Siaran Pers : Mewujudkan Akses Energi yang Berkeadilan di Indonesia Membutuhkan Keseriusan dan Determinasi Pemerintah

Pemerintah Indonesia didesak agar segera merumuskan proses implementasi Sustainable Energy for All1 (SEfA), diantaranya konsultasi multi-pihak, dan membuat kajian cepat (rapid asessment)/analisa kesenjangan (gap analysis) yang dapat mendukung pembuatan rencana aksi untuk memastikan Indonesia dapat berkontribusi dalam pencapaian target SEfA.

Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menyampaikan bahwa Indonesia relatif pasif dan terlambat dalam melaksanakan tiga hal tersebut diatas sejak menyatakan dukungannya pada inisiatif ini pada bulan Juni 2012. Kajian cepat/analisa kesenjangan sangat penting untuk untuk mengetahui kebutuhan teknologi serta pendanaan yang diperlukan. Tanpa adanya hal tersebut dikuatirkan rencana aksi yang dihasilkan menjadi tidak terarah dan terpadu. Keterlambatan ini tidak hanya berdampak pada hasil yang dicapai, melainkan juga kehilangan kesempatan dukungan internasional.

Di tahun 2011, Sekjen PBB, Ban Ki Moon, meluncurkan inisiatif Sustainable Energy for All (SEfA). SEfA memiliki tiga target untuk dicapai pada tahun 2030: akses universal pada layanan energi modern, penggandaan laju konservasi energi secara global, serta menggandakan komposisi energi terbarukan dalam bauran energi global. Di tahun 2012, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM menyampaikan dukungannya untuk berperan serta mendukung pencapaian ketiga target tersebut.

Indonesia merupakan salah satu negara di yang dinilai memiliki dampak yang tinggi (high impact) dari keberhasilan mengimplementasikan SEfA. Indonesia merupakan salah satu negara yang rakyatnya miskin energi. Menurut IEA (2011), Indonesia memiliki 82 juta populasi tanpa akses listrik dan sekitar 124 juta orang yang bergantung pada biomassa padat tradisional (kayu bakar, arang) untuk memasak. Penggunaan biomassa padat ini menyebabkan penurunan kapasitas paru-paru dan sakit gangguan pernafasan di Indonesia.

Ketiadaan akses dan kekurangan pasokan energi menyebabkan sebagian besar dari mereka tetap sukar keluar dari jerat kemiskinan. Dengan demikian implementasi SEFA di Indonesia dapat mempercepat masyarakat miskin energi ini dapat terpenuhi kebutuhan energinya dan dapat keluar dari jerat kemiskinan.

“Pelaksanaan inisiatif SEFA di Indonesia membantu pemerintah Indonesia untuk memiliki target-target yang terukur dalam mengentaskan kemiskinan energi dengan menyediakan akses energi yang cukup bagi masyarakat miskin, dan mewujudkan keadilan energi di Indonesia,” imbuh Fabby.

Henriette Imelda, spesialis Energi dan Perubahan Iklim dari IESR menyatakan untuk memastikan kemajuan yang terukur Pemerintah Indonesia juga harus membuat serangkaian indikator pencapaian yang dapat diakses dan dimonitor oleh seluruh pihak, sebagai alat memonitor implementasi rencana aksi untuk mencapai target akses universal atas layanan energi modern, energi terbarukan, serta implementasi efisiensi energi di Indonesia. Indikator ini dapat mendukung laporan kemajuan melalui Global Tracking Framework yang telah dirilis oleh SEfA bulan lalu.

Selain itu, pemerintah juga diminta untuk menyiapkan pendanaan yang memadai untuk dapat memenuhi target akses energi, rasio energi terbarukan, serta efisiensi energi. Salah satu sumber pendanaan adalah dengan melakukan pengalihan subsidi BBM dan listrik yang tidak tepat sasaran untuk mendukung pendanaan energi perdesaan.

Kajian yang dilakukan oleh IESR (2012) mengenai sumbatan investasi efisiensi energi di Indonesia menyatakan bahwa subsidi harga energi memberikan sumbatan investasi menjadi tinggi. Kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) sebesar rata-rata 15% di tahun 2013 misalnya, dapat meningkatnya daya tarik investasi. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa sasaran yang ditetapkan melalui Kebijakan Energi Nasional agar elastisitas energi menjadi lebih kecil dari 1 (satu) pada tahun 2025, untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi, dengan kebijakan konservasi dan efisiensi energi yang ada saat ini, tidak akan tercapai. Hal ini disebabkan karena harga energi yang berlaku masih jauh di bawah harga keekonomiannya. Studi yang sama menyatakan bahwa harga energi mendominasi keputusan untuk melakukan proyek efisiensi energi dan konservasi energi.

Subsidi energi yang saat ini ada di Indonesia juga melemahkan daya saing layanan energi dari energi terbarukan, dimana harga produksi yang tinggi tidak didukung oleh insentif dari pemerintah yang sepadan. Dengan harga produk yang tinggi, tidak mungkin energi terbarukan mampu berkompetisi dengan bahan bakar fosil yang disubsidi.

Menurut IESR, keberhasilan untuk mencapai keadilan energi di Indonesia membutuhkan keberanian, konsistensi dan determinasi pemerintah untuk melakukan reformasi subsidi energi. Pemerintah harus berani mengurangi subsidi energi yang tidak tepat sasaran dan mengalokasikan dana tersebut untuk mempercepat pembangunan energi perdesaan, mengembangkan energi terbarukan dan mendorong investasi efisiensi energi.

Jakarta, 19 Juni 2013

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

  • Henriette Imelda, HP: 081383326143 Email: imelda@iesr.or.id
  • Fabby Tumiwa, HP: 0811949759 Email: fabby@iesr.or.id

Siaran Pers : Pencapaian Target Efisiensi Energi di Indonesia Membutuhkan Dukungan Kebijakan dan Aksi untuk Menghilangkan Hambatan Investasi untuk Proyek Efisiensi Energi

Pertumbuhan energi di Indonesia dalam satu dekade terakhir cenderung boros dan tidak produktif. Kondisi ini ditunjukkan dengan tingginya elastisitas energi Indonesia yang mencapai 2,69, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Thailand sebesar 1.1 dan 1.4, atau negara-negara OECD yang berada pada kisaran 0.6-1. Continue reading

Siaran Pers : Pencapaian Target Efisiensi Energi di Indonesia Membutuhkan Dukungan Kebijakan dan Aksi untuk Menghilangkan Hambatan Investasi untuk Proyek Efisiensi Energi

Pertumbuhan energi di Indonesia dalam satu dekade terakhir cenderung boros dan tidak produktif. Kondisi ini ditunjukkan dengan tingginya elastisitas energi Indonesia yang mencapai 2,69, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Thailand sebesar 1.1 dan 1.4, atau negara-negara OECD yang berada pada kisaran 0.6-1. Kajian yang dilakukan oleh IESR dan Tim Program Studi Pembangunan ITB tahun 2012, yang didukung oleh British Embassy Jakarta, menunjukkan bahwa tanpa adanya intervensi terhadap trend ini, diperkirakan elastisitas energi akan lebih tinggi daripada 3 pada tahun 2025 mendatang.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), menyatakan trend pemborosan energi tidak boleh dibiarkan karena dampaknya yang mempercepat laju pengurasan energi, memperburuk perubahan iklim, dan melemahkan daya saing ekonomi nasional.

Potensi penghematan energi di Indonesia cukup besar. Data kementerian ESDM menunjukkan potensi penghematan energi di sektor industri, bangunan komersial, transportasi dan rumah tangga berkisar antara 15-30%. Target penurunan energi sebesar 18% dari business-as-usual pada tahun 2025 sesuai RIKEN setara dengan penundaan pembangkit listrik dengan kapasitas sebesar 7000 MW secara kumulatif, atau sekitar 600-700 MW setiap tahun yang dapat ditunda pembangunannya. Penundaan pembangunan pembangkit listrik dapat memberikan penghematan investasi pada sisi pasokan listrik dan infrastruktur pendukung senilai $ 0.9-1 milyar per tahunnya atau $ 9-10 milyar hingga 2025.

“Penundaan penambahan kapasitas pembangkit listrik ini sangat membantu sektor listrik di Indonesia karena mampu mengurangi tekanan fiskal untuk menyediakan investasi listrik, memperkuat pengelolaan infrastruktur dan pasokan tenaga listrik, sekaligus menurunkan emisi GRK nasional,” kata Fabby.

Penghematan energi dapat dicapai melalui perubahan perilaku konsumsi energi yang lebih hemat, maupun investasi teknologi-teknologi yang dapat menghemat energi di industri dan bangunan komersial. IESR mencatat bahwa potensi konservatif investasi energy for equitable developmentInstitute for Essential Services Reform untuk proyek efisiensi energi untuk sektor industri dan bangunan gedung di Indonesia mencapai $1,4 miliar dan dapat berkembang hingga $9,7 miliar jika cogeneration industri juga diperhitungkan. Potensi ini adalah salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Jika investasi ini dapat terjadi maka nilai penghematan energi setiap tahunnya dapat mencapai $ 270 juta bahkan lebih.

Untuk dapat mendorong mengalirnya investasi ke proyek efisiensi energi, pemerintah harus mengerahkan upaya untuk mengurangi hambatan investasi di kegiatan efisiensi energi yang terdiri dari kebijakan dan regulasi yang terukur dan dapat dapat diperkirakan, penerapan mekanisme compliance terhadap pengguna energi diatas 6000 TOE yang wajib melakukan tindakan konservasi energi, penguatan standarisasi dan kapasitas Energy Service Company atau ESCO melalui standarisasi dan sertifikasi yang didukung dengan pengembangan kapasitas teknis dan finansial, pembentukan fasilitas pendanaan publik untuk proyek efisiensi energi yang dapat menarik pendanaan swasta, serta mengoreksi subsidi energi

“Subsidi energi menjadi salah satu penghambat utama aliran investasi untuk kegiatan efisiensi energi di Indonesia. Subsidi energi menyebabkan investasi efisiensi energi menjadi tidak feasible and bankable. Berbagai insentif fiskal yang diberikan pemerintah pun berkurang daya tarik dan dampaknya karena diredam oleh subsidi energi,” kata Fabby Tumiwa.

Penghapusan subsidi energi untuk industri dan bangunan komersial, yang disertai dengan tindakan lain yang menghilangkan hambatan investasi energi dapat mempercepat realisasi investasi pada kegiatan efisiensi energi.

Jakarta, 20 Maret 2013

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

Fabby Tumiwa
Tel: +62-811-949759
Email: fabby@iesr.or.id

Siaran Pers : Saatnya Pemimpin ASEAN Membahas Instrumen Tata Kelola Industri Ekstraktif dalam Kerjasama Ekonomi ASEAN

Jakarta (IESR), 7 November 2011. Masyarakat Sipil mendesak para pemimpin ASEAN supaya mendukung implementasi Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) di kawasan ini, serta segera menyiapkan kerangka kerja bersama untuk pengelolaan sumber daya minyak, gas dan mineral untuk peningkatan kesejahteraan setiap negara anggota ASEAN, pengurangan kemiskinan dan perbaikan kualitas pembangunan manusia untuk mencapai komunitas ASEAN yang makmur dan sejahtera. Demikian pernyataan Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR).

Kawasan Asia Tenggara memiliki potensi sumber daya minyak, gas dan mineral yang relatif besar, dan belum sepenuhnya dieksplorasi dan dieksploitasi. US Geological Survey (USGS, 2010) memperkirakan bahwa kawasan Asia Tenggara memiliki potensi cadangan minyak sebesar 26,1 milyar barrel minyak dan 299 triliun meter kubik gas alam yang belum ditemukan. Data USGS (2007) juga mengungkap adanya potensi sumber daya mineral yaitu tembaga, platina, dan potassium (potash), termasuk juga mineral-mineral lainnya seperti emas, nikel, fosfor, seng, timah yang cukup besar di hampir seluruh wilayah Asia Tenggara.

Berbagai Kecenderungan hingga sekarang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi ASEAN ditopang oleh eksploitasi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya ekstraktif, yang berfungsi sebagai sumber pendapatan dari negara-negara kaya sumberdaya tersebut. Eksploitasi sumberdaya ekstraktif juga ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku untuk produksi barang serta pasokan energi sebagaimana yang kecenderungan saat ini,” kata Fabby.

Indonesia  selama bertahun-tahun mengandalkan penerimaan sektor Migas, yang saat ini mencapai 30% dari total APBN. Brunei mengandalkan 85% pendapatan dari Migas untuk pembangunan negaranya. Sementara itu, sektor migas Vietnam berkontribusi 15-20% terhadap APBN, dan terus meningkat setiap tahunnya.

Walaupun demikian, kemungkinan sumber daya ekstraktif tidak dimanfaatkan dalam upaya memberikan kesejahteraan bagi rakyat, dan peluang negara-negara ASEAN yang kaya sumber daya ekstraktif terperangkap dalam kutukan sumber daya (resource curse) masih  cukup  besar. Penyebabnya adalah tingkat korupsi yang masih tinggi, khususnya di negara-negara yang ekonominya mulai tumbuh, Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam, serta Indonesia dan Philippines (lihat lampiran 1).

Padahal, keberhasilan tercapainya tujuan Komunitas ASEAN 2015 akan sangat ditentukan, tidak hanya oleh kemampuan negara-negara anggota ASEAN untuk mengimplementasikan berbagai rencana yang telah disepakati dalam ke-3 pilar ASEAN (politik dan keamanan, ekonomi, sosial dan budaya), tetapi juga kemampuan untuk membiayai berbagai rencana aktivitas ekonomi dan sosial dan menciptakan kondisi untuk iklim  investasi yang sehat.

Korupsi akan berdampak hilangnya peluang pendapatan bagi negara dari sektor ekstraktif, yang berakibat berkurangnya kemampuan pembiayaan pembangunan , selain daripada itu memperburuk iklim investasi di berbagai sektor ekonomi yang diperlukan oleh ASEAN untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah dicanangkan.

Di sektor ekstraktif seperti migas dan pertambangan, tata kelola yang buruk tidak hanya berdampak pada berkurangnya penerimaan negara, tetapi juga menciptakan ketidakamanan energi kawasan karena penguasaan sumber daya energi oleh negara- tertentu di luar ASEAN untuk kepentingan keamanan energi negara tersebut.

Solusinya menurut IESR, dalam jangka pendek adalah diadopsinya EITI sebagai sebuah standar kualitas global untuk penerimaan negara dari industri migas dan pertambangan/mineral oleh negara-negara ASEAN, dan jika diperlukan pengembangan kapasitas bagi negara-negara tersebut dalam mengimplementasikan EITI.  Di ASEAN baru Indonesia yang menerapakan EITI melalui Perpres 26/2010, serta diterima sebagai negara kandidat EITI sejak Oktober 2010 lalu.

EITI juga menciptakan ruang yang lebih luas bagi setiap pemangku kepentingan untuk terlibat memastikan bahwa penerimaan negara dari industri ekstraktif telah sesuai dengan jumlah sumber daya yang diekstraksi.

Dalam jangka menengah, para pemipin ASEAN juga dapat mulai membahas sebuah kerangka kerja dan kesepakatan ASEAN untuk pengelolaan sektor industri ekstraktif yang implementasinya mengikat negara anggota ASEAN dalam hal pengelolaan sumber daya energi dan mineral di seluruh negara anggota ASEAN paska 2015.

Adopsi dan implementasi EITI dan penetapan sebuah Kerangka Kerja ASEAN untuk industri ekstraktif merupakan sebuah langkah awal untuk memastikan agar kutukan sumber daya alam tidak terjadi melainkan terwujudnya masyarakat yang maju dan sejahtera untuk mencapai tujuan ASEAN,” kata Fabby.

Kertas Posisi IESR untuk Rio+20 : Peningkatan Akses Pada Layanan Energi Merupakan Hal Krusial untuk Menunjang Pembangunan Berkelanjutan

Kertas Posisi IESR Untuk Rio+20Dalam rangka 20 tahun KTT Bumi di Rio de Janeiro, PBB kembali mengadakan sebuah pertemuan tingkat tinggi yang disebut dengan Rio+20 pada bulan Juni tahun 2012 mendatang. Beberapa hal yang akan dibahas berkisar pada ekonomi hijau yang ada dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan penanggulangan kemiskinan, serta pembahasan mengenai kerangka institusi yang ada (khususnya badan-badan PBB) terkait dengan pembangunan berkelanjutan.

Untuk itu, UNCSD (United Nation Conference on Sustainable Development), beserta dengan badan-badan PBB lainnya, memberikan kesempatan bagi seluruh pemangku kepentingan yang ada untuk memberikan masukannya tentang hal-hal apa yang harus menjadi perhatian seluruh pihak menjelang KTT Bumi mendatang.

Seluruh masukan ini kemudian akan dikompilasi menjadi sebuah dokumen yang bernama Zero Draft Document. Pemangku kepentingan yang diakui adalah negara-negara anggota (member states), major groups (terdiri dari sembilan kategori; salah satunya adalah NGO), badan-badan PBB, dan beberapa lembaga lainnya.

Dalam konteks tersebut, IESR sebagai salah satu major groups, memberikan input kepada UNCSD mengenai topik pembahasan yang harus dilakukan di KTT Bumi 2012. IESR berpendapat bahwa Rio+20 harus keluar dengan keputusan yang konkrit serta langkah implementasi yang doable disertai dengan komitmen politik dari masing-masing pihak untuk melakukannya.

IESR berpendapat bahwa hal yang sangat krusial untuk diselesaikan berhubungan dengan kemiskinan energi. Dimana kemiskinan energi ini terjadi bukan hanya karena kemiskinan secara ekonomi, namun juga karena kurangnya (atau bahkan tidak ada) akses pada fasilitas yang memadai pada layanan energi yang layak. IESR juga memandang bahwa masalah energi harus diselesaikan dengan mengutamakan pilihan-pilihan energi bersih, penekanan pada non-batu bara dan non-nuklir.

IESR berpendapat bahwa optimalisasi energi terbarukan menjadi salah satu sumber energi, harus dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghilangkan dan/atau mereformasi subsidi bahan bakar fosil, yang karenanya membuat bahan bakar fosil menjadi lebih menarik dari segi harga ketimbang layanan energi yang dihasilkan dari energi terbarukan.

IESR juga berpendapat bahwa perlu adanya pendanaan khusus untuk energi untuk memastikan akses pada layanan energi dapat dinikmati oleh semua orang. Selain itu, program transfer teknologi global yang dapat diakses oleh semua, juga perlu untuk diberlakukan.

Posisi IESR juga dapat dilihat di website resmi Rio+20

 

Peringati Hari Aksi Global, 5 Organisasi Serukan Efisiensi Energi

Peringati Hari Aksi GlobalJakarta (23/09)-Dalam rangka memperingati hari aksi global (Global Day of Action) yang dirayakan di seluruh dunia pada 24 September 2011, lima organisasi yakni WWF-Indonesia, Greenpeace, 350.org, Greeners, dan IESR (Institute for Essential Services Reform) menggelar aksi bersama melawan pemborosan energi melalui “Moving Planet.”

Moving Planet adalah aksi global yang didekasikan untuk membebaskan bumi dari ketergantungan terhadap energi fosil. Ribuan aksi secara bersamaan akan digelar pada 24 September di ratusan negara di seluruh dunia.

Di Indonesia sendiri, beberapa kegiatan “Moving Planet” dipusatkan di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali. Salah satunya adalah gerakan 350 jam Indonesia Bersepeda. Mulai 13 hingga 24 September 2011, para pesepeda menggowes sejauh 1000 km melintasi Bali-Yogyakarta-Bandung. Menurut sumber IESR , tiap orang yang melakukan aksi tersebut telah berhasil menghemat 14.764 gram CO2.

Tidak hanya itu, Jumat, 23 September 2011, WWF-Indonesia sebagai salah satu penyelenggara “moving planet” di Indonesia menggekar Diskusi Media dengan tajuk “Hentikan Candu Energi Fosil.” Sementara untuk puncak aksi, akan dipusatkan di depan Gedung Sate, Bandung. Selain masyarakat umum, 28 komunitas sepeda akan bergabung di lokasi tersebut untuk menyambut kedatangan rombongan Indonesia Bersepeda.

Menurut Koordinator Kampanye Moving Planet Wilayah Asia, Rully Prayoga, “Moving Planet” juga digelar di negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand bersama hampir semua negara di Asia Timur dan 192 negara lainnya yang berupaya mengurangi tingkat konsumsi energi fosil menuju penggunaan energi terbarukan.

“Kami berharap Asia bebas energi fosil tahun 2020 dengan perubahan dramatis, progresif, dan revolusioner. Dimulai dari gaya hidup warga negaranya serta aksi kebijakan pemerintahnya,” jelasnya.

Sementara Direktur Program Iklim dan Energi WWF-Indonesia Nyoman Iswarayoga menyatakan, awal tahun 2011, WWF meluncurkan Energy Report yang menyebutkan bahwa di tahun 2050, seluruh kebutuhan energi dunia dapat dipenuhi dari sumber energi terbarukan . Artinya, kebutuhan energi global dapat tercukupi tanpa bahan bakar berdasar minyak bumi, gas alam, batubara, dan nuklir.

“Untuk mencapai target 2050, visi 25% energi terbarukan tanpa nuklir dalam bauran energi nasional hingga 2025 merupakan tahap awal yang harus dilakukan. Pemerintah RI perlu memberikan komitmen yang lebih agresif dan nyata terhadap penyediaan dan pemanfaatan energi terbarukan serta mendorong efisiensi energi dalam kebijakan energi nasional. Kedepan, energi listrik akan menjadi tumpuan untuk pemenuhan kebutuhan energi modern yang lebih bersih di banyak sektor,” imbuhnya.

Pernyataaan serupa juga disampaikan oleh Arif Fiyanto, Team Leader Climate & Energy Campaign dari Greenpeace Southeast Asia – Indonesia, “Solusi mutlak agar Pemerintah RI lepas dari ketergantungan terhadap bahan bakar fosil adalah penghapusan hambatan terhadap pengembangan energi terbarukan, penyusunan regulasi dan legislasi yang mendorong pengembangan energi terbarukan, serta pengalihan subsidi yang selama ini dinikmati oleh bahan bakar fosil kepada energi terbarukan.”

Sementara Syaiful Rochman dari Greeners Indonesia menekankan pentingnya pemerintah RI untuk mengakomodir dan melindungi masyarakat yang telah dan akanmenggunakan energi terbarukan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang lebih ramah lingkungan, contohnya para pesepeda ke tempat mereka beraktifitas.

Seruan untuk pemerintah pun datang dari IESR (Institute for Essential Services Reform), Yesi Maryam. Menurutnya pemerintah harus segera melakukan reformasi subsidi bahan bakar berbasis fosil, mengalihkan anggaran tersebut untuk pengembangan energi yang terbarukan yang lebih bersih serta berkelanjutan, dan harus memastikan agar kelompok masyarakat kurang mampu dan berada di wilayah terpencil memiliki akses mendapatkan bahan bakar.

Siaran Pers : Saatnya Pemerintah Serius Melakukan Reformasi Subsidi Energi

Jakarta, 5 Juli 2011. Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Global Subsidies Initiative (GSI) menemukan sejumlah fakta yang menunjukkan bahwa subsidi listrik dan BBM dalam lima tahun terakhir di APBN semakin meningkat. Bahkan, jumlahnya lebih besar dari total anggaran yang dialokasikan untuk kesehatan, pendidikan dan jaminan sosial, dan setara dengan kombinasi ketiganya ditambah dengan anggaran untuk pertahanan dan keamanan. Subsidi energi mencapai 15-18 persen dari total realisasi APBN dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Pada tahun 2011, anggaran subsidi BBM, LPG dan listrik mencapai Rp. 137 triliun dan diperkirakan dapat mengalami pembengkakan hingga Rp. 160-170 triliun rupiah, akibat kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional yang sudah melebihi asumsi APBN 2011 serta kenaikan volume BBM bersubsidi, ditambah lagi dengan kenaikan konsumsi BBM untuk pembangkit listrik akibat terlambatnya program percepatan PLTU 10 ribu MW. Sedangkan pada tahun 2012, subsidi energi diperkirakan mencapai lebih dari Rp. 180 triliun.

“Pemerintah harus segera melaksanakan upaya reformasi pemberian subsidi energi yang semakin tinggi, seiring dengan kenaikan konsumsi dan harga energi di Indonesia. Reformasi tersebut dapat dilakukan melalui rasionalisasi dan penetapan target penerima manfaat subsidi yang lebih ketat, serta dukungan kebijakan mitigasi untuk mengantisipasi dampak dari reformasi subsidi energi tersebut” kata Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR).

Selain itu, karena subsidi tidak dibatasi, penerima manfaat subsidi BBM terbesar justru kelompok masyarakat yang mengkonsumsi BBM dalam jumlah banyak, yaitu kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi. Bahkan, kelompok masyarakat dengan penghasilan terendah, tidak menikmati subsidi BBM sama sekali. Fakta ini menyalahi tujuan awal adanya kebijakan subsidi BBM dan listrik.

Kebijakan subsidi BBM dan listrik yang tidak rasional dan salah sasaran mengakibatkan naiknya resiko fiskal APBN.

“Kenaikan subsidi akibat fluktuasi harga minyak dan kenaikan volume bahan bakar mengakibatkan kenaikan defisit anggaran, yang dibarengi dengan kenaikan jumlah utang pemerintah serta biaya utang tersebut. “ kata Fabby Tumiwa.

Dalam jangka panjang, beban fiskal ini harus ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk sebagian besar kelompok masyarakat yang hanya menikmati sebagian kecil subsidi BBM.

Kerryn Lang dari GSI menyatakan bahwa reformasi subsidi energi harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di setiap negara. Dalam tahap persiapan maupun implementasinya harus mempertimbangkan sejumlah hal: kajian tentang biaya dan manfaat kebijakan subsidi, dampak penghapusan atau pembatasan subsidi, komunikasi dan konsultasi dengan beragam pemangku kepentingan, serta kebijakan komplementer yang dapat mengurangi dampak negatif dari penghapusan atau pembatasan subsidi.

Menurut Fabby, subsidi energi tetap dibutuhkan di Indonesia untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan energi bagi masyarakat-khususnya masyarakat miskin dan yang hampir miskin. Untuk itu, tambahnya kebijakan reformasi subsidi energi harus dirancang secara hati-hati untuk mengurangi dampaknya terhadap kelompok miskin dan berpendapatan rendah.

Salah satunya dengan melaksanakan kebijakan komplementer seperti bantuan langsung tunai bersyarat (conditional cash transfer), yang didukung dengan data dan informasi yang lebih transparan dan akuntabel, serta melaksanakan program konversi BBM ke LPG, dengan standar keamanan yang tinggi dan distribusi pasokan LPG yang lebih terjamin.

Adapun untuk masyarakat berpendapatan menengah, reformasi subsidi energi perlu disertai dengan pembangunan sarana infrastruktur transportasi publik dan jaminan sosial yang lebih baik.

“Sudah waktunya pemerintah serius membenahi kebijakan subsidi energi di Indonesia. Yang diperlukan saat ini komitmen dan rencana yang jelas untuk membenahi kebijakan subsidi yang carut marut, yang merugikan kepentingan publik secara luas,” kata Fabby.

####

Media Kontak

Yesi Maryam
Telephone: 08159418667
Email: yesi@iesr.or.id
Untuk berbicara dengan Fabby Tumiwa
Telephone: 0811-949-759 atau 021-7992945
Email: fabby@iesr.or.id

Siaran Pers : Tanggungjawab Sosial Perusahaan (CSR) di ASEAN Harus Menekankan Dimensi “Tanggungjawab”, Seru Masyarakat Sipil dan Para Ahli di ASEAN

2 May, 2011: Ribuan komunitas di penjuru ASEAN hidup dalam ancaman yang serius karena perilaku perusahaan yang tidak bertanggungjawab terus berlanjut. Negara turut terlibat baik dalam keikutsertaannya dalam proyek-proyek yang merusak maupun karena sikapnya yang apatis terhadap ancaman ini.

Masyarakat dari komunitas yang terkena dampak di Burma, Cambodia, Indonesia, Malaysia and Thailand membagi pengalaman mereka dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia yang serius seperti pembunuhan, kerja paksa dan penggusuran yang terjadi karena berbagai proyek yang dijalankan oleh perusahaan dalam dan luar negeri. Pengalaman ini diceritakan pada acara Kesaksian Publik tentang Tanggungjawab Sosial Perusahaan dan ASEAN di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta pada hari ini.

Acara ini diselenggarakan oleh masyarakat sipil dari kawasan Asia Tengggara dalam rangka ASEAN Summit minggu depan. Tanggungjawab Sosial Perusahaan (CSR) adalah salah salah satu studi tematik yang akan dilakukan oleh Komisi Ham ASEAN (The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights/ AICHR).

Lebih dari 130 orang anggota gerakan masyarakat sipil dari berbagai negara ASEAN terkejut ketika mempelajari berbagai kondisi kesehatan yang serius dan hilangnya sumber kehidipan yang dialami oleh banyak keluarga akibat proyek-proyek yang dilakukan oleh perusahaan dari dalam dan luar wilayah ASEAN. Para peserta pertemuan ini terkesima ketika melihat pengalaman komunitas yang terkena dampak dalam mencari keadilan dan perlindungan melalui pengadilan dan cara lainnya diabaikan.

Saksi yang hadir berasal dari berbagai komunitas terkena dampak dari Xayaburi Dam di Sungai Mekong, Proyek Shwe Gas di Burma, Perkebunan Gula Koh Kong di Cambodia, Proyek Rare Earth di Kuantan dan Pabrik Asahi Kosei di Kuala Lumpur – Malaysia. Saksi dari Indonesia juga menghadirkan seorang remaja yang menceritakan tragedy proyek Lapindo dan kelompok petani yang terkena dampak proyek pertambangan di Maluku dan Sulawesi.

Seorang anggota parlemen Malaysia, Fuziah Salleh berbicara tentang Kuantan Rare Earth Refinary Plan Project (LAMP), menunjukkan bahwa berbagai proyek yang merusak tidak dapat dibenarkan secara ekonomi. Beliau menjelaskan bahwa Proyek Rare Earth yang telah menyebabkan dampak kesehatan dalam jangka panjang, dan juga dampak kerusakan lingkungan, ternyata hanya menciptakan 350 lapangan pekerjaan sementara meningkatkan pendapatan perusahaan hingga berjuta-juta dollar yang juga menikmati “keringanan pajak” selama 12 tahun.

Panel para ahli yang mendengarkan kesaksian ini menekankan bahwa ASEAN memiliki tanggungjawab untuk menghidupkan komitmen yang telah dibuat ASEAN dalam Piagam ASEAN dan perjanjian HAM lainnya untuk melindungi Hak Asasi Manusia dan menjamin pembangunan berkelanjutan.

Para ahli mendesak ASEAN dan Komisi HAM ASEAN (AICHR) untuk secara cepat menyikapi persoalan yang diangkat oleh warga mereka akibat dari ketidakbertanggungjawaban perusaaan, dan menjamin bahwa Asas Hukum ditegakkan dan diutamakan ketika menghadapi kasus-kasus ini. Anggota panel yang hadir adalah Nurkholis (Wakil Ketua Komnasham), Rinno Arna (Pengacara dari Indonesia yang ahli di bidang keadilan sosial dan hak anak), Pengacara Joselito Calivoso (ahli hukum tentang CSR dan masyarakat pedesaan), serta Jerald Joseph (Direktur Eksekutif Dignity Internation).

Acara ini diselenggarakan oleh:

SAPA Task Force on ASEAN and Burma, SAPA Task Force on ASEAN and Human Rights, SAPA Task Force on ASEAN Migrant Worker, SAPA Task Force on Extractive Industry, SAPA Task Force on Freedom of Information, SAPA Working Group on ASEAN, SAPA Working Group on Environment, Altsean-Burma, Asia Indigenous People Pact, Burma Partnership, Focus on the Global South, FORUM-ASIA, IESR, JATAM, KontraS, Migrant Forum in Asia, SEACA, TERRA, Thai-ASEAN Watch, WALHI dan YLBHI.

Kontak lebih lanjut:

Fabby Tumiwa, IESR, +628 1194 9759 (Bahasa & English)
Atnike Sigiro, Forum-Asia, 6281 29 401 766 (Bahasa & English)
Debbie Stothard, Altsean-Burma, +66816861652 and +6285 888610 436 (English)

Siaran Pers : Peluncuran Kampanye Menuju Masyarakat Rendah Karbon : Pengurangan Emisi Karbon Secara Pribadi Membantu Mencegah Memburuknya Perubahan Iklim

Jakarta, 27 Februari 2011-(IESR) Sebagai upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia, dalam rangka mencegah meningkatnya pemanasan global yang mengakibatkan memburuknya perubahan iklim, Institute for Essential Services Reform (IESR) pada hari ini memperkenalkan secara perdana Kampanye Menuju Masyarakat Rendah Karbon.

Kampanye ini menitikberatkan kepada penurunan emisi gas rumah kaca dari berbagai aktivitas individu sehari-hari. Gas rumah kaca adalah salah satu emisi Gas Rumah Kaca yang menjadi penyebab meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim.

Untuk membantu setiap individu mengukur emisi gas rumah kaca IESR mengembangkan suatu perangkat bernama Kalkulator Jejak Karbon (KJK), yang telah dikembangkan hingga versi kedua, yang juga diluncurkan pada hari ini.[1]

Dari survey yang dilakukan IESR selama periode April-Desember 2010, berdasarkan data para pengguna Kalkulator Jejak Karbon versi 1 (KJK 1), kelompok mahasiswa dan pekerja domestik merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar pertama dan kedua, dibandingkan dengan kelompok pelajar, pegawai, dan ibu/bapak rumah tangga. Adapun penduduk yang berdomisili di propinsi Jawa Barat rata-rata menghasilkan emisi sebesar 12,97 kg CO2ek/orang/hari atau kira-kira 4,57 tonCO2ek/orang/tahun. Hasil ini lebih tinggi dari data yang didapatkan dari pengguna KJK 1 dari Jakarta, Banten, Jawa Barat, Tengah dan Timur.[2]

“Dari hasil survei ini, kami dari IESR berpendapat bahwa emisi gas rumah kaca dari aktivitas individu dapat diturunkan dengan melakukan sejumlah upaya diet karbon yang sederhana, misalnya menggunakan listrik seperlunya, menggunakan sebanyak mungkin kendaraan umum dan kendaraan non-motor, mengurangi konsumsi air minum dalam kemasan, dan lain sebagainya. Masyarakat Indonesia dapat membantu pencapaian masyarakat rendah karbon,” demikian kata Siti Badriyah, Pemangku Program Keadilan Iklim IESR.

Kampanye Masyarakat Rendah Karbon pada dasarnya mengajak para individu untuk melakukan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca dari aktivitas sehari-hari. Dengan mengetahui jumlah emisi yang gas rumah kaca yang dihasilkan sehari-hari, diharapkan setiap individu kemudian mau berkomitmen secara sukarela untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya.

“Melalui aktivitas ini, kami ingin menunjukkan kepada negara-negara maju, bahwa masyarakat Indonesia juga peduli dan merasa bertanggung jawab untuk memerangi perubahan iklim. Apabila masyarakat Indonesia bersedia melakukan penurunan emisi secara sukarela, maka sudah seharusnya masayarakat di negara-negara maju, yang menjadi penyebab perubahan iklim, melaksanakan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca yang lebih besar,” demikian kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Pada akhir 2009, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmennya kepada dunia bahwa Indonesiaakan melakukan pengurangan emisi sebesar 26% dengan upaya sendiri, dan 41% iika ada bantuan pendanaan internasional, pada tahun 2020. Sebagaimana analisa yang dibuat oleh Bappenas (2010), salah satu sektor yang dapat berkontribusi terhadap penurunan tersebut adalah sektor energi.

Sejumlah provinsi, seperti DKI Jakarta juga mencanangkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK)-nya sebesar 30%.

“Upaya-upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, seperti penggunaan energi secara efisien, mengurangi konsumsi barang secara berlebihan secara positif dapat berkontribusi terhadap target penurunan emisi yang dicanangkan pemerintah baik pusat, maupun Pemda DKI Jakarta, ” tambah Siti Badriyah.

Berbagai komitmen individu yang dibuat dengan bantuan KJK 2 sepanjang Februari hingga November 2011 akan direkam dan dikumpulkan oleh IESR, dan hasilnya akan disampaikan pada saat COP Kerangka Kerja PBB Perubahan Iklim ke-17 di Durban, Afrika Selatan pada Desember 2011.

Jakarta, 28 February 2011

Catatan untuk Editor:

  • Emisi Karbon adalah pengeluaran gas karbon dioksida (CO2) yang menyebabkan efek rumah kaca yang memanaskan bumi karena sifat gas ini yang mengikat panas. Semakin banyak konsentrasinya di atmosfer yang berasal dari aktivitas manusia, maka semahin hangat temperature bumi.
  • Jejak Karbon jumlah gas rumah kaca (CO2) yang dihasilkan individu dari berbagai aktivitas atau kegiatannya. Umumnya dinyatakan dalam satuan ton karbon atau karbon dioksida ekuivalen
  • Kalkulator Jejak Karbon adalah alat bantu bagi seseorang orang untuk mengetahui jumlah jejak karbonnya. Namun, tidak hanya sampai di situ. Setelah mengetahui besaran emisi karbonnya, pengisi juga diminta untuk memberikan komitmen untuk mengurangi besaran emisi yang mereka hasilkan.
  • Kalkulator Jejak Karbon Versi Idiluncurkan pada tahun 2010 yang telah dipakai oleh ribuan orang, dimana dari dari sekitar 1252 pemakainya terekam dan dianalisa oleh IESR.
  • Kalkulator Jejak Karbon Versi II yang diluncurkan pada 2011 menerapkan penghitungan pada aspek aktivitas pengeluaran emisi yang lebih detil dan mengikutsertakan komitmen pengurangan personal bagi pengisi.
  • Kampanye Low Carbon Society/Masyarakat Rendah Karbonadalah kampanye IESR untuk pengurangan emisi gas rumah kaca, khususnya gas rumah kaca(CO2)dari berbagai aktivitas sehari-hari,.

Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

  1. Cut Rindayu, Staf Komunikasi IESR, Email: rinda@iesr-indonesia.org, No. telepon seluler: +62817823778
  2. Siti Badriyah, Staf Program Perubahan Iklim IESR, E-mail: siti@iesr-indonesia.org, No. telepon seluler: +6281584548966

IESR adalah NGO nirlaba yang yang secara aktif ingin menginspirasi, mendorong dan mendukung perubahan-perubahan kebijakan dan peraturan menuju kearah keadilan pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung pembangunan manusia yang berkelanjutan. Untuk mengetahui profil dan aktivitas IESR dapat berkunjung ke situs IESR: www.iesr.or.id


[1] Alamat Situs Website Kalkulator Jejak Karbon IESR: http://karbonkalkulator.iesr-indonesia.org/

[2] Kategori asal pengguna dibagi dalam provinsi: DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur; dan untuk luar Jawa dikelompokkan dalam kawasan: Sumatra, Kalimantan, dan kawasan lain-lain.