, 2018) emisi GRK Indonesia dari sektor energi, transportasi, sampah, dan industri (tidak termasuk LULUCF) diperkirakan mencapai 1573-1751 juta tCO2eq pada 2030[3]. Jumlah ini setara dengan 3,75-4% dari emisi GRK global yang diperkirakan mencapai 40 Giga-ton CO2eq. Dari total emisi GRK Indonesia di 2030, pembangkitan listrik menyumbang 400 juta tonCO2eq.

CAT menilai komitmen penurunan emisi Indonesia dalam NDC tidak selaras (compatible) dengan target temperatur Paris Agreement, baik 1,5°C maupun 2°C. Untuk setara dengan target 2°C, emisi GRK harus menjadi 1075 juta tCO2eq pada 2030, dan untuk mendukung pencapaian 1,5°C emisi GRK harus turun menjadi 523 juta tCO2eq.

Untuk dapat mendorong Indonesia pada jalur 1,5°C maka Indonesia perlu melakukan aksi mitigasi yang drastis pada dua sektor utama yaitu pembangkitan listrik dan transportasi. Untuk pembangkitan listrik, pada 2030 emisi GRK dari sub-sektor ini harus memotong setengah dari emisi pembangkitan listrik atau setara dengan total emisi sektor kelistrikdan di 2019.

Untuk mencapai tingkat emisi tersebut, maka separuh dari pembangkit listrik batubara harus dipensiunkan secara bertahap mulai 2025 – 2030, dan sisanya harus diakhiri secara bertahap hingga 2050. Selain itu, setelah 2025 pembangunan PLTU baru tidak lagi diperbolehkan. Konsekuensinya adalah pembangunan pembangkit energi terbarukan harus dipercepat dan jumlahnya lebih besar daripada target yang ditetapkan di Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Direktur IESR Fabby Tumiwa menyatakan, “Untuk mencapai target 1,5 derajat C, diperlukan sebuah transisi energi yang cepat, dari energi fossil menuju energi terbarukan khususnya di pembangkitan listrik dan transportasi darat. Perubahan ini membutuhkan keputusan politik dari Presiden dan dukungan dari para pemangku kebijakan kunci di pemerintahan, PLN, Dewan Energi Nasional, serta penyediaan investasi yang besar-besaran untuk membangun tambahan pembangkit energi terbarukan setara sekitar 65-75GW di atas target skenario RUEN dan battery storage

Upaya transisi ini juga perlu disertai dengan perubahan paradigma dan perilaku semua pihak untuk mulai mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dengan mengendalikan produksi dan konsumsi bahan bakar fosil, termasuk penyediaan subsidi energi dan listrik yang lebih selektif untuk mengurangi beban bagi anggaran negara. Pemerintah bersama para pihak juga perlu melakukan perubahan paradigma dan perilaku untuk mendorong efisiensi dan konservasi energi yang mendukung tujuan pembangunan rendah karbon yang lebih berkelanjutan.

Jakarta, 9 Oktober 2018

###

Tentang IESR

Institute for Essential Services Reform (IESR) adalah sebuah lembaga independen, non-pemerintah yang bergerak di bidang Energi dan Perubahan Iklim. Berdiri resmi di tahun 2007, IESR merupakan lembaga pemikir (think tank) untuk kebijakan publik yang mendorong, dan mendukung perubahan-perubahan menuju keadilan pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan manusia Indonesia.

Kontak media:
Yesi Maryam |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477

[1] http://www.ipcc.ch/report/sr15/

 

[2]http://www4.unfccc.int/ndcregistry/PublishedDocuments/Indonesia%20First/First%20NDC%20Indonesia_submitted%20to%20UNFCCC%20Set_November%20%202016.pdf

 

[3] https://climateactiontracker.org/countries/indonesia/

 

Siaran Pers: Menteri ESDM harus segera mengeluarkan regulasi listrik surya atap untuk mendukung pencapaian target 6,5 GW pembangkit listrik surya dalam bauran energi nasional

Sudah lebih 3 bulan sejak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyampaikan rencana untuk mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM mengenai Perangkat Fotovoltaik Atap (rooftop solar). Namun hingga hari ini, peraturan yang diharapkan menjadi payung hukum bagi pelanggan PLN dalam menggunakan listrik yang bersih ini belum juga dikeluarkan.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menghargai upaya Menteri ESDM meminta masukan dan tanggapan dari sejumlah pihak di tahap penyusunan awal Rapermen. Namun IESR juga mengkritik proses pembahasan yang dianggap kurang transparan, bertele-tele dan minimnya arah kebijakan dan posisi utama KESDM terhadap pengembangan listrik surya atap. Hal tersebut pada akhirnya menyandera Menteri ESDM sendiri untuk mengakomodasi kepentingan PT PLN secara berlebihan dalam penyusunan pasal-pasal Rapermen, yang justru menghilangkan semangat implementasi perangkat listrik surya atap secara massif dan mengorbankan kepentingan publik yang luas.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyatakan “Mengingat Indonesia sudah sangat tertinggal dibandingkan negara lain dalam hal instalasi listrik surya atap, Permen ini hendaknya mengusung semangat akselerasi pengembangan pembangkit listrik surya atap dan menarik minat warga masyarakat untuk berinvestasi pada listrik surya atap untuk mendukung pencapaian target bauran energi terbarukan sebesar 45 Gigawatt (GW) di tahun 2025, dimana 6,5 GW berasal dari pembangkit surya.”

“IESR mendukung target Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) yaitu 1 GW instalasi listrik surya atap pada 2020, dan kami juga menantang pemerintah untuk melakukan program nasional #Surya Nusantara dengan target 10 GW pada 2025,” katanya.

Fabby Tumiwa menjelaskan setidaknya ada tiga hal penting yang harus menjadi perhatian Menteri ESDM dalam menyusun Peraturan Menteri tentang listrik surya atap:

Pertama, nilai transaksi listrik yang adil dan menjaga keekonomian investasi listrik surya atap melalui skema net-metering/gross-metering. Peraturan Direksi PT PLN No.0733.K/DIR/2013 mengatur penggunaan net-metering dimana harga energi listrik 1 kWh yang dijual ke jaringan PLN, sama dengan harga energi listrik 1 kWh yang dibeli oleh pelanggan dari PLN. Dengan adanya ketentuan ini keekonomian listrik surya atap akan menjadi lebih menarik sehingga dapat menarik investasi masyarakat dengan tingkat pengembalian investasi selama 8-9 tahun.

Kedua, Kemudahan dalam pemasangan dan operasi perangkat listrik surya atap oleh pengguna. Sertifikasi Laik Operasi (SLO) listrik surya atap sebaiknya disamakan dengan SLO instalasi tegangan rumah tangga. Perangkat listrik surya atap adalah tipe pembangkit listrik yang tidak bergerak, tidak menimbulkan bunyi, tidak mengeluarkan emisi dan tegangannya rendah. Untuk mengaturnya, pemerintah dapat menggunakan ketentuan kelaikan yang digunakan dalam Permen ESDM No. 27/2017 pada pasal 20 sebagai instalasi tenaga listrik dengan tegangan rendah.

Ketiga, kemudahan perizinan penggunaan listrik surya atap dan jaminan ketersediaan meter export-import (Meter Exim). Aturan ini dalam rancangan permen ini perlu menjelaskan tentang kemudahan proses penggunaan listrik surya atap dengan mekanisme yang transparan dan akuntabel, di mana pelanggan cukup melaporkan dengan menyertakan dokumen yang dibutuhkan kepada PLN, serta ketentuan waktu yang jelas jelas kapan pelanggan akan mendapatkan meter EXIM untuk melakukan transaksi kredit.

IESR juga menolak pandangan yang menyatakan keberadaan listrik surya atap dapat mengancam kelangsungan usaha PLN Menurut perhitungan IESR, apabila skema net-metering 1:1 diberlakukan maka hanya berpotensi mengurangi 0,42% pendapatan PT PLN pada 2020 ketika total kapasitas solar rooftop mencapai 1 GW. Dengan proyeksi pendapatan PT PLN sebesar Rp 348 triliun, potensi revenue loss PLN berada di kisaran Rp 1,5 triliun saja dengan adanya 1 GW solar rooftop terpasang, tersambung dan berproduksi semua. Dengan adanya kapasitas sebesar itu dan lokasinya tersebar di kota-kota besar, PLN juga mendapatkan manfaat finansial melalui optimalisasi operasi pembangkit konvensional dan pengurangan biaya operasi dan perawatan serta penghematan bahan bakar yang memberikan keuntungan finansial tambahan.

Dia pun menyarankan, ketimbang merasa terancam, PLN sebaiknya segara melakukan adaptasi model bisnisnya dan memberikan prioritas investasi di pembangkit energi terbarukan khususnya surya atap skala besar dan PLTS. Keikutsertaan PLN dalam mengembangkan listrik tenaga surya akan memberikan dorongan terhadap menurunnya biaya investasi teknologi surya sehingga harga listriknya dapat bersaing bahkan lebih murah dari pembangkit gas dan/atau batubara.

Jakarta, 19 September 2018

###

Tentang IESR

Institute for Essential Services Reform (IESR) adalah sebuah lembaga independen, non-pemerintah yang bergerak di bidang Energi dan Perubahan Iklim. Berdiri resmi di tahun 2007, IESR merupakan lembaga pemikir (think tank) untuk kebijakan publik yang mendorong, dan mendukung perubahan-perubahan menuju keadilan pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan manusia Indonesia.

Kontak media:
Yesi Maryam (Eci) |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477