Siaran Pers: Menteri ESDM harus segera mengeluarkan regulasi listrik surya atap untuk mendukung pencapaian target 6,5 GW pembangkit listrik surya dalam bauran energi nasional

Sudah lebih 3 bulan sejak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyampaikan rencana untuk mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM mengenai Perangkat Fotovoltaik Atap (rooftop solar). Namun hingga hari ini, peraturan yang diharapkan menjadi payung hukum bagi pelanggan PLN dalam menggunakan listrik yang bersih ini belum juga dikeluarkan.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menghargai upaya Menteri ESDM meminta masukan dan tanggapan dari sejumlah pihak di tahap penyusunan awal Rapermen. Namun IESR juga mengkritik proses pembahasan yang dianggap kurang transparan, bertele-tele dan minimnya arah kebijakan dan posisi utama KESDM terhadap pengembangan listrik surya atap. Hal tersebut pada akhirnya menyandera Menteri ESDM sendiri untuk mengakomodasi kepentingan PT PLN secara berlebihan dalam penyusunan pasal-pasal Rapermen, yang justru menghilangkan semangat implementasi perangkat listrik surya atap secara massif dan mengorbankan kepentingan publik yang luas.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyatakan “Mengingat Indonesia sudah sangat tertinggal dibandingkan negara lain dalam hal instalasi listrik surya atap, Permen ini hendaknya mengusung semangat akselerasi pengembangan pembangkit listrik surya atap dan menarik minat warga masyarakat untuk berinvestasi pada listrik surya atap untuk mendukung pencapaian target bauran energi terbarukan sebesar 45 Gigawatt (GW) di tahun 2025, dimana 6,5 GW berasal dari pembangkit surya.”

“IESR mendukung target Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) yaitu 1 GW instalasi listrik surya atap pada 2020, dan kami juga menantang pemerintah untuk melakukan program nasional #Surya Nusantara dengan target 10 GW pada 2025,” katanya.

Fabby Tumiwa menjelaskan setidaknya ada tiga hal penting yang harus menjadi perhatian Menteri ESDM dalam menyusun Peraturan Menteri tentang listrik surya atap:

Pertama, nilai transaksi listrik yang adil dan menjaga keekonomian investasi listrik surya atap melalui skema net-metering/gross-metering. Peraturan Direksi PT PLN No.0733.K/DIR/2013 mengatur penggunaan net-metering dimana harga energi listrik 1 kWh yang dijual ke jaringan PLN, sama dengan harga energi listrik 1 kWh yang dibeli oleh pelanggan dari PLN. Dengan adanya ketentuan ini keekonomian listrik surya atap akan menjadi lebih menarik sehingga dapat menarik investasi masyarakat dengan tingkat pengembalian investasi selama 8-9 tahun.

Kedua, Kemudahan dalam pemasangan dan operasi perangkat listrik surya atap oleh pengguna. Sertifikasi Laik Operasi (SLO) listrik surya atap sebaiknya disamakan dengan SLO instalasi tegangan rumah tangga. Perangkat listrik surya atap adalah tipe pembangkit listrik yang tidak bergerak, tidak menimbulkan bunyi, tidak mengeluarkan emisi dan tegangannya rendah. Untuk mengaturnya, pemerintah dapat menggunakan ketentuan kelaikan yang digunakan dalam Permen ESDM No. 27/2017 pada pasal 20 sebagai instalasi tenaga listrik dengan tegangan rendah.

Ketiga, kemudahan perizinan penggunaan listrik surya atap dan jaminan ketersediaan meter export-import (Meter Exim). Aturan ini dalam rancangan permen ini perlu menjelaskan tentang kemudahan proses penggunaan listrik surya atap dengan mekanisme yang transparan dan akuntabel, di mana pelanggan cukup melaporkan dengan menyertakan dokumen yang dibutuhkan kepada PLN, serta ketentuan waktu yang jelas jelas kapan pelanggan akan mendapatkan meter EXIM untuk melakukan transaksi kredit.

IESR juga menolak pandangan yang menyatakan keberadaan listrik surya atap dapat mengancam kelangsungan usaha PLN Menurut perhitungan IESR, apabila skema net-metering 1:1 diberlakukan maka hanya berpotensi mengurangi 0,42% pendapatan PT PLN pada 2020 ketika total kapasitas solar rooftop mencapai 1 GW. Dengan proyeksi pendapatan PT PLN sebesar Rp 348 triliun, potensi revenue loss PLN berada di kisaran Rp 1,5 triliun saja dengan adanya 1 GW solar rooftop terpasang, tersambung dan berproduksi semua. Dengan adanya kapasitas sebesar itu dan lokasinya tersebar di kota-kota besar, PLN juga mendapatkan manfaat finansial melalui optimalisasi operasi pembangkit konvensional dan pengurangan biaya operasi dan perawatan serta penghematan bahan bakar yang memberikan keuntungan finansial tambahan.

Dia pun menyarankan, ketimbang merasa terancam, PLN sebaiknya segara melakukan adaptasi model bisnisnya dan memberikan prioritas investasi di pembangkit energi terbarukan khususnya surya atap skala besar dan PLTS. Keikutsertaan PLN dalam mengembangkan listrik tenaga surya akan memberikan dorongan terhadap menurunnya biaya investasi teknologi surya sehingga harga listriknya dapat bersaing bahkan lebih murah dari pembangkit gas dan/atau batubara.

Jakarta, 19 September 2018

###

Tentang IESR

Institute for Essential Services Reform (IESR) adalah sebuah lembaga independen, non-pemerintah yang bergerak di bidang Energi dan Perubahan Iklim. Berdiri resmi di tahun 2007, IESR merupakan lembaga pemikir (think tank) untuk kebijakan publik yang mendorong, dan mendukung perubahan-perubahan menuju keadilan pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan manusia Indonesia.

Kontak media:
Yesi Maryam (Eci) |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477

Siaran Pers: Kehadiran PLTB Sidrap dan PLTB Janeponto merupakan sinyal positif bagi perkembangan energi terbarukan, tapi dukungan kebijakan dan insentif dari pemerintah tetap diperlukan

IESR menyambut baik peresmian kebun angin pertama di Indonesia, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap 75 MW dan PLTB Jeneponto 70 MW di Provinsi Sulawesi Selatan, oleh Presiden Joko Widodo pada Senin, 2 Juli 2018

IESR menilai beroperasinya dua pembangkit ini merupakan indikasi positif yang menunjukan bahwa Indonesia memiliki potensi energi bayu (angin) yang cukup besar. Kementerian ESDM memperkirakan potensi PLTB di Indonesia mencapai 100 GW.

Dalam acara peresmian tersebut, sebagaimana dimuat di situs Detik.com.[1], Presiden Jokowi menyatakan bahwa pemerintah tidak perlu melakukan intervensi dan mengatur harga jual listrik dari pembangkit energi terbarukan. Selain itu Presiden juga menyampaikan tidak perlu diberikan insentif.

Alasan Presiden karena energi terbarukan adalah sektor yang banyak diminati oleh para investor dan adanya kompetisi diantara investor akan mendorong proses kompetisi sehingga harga menjadi murah.

“Ada banyak, ngapain diberikan insentif kan yang antre banyak. Izinnya saja yang masih ruwet, itu yang perlu diselesaikan agar izin lebih mudah dan gampang,” kata Jokowi.

IESR menyesalkan pernyataan Presiden tersebut. Pernyataan tersebut justru kontra produktif dengan upaya menarik investasi untuk energi terbarukan. Menurut IESR, Presiden tidak mendapatkan informasi yang akurat mengenai situasi sebenarnya tentang investasi di sektor energi terbarukan. Walaupun ada sejumlah investor asing dan domestik yang tertarik berinvestasi di energi terbarukan, tetapi realisasi investasi tidak optimal.

Data Kementerian ESDM menunjukan nilai investasi di sektor energi terbarukan tahun 2017 sebesar Rp 11,74 triliun. Nilai ini turun dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai Rp. 21,25 triliun (2016), Rp. 13,96 triliun (2015) dan Rp. 8,63 triliun (2014).

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyatakan energi terbarukan merupakan sektor yang masih muda dan belum tumbuh mapan di Indonesia. Pemerintah seharusnya menyiapkan kebijakan yang dapat mendorong iklim investasi yang sehat sehingga harga ekonomi energi terbarukan dapat terbentuk. Sehingga nantinya bisa sejajar atau lebih rendah dari harga energi fosil.

“Kedua PLTB yang diresmikan oleh Presiden Jokowi adalah proyek yang telah dikembangkan sejak lima tahun yang lalu, dengan tingkat kepercayaan yang lebih baik dan kondisi regulasi untuk PLTB yang lebih flexible dan memungkinkan adanya negosisasi dalam mekanisme perjanjian jual beli tenaga listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) antara pengembang dan PT PLN. Sehingga terjadi optimalisasi harga dan expected return of investment para investor dan pengembang dapat terpenuhi.” jelas Fabby.

Dia juga mengingatkan bahwa meski potensi energi terbarukan di Indonesia berlimpah dan minat investasi sangat tinggi, namun hingga kini ada banyak kendala yang dihadapi para pengembang, khususnya investasi untuk proyek pembangkit listrik di bawah skala 10 Megawatt (skala menengah).

Di akhir tahun 2017 sebanyak 70 pengembang listrik energi terbarukan yang telah melakukan tanda tangan PPA dengan PT PLN. Namun hingga Juni 2018, baru empat pembangkit yang sudah masuk dalam tahap pengoperasian secara komersil atau COD (commercial operation date), sementara 45 proyek lainnya terpaksa mandek karena pengembang kesulitan untuk mencari pendanan dari perbankan, dan hingga sampai batas waktu yang ditentukan dalam PPA belum juga mencapai financial closing.

Selain itu, kendala yang juga dihadapi para investor energi terbarukan adalah regulasi pemerintah yang tidak konsisten dan menurunkan minat investasi seperti Permen ESDM No. 12/ 2017 dan Permen No. 50/2017, kedua kebijakan ini telah yang mencabut insentif Feed-in Tariff dan menggantinya dengan aturan harga listrik berbasis energi terbarukan maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) PT PLN di masing-masing wilayah. Permen No. 50/2017 juga membuat proyek-proyek energi terbarukan menjadi tidak bankable karena adanya ketentuan harga beli dengan referensi BPP PLN dan adanya ketentuan BOOT (Build, Own, Operate, Transfer).

“Banyak pengembang yang kesulitan untuk mendapatkan pendanaan di dalam negeri karena bank beranggapan proyek energi terbarukan dinilai beresiko tinggi dan suku bunga pinjaman yang masih dua digit. Tidak semua pengembang memiliki akses atas pendanaan dengan bunga rendah di luar negeri.” Ujar Fabby.

Sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada 2025 nanti kapasitas pembangkit energi terbarukan ditargetkan mencapai 45000 MW atau masih 36000 MW yang harus dibangun dalam 7 tahun mendatang. Dengan perkembangan penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan sebesar 300 MW per tahun selama ini, target tersebut mustahil tercapai.

Dengan demikian, jika Presiden Joko Widodo dan pemerintahannya serius untuk untuk mengembangkan energi terbarukan secara massif dalam kurun waktu 3-5 tahun mendatang, maka pemerintah perlu memperbaiki kerangka regulasi, mencabut Permen ESDM No. 50/2017, memberikan insentif fiskal dan non-fiskal secara selektif, serta menyediakan mekanisme pendanaan khusus (fund) yang inovatif untuk memenuhi kebutuhan pendanaan.

Pemerintah juga diminta untuk membuat regulasi khusus untuk mendorong implementasi pembangkit listrik surya atap (solar rooftop) oleh masyarakat sehingga dapat mencapai target RUEN sebesar 6500 MW pada 2025.

Jakarta, 4 Juli 2018

[1] https://finance.detik.com/energi/d-4094662/jokowi-tak-akan-atur-harga-listrik-dari-kebun-angin?_ga=2.86324952.1316398863.1530539164-234448182.1530539160.

###

Tentang IESR

Institute for Essential Services Reform (IESR) adalah sebuah lembaga independen, non-pemerintah yang bergerak di bidang Energi dan Perubahan Iklim. Berdiri resmi di tahun 2007, IESR merupakan lembaga pemikir (think tank) untuk kebijakan publik yang mendorong, dan mendukung perubahan-perubahan menuju keadilan pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan manusia Indonesia.

Kontak media:
Yesi Maryam |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477

Siaran Pers: IESR dan AESI Mendesak Pemerintah Membuat Regulasi Listrik Surya Atap Untuk Mendukung Pencapaian Target Energi Terbarukan

Kebijakan Energi Nasional (KEN) Indonesia mentargetkan adanya peningkatan energi terbarukan dari 5% di tahun 2015 menjadi 23% di tahun 2025.[1] Target ini mengindikasikan kapasitas pembangkitan listrik dari energi terbarukan sebesar 45 GW, atau diperlukan tambahan sekitar 36 GW dari kapasitas pembangkit yang ada saat ini. Pembangkit Listrik Tenaga Surya ditargetkan mencapai 6,4 GW.

Hingga hari ini kapasitas pembangkit energi terbarukan baru mencapai 9 GW, dan total kapasitas pembangkit listrik energi surya masih di bawah 100 MWp, padahal potensi nasional yang tersedia mencapai 560 GWp.

Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) berpendapat bahwa target 6,4 GW sebetulnya dapat terpenuhi, salah satunya dengan mendorong pengembangan listrik surya atap (solar rooftop) dengan memanfaatkan atap bangunan rumah pribadi, gedung pemerintah, gedung komersil, rumah ibadah, atap pabrik dan kawasan industri serta fasilitas publik lainnya.

Pada September 2017, AESI, PPLSA, IESR, Bersama dengan Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian dan berbagai organisasi lainnya meluncurkan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap, dengan tujuan mendorong pemanfaatan teknologi surya atap sehingga dapat mencapai kapasitas terpasang satu gigawatt (GW) pada 2020.

Dr. Andhika Prastawa, Ketua Umum AESI menyatakan sejak GNSSA diluncurkan, terdapat animo yang tinggi dari masyarakat dan ini ditandai dengan meningkatnya jumlah listrik surya atap yang tersambung dengan jaringan PLN (grid-tief) lebih dari dua kali lipat dalam enam bulan. Selain itu, trend yang sama juga dapat dilihat pada pemasangan listrik surya atap di gedung perkantoran, bangunan komersial serta perumahan yang dikembangkan oleh developer.

Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) menyampaikan bahwa potensi surya atap di Indonesia cukup besar. Berdasarkan laporan IRENA (2017) potensi tenaga surya mencapai 3,1 GW per tahun, dimana sekitar 1 GW merupakan potensi dari listrik surya atap dan 2,1 GW untuk PLTS (ground mounted solar). Berdasarkan perkiraan potensi ini, target PLTS surya dalam KEN dan RUEN dapat tercapai dengan cepat.

Selain daripada itu, Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah menetapkan bahwa untuk mendukung pencapaian target listrik surya, maka diberlakukan kewajiban pemanfaatan sel surya minimum 25% dari luas atap bangunan mewah, kompleks perumahan, dan apartemen, dan 30% dari atap bangunan pemerintah.

Sayangnya hingga saat ini belum ada regulasi yang memadai untuk mendorong pengembangan listrik surya atap, bahkan Permen ESDM No. 1/2017 justru menghambat pemanfaatan  teknologi listrik surya atap khususnya untuk bangunan komersial dan industri serta fasilitas publik.[2] Regulasi ini secara tidak langsung menghambat pemilik gedung dan pabrik serta kawasan industri memasang pembangkit listrik tenaga surya di atap bangunannya karena secara ekonomi menjadi lebih mahal dengan adanya ketentuan untuk membayar biaya kapasitas kepada PLN.

Nur Pamudji, Ketua Dewan Pakar AESI menyampaikan bahwa saat ini terdapat gerakan global oleh perusahaan-perusahaan multinasional, termasuk yang memiliki investasi di Indonesia untuk berkomitmen menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan hingga mencapai 100% yang dinamakan RE100.[3]

“Pemanfaatan teknologi surya atap merupakan salah satu cara bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk memenuhi komitmen dan target mereka karena dapat langsung dipasang di atap fasilitas produksi atau kerja-nya. Selain membeli listrik hijau dari pembangkit lainnya dengan harga premium. Adanya regulasi yang dapat mendorong perusahaan-perusahaan ini untuk memasang listrik surya atap dengan kapasitas yang besar dengan biaya yang ekonomis,” kata Nur Pamudji.

Dr. Andhika Prastawa juga menambahkan bahwa solusi listrik surya atap juga menjadi bagian dari upaya konservasi energi dan mengurangi pemakaian listrik yang bersumber dari bahan bakar fossil. Secara tidak langsung, penggunaan listrik surya atap oleh publik dan non-state actors lainnya juga berkontribusi terhadap pencapaian penurunan emisi sebagaimana yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo di COP-23 Paris pada 2015.

Fabby Tumiwa menyarankan agar Kementerian ESDM segera merumuskan regulasi yang mendorong pemanfaatan teknologi listrik surya atap secara ekonomis. Adanya regulasi yang memadai dapat mendorong perkembangan pasar teknologi photovoltaic di Indonesia, yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya teknologi dan investasi, serta membuka lapangan kerja.

“Seperti yang kita lihat di banyak negara, aplikasi teknologi listrik surya atap secara besar-besaran yang didukung pemerintah dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik surya. Bahkan di sejumlah negara listrik dari surya lebih murah dari listrik yang diproduksi PLTU batubara.  Dengan biaya investasi yang semakin rendah, listrik surya justru dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik secara keseluruhan,” kata Fabby.

“Indonesia memiliki potensi energi surya yang besar demikian juga potensi pasarnya. AESI siap menjadi mitra pemerintah dalam penyusunan regulasi listrik surya atap sehingga potensi ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal oleh non-state actors.” kata Nur Pamudji.

Sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai pembangkit listrik tenaga surya atap, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) akan menyelenggarakan event INDOSOLAR Expo & Forum 2018 yang berlangsung di JIExpo-Kemayoran Jakarta, tanggal 11-13 Juli 2018.

###

[1] Target pencapaian energi terbarukan dijabarkan secara rinci dalam Perpes No. 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Kebijakan ini sejalan dengan komitmen Pemerintah Indonesia pada Conference of Parties (COP) ke 21 untuk mengurasi emisi gas rumah kaca khususnya CO2  sebesar 29% pada tahun 2030.

[2] Permen ESDM No. 1/2017 tentang Operasi Paralel Pembangkit Tenaga Listrik dengan Jaringan Tenaga Listrik PT PLN yang menyatakan untuk sistem pembangkit lebih dari 25 kVA harus membayar biaya kapasitas (capacity charge).

[3] Beberapa perusahaan yang menjadi anggota RE100 yang ada di Indonesia, antara lain: AEON, Akzo Nobel, Aztra Zeneca, AXA, Citi, Coca Cola, Danone, DBS Bank, GM, Google, H&M, HP, HSBC,  IKEA,  Johnson & Johnson, M&S, Nestle, Nike, P&G, Prudential, Phillips, Ricoh, Schneider Electric, SGS, Starbucks, Tetra Pak, Unilever, dsb.

 

Catatan untuk Redaksi

Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) adalah sebuah berkumpulan bagi para penggiat yang ingin mendorong permanfaatan energi surya di Indonesia. Asosiasi ini digagas pada Maret 2016 dan dideklasikan pada  15 Desember 2016. Keanggotaan AESI terbuka bagi perusahaan produsen peralatan pembangkit surya (modul, inverter, controller dll), perusahaan penyedia jasa (konsultan), perusahaan kontraktor EPC, para profesional ahli tenaga surya, birokrat yg bekerja di bidang energi terbarukan serta akademisi.

Institute for Essential Services Reform (IESR) adalah sebuah lembaga pemikir (think tank) yang bergerak dalam bidang kajian kebijakan dan strategi di sektor energi dan sumber daya alam. IESR mendorong mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi semua.

Kontak Media

Yesi Maryam I yesi@iesr.or.id  I 081212470477

 

 

Siaran Pers: Hentikan Rencana Memberikan Subsidi Untuk BBM Jenis Pertalite dan Pertamax

Institute for Esssential Services Reform (IESR) menolak rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) untuk memberikan subsidi BBM untuk jenis Pertalite (RON 90) dan Pertamax (RON 92). Pemberian subsidi sama saja memberikan insentif untuk konsumsi BBM yang berlebihan yang akan mendorong  laju konsumsi dan importasi BBM.

Menurut data BPH Migas, dalam tiga tahun terakhir konsumsi BBM nasional tumbuh rata-rata 4%, dan jenis BBM umum yang tidak disubsidi tumbuh 13,9% pada 2017. Termasuk pada kategori ini adalah BBM RON 90 dan RON 92.

KESDM kini tengah membahas usulan dari Komisi 7 DPR RI tentang pemberian subsidi bagi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite dan Pertamax yang dijual Pertamina.

Usulan ini disampaikan oleh anggota Komisi 7 Kardaya Wardika dalam rapat kerja pembahasan asumsi makro sektor energi dan sumber daya mineral RAPBN 2019, Selasa (5/6) yang memberikan masukan agar pemerintah mendorong penggunaan BBM dengan kualitas yang lebih baik dengan memberikan subsidi BBM jenis Pertalite dan Pertamax.

IESR menilai usulan dan rencana pemberian subsidi BBM sangat tidak tepat. “Pemberian subsidi justru memberikan insentif bagi konsumen yang secara ekonomi mampu untuk melakukan pemborosan BBM. Hal ini akan berakibat pada peningkatan laju konsumsi dan import BBM,” kata Fabby Tumiwa, Direktur IESR.

Yang perlu dilakukan Kementerian ESDM adalah memastikan bahwa pengadaan BBM oleh Pertamina dilakukan secara efisien, terencana, dan transparan, sehingga biaya penyediaan BBM dapat diminimalkan, dan bukan malah membahas penambahan subsidi BBM,” tambah Fabby.

Dia mengingatkan, Pemerintahan Presiden Jokowi seharusnya bisa keluar dari jebakan subsidi BBM dan konsisten dengan kebijakan pencabutan subsidi yang dibuat pada tahun 2014 lalu. Indonesia sudah dianggap cukup berhasil oleh komunitas internasional dalam melakukan reformasi subsidi BBM pada waktu itu. Akibatnya pemerintah pun memiliki anggaran yang lebih besar untuk pembangunan infrastruktur.

“Kebijakan yang populis seperti pemberian subsidi BBM sebetulnya hanya memboroskan anggaran APBN, yang sebetulnya dapat digunakan untuk mendorong pengembangan energi terbarukan dan membangun infrastruktur kendaraan listrik untuk mengurangi konsumsi BBM dalam jangka panjang. Harga BBM sebaiknya merefleksikan harga di pasar dan subsidi diberikan hanya kepada kelompok masyarakat tidak mampu dan angkutan umum.”

“Sebagai pembina sektor, Menteri Jonan seharusnya mencari cara menahan laju konsumsi dan import BBM melalui berbagai kebijakan dan program yang terintegrasi. Salah satunya adalah dengan mengeluarkan kebijakan Fuel Economy Standard untuk kendaraan bermotor dan perbaikan kualitas BBM dengan memastikan BBM yang dijual telah memenuhi standar Euro 4.” Kata Fabby.

Semakin meningkatnya laju konsumsi BBM telah menjadi kekhwatiran banyak pihak karena berpengaruh secara langsung terhadap memburuknya kualitas udara dan kesehatan masyarakat.  Di tahun 2017 hasil penelitian sejumlah lembaga menunjukan terjadinya penurunan kualitas udara di kota-kota Indonesia akibat meningkatnya polusi dari kendaraan bermotor.

Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia merilis bahwa 75% polusi udara di Jakarta disumbangkan dari sektor transportasi. Angka ini dipastikan akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor dan pembakaran bahan bakar setiap tahunnya.

Kondisi ini makin diperburuk dengan karena banyaknya kendaraan di ibukota yang menggunakan BBM kualitas rendah seperti Euro 2 dan menghasilkan polutan seperti PM 10, PM 2,5, SO2, CO dan Pb. Berbagai jenis polutan tersebut jika terhirup terus menerus akan menyerang saluran pernafasan atas sehingga mengakibatkan flu dan batuk.

Polusi udara dari bahan bakar kendaraan bermotor juga memiliki risiko laten yang menyebabkan kenaikan risiko penyakit kronis seperti jantung coroner, risiko cacat fisik, cacat mental, down syndrome, tremor hingga kematian.Di tahun 2016 tercatat kasus di DKI Jakarta sebanyak 58% warganya terpapar penyakit akibat pencemaran udara dan harus membayar biaya kesehatan hingga Rp 51,2 triliun.

Pemberian subsidi kepada BBM jenis Pertalite dan Pertamax justru akan meningkatkan risiko kesehatan dan biaya kesehatan yang akan ditanggung oleh masyarakat secara luas, termasuk masyarakat miskin yang merupakan penerima subsidi yang paling kecil.

–00–

Jakarta, 8 Juni 2018

Kontak media:
Yesi Maryam |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477

Siaran Pers: IESR Sesalkan Pemangkasan Bauran Energi Terbarukan dalam Rancangan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2018-2027

Merasionalisasi PLTU batubara dan meningkatkan bauran energi terbarukan justru mengurangi risiko keuangan PLN dalam jangka panjang.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menyesalkan berkurangnya porsi bauran energi terbarukan dari 21 ribu MW menjadi 14 ribu MW dalam Rancangan RUPTL 2018-2027. Menurut IESR, pengurangan bauran energi terbarukan dengan alasan terjadinya penurunan proyeksi permintaan listrik dinilai tidak tepat. Sebaliknya, penurunan permintaan listrik justru harus diantisipasi dengan mengurangi PLTU batubara dan menambah PLT Gas dan Pembangkit energi terbarukan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif menilai dengan memprioritaskan pembangunan PLTU, PLN justru memperbesar eksposure risikonya. Menurutnya, biaya investasi pembangkit terdistribusi seperti sel surya dan batterai penyimpan membuat teknologi ini dapat berpeluang menjadi disruptive technology untuk pembangkit skala besar seperti PLTU.

“Teknologi solar rooftop dan baterai dapat menjadi ancamanan bagi PLN. Aplikasinya di skala rumah tangga dan komersial dengan harga yang kompetitif dalam 5-10 tahun mendatang dapat memangkas kebutuhan dan permintaan listrik pelanggan rumah tangga dan komersial dari PLN. Akibatnya kapasitas PLTU yang terbangun akan idle, “ kata Fabby.

Faktor lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah menurunnya pertumbuhan permintaan listrik sejak 2013 dapat berlanjut di tahun-tahun mendatang. Penurunan pertumbuhan ini terjadi karena terjadi efisiensi pada sisi pelanggan listrik dan berkurangnya penggunaan listrik dari segmen konsumen industri akibat relokasi, efisiensi mesin, dan pengurangan volum produksi.

“Memang tidak mudah memperkirakan beban listrik dalam 5-10 tahun mendatang karena faktor-faktor penentunya sangat dinamis dan sukar ditebak. Profil permintaan listrik saat ini tidak sama dengan 10-15 tahun lalu, saat itu kebutuhan listrik naik pesat diatas laju pertumbuhan ekonomi. Saat ini laju pertumbuhan listrik sudah dibawah laju pertumbuhan ekonomi, dan kemungkinan trend ini akan terus berlanjut. Jika ini terjadi, maka risiko terjadinya over-supply pembangkit cukup tinggi,“ tambah Fabby.

Pasokan yang berlebih (over supply) pembangkit yang dibangun oleh PLN dan swasta (IPP) dapat memicu terjadinya stranded asset (aset mangkrak), karena kapasitas yang sudah dibangun tidak dibeli listriknya oleh pelanggan PLN. Dampaknya adalah beban keuangan yang harus ditanggung oleh PLN dan IPP meningkat, dan dapat memicu kerugian finasial PLN.

Risiko peningkatan biaya pembangkitan listrik akibat kenaikan biaya energi primer, khususnya batubara dan BBM, seperti yang terjadi saat ini pada PLN, sesungguhnya dapat dimitigasi dengan membangun lebih banyak pembangkit energi terbarukan yang biaya listriknya tidak terpengaruh harga bahan bakar. Dengan demikian konsumsi energi primer dapat dikurangi secara perlahan.

Menurut IESR, pembangunan pembangkit energi terbarukan skala besar di sistem Jawa-Bali secara teknis dimungkinkan, asalkan PLN dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) bisa keluar dari dogma perencanaan listrik yang konvensional dengan memberi ruang penetrasi energi terbarukan yang lebih besar. Walaupun biaya teknologi energi terbarukan di dunia turun drastis dalam sepuluh tahun terakhir, biaya investasi energi terbarukan di Indonesia masih relatif tinggi. Hal ini disebabkan karena faktor risiko yang masih dinilai tinggi dan mempengaruhi bankability project, tingginya biaya pengadaan lahan, dan suku bunga domestik.

Dari pengalaman negara lain, biaya investasi akan turun seiring dengan peningkatan kapasitas pembangkit energi terbarukan. Oleh karena itu, pembangunan pembangkit energi terbarukan yang bersifat intermittent seperti surya (PLTS dan rooftop solar) dan bayu perlu ditingkatkan hingga 1000-2000 MW untuk membuat biaya investasi turun.

Menurut kajian dari International Renewable Energy Agency (IRENA), potensi pembangkit energi terbarukan yang dapat dibangun di Indonesia mencapai 7 GW per tahun sampai 2030, 3,1 GW diantaranya adalah teknologi PLTS dan rooftop.

Pendekan dan strategi inilah yang tidak tampak dalam penyusunan RUPTL 2018-2027. Menteri Jonan berkali-kali mendesak harga listrik energi terbarukan turun, bahkan lebih murah daripada harga listrik PLTU tetapi sejauh ini pemerintah tidak memiliki kerangka kebijakan yang komprehensif dan strategi yang terarah dan terukur bagaimana mencapai harga energi terbarukan yang lebih kompetitif. Yang terjadi adalah Menteri ESDM justru membuat aturan yang menghambat investasi energi terbarukan melalui penerbitan Permen ESDM No. 50/2017.

IESR mendesak agar KESDM dan PLN mempertimbangkan ulang upaya mengurangi porsi energi terbarukan dalam RUPTL, selain dapat meningkatkan risiko PLN jangka panjang tapi juga akan semakin memperburuk persepsi risiko dan investasi energi terbarukan di Indonesia.

“Investor akan memandang bahwa pemerintah Indonesia plin-plan, karena tidak konsisten dengan target yang dibuat sendiri, yaitu 23% bauran energi terbarukan pada 2025. Selain itu pemerintah juga bakal dinilai tidak memiliki komitmen untuk berkontribusi pada upaya penurunan emisi gas rumah kaca global, sebagaimana komitmen Presiden Joko Widodo tahun 2015 lalu. Menteri ESDM yang akan mengesahkan RUPTL harus memahami konsekuensi persepsi investor di bidang energi yang semakin negatif,” imbuh Fabby.

Jakarta, 23 Februari 2018

Kontak media:
Yesi Maryam |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477

Siaran Pers: Perlu Revisi Aturan Sektor ESDM untuk Perbaikan Iklim Investasi Energi Terbarukan di Indonesia

Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut positif penataan regulasi di sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pencabutan 32 aturan di sektor ESDM yang disampaikan oleh Menteri ESDM Ignatius Jonan hari ini (5/2) di Jakarta.

 

“Meski demikian, pencabutan 32 aturan ini tidak cukup memadai untuk mendorong investasi karena yang diperlukan justru revisi atau pencabutan peraturan-peraturan yang dihasilkan dalam 1,5 tahun terakhir,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

 

Menurut Menteri ESDM, penataan ini merupakan respon atas arahan Presiden untuk mengurangi perizinan dan mengurangi peraturan, sebuah langkah yang dipandang perlu sebagai upaya untuk mendorong kegiatan usaha dan investasi.

 

Penelusuran yang dilakukan IESR terhadap pencabutan aturan di bidang EBTKE menunjukkan pencabutan berbagai peraturan ini sesungguhnya tidak berkaitan dengan penyederhanakan proses bisnis, memberi kepastian investasi, atau kepastian yang lebih baik bagi pelaku usaha. Pencabutan berbagai peraturan ini pada dasarnya terjadi karena peraturan-peraturan tersebut secara default tidak akan dapat dijalankan karena lahirnya aturan-aturan baru yang disusun oleh Menteri Jonan

 

Misalnya pencabutan Permen ESDM No. 19/2015, Permen ESDM No. 19/2016, Permen ESDM No. 18/2012, dan Permen ESDM No. 21/2016 merupakan konsekwensi logis setelah Menteri ESDM mengeluarkan Permen ESDM No. 12/2017 dan No. 50/2017. Kedua Permen tersebut mencabut insentif feed-in tariff untuk energi terbarukan yang digantikan dengan kebijakan harga energi terbarukan dengan referensi BPP PLN. Peraturan baru ini membatalkan beleid yang ada di peraturan-peraturan sebelumnya.

 

Pencabutan Permen ESDM No. 13/2012 mengenai Penghematan Pemakaian Tenaga Listrik, pada dasarnya dilakukan karena upaya penghematan pemakaian listrik yang dimandatkan dalam peraturan tersebut praktis tidak terjadi selama masa kepemimpinan Menteri Jonan. Di tengah-tengah upaya PLN menaikkan penjualan listrik untuk mengatasi rendahnya pertumbuhan permintaan, pencabutan Permen ini juga dipandang sebagai upaya mendorong konsumsi listrik di gedung pemerintah dan BUMN.

 

IESR menilai pencabutan aturan-aturan di bidang Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) harus dibarengi dengan evaluasi yang terbuka atas berbagai peraturan yg dibuat oleh Menteri ESDM dalam kurun waktu 1,5 tahun terakhir. Menteri ESDM dinilai rajin mengeluarkan peraturan yang tidak didahului dengan kajian legal dan teknis-ekonomis yang memadai.

 

Dalam hal pengembangan energi terbarukan, Permen ESDM No. 50/2017 menjadi penghambat pengembangan pembangkit energi terbarukan dan menyebabkan proyek energi terbarukan tidak bankable karena ketentuan harga beli dengan referensi BPP dan adanya ketentuan BOOT.

 

Demikian juga kehadiran Permen ESDM No. 1/2017 akibat ketidakjelasan dalam klasifikasi jenis pembangkit paralel justru menjadi penghambat pengembangan surya atap/solar rooftop. Padahal menurut IRENA (2017), potensi instalasi teknologi listrik surya mencapai 3,1 GW per tahun, di mana sekitar 1 GW merupakan potensi dari solar rooftop dan 2 GW untuk PLTS (ground mounted solar).

 

“Untuk memenuhi arahan Presiden perihal investasi dan kemudahan usaha untuk menstimulus pengembangan energi terbarukan, Menteri ESDM justru perlu merevisi atau mencabut berbagai aturan yang dibuat selama tahun 2017 alih-alih mengurangi peraturan yang tidak relevan. Berbagai peraturan yang dibuat selama tahun 2017 justru menghambat investasi energi terbarukan,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

 

“Lambatnya realisasi investasi dari 68 kontrak (PPA) pembangkit energi terbarukan yang telah ditandatangani dengan PLN tahun lalu menunjukan bahwa pihak pengembang kesulitan mencapai financial closing dan mendapatkan dukungan pembiayaan dari perbankan,” tambahnya.

 

Dalam hal pengembangan energi terbarukan, pemerintah juga diminta untuk mendukung usulan pembentukan RUU Energi Terbarukan di DPR. RUU ini merupakan salah satu cara untuk memberikan kepastian regulasi bagi pengembangan energi terbarukan dalam jangka panjang, untuk memenuhi target bauran energi terbarukan sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Umum  Energi Nasional (RUEN)

 

Jakarta, 5 Februari  2018

 

Kontak media:
Yesi Maryam |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477

Siaran Pers: IESR Apresiasi Pemerintah Dalam Mencapai Target Rasio Elektrifikasi Sebesar 94,91%, Saatnya Tingkatkan Kualitas Pasokan Listrik

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) melalui Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rabu (10/1) lalu mengumumkan tentang pencapaian rasio elektrifikasi Indonesia sepanjang tahun 2017 sebesar 94,91%. Angka ini melebihi dari dari target yang direncanakan sebesar 92,75%.

“Pencapaian target rasio elektrifikasi tahun 2017 sebesar 94,91% merupakan keberhasilan yang perlu diapresiasi. Namun pemerintah melalui Kementerian ESDM juga perlu menjelaskan bagaimana perhitungan pencapaian angka tersebut. Apakah pencapaian ini juga mengikutsertakan program Listrik Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) atau tidak” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform di Jakarta, Jum’at (12/1).

Menurut Fabby, Kementerian ESDM tidak bisa memasukan program  LTSHE sebagai bagian dari pencapaian target rasio elektrifikasi karena LTSHE adalah program pra elektrifikasi dan bukan untuk pemberian akses listrik.

Sebagai bentuk transparansi dan akurasi informasi, Kementerian ESDM, ujar Fabby, perlu menyampaikan kepada publik mengenai definisi rasio elektrifikasi, tingkat pelayanan atau jam rata-rata listrik menyala, dan sumber data untuk rasio elektrifikasi. Sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang sesungguhnya mengenai kondisi ketenaga listrikan di Indonesia.

Pemerintah juga perlu bekerja lebih keras  untuk mencapai target rasio elektrifikasi sesuai target RPJMN sebesar 97% pada akhir 2019. Mengingat kondisi geografis dan sebaran penduduk yang tidak merata dan lokasi yang terpencil, upaya pelistrikan hendaknya dilakukan melalui pengembangan sumber energi terbarukan setempat yang dikombinasikan dengan mini-grid.

“Metode ini jauh lebih cost-effective ketimbang opsi perluasan jaringan dan penggunaan  Pembangkit Listrik Tenaga Diesel atau Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTD/PLTMG), sehingga dapat mengurangi biaya produksi listrik PT PLN. Pemanfaatan energi terbarukan utk penyediaan akses listrik juga penting dalam kaitannya dengan upaya penurunan emisi GRK dalam pencapaian target Pemerintah dalam NDC. IESR mendukung pemerintah dalam upaya penurunan emisi GRK melalui pengembangan energi terbarukan.” jelas Fabby.

Ketersediaan akses listrik perlu dibarengi dengan perbaikan kualitas layanan listrik untuk memaksimalkan manfaat yang diterima dan dampak yang dihasilkan. Waktu listrik menyala di masyarakat yang baru menerima listrik harus dapat dijamin ketersediaan listrik diatas 12 jam/hari yang harus ditingkatkan menjadi minimal 18 jam/hari, dan kemudian 24 jam/hari.

Pemerintah juga diharapkan untuk meningkatkan koordinasi berbagai proyek elektrifikasi yang dilakukan dengan anggaran PLN, belanja Kementerian dan Lembaga dan dana transfer seperti Dana Alokasi Khusus (DAK). Koordinasi menyangkut aspek perencanaan, pembangunan/konstruksi dan pengelolaan pasca COD untuk memastikan keberlanjutan layanan dan biaya produksi yg efektif dan efisien.

Jakarta, 12  Januari 2018

Kontak media:
Yesi Maryam |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477

Siaran Pers: Pembangunan Energi Bersih Menghadapi Tantangan Internal di 2017 dan Ketidakpastian di 2018

Tahun 2017 merupakan tahun ketidakpastian untuk penyediaan energi terbarukan di Indonesia. Sepanjang tahun 2017 ini pemerintah telah mengeluarkan 14 peraturan/kebijakan yang signifikan terkait listrik dan akses listrik serta energi terbarukan. Ke-14 peraturan/kebijakan tersebut terdiri dari 2 Perpres, 12 Permen ESDM, dan 2 Kepmen ESDM.

“Sepanjang tahun 2017 ini terdapat perubahan kebijakan pemerintah (khususnya ESDM) yang cukup dinamis – rata-rata 5,5 bulan, terkait tarif tenaga listrik, pokok-pokok perjanjian jual beli listrik dan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Perubahan ini tidak selalu berdampak postitif bagi pengembangan energi terbarukan, bahkan cenderung negatif” kata Fabby Tumiwa, selaku Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam paparannya mengenai tinjauan energi bersih 2017 di Indonesia Clean Energy Outlook 2018 & Stakeholders Dialogue.

Kebijakan Feed in Tariff (FiT) yang sebelumnya menjadi insentif untuk mendorong investasi energi terbarukan tergusur dengan kebijakan baru, yang mendorong kompetisi harga energi terbarukan dengan harga energi dari pembangkit fosil yang mengacu pada BPP yang ditetapkan Peraturan Menteri ESDM No. 12/2017 jo No. 43/2017, yang kemudian diganti dengan Peraturan Menteri ESDM No. 50/2017.

Adanya peraturan ini memicu menurunnya kepercayaan dan daya tarik investor terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia. Pada 2017, Indonesia keluar dari 40 negara dengan peringkat indeks daya tarik investasi energi terbarukan atau Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) yang dikeluarkan oleh firma E&Y. Pada daftar peringkat RECAI yang dirilis pada Oktober 2016, Indonesia berada pada peringat 38. Adapun pada RECAI yang dirilis pada Mei 2017 dan Oktober 2017, Indonesia tidak lagi berada dalam peringkat tersebut.

Indeks RECAI memberikan gambaran bahwa kualitas kebijakan, regulasi, dan strategi serta kualitas kontrak untuk pengembangan dan pemafaatan energi.

terbarukan menunjukan trend penurunan. Minimnya minat investasi memberikan konsekuensi serius terhadap upaya-upaya untuk mencapai target energi terbarukan sesuai dengan target RPJMN, KEN/RUEN, dan implikasi terhadap kemampuan Indonesia memenuhi target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang disampaikan dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

Indikasi lain terlihat dari pencapaian energi terbarukan yang baru mencapai 7% dari bauran energi nasional tahun 2017. Laju pertumbuhan energi terbarukan selama 5 tahun terakhir terlihat masih rendah dengan laju 0.4% per tahun.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh IESR dengan asosiasi dan pengembang energi terbarukan, sebagian besar pengembang mengeluhkan hilangnya mekanisme FiT, dan bankability proyek energi terbarukan yang tidak layak. Sejumlah pengembang juga menilai adanya tambahan biaya kapasitas paralel sesuai Permen ESDM No. 1/2017 menjadi hambatan  untuk penggunaan energi terbarukan, misalnya pembangkit listrik surya atap. Para pengembang juga mengeluhkan minimnya transparansi proses perumusan kebijakan dan regulasi di bidang listrik dan energi terbarukan selama 2017, dan minimnya dialog antara pemerintah dan pengembang untuk menyamakan perspektif mengenai jargon listrik murah, yang menjadi alasan Menteri ESDM melakukan berbagai perubahan regulasi,

IESR menilai pada 2017 juga menjadi tahun peningkatan akses listrik dan kehandalan pasokan listrik di Indonesia. Hal ini terlihat dari peningkatan rasio elektrifikasi sampai dengan 93.5% pada November 2017 dan peluncuran program akselerasi unuk melistriki desa melalui  program  Lampu  Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) melalui Perpres No. 47/2017 dan Permen ESDM No. 33/2017. Sehingga dapat dikatakan bahwa target peningkatan akses listrik ini masih on-track (97%) untuk mencapai target RPJMN 2019.

Penyesuaian tarif juga telah dilakukan untuk golongan rumah tangga 900 VA. Golongan ini memiliki segmen pelanggan sebanyak 18,5 juta pelanggan di tahun 2017. Waktu penyambungan listrik pun menunjukkan adanya perbaikan dalam peringkat Ease of Doing Business di tahun 2017 – dari peringkat 61 di 2016 menjadi peringkat 49 di 2017.

Pencapaian di tahun 2017 tersebut perlu tetap dikawal untuk tahun 2018 mendatang. Masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan diantisipasi.

di tahun 2018. Diantaranya adalah potensi penurunan pertumbuhan permintaan listrik yang masih berlanjut, partisipasi pihak swasta (IPP) dalam melistriki program 35 GW yang diperkirakan akan “wait and see” terkait ketidakpastian pelaksanaan kontrak-kontrak PPA dengan PT PLN. Penekanan terhadap biaya produksi listrik PLN dan subsidi juga menjadi perhatian dikarenakan adanya potensi kenaikan pelanggan listrik rumah tangga yang memerlukan subsidi serta kenaikan biaya produksi listrik akibat kenaikan harga energi primer (batubara, gas dan BBM). 

Untuk energi terbarukan, perkembangan pembangunan  energi  terbarukan yang off-track dari target RPJMN 2019 – dari target 16% di 2019 hanya tercapai 6,9% hingga tahun 2016. Pencapaian ini perlu  digenjot  dengan kondisi peraturan/kebijakan serta iklim investasi yang mendukung. Dengan adanya mode “wait and see” yang saat ini dilakukan oleh pengembang dan investor, langkah revisi Permen ESDM No. 50/2017 yang akan dilakukan oleh Kementerian ESDM merupakah langkah strategis dan signifikan. 

Jakarta, 21 Desember 2017

####

Tentang IESR

Institute for Essential Services Reform (IESR) adalah sebuah lembaga non- pemerintah yang bergerak dalam bidang kajian kebijakan dan strategi di sektor energi dan sumber daya alam. IESR mendorong mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi semua.

Kontak media:
Yesi  Maryam
yesi@iesr.or.id
081212470477

Kualitas Listrik Pelanggan Belum Merata, Pemerintah Didorong Perkuat TMP

Penyediaan listrik yang handal dan berkualitas masih menjadi persoalan dalam penyediaan layanan listrik di Indonesia. Hal ini terungkap dari hasil pemantauan kualitas listrik PLN oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui project Electricity Supply Monitoring Initiative (ESMI).

ESMI merupakan sebuah inisiatif pemantauan kualitas listrik pada pelanggan yang awalnya dikembangkan oleh Prayas Energy Group, sebuah NGO di India. ESMI menggunakan alat portable Electricity Supply Monitor (ESM), yang dipasang dan dihubungkan ke saluran listrik di rumah pelanggan. ESM akan merekam tegangan setiap menitnya serta frekuensi dan durasi listrik padam yang terjadi, kemudian mengirimkannya datanya ke sebuah server. Dengan ESM, rekaman tegangan dan gangguan listrik di sisi pelanggan dapat dipantau real time. Data yang direkam oleh ESM tersebut diolah dan ditampilkan di website sehingga dapat dilihat dan dipantau pula oleh publik. Metode crowdsourcing ini dapat menyediakan data kualitas listrik dari berbagai lokasi dalam waktu bersamaan.

Diperkenalkan pada publik pada Maret 2015 di India, ESMI sudah diterapkan di beberapa negara, antara lain Indonesia, Tajikistan, dan Tanzania. Pilot project ESMI di Indonesia yang dimulai pada Agustus 2016 mencakup 28 lokasi di 4 provinsi. Alat ESM merekam kualitas listrik di pemukiman dengan berbagai variasi tipe dan kedekatan dengan kawasan lain seperti perkantoran dan industri, serta kawasan komersial dan pertanian.

Hasil pemantauan ESMI yang dapat dilihat melalui http://pantaulistrikmu.id menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang telah mendapatkan pasokan listrik yang memadai seperti Jakarta tetap menghadapi permasalahan seperti pemadaman listrik dan kualitas tegangan yang beragam.

Menurut Dr. Marlistya Citraningrum dari IESR, analisa data ESMI menunjukkan rata-rata durasi listrik padam di wilayah Jabodetabek mencapai 2 jam 9 menit per bulan. Bila dibandingkan dengan besaran Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) tahun 2017, beberapa lokasi merekam lama gangguan yang lebih kecil dibanding nilai TMP area/rayon terdekat. Misalnya untuk Area Distribusi Jakarta Raya, lama gangguan menurut pantauan ESMI lebih kecil dibanding TMP 2017 (5 jam/bulan). Sementara itu, lokasi pemantauan ESMI di Cibinong memiliki lama gangguan rata-rata 5 jam/bulan, lebih besar dibanding TMP Rayon Cibinong sebesar 2 jam 30 menit.

Lain di Jakarta, lain pula di Kupang. Rata-rata pemadaman listrik di Kupang jauh lebih tinggi dibandingkan area Jabodetabek, mencapai 13 jam 9 menit per bulannya. Angka ini juga lebih besar dibanding TMP Rayon Kupang sebesar 10 jam/bulan.

Tegangan listrik yang masuk kategori rendah (< 210 V) juga direkam di lokasi pemantauan ESMI, terutama di wilayah padat penduduk dan pemukiman yang berdekatan dengan area industri. Tegangan merupakan penanda kualitas listrik yang tak terlihat, dan tegangan rendah yang terekam di beberapa lokasi pemantauan ESMI menunjukkan bahwa kualitas listrik di tingkat pelanggan masih perlu diperbaiki. Sesuai TMP tahun 2017 untuk Area Distribusi Jakarta Raya dan Rayon Kupang, tegangan yang di tingkat pelanggan seharusnya paling rendah 198 V. Meski begitu, beberapa lokasi pemantauan ESMI merekam tegangan di bawah 180 V.

Perbedaan pola konsumsi listrik di Jabodetabek dan Kupang juga terlihat, di mana banyak lokasi di Jabodetabek mengalami MCB trip (sekring “turun”), sementara di Kupang tidak ditemukan kasus ini. Fenomena MCB trip ini dapat disebabkan karena penggunaan alat elektronik yang banyak dalam waktu bersamaan atau ketidakstabilan tegangan.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menjelaskan, ESMI dapat mendorong transparansi informasi pencapaian Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) PT PLN, sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kualitas pasokan listrik. “Pemerintah telah memiliki komitmen untuk untuk melistriki 100% wilayah di Indonesia. Namun komitmen tersebut juga harus diimbangi dengan peningkatan kualitas listrik di daerah-daerah yang berlistrik. Dengan demikian pelanggan tidak dirugikan atas dampak yang terjadi dari kualitas listrik yang buruk,” ujar Fabby.

Fabby juga menambahkan hasil ESMI menunjukkan bahwa kualitas infrastruktur ketenagalistrikan masih harus dibenahi dan diperkuat. Menurutnya, PLN harus memberikan perhatian terhadap kualitas dan kehandalan jaringan distribusi.

Pengumpulan data melalui ESMI ini diharapkan dapat menjadi evidence-based data mengenai kualitas listrik di tingkat pelanggan. Dengan data ini, pengambil kebijakan dapat memetakan area di mana kualitas layanan minimum ketenagalistrikan perlu ditingkatkan. Penyedia layanan ketenagalistrikan seperti PLN juga bisa menggunakan data ini untuk melakukan evaluasi dan pemeriksaan operasional di lapangan untuk memenuhi TMP yang ditetapkan oleh pemerintah.

Jakarta, 25 Juli 2017

Ringkasan ESMI

ESMI merupakan inisiatif untuk memantau kualitas listrik di tingkat pelanggan PLN di tegangan rendah. Dengan menggunakan metode crowdsourcing, ESMI merekam data kualitas listrik secara real time, yang kemudian diolah serta ditampilkan kepada publik secara online.

Sebanyak 28 lokasi di 4 provinsi di Indonesia menjadi wilayah percontohan selama Agustus 2016 – Mei 2017. Sejumlah lokasi di Jakarta terpantau mengalami pemadaman listrik yang cukup sering, lebih dari 5 kali per bulan. Beberapa lokasi juga terekam memiliki tegangan dominan rendah, terutama lokasi yang berada di kawasan padat penduduk dan pemukiman yang berdekatan dengan area industri.

Sementara itu Kupang mengalami pemadaman listrik dengan durasi yang lebih lama dan frekuensi yang lebih tinggi dibanding area Jabodetabek. Hasil pantauan ESMI ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan dan penyedia layanan listrik untuk melakukan evaluasi tingkat mutu pelayanan dan meningkatkan kualitas layanan PLN dan memperkuat kehandalan infrastruktur ketenagalistrikan, untuk mewujudkan akses energi di Indonesia yang berkelanjutan.

Tentang Electricity Supply Monitoring Initiative (ESMI)

ESMI merupakan sebuah inisiatif kolaborasi antara antara World Resource Institute (WRI) dan Prayas (Energy Group). Pilot project ESMI di Indonesia dilakukan oleh IESR, di Tajikistan oleh Consumers Union of Tajikistan, dan oleh Energy Change Lab di Tanzania. ESMI merupakan inisiatif yang dikembangkan dan diterapkan di India oleh Prayas (Energy Group), India. Inisiatif ini diperkenalkan ke publik pada Maret 2015 dan saat ini ESM sudah dipasang di ratusan lokasi di seluruh India. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di www.watchyourpower.org atau www.prayaspune.org/peg.