Siaran Pers : COP 16 Cancun Harus Menjadi Pijakan untuk Kesepakatan Perubahan Iklim yang Ambisius, Adil, dan Mengikat

Sepertinya tidak realistis untuk berharap COP 16 Cancun menghasilkan kesepakatan kunci untuk mencegah kenaikan suhu permukaan bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius, tetapi cukup realistis untuk berharap agar COP 16 Cancun menjadi momentum untuk membangun kepercayaan negara maju dan berkembang dalam perundingan multilateral perubahan iklim dibawah UNFCCC, serta menjadi pijakan untuk tercapainya kesepakatan yang ambisius, adil dan mengikat pada COP 17 di Afrika Selatan, dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan iklim.

Berbagai kajian ilmiah menunjukkan bahwa kenaikan suhu permukaan bumi sebesar 2 derajat Celcius akan memiliki konsekuensi besar terhadap keseimbangan ekosistem, dan keberlanjutan umat manusia. Selama dua abad lebih, rata-rata permukaan suhu bumi telah naik hingga 1 derajat Celcius, dan apabila tidak ada tindakan drastis dilakukan maka sebelum pertengahan abad ini, kenaikan sebesar 2 derajat Celcius akan tercapai.

Fabby Tumiwa dari IESR menyampaikan, dari hasil analisis atas janji (pledge) penurunan emisi GRK yang disampaikan oleh berbagai negara yang mendukung Copenhagen Accord memberikan indikasi kegagalan untuk mencegah kenaikan suhu permukaan dibawah 2 derajat Celcius.

Sebaliknya diperkirakan kenaikan temperatur sebesar 3,5 derajat Celcius pada akhir abad ini. Adapun negara-negara maju gagal menunjukkan kepemimpinan dan tanggung jawab penurunan emisi. Hanya 2 dari 10 submisi target penurunan negara maju yang dianggap cukup untuk menghindari kenaikan temperatur dibawah 2 derajat Celcius.

Setelah kegagalan COP 15 dalam menghasilkan kesepakatan yang mengikat untuk target penurunan emisi paska Protokol Kyoto, putaran perundingan perubahan iklim dimulai dengan ekspektasi yang relatif rendah. Sebelum COP 16 di Cancun, yang akan berlangsung 29 November – 10 Desember 2010, telah dilakukan sejumlah putaran perundingan persiapan di Bonn (Bonn Climate Conference 1, 2 dan 3), dan Tianjin Climate Talks di China pada bulan Oktober 2010. Hasil Tianjin Climate Talks justru memberikan indikasi bahwa harapan untuk mencapai sebuah kesepakatan yang ambisius, adil, dan mengikat di COP 16 Cancun semakin pudar.

Menurut Fabby Tumiwa, salah satu faktor yang menyebabkan sukarnya perundingan perubahan iklim global memberikan hasil yang diharapkan dan berpihak pada kepentingan negara berkembang adalah posisi Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara maju sekutunya yang mengabaikan nilai-nilai dasar dari UNFCCC, tentang Common but differentiated responsibility (CBDR) dan memaksakan operasionalisasi Copenhagen Accord yang kontroversial.

Pendekatan AS dan sekutunya ini mengabaikan nilai keadilan iklim, karena negara-negara berkembang juga berkewajiban menurunkan emisi nasional mereka, walaupun rata-rata emisi per-kapitanya lebih rendah daripada emisi per kapita di negara-negara maju.

Selain itu, diferensiasi negara maju dan berkembang dalam tanggung jawab penurunan emisi GRK menjadi tidak jelas karena dalam prinsip Copenhagen Accord seluruh negara maju dan berkembang melakukan penurunan emisi secara bersama, padahal dalam konteks UNFCCC, negara maju sebagai penyebab krisis iklim bertanggung jawab melakukan penurunan emisi lebih dulu. Hal ini nantinya akan diikuti oleh negara berkembang setelah mendapatkan bantuan teknologi dan pendanaan.

Menurut IESR, walaupun peluang untuk mencapai kesepakatan yang substansial dalam hal penurunan emisi di COP 16 Cancun, tetapi hasil Cancun tetap penting sebagai dasar untuk membangun kepercayaan antara negara maju dan berkembang untuk mencapai adanya kesepakatan yang ambisius, adil dan mengikat di COP 17 Afrika Selatan tahun 2011.

Salah satu elemen yang penting adalah COP 16 Cancun perlu menyepakati bahwa target 2 derajat Celcius terlalu beresiko untuk keberlanjutan ekosistem, sehingga perlu mengkaji target penurunan emisi global untuk mencapai kenaikan temperatur dibawah 1,5 derajat Celcius. Selain daripada itu, Cancun kiranya dapat menyetujui mandat untuk menyepakati pendekatan pembagian penurunan emisi yang adil antara negara maju dan berkembang, berdasarkan prinsip CBDR, tanggung jawab historis negara maju, dan hak negara berkembang atas pembangunan berkelanjutan.

Dalam konteks posisi Indonesia, IESR mendesak agar posisi Indonesia merefleksikan keadilan iklim, yaitu mendesak negara maju untuk menurunkan emisi GRK sebesar 40% dari tingkat emisi tahun 1990, sebelum 2020; mendesak negara maju agar mewujudkan segera komitmen pendanaan, alih teknologi dan pengembangan kapasitas untuk aksi mitigasi dan adaptasi negara-negara berkembang dalam jangka pendek (fast-track financing, 2012) dan jangka panjang sesuai dengan kewajiban negara maju dalam UNFCCC.

Sebaliknya, Indonesia juga memberikan contoh bagi negara berkembang lainnya untuk menginisiasi terselenggaranya rencana aksi pembangunan rendah emisi (low carbon development action plan), sesuai dengan target penurunan emisi GRK 26% dari business as usual scenario pada tahun 2020, sebagaimana yang telah dicanangkan oleh Presiden SBY, yang dapat diukur, terlaporkan, dan diverifikasi oleh masyarakat sipil dan komunitas internasional.

Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi

  1. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, E-mail: fabby@iesr-indonesia.org, HP: +62811949759
  2. Siti Badriyah, Staf Program Perubahan Iklim IESR, E-mail: siti@iesr-indonesia.org, HP: +6281584548966
  3. Cut Rindayu, Staf Komunikasi, Email: rinda@iesr-indonesia.org, HP: +62817823778

Press Release – Pemerintah dan Perusahaan EI Indonesia diserukan untuk Serius Terapkan EITI

Jakarta, 6 Mei 2010. Pemerintah Indonesia dan Perusahaan EI (Ekstraktif Industri) diserukan untuk serius menerapkan EITI (Extractive Industri Transperency International), menyusul telah ditandatanganinya Peraturan Presiden (PerPres) No 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Daerah dari Industri Ekstraktif.

Hal ini ditandaskan oleh IESR (Institute for Essential Services Reform) dan PWYP (Publish What You Pay), dalam acara Diskusi Dengan Media: Tantangan PerPres No.26/2010, Kamis, 6 April 2010, di Jakarta, menyusul telah ditandatanganinya PerPres tersebut oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 April 2010. Hadir dalam acara Deputi Menko Perekonomian, Ir Muhammad Husen, Priyo Pribadi Sumarno (IMA/ Indonesia Mining Association).

“Ini langkah awal yang baik untuk mendorong transparasi dan akuntabilitas yang lebih luas dalam menegakkan pemberantasan korupsi serta demokratisasi lewat sektor ini. Meski ada keraguan akan implementasinya tapi upaya ini harus dihargai. Kita harapkan segera dikonkretkan,”jelas Direktur IESR, Fabby Tumiwa. Ditambahkannya, diperlukan konsensus serta pembentukan multipihak dari pemerintah, usaha EI, dan masyarakay sipil untuk memastikan keterbukan pelaporan dan pendapatan usaha EI di Indonesia.

Sebagai informasi EITI adalah Inisiatif global yang menuntut keterbukaan usaha Industri Ekstraktif (mineral, gas, minyak, batu bara, dan sejenisnya) untuk melaporkan secara terbuka pendapatan usaha EI-nya kepada publik, begitu juga pemerintah melaporkan pendapatan dari hasil setoran yang terima dari usaha EI. Inisiatif ini telah dilakukan 30 negara di seluruh dunia, dan 10 negara lainnya kini mulai berkomitment mengikuti EITI.

Di Indonesia ditandatanganinya PerPres ini adalah langkah awal Indonesia menerapkan EITI. Artinya, kini perusahaan minyak dan gas bumi atau apa pun yang dihasilkan perut bumi maka harus melaporkan segala hasil pendapatannya yang disetor ke pemerintah secara terbuka kepada publik. Instansi pemerintah yang telah terima pembayaran itu juga mengisi laporan hasil penerimaan tersebut.

Multipihak yang ditunjuk mengawasi proses pelaporan ini terutama dalam me- cross check -an laporan satu dengan lainnya. Sehingga akan jelas di sana baik pendapatan EI dan yang diperoleh (hasil setoran) pemerintah. Hasil cek silang ini kemudian dipublikasikan juga secara terbuka kepada publik.

Sementara Koordinator nasional PWYP Indonesia, Ridaya Laodengkawe menjelaskan, PerPres itu setidaknya bisa mengurai rejim ketertutupan dalam aliran pendapatan Negara dari sektor migas dan tambang. Apalagi 32-35% total penerimaan Negara dalam beberapa tahun terakhir berasal dari sektor strategis ini. Sektor ini juga selalu menjadi sumber polemik antara pemerintah puat dan pemerintah daerah, terutama tentang besaran dana bagi hasil yang merupakan salah satu elemen kunci dalam desentralisasi.

“Terdapat 7000-an kuasa pertambangan telah dikeluarkan pemerintah daerah selama Sembilan tahun masa desentralisasi, tanpa kejelasan beberapa manfaat yang telah diberikan. Kerusakan ekologis lebih menonjol sebagai akibat dari ribuan KP yang dikeluarkan tanpa kesiapan tata kelola yang baik,” jelasna.

Baik IESR dan PWYP meyakini bahwa pelaksanaan EITI secara konsukuen akan memperbaiki tatakelola aliran pendapatan Negara dari EI tetapi juga akan meningkatkan tata kelola EI secara keseluruhan.

Sedangkan Ketua IMA, Priyo Pribadi Sumarno mengatakan bahwa pihaknya telah mencoba mesosialisasikan keberadaan EITI ke perusahaan-perusahaan tambang, gas dan minyak Indonesia. Pihkanya juga menyambut baik PerPres ini.

“Sebenarnya beberapa perusahaan tambang telah melakukan pelaporan ini tiap tahunnya. Usaha EI yang menyatakan siap menjalankan EITI sementara ini hanya dari Medco dan Rio Tinto. Masyarakat akan diberikan informasi seluasnya, apakah mereka akan mendapatkan hal sepadan atau tidak,” jelasnya.

Sementara Ir Muhammad Husen menjelaskan saat ini pihaknya tengah mendorong agar Per-Pres dikonkretkan dalam implementasi yang jelas.

“Prosesnya masih panjang untuk bisa sampai ke UU. Kita fokuskan saja bagaimana menjalankan ini dengan baik. Terutama menyertakan multipihak baik dari pemerintah, usaha EI dan juga masyarakat sipil yang diwakili LSM. Saya masih bingung LSM mana yang mesti disertakan untuk masuk dalam multipihak seperti yang ditentukan EITI,”jelasnya.

Tidak tegas dan tidak ada sanksi

Sedangkan Ridaya menyayangkan Per-Pres yang ada masih dikemas dalam bahasa hukum yang halus atau tidak tegas.

“Kami sebenarnya menginginkan bahasa hukum yang tegas. Misalnya, memerintahkan kepada Pemerintah dan Perusahaan untuk menyerahkan laporan….” Namun dalam pasal 14 PerPres pemerintah memilih meformulasikan dengan tidak tegas.

Demikian juga tentang keterlibatan para pihak (multistakeholder steering group/MSG). PerPres mengatur MSG dengan sistem dua kamar (pasal 4): Tim Pengarah dan Tim Pelaksana. Konsukunesi dari sistem dua kamar ini adalah rantai koordinasi yang lebih panjang daripada yang dibayangkan oleh EITI (satu kamar).

PerPres juga tidak menyatakan benchmark atau jenis data minimal yang harus dilaporkan secara eksplisit. Di satu sisi ketiadaan benchmark dapat sebagai peluang untuk memperluas lingkup pelaporan, namun di sisi lain dapat juga bearti memainkan kekuasaannya.

Kekhawatiiran ini, meskipun diharapkan tidak terjadi, namun tetap ditemukan komposisi Tim Pelaksana (pasal 10) yang tidak seimbang dan dalam PerPres ini tidak diatur tentang voting block mechanism (pengambilan keputusan berdasarkan perwakilan unsur), sehingga kelak ada keputusan yang adil.

PerPres ini juga disayangkan tidak menegaskan adanya sanksi bagi yang tidak membuat pelaporan tegas kepada publik. Hal ini diakui Husen sebagai kelemahan PerPres.

“Tidak ada hitam di atas putihnya. Jadi memang sanksi moral saja. Tapi kunci dari keberhasilan implementasi EITI lewat PerPres ini adalah komitment semua pihak. Jika salah satunya tidak menjalankan, ini jutsru menurunkan citra kesungguhan kita yang ingin terbuka terhadap pelaporan pendapatan dan penerimaan pendapatan EI yang ada,”tandas Husen.

Nomor Kontak:

Ridaya Laodengkowe (Koordinator Nasional): 0812 803 7964
Email- ridaya.lon@gmail.com
Fabby Tumiwa (Direktur IESR): 0811 949 759
Email: fabby@iesr-indonesia.org

Pengentasan Kemiskinan Energi Membutuhkan Perubahan Cara Pandang dan Reformasi Program di Sektor Energi

IESR, Jakarta- Sungguh suatu keadaan yang memprihatinkan, di abad ke-21 ini masih ada jutaan orang yang hidup tanpa akses listrik atau pun bahan bakar untuk kebutuhan memasak sehari-hari. Menurut Biro Pusat Statistik Indonesia, sekitar 22,19 juta warga di pedesaan—yang merupakan 19% dari total penduduk—hidup di bawah garis kemiskinan.

Dengan menggunakan acuan yang berbeda, data Bank Dunia mengungkapkan sekitar 60 persen penduduk Indonesia memiliki pendapatan dibawah US$ 2 per hari. Pendapatan rendah, membuat masyarakat miskin mendapatkan jasa energi yan aman, layak dan berkelanjutan.

Penghapusan kemiskinan jelas tidak akan dapat terlaksana tanpa meningkatkan akses terhadap jasa energi. Kenyataan ini membuat ketersediaan energi bagi si miskin perlu dicapai jika ingin mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Ketersediaan dan akses energy merupakan pra-kondisi dasar untuk membantu tercapainya delapan Tujuan Pembangunan Milenium.

Di Indonesia, kemiskinan energi dapat dilihat dari tingkat rasio elektrifikasi dan ketersediaan dan akses bahan bakar modern untuk memasak. Pada tahun 2008, tingkat elektrifikasi di Indonesia baru mencapai 64% sementara hanya 60% desa-desa di Indonesia yang dialiri listrik (DESDM, 2008). International Energy Agency (IEA) memperkirakan lebih dari 80,1 juta penduduk Indonesia belum memiliki akses tenaga listrik, dan jutaan orang bergantung pada biomassa tradisional untuk memasak, yang mengakibatkan
resiko kesehatan.

“Kemiskinan energi di Indonesia merupakan realita, tetapi seringkali luput dari perhatian dan diabaikan,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. Kajian IESR yang dilakukan pada tahun 2008 menunjukkan bahwa berbagai kebijakan dan program di bidang energi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah, tidak secara spesifik ditujukan untuk mengatasi kemiskinan energi, bahkan karena miskin persiapan, program ini alih-alih mengorbankan si miskin,” imbuhnya.

Kebutuhan energi dasar bagi masyarakat desa dan perkotaan membutuhkan portfolio energi yang beragam dan mewakili kondisi ekonomi, sosial, dan sumber daya alam dari suatu daerah. Kajian IESR menunjukkan energi terbarukan seperti energi hidro, matahari, panas bumi, angin, dan bio-energi memiliki peranan penting dalam mengatasi kemiskinan energi di tanah air.

Dalam studinya di tahun 2010, IESR telah melakukan studi tentang model terbaik pengembangan energi berbasis energi setempat. Tujuan studi ini adalah untuk melihat bagaimana pengembangan energy terbarukan di tingkat lokal, dan kontribusi akses kepada energi, dapat meningkatkan sosialekonomi masyarakat setempat.

Kondisi ini nantinya diharapkan dapat memacu tercapainya tujuan pengurangan kemiskinan. Dua lokasi yang menjadi obyek kajian adalah Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Cipta Gelar dan Desa Cibuluh, Jawa Barat.

Penelitian di kedua desa ini memperlihatkan bagaimana peran energi dalam peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat. Dari kedua desa, akses terhadap penerangan—terutama pada malam hari—telah memudahkan anak-anak belajar setelah matahari terbenam. Kondisi ini tentu saja selaras dengan meningkatnya mutu pendidikan anak usia sekolah.

Pasokan listrik dari PLTMH juga telah sukses meningkatkan akses masyarakat kedua desa pada informasi. Masyarakat sudah dapat menikmati radio dan tayangan televisi. Bahkan, di Desa Ciptagelar, masyarakat sudah dapat mengakses internet. Sukses lain yang mengikuti adalah peningkatan ekonomi yang didapat dari pembangunan pabrik tahu di Desa Cibuluh.

Kondisi di atas membuktikan peran energi listrik yang dihasilkan PLTMH dapat meningkatkan sosial ekonomi masyarakat. Apabila peran listrik ini ditingkatkan, bukan tidak mungkin bahwa peningkatan akses terhadap energi seperti listrik, dapat membantu masyarakat setempat untuk mengentaskan kemiskinan. Pada akhirnya, peranan energi akan dapat mendukung masyarakat setempat untuk memerangi kemiskinan.

Dari beberapa studi pembangunan pembangkit yang bersumber pada energi terbarukan, IESR menyimpulkan beberapa kunci keberhasilan sebuah kegiatan energi terbarukan skala kecil, antara lain:

  1. Keterlibatan dan rasa kepemilikan masyarakat yang tinggi terhadap pembangkit energi terbarukan.
  2. Lewat peran aktif masyarakat, menjadikan kegiatan energi terbarukan berjalan lebih lama dan berkelanjutan.
  3. Adanya pemberdayaan masyarakat lewat peningkatan kapasitas.
  4. Peran pihak lain dalam membina masyarakat dan sumber pendanaan (LSM lokal, Pemerintah lokal, dan Donor).

Studi di atas memberikan gambaran mengenai bagaimana kegiatan penyediaan energi perdesaan seharusnya dikembangkan.

“Proyek pemerintah seringkali gagal menjamin penyediaan energi lokal secara berkelanjutan karena pengembangan institusi lokal, rasa kepemilikan dan peran serta masyarakat diabaikan. Berbagai faktor ini sangat penting untuk menjamin terwujudnya desa mandiri energi,” kata Imelda Rambitan, koordinator studi ini.

Pengentasan kemiskinan energi membutuhkan sejumlah prasyarat: pengakuan terhadap hak energi masyarakat, keinginan politik yang kuat dari pemerintah, target dan rencana strategi penanggulangan yang rinci dan spesifik, dukungan pendanaan jangka panjang dan keterlibatan komunitas lokal dalam implementasinya.

Fabby menyampaikan bahwa seluruh pendekatan penyediaan energi terbarukan dan listrik perdesaan yang berbasis pada system proyek dan anggaran tahunan saat ini harus berubah, sehingga memberikan hasil yang berkelanjutan dan dampak jangka panjang. Selain itu diperlukan integrasi dengan sector-sektor pembangunan lainnya. “Program energi perdesaan harus dilakuan secara tailor made, sesuai dengan kondisi lokal,” kata Fabby Tumiwa.

IESR berharap agar studi ini dapat berkontribusi bagi program-program pengembangan energi terbarukan di perdesaan dan wilayah terpencil yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan organisasi non-pemerintah.

Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR
Tel: 0811949759 Email: fabby@iesr-indonesia.org
Henrietta Imelda
Tel: 021-7992945 Email: ime@iesr-indonesia.org

Siaran Berita – IESR dan CSF Kampanyekan Seruan Keadilan Iklim Kepada Negara Maju

Jakarta, 26 Juli 2010,

Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim Indonesia mengkhawatirkan bahwa penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) secara global dengan drastis untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata permukaan di atas 2 derajat celcius, dalam negosiasi perubahan iklim di Bonn, pada 2-4 Agustus nanti, tidak dapat tercapai.

Sementara itu guna mempermudah masyarakat Indonesia menyuarakan pesan-pesannya kepada pemimpin dunia agar mereka menegakkan keadilan iklim dan serius dalam menurunkan emisi GRK secara global dan drastis, IESR (Institute for Essential Services Reform) dan Civil Society forum (CSF) meluncurkan kartu: “Dukung Seruan Keadilan Iklim Kepada Pemimpin Dunia,” Kartu ini telah dirancang khusus yang tersedia dalam bentuk cetak dan online (https://iesr.or.id/materi-kampanye/call-fo-climate-justice/). Pesan yang masuk akan dikirimkan kepada para pemimpin negara-negara industri, di antaranya AS, Inggris, Jepang, Australia dan Canada. Kampanye ini akan terus dilakukan hingga menjelang COP-16 di Cancun Mexico, 28 November-11 Desember 2010 mendatang.

Kartu Seruan Keadilan Iklim ini juga bisa diisi secara online melalui: https://iesr.or.id/materi-kampanye/call-fo-climate-justice/

“Kampanye ini memiliki ruang lingkup nasional dan internasional, dimana CSF dan IESR, bersama dengan relawan-relawan mengajak seluruh masyarakat yang peduli untuk menyerukan keadilan iklim dan menuntut negara-negara maju bertanggung jawab menurunkan emisi GRK secara drastis, “ jelas Giorgio Budi Indrarto, dalam press release yang dikeluarkan bersama IESR, dan Walhi.

Sementara itu terkait dengan persiapan negosiasi perubahan iklim 2-4 Agustus, di Bonn, Jerman Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, yang juga akan hadir dalam kegiatan tersebut sebagai negosiator keadilan iklim untuk Indonesia ini mengatakan, setelah COP-15 Copenhagen berakhir dengan segala kegagalan untuk mendapatkan komitmen negara-negara industri menurunkan emisi GRK paska berakhirnya Protokol Kyoto pada tahun 2012, bahkan dengan dua putaran negosiasi UNFCCC pada bulan April dan Juni lalu pun, masih belum menunjukan bahwa negara-negara maju akan memberikan komitmen mereka untuk melakukan penurunan emisi GRK sebagaimana yang disarankan oleh IPCC, yaitu 25-40% tingkat emisi 1990 pada 2020 dan lebih dari 80% pada tahun 2050.

Copenhagen Accord (CA) telah menyatakan adanya target global untuk membatasi kenaikan temperatur di bawah 2 derajat celcius, sayangnya hal ini tidak dinyatakan dalam bentuk komitmen penurunan emisi yang nyata di tingkat negara. Alih-alih membatasi kenaikan temperatur di bawah 2 celcius, komitmen penurunan emisi yang dibuat paska CA justru mengarah pada kenaikan di atas 3 celcius. Komitmen penurunan emisi dari negara-negara industri pengemisi besar seperti US, Jepang, Canada, Australia, justru sangat rendah, dibandingkan dengan penurunan yang seharusnya mereka lakukan.

“Negara maju ini yang jumlahnya hanya 20% dari penduduk dunia telah mengeluarkan gas rumah kaca lebih dari 70% untuk kegiatan industri dan pembangunan negaranya. Sudah sepantasnya negara-negara maju bertanggung jawab dan harus bersedia menurunkan emisi gas rumah kaca mereka untuk memberikan ruang yang cukup bagi negara-negara berkembang untuk memanfaatkan sisa ruang atmosfir (atmospheric space) yang tersedia, yang makin tergerus akibat peningkatan laju emisi negara-negara maju dan sedikit negara berkembang yang lebih maju (advance developing country). Negara-negara industri harus menurunkan emisi mereka secara drastis dari sekarang hingga tahun 2050 mendatang, sehingga memungkinkan negara-negara berkembang untuk tumbuh dengan mengkonsumsi ruang atmosfer yang masih tersisa,” jelas Fabby.

Antusiasme orang-orang yang ikut mendukung Seruan Keadilan Iklim kepada Negara Maju

Sementera itu Koordinator CSF (Civil Society Forum), Giorgio Budi Indrarto menyatakan bahwa keselamatan ekologi dan rakyat tarancam, tidak hanya Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Masyarakat sipil Indonesia juga dihimbaunya untuk tidak tinggal diam dan berpangku tangan menanti kesepakatan negosiasi Internasional yang akan mengancam kehidupan kita saat ini dan generasi yang akan datang.

“Untuk mendorong adanya kesepakatan internasional yang menghasilkan penurunan emisi GRK secara drastis dari negara-negara maju, memastikan agar isu keadilan iklim menjadi basis dalam negosiasi serta memastikan keselamatan manusia dan ekologis, CSF dan IESR meluncurkan kampanye “Dukung Seruan Keadilan Iklim Kepada Pemimpin Dunia, dalam bentuk kartu yang telah saya sebutkan sebelumnya,” tambah Giorgio

Giorgio menambahkan, tuntutan yang diajukan adalah Negara maju sebagai emiter di dunia mengurangi emisi gas rumah kaca dinegerinya masing-masing secara drastis. Termasuk menyediakan dana dan teknologi yang cukup bagi Negara berkembang yang memampukan mereka untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim secara efektif dan melakukan pembangunan rendah emisi serta mengentaskan kemiskinan.

Sebagai catatan emisi yang dikeluarkan oleh negara industri atau Annex1 sejak revolusi industri tahun 1750 telah melemahkan kemampuan bumi untuk menyerap gas-gas tersebut dan menyebabkan krisis iklim global. Hal ini bisa dibandingkan setimpal dengan rata-rata jejak ekologi tertinggi perkapitas penduduk Amerika Serikat (9,5 gha/global hektare), Inggris (5,45 gh). Dan itu artinya dalam kemampuan bumi, maka Amerika membutuhkan 9,5 planet yang setara dengan bumi, dan Inggris, lima planet bumi.

Jika diakumulasi sejak 1750 (revolusi industri) hingga 2006 saja maka tercatat bahwa Amerika ada di peringkat pertama dengan kontribusi karbon 337, 747.80 Cmt (carbon metric ton) CO2e atau 29% dari total emisi dunia. Disusul Jerman 80,377.00 cmt CO2e (6,99%), Inggris 68,235.00 Cmt CO2e, Jepang 44,535,20 Cmt CO2 (3,87%), dan Perancis 32,278.60 (2,81%) – sumber dari Climate Analyse Indicators Tool (CAIT) version 7,0, Washington DC, 2010).

Salah satu aspek yang sangat penting dalam tuntutan masyarakat sipil Indonesia adalah rencana bantuan pendanaan dan teknologi bagi negara-negara miskin dalam upaya mengatasi masalah pemanasan global, sebagaimana yang menjadi kewajiban negara industri sesuai konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC).

Hingga saat ini, komitmen dan realisasi pendanaan dari negara industri untuk adapatasi negara berkembang dalam mengahadapi perubahan iklim sangat rendah. Hasil CA menyebutkan negara-negara maju akan menyediakan bantuan pendanaan 30 miliyar dollar untuk jangka waktu tiga tahun ke depan (2010-20120 untuk membiayai program-program penanggulangan pemanasan global. Bantuan akan ditingkatkan sebesar 100 juta dollar per tahun sampai tahun 2020.

“Dana sebesar itu tidak cukup untuk penanggulangan masalah dampak pemanasan global, khususnya program adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang, dan tidak bisa mereka membebankan biaya adapatasi perubahan iklim kepada negara berkembang, karena bukan kita yang menyebabkan perubahan iklim,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur IESR.

Aspek yang juga menjadi sorotoan CSF dan WALHI adalah cara penurunan emisi GRK dilakukan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) secara tegas menolak cara-cara yang dilakukan negara emiter industri dengan mengalihkan dua isu tersebut dengan skema perdagangan karbon dan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. “Kami tetap akan menolak ini di Bonn, karena skema ini telah menjauhkan tanggung jawab Negara Annex 1 untuk mengurangi emisi karbon mereka secara signifikan,” jelas Teguh Surya, Kepala Departemen Kampanye Walhi.

Ditambahkannya, kendati skema yang mengaturnya belum diputuskan, namum sejumlah proyek percobaan (pilot project) sudah dijalankan di Indonesia dengan dikeluarkannya Permenhut No. 68 tahun 2008 tentang penyelenggaraan demonstration activity pengurangan emisi karbon dan dari deforestasi dan degradasi hutan. Saat ini direncanakan terdapat 26,6 juta hektar lahan di Indonesia yang diperdagangkan dalam mekanisme perdagangan karbon. Dengan nilai uang yang beredar sekitar 6,3 milyar US$ (sekitar Rp 63 triliun). Skema ini menjual murah 26,6 juta hektar hutan alam Indonesia mulai dari tegakan pohon, hewan, tumbuhan, tanah, sumber mata air, dan ruang interaksi sosial, dan entitas masyarakat hukum adat di wilayah tersebut, hanya seharga Rp. 12,- per meter perseginya.

Walaupun demikian, dengan tantangan dan ancaman perubahan iklim yang semakin nyata, pembangunan negara berkembang tidak mencontek model pembangunan yang dilakukan negara-negara maju selama 2,5 abad lalu. Negara-negara berkembang seperti Indonesia harus masuk dalam model jalur pembangunan rendah emisi (low carbon emission pathway) yang ditandai dengan salah satunya membatasi konsumsi tetapi meningkatkan intensitas dari sumber daya energi yang tidak terbarukan, serta secara bertahap meningkatkan pemanfaatan sumber energi yang terbarukan.

Di sisi lain, dalam tingkat masyarakat, ketidakadilan iklim juga terjadi dalam lingkup masyarakat Fabby juga mengingatkan bahwa ketidakadilan iklim juga ditimbulkan oleh emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh kelompok masyarakat berpendapatan menengah keatas, yang tinggal di kawasan perkotaan dan semi-perkotaan.

Survei sederhana yang dilakukan oleh IESR melalui perangkat Carbon Footprint Calculator yang dilakukan pada April – Juni 2010, mengindikasikan bahwa pola dan gaya hidup dari kelompok masyarakat berpendapatan menengah di perkotaan menghasilkan emisi GRK rata-rata 4-6 kali dibandingkan dengan rata-rata emisi GRK per-kapita nasional. Artinya, masyarakat perkotaan, kelas menengah (middle class) sesungguhnya merampas ruang atmosfir masyarakat miskin yang pola dan gaya hidupnya hanya menghasilkan emisi yang relatif rendah. “Jadi kami juga menyerukan sikap berkeadilan iklim di kalangan masyarakat kita sendiri melalui kampanye Ayo Kita Diet Karbon,” tandas Fabby.

No. Kontak:

Giorgio Budi Indrarto: 0813 85770196
Teguh Surya: 0811 8204 362
Fabby Tumiwa: 0811949759

Climate Watch Up date Vol. 1 (Juni 2010) : Perkembangan Negosiasi Internasional

Oleh: Siti Badriyah

Pesimisme akan Perundingan di Cancun

Negara-negara di dunia saat ini sedang pesimis dengan tercapainya keputusan yang kuat pada perundingan perubahan iklim antar bangsa-bangsa di Mexico Desember nanti. Dalam pertemuan tingkat tinggi perubahan iklim yang diadakan di China bulan Mei dihadiri 20 menteri lingkungan hidup seluruh dunia dan 600 utusan dari berbagai negara menyerukan dengan mendesak kepada Negara-negara maju untuk melanjutkan pelaksanaan Protokol Kyoto setelah 2012 dan bertanggung jawab secara terikat untuk pengurangan emisi. Pertemuan ini diadakan sebelum pertemuan pertengahan tahun perubahan iklim di Bonn[1].

Meskipun sudah ada perkembangan dalam negosiasi perubahan iklim dunia dengan akord baru untuk mengatasi perubahan iklim, tapi masih butuh langkah panjang sebelum tercapainya kesepakatan yang mengikat. Pelajaran penting harus diambil dari perundingan Kopenhagen tahun lalu adalah untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan meletakkan semua hal perundingan secara bersamaan dan mengharapkan sebuah paket hasil negosiasi yang lengkap dan komprehensif. Yang sesungguhnya hal yang dapat dicapai dalam proses negosiasi adalah peningkatan perkembangan dari negosiasi itu sendiri[2].

Pesimistis terhadap konferensi Cancun karena kegagalan pada Pertemuan Para Pihak ke-15 Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (COP-15 UNFCC) Desember lalu. Namun menurut, Luis Alfonso de Alba, pejabat khusus perubahan iklim Meksiko, di sela-sela pertemuan khusus perubahan iklim PBB di Bonn, Jerman, mengatakan pertemuan Cancun akan menghasilkan keputusan yang lebih jauh serta perjanjian yang mengikat[3].

Oslo Meeting; Konferensi Perubahan Iklim dan Hutan.

Setelah adanya pertemuan tingkat tinggi di Beijing, China, pada bulan Mei juga diselenggarakan Konferensi Perubahan Iklim dan Hutan di Oslo, Norwegia. Dalam konferensi ini Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Norwegia menandatangani letter of intent (LoI) atau kesepakatan untuk melakukan sesuatu terkait pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestrasi dan degradasi hutan senilai 1 miliar dollar Amerika serikat pada tanggal 26 Mei 2010. LoI ini akan dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, implementasi dan penilaian atas pengurangan emisi yang dilakukan. Menurut Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, LoI ini akan dilaksanakan berdasarkan sistem monitoring, reporting dan clarification (MRC).

Pembayaran atas kerjasama ini akan dilakukan setelah pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sudah dilakukan secara terukur. Dengan penggunaan sistem MRC, pemerintah yakin REDD+ akan berjalan dengan baik[4]. Kerjasama ini akan berlangsung hingga tahun 2016[5]. Berkat kerjasama dalam REDD dengan Norwegia, Indonesia merupakan role model dalam kerjasama program pemulihan hutan dan perubahan iklim antara negara maju dan negara berkembang[6].

Tindak Lanjut Kerjasama Norwegia. Sebagai salah tindak lanjut kerjasama dari pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melakukan moratorium atau penghentian sementara penerbitan izin pengusahaan hutan. Rencana moratorium izin pengusahaan hutan mendapat tanggapan yang beragam dari kalangan dunia usaha. Dari sektor perdagangan dan industri, moratorium izin hutan ini dinilai akan menghambat tujuan pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen pada 2014.

Moratorium juga akan membuat investor tidak tertarik menanmkan modalnya di Indonesia. Namun ada beberapa kalangan juga setuju dengan moratorium ini namun memberikan beberapa catatan[7]. Menurut pemerintah moratorium ini tidak akan menghambat dunia usaha perkebunan karena masih dapat menggarap lahan selain gambut dan hutan alami. Di luar Jawa terdapat lahan seluas 17 juta hektar yang dapat dimanfaatkan untuk usaha agro industri, kehuatnan, kertas, percetakan, penerbitan[8].

Tanggapan dari masyarakat sipil mengenai moratorium ijin pengusahaan hutan, berbagai LSM menyambut baik dan menyatakan dukungannya. Seperti koalisi LSM yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), HuMa, Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Konsorsium Pengelola Hutan Kemasyarakatan, Bank Information Center, dan Dewan Kehutanan Nasional (Kamar Masyarakat). Mereka menyambut baik beberapa beberapa butir kesepakatan penting, antara lain dukungan terhadap partisipasi dari masyarakat adat, dan upaya untuk membangun strategi nasional pengurangan emisi yang mengatasi semua penyebab utama emisi karbon dari hutan dan lahan gambut di Indonesia[9]. Meskipun demikian, mereka menilai moratorium izin pengusahaan hutan selama dua tahun ini dirasa masih kurang untuk mengatasi kerusakan yang parah[10].

Hal yang perlu diwaspadai dari program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) adalah negara maju sebagai penyebab polusi terbesar dunia, bisa lari dari tanggung jawab, dengan alasan telah menyumbang dana melalui REDD untuk pengurangan emisi di negara berkembang. Artinya, melalui REDD terjadi pengesahan atas polusi, dengan justifikasi peningkatan bantuan melalui REDD. Laporan Population 2009, dengan mengutip wartawan lingkungan hidup Fred Pearce, menyebutkan bahwa 500 juta warga terkaya dunia, atau 10 persen dari total penduduk dunia, menyumbang 50 persen terhadap emisi karbon dioksida dunia. Sedangkan sebanyak tiga setengah miliar penduduk dunia, atau sekitar 50 persen total populasi global, pada umumnya tinggal di negara berkembang, hanya menyumbang 7 persen pada emisi global.[11].

Bonn Climate Change Talk

Indonesia kembali menunjukkan perannya dalam diplomasi internasional di bidang perubahan iklim. Hal yang menjadi perhatian berbagai negara terhadap Indonesia adalah keberhasilan Pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia dalam Kerjasama Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari deforestasi dan degradasi hutan. Pada Bonn Climate Change Talks berbagai negara ingin mengetahui lebih lanjut langkah-langkah Indonesia sebagai negara yang telah menggagas Jalan Tengah dalam proses mencapai kesepakatan global perubahan iklim. Pertemuan tersebut dimulai pada tanggal 31 Mei – 11 Juni 2010 dihadiri oleh perwakilan dari 182 negara dan merupakan pertemuan untuk membicarakan berbagai permasalahan yang belum disepakati pada Pertemuan Para Pihak di Kopenhagen (COP 15) serta merintis jalan agar berbagai tindakan untuk mengatasi perubahan iklim dapat dilaksanakan di seluruh dunia[12].

Ketua Delegasi Republik Indonesia pada Bonn Climate Change, Rachmat Witoelar, dalam Sidang Pleno Ad-Hoc Working Group on Kyoto Protocol (AWG-KP) mendesak kepada negara-negara maju anggota Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) untuk membuat komitmen kedua pengurangan emisi gas rumah kaca pasca komitmen pertama dari Protokol Kyoto yang berakhir 2012[13].

DALAM NEGERI

Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim.

Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar ditunjuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi utusan khusus presiden yang menangani perubahan iklim. Dengan status utusan khusus Presiden RI, mantan menteri lingkungan hidup tersebut memiliki posisi lebih kuat untuk melakukan negosiasi perubahan iklim di even internasional[14].

Indonesia Mempromosikan Indonesia Climate Change Trust Fund dalam ASEM.

Pemerintah Indonesia mempromosikan Indonesia Climate Change Trust Fund, yang diperuntukan bagi pengelolaan dana-dana antisipasi perubahan iklim, kepada Uni Eropa dalam acara Asia-Europe Meeting (Asem) Development Conference ke-2 yang digelar di Yogyakarta 26-17 Mei 2010[15].

Pendanaan Iklim di Indonesia

Bank Dunia Memberikan Hutang Senilai 200 Juta Dollar.

Pada tanggal 25 Mei 2010, Bank Dunia memberikan pinjaman senilai 200 Juta Dollar Amerika Serikat[16].

Indonesia dan Jerman sepakat untuk memperkuat kerjasama dalam mengatasi dampak perubahan iklim.

Kesepahaman ditandatangani pada 11 Mei 2010. Beberapa hal penting dari kesepahaman tersebut, antara lain penguatan kerjasama pengalokasian dana kerjasama keuangan sejumlah EUR 54 juta, untuk pengembangan proses produksi ramah lingkungan bagi usaha kecil dan menengah dalam rangka pengurangan emisi, serta untuk mendukung pembangunan infrastruktur perkotaan, khususnya pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. Selain itu juga mendukung usaha pemerintah dalam pengembangan kelistrikan yang memanfaatkan panas bumi (geothermal), serta menyepakati pengalokasian dana hibah bantuan teknik senilai EUR 29,6 juta untuk pengembangan dan dukungan kebijakan perubahan iklim, desentralisasi dan tata kelola, kesehatan, pelatihan kejuruan dan pengembangan sistem jaminan sosial[17].

AS Tawarkan Hibah 100 ribu dolar Antisipasi Perubahan Iklim

Indonesia telah mendapatkan tawaran hibah dari Amerika Serikat senilai 100 ribu dolar AS dalam kaitan program mengatasi perubahan iklim (climate chnage)[18]. Sampai sejauh ini baru Inggris yang telah memberikan komitmennya terhadap Indonesia untuk mengantisiapasi dampak perubahan iklim. Inggris telah menghibahkan sebesar 50 juta poundsterling selama lima tahun. Beberapa negara yang tertarik di antaranya Jepang dan Belanda.

Indonesia Dapat 3 Miliar Dolar untuk Perubahan Iklim

Menurut menteri keuangan dan George Soros, Indonesia dapat memperoleh bantuan dana internasional mencapai tiga miliar dolar AS (sekitar Rp27,6 triliun) untuk menanggulangi perubahan iklim pada 2012 termasuk dana dari Norwegia [19].

George Soros menyetujui pembentukan agen khusus untuk mengelola pendanaan iklim.

Dalam kunjungannya ke Indonesia, penasihat perubahan iklim PBB, George Soros, telah mendukung proposal Indonesia untuk membentuk sebuah agen khusus bertanggung jawab untuk mengelola bantuan internasional dalam rangka mengatasi perubahan iklim[20]. Pendanaan melalui badan khusus ini akan disandingkan dengan pendanaan pemerintah melalui APBN dalam untuk membiayai program penurunan emisi yang difokuskan pada memberantas penebangan pohon ilegal, mengurangi kebakaran hutan, menekan deforestasi, serta pengembangan komunitas sekitar hutan. Dalam pembiayaan melalui badan khusus itu juga akan diterapkan mekanisme pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) untuk memastikan akuntabilitasnya[21].

Kontroversi Dana Hutang atau Hibah Perubahan Iklim

Sekjen Kementerian Kehutanan menyatakan Kemenhut hingga kini tidak menerima dana pinjaman dari manapun untuk pengelolaan hutan. Jika ada dana untuk pengelolaan hutan, terlebih yang terkait dengan perubahan iklim, semuanya adalah dalam skema `grant` atau hibah. Menurut data Kemenhut per 2010, hibah diterima dari Australia dikemas dalam skema “Australia forest carbon partnership” adalah sebesar 70 juta dolar Australia, Jerman dalam pilot project REDD sebanyak 32,4 juta euro, Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) untuk program UN-REDD 5,6 juta dolar AS, dari Jepang (ITTO) sebesar 60,150 dolar AS. Selain itu juga hibah dari Korea (KIPCCF) sebesar 5 juta dolar AS, JICA (Jepang) 720 ribu dolar AS, Bank Dunia sebesar 3,6 juta dolar AS, 1,4 juta dolar AS, dari Australia melalui LSM untuk program ACIAR dan ICRAF adalah 1,123 juta euro. Jika dilihat proporsinya hibah dari negara donor untuk pengelolaan hutan tidak sampai 5% dari total alokasi APBN untuk kehutanan sebesar Rp 3 triliunan. Semua kegiatan kehutanan dibiayai oleh APBN yang sumber pemasukannya dari dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan.

Sebelumnya, kelompok masyarakat sipil menilai isu perubahan iklim digunakan pemerintah sebagai alasan untuk menambah utang baru, meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan hati-hati menerima bantuan dalam pinjaman untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Menurut Koalisi Anti Utang (KAU) pernyataan Presiden bertolak belakang dengan realitas kebijakan pembiayaan iklim pemerintah selama ini. Pada tahun 2008-2009, utang pemerintah terkait perubahan iklim mencapai 1,1 miliar dolar AS. Dana pinjaman yang dimaksudkan untuk mengatasi perubahan iklim tersebut justru digunakan untuk menutup defisit APBN 2009. Jumlah tersebut belum termasuk komitmen “Climate Investment Fund” (CIF) yang dikelola Bank Dunia sebesar 480 juta dolar AS.

Dalam APBN 2010 pemerintah juga mengajukan utang baru yang masih terkait perubahan iklim sebesar 800 juta dolar AS dengan rincian dari Jepang dan Perancis masing-masing 300 juta dolar AS, dan Bank Dunia 200 juta dolar AS. Penetapan regulasi tentang pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) dijadikan sebagai salah satu syarat dalam pengucuran utang luar negeri, selain kompensasi penggunaan energi dan perdagangan karbon. Saat ini persentase hutang dalam rangka perubahan iklim jauh lebih besar dibandingkan hibah yaitu 68% dibandingkan 32%[22]. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pemerintah tidak perlu mengajukan pinjaman untuk perubahan iklim. Seharusnya lebih mengoptimalkan dana dari hibah[23].

Issue Dalam Negeri Lainnya

Kajian Penelitian Sejarah Iklim di Puncak Jaya[24]

Para peneliti iklim dari BMKG bekerjasama dengan peneliti dari Byrd Polar Research Center (BPRC), Columbia University, dan The Ohio State university Columbus akan melakukan kajian gumpalan es abadi di Puncak Jaya untuk memperloleh informasi valiabilitas dan perubahan iklim yang terjadi. Ekspedisi ilmiah puncak jaya ini adalah satu-satunya ekspedisi pengkajian es di wilayah Indonesia. Di daerah tropis terdapat tiga gunung yang dilapisi es, yaitu: Kilimanjaro, Tazania (5895 m dpl); Puncak Jaya, Indonesia (4884 m dpl); dan Andes, Peru (6962 m dpl). BMG 5 Mei 2010.

Pemerintah Tingkatkan Anggaran Hutan Bakau

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan kepada para pemimpin pemerintah daerah di seluruh Indonesia, terutama di Jawa, Sumatera, dan daerah-daerah lain yang punya kawasan hutan bakau, untuk menghutankan kembali atau merehabilitasi hutan bakau secara serius [25].


[1]China Daily: Climate forum paves way to Cancun meet. 07-05-2010. http://www.chinadaily.com.cn.

[2]David Stanway. China Says New Global Climate Deal Still Far Away. 10 Mei 2010. http://www.reuters.com.

[3]Kompas. Meksiko Optimistis pada Hasil Cancun. Kamis, 3 Juni 2010. http://cetak.kompas.com.

[4]Kompas. Pengurangan Emisi, RI-Norwegia Teken LoI. Kamis, 27 Mei 2010. http://nasional.kompas.com.

[5]Antara News. http://www.antaranews.com.

[6]Kontan online. Rabu 26-05-2010. http://www.kontan.co.id.

[7]Antara News. 6 Juni 2010. http://www.antaranews.com.

[8]MORATORIUM IZIN PENGELOLAAN HUTAN. Senin, 07 Juni 2010. http://www.kontan.co.id.

[9]Antara News. http://www.antaranews.com.

[10]Two-Year Moratorium Signed in Oslo Not Enough, Green Groups Complain. Jakarta Globe http://www.thejakartaglobe.com.

[11]Kompas. Selasa, 8 Juni 2010. http://cetak.kompas.com.

[12]Press Release DELRI. Bonn, 1 Juni 2010.

[13]Antara. http://www.antaranews.com.

[14]Kompas. Rachmat Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim. Jumat, 21 Mei 2010. http://sains.kompas.com.

[15]http://www.menlh.go.id.

[16]World Bank. http://web.worldbank.org.

[17]Jawa Pos Nasional. http://www.jpnn.com.

[18]Antara News. http://www.antaranews.com.

[19]Republika. http://www.republika.co.id.

[20]Jakarta Post. http://www.thejakartapost.com.

[21]Kompas. http://cetak.kompas.com.

[22]Antara News. Rabu, 2 Juni 2010. http://www.antaranews.com.

[23] Suara Karya. http://www.suarakarya-online.com.

[24]BMG. http://www.bmg.go.id.

[25]Kompas. http://cetak.kompas.com.

Lumpur Lapindo dan Deepwater Horizon : Kecanduan Bahan Bakar Fossil serta Ancaman Ekonomi dan Ekologi

Oleh: Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR)

foto diambil dari kabariindonesia.com

Belum sirna dari ingatan kita akan bencana Lumpur Lapindo yang dimulai 4 tahun lalu dan hingga hari ini masih juga belum teratasi. Dikhawatirkan luapan lumpur yang tidak berhenti akan menyebabkan sebagaian besar kawasan Porong bahkan Sidoarjo bakal amblas. Bencana lumpur lapindo dikuatirkan semakin mengancam kesehatan masyarakat dan pengguna jalan di wilayah Porong yang membuat Pemprov Jatim membentuk Tim Satgas Kesiapsiagaan Bencana Lumpur Sidoardjo minggu lalu.i

Puluhan ribu kilometer dari tanah air Indonesia, ada bencana lain yang serupa. Pada tanggal 20 April lalu, sebuah anjungan eksplorasi minyak lepas pantai (rig) yang berada sekitar 64 km dari Louisiana, milik perusahaan Deepwater Horizon yang dikontrak oleh BP, salah satu perusahaan minyak terbesar dunia dan produsen minyak dan gas terbesar di AS, terbakar dan tenggelam ke dasar laut teluk Mexico (Gulf of Mexico) dua hari sesudahnya. Kecelakaan ini mengakibatkan 11 orang pekerja di anjungan lepas pantai tersebut terenggut nyawanya.

Bukan hanya nyawa pekerja yang hilang, serta rig seharga miliaran dollar terbenam di dasar laut, tetapi juga tumpahan

photo release-deepwater horizon response

minyak yang tidak dapat dicegah. Sudah hampir satu bulan sejak bencana terjadi, berbagai upaya yang dilakukan belum juga berhasil menutup retakan dari pipa bor yang pecah di dasar laut dan menghambat aliran minyak. Awalnya menurut perkiraan US Coast Guard lebih dari 5 ribu barrel minyak setiap harinya tumpah tetapi sejumlah ahli yang mempelajari video tumpahan minyak tersebut memperkirakan sekitar 20 ribu – 70 ribu barrel per hari mencemari lautan teluk Mexico. Jumlah ini bisa lebih besar 15-20% karena terdapat retakan lain pada pipa sekunder. Menurut blog Skytruth.org, hingga hari ke-26 kecelakaan ini diperkirakan sudah hampir 700 ribu barrel minyak tumpah ke laut.ii Jumlah ini jauh lebih besar dari tumpahan minyak oleh kapal tanker Exxon Valdez tahun 1989 di laut Alaska sebesar 260 ribu barrel.

Gambar 1. Peta NOAA yang memperkirakan penyebaran tumpahan minyak per tanggal 17 Mei 2010. Tumpahan minyak meliputi area seluas ratusan mil persegi dan masih akan terus bertambah selama rekahan pipa di dasar laut tidak dapat ditutupi (sumber: http://blog.al.com/live/2010/05/bp_reports_progress_against_gu.html)

Kantor berita Associated Press menulis, laporan terakhir menunjukkan bahwa tumpahan minyak membentuk sejumlah gumpalan kolom minyak raksasa di bawah air. Salah satunya diperkirakan sepanjang 10 mil, lebar 3 mil dan dengan ketebalan 300 kaki.iii Gumpalan minyak ini tidak hanya mengancam fauna laut, tetapi juga ekosistem terumbu karang (coral reef) di sepanjang pantai Florida dan wilayah AS yang berada di sekitar teluk Mexico, dan kehidupan di bawah air. Wilayah Florida Keys di AS menyimpan sumber daya alam bawah laut yang luar biasa kaya, serta merupakan daya tarik bagi wisatawan. Setiap tahunnya, kawasan ini menarik 2 juta wisatawan.iv Bayangkan kerugian ekologi dan ekonomi yang dapat ditimbulkan oleh bencana Deepwater Horizon ini jika tidak cepat ditanggulangi. Diperkirakan BP akan mengeluarkan biaya sebesar lebih dari 30 milyar dollar untuk biaya pembersihan tumpahan minyak serta kompensasi ekonomi akibat bencana ini.

Ironisnya bencana “Deepwater Horizon” ini terjadi tidak lama setelah Presiden Obama mengumumkan untuk mencabut larangan pengeboran minyak dan gas bumi sepanjang pantai timur AS dan perairan sekitar Alaska yang memiki situs ekologis yang ringkih.v Keputusan yang mendapatkan kecaman keras dari aktivis lingkungan ini didasarkan pada tujuan objektif pemerintah Obama untuk mengurangi impor minyak dari negara-negara lain dimana sejumlah negara yang menjadi pemasok minyak AS adalah negara-negara yang saat ini justru dapat menjadi ancaman keamanan dalam negeri AS, yaitu Venezuela (eksportir no. 3) dan Arab Saudi (eksportir no. 5), serta rival AS dalam politik global yaitu Russia (eksportir no. 8). Dalam op-ed, majalah The Economist (8/05/2010) menulis: “jika AS tidak ingin menyerahkan uang dan kekuasaan kepada negara seperti Iran, Rusia dan Venezuela, maka argumentasi yang berlaku adalah bahwa pengeboran lepas pantai tidak boleh dibatasi.”

Ketergantungan dengan minyak

AS memiliki tingkat ketergantungan yang sangat besar terhadap minyak. Sekitar 25% total produksi minyak dunia dikonsumsi oleh masyarakat AS. Data EIA menunjukkan pada tahun 2008 rata-rata konsumsi minyak AS sebesar 19,5 juta barrel per hari, sekitar 11 juta barrel diimpor dari negara-negara lain dan hanya 8 juta barrel diproduksi di dalam negeri.vi Oleh karena itu, untuk memenuhi kecanduan masyarakat AS terhadap minyak dan bahan bakar fosil lainnya, pengeboran minyak dan gas tidak boleh terhenti.

Ekonomi dunia saat ini sudah saat terikat dengan minyak. Pasokan minyak global yang berkurang dapat menyebabkan resesi ekonomi di negara maju, terutama AS. Kalau ekonomi di negara maju sakit, dan efeknya dapat menular ke negara-negara lain, termasuk negara-negara berkembang. Harga minyak yang membumbung tinggi, baik karena permainan dan spekulasi harga di pasar komoditas atau karena memang terjadi defisit produksi minyak mentah, menyebabkan ratusan miliar dollar terbuang untuk membiayai impor minyak untuk memenuhi kebutuhan domestik yang menyebabkan defisit anggaran serta rontoknya cadangan devisa pemerintah.

Situasi ini tidak hanya terjadi di AS, tetapi juga di negara kita Indonesia. Tidak terlalu jelas tetapi ekonomi Indonesia sesungguhnya sangat tergantung pada minyak. Dari sisi pasokan minya, pada tahun 2009, Indonesia mengkonsumsi lebih dari 310 juta barrel per tahun, dimana sekitar sepertiganya atau 114 juta barrel diimpor dari negara lain. Tanpa impor minyak, dipastikan ekonomi Indonesia tidak akan bertumbuh. Kenaikan harga minyak bahkan dapat menyebabkan perubahan pada angka kemiskinan di negara ini. Sedemikian rentannya kita.

Dalam penyusunan APBN setiap tahunnya besaran lifting (produksi) minyak mentah serta harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price, ICP) menjadi dasar perhitungan pendapatan dan pengeluaran negara. Pada penyusunan APBN 2010, APBN adalah instrumen fiskal yang menentukan berhasil tidaknya pembangunan ekonomi dan non-ekonomi dilaksanakan. Walaupun variable lainnya, seperti asumsi makro ekonomi yang terdiri dari: pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah dan sertifikat BI dipakai sebagai dasar penyusunan APBN, kedua variabel yang berhubungan dengan minyak tersebut sangat menentukan profil penerimaan dalam APBN yang disusun, dan pada akhirnya menentukan defisit anggaran, alokasi pengeluaran dan pada akhirnya nasib perjalanan bangsa ini.

Pada tahun 2008 subsidi BBM (termasuk BBM untuk pembangkitan listrik) dan LPG mencapai 225 triliun rupiah, tertinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Pada tahun 2010, subsidi energi diperkirakan mencapai 150 triliun rupiah. Apabila rata-rata harga minyak lebih tinggi dari asumsi ICP yang dipakai pada APBN, jumlahnya subsidi bbm kemungkinan lebih tinggi. Kenaikan harga minyak 5 dollar diatas asumsi APBN akan meningkatkan subsidi sekitar 7-8 triliun rupiah. Sekitar 15 persen APBN 2010 dialokasikan untuk subsidi bbm.

Kecanduan dunia akan minyak dan bahan bakar fosil lainnya melahirkan bencana seperti Lumpur Lapindo dan Deepwater Horizon. Selain itu, ekonomi menjadi rentan, karena ditentukan pasokan dan permintaan, serta harga minyak. Ekonomi sebuah negara yang bergantung pada komoditas minyak dapat ambruk sekonyong-konyong karena perubahan harga minya di pasar dunia. Oil boom and burst merupakan fenomena dalam lima dekade terakhir.

Oleh karenanya sudah waktunya kita memikirkan secara serius decoupling ekonomi dunia dari minyak. Kita harus mempersiapkan diri untuk hidup pasca minyak. Tentunya tidak besok atau lusa, tetapi persiapan tersebut harus dilakukan mulai sekarang karena butuh lebih dari 3-4 dekade, bahkan lebih lama dari itu untuk mengubah struktur ekonomi dan pola adaptasi.

Negara berkembang seperti Indonesia yang tingkat konsumsi minyaknya relatif lebih rendah dibandingkan negara maju, mempunyai keuntungan yaiut lebih mudah untuk “banting setir” meninggalkan ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh minyak. Tingkat pertumbuhan konsumsi minyak masih dapat ditekan, melalui penetapan harga energi dan subsidi yang cerdas (smart), serta kampanye konservasi yang tidak kenal lelah. Kita harus menghindar menjadi negara yang “mencandu” (addicted) minyak seperti AS.

Masyarakat pun harus dibuat sadar bahwa energi itu mahal dan proses ekstraksi menyebabkan dampak ekologis yang besar. Padahal bukankah seharusnya kita meninggalkan warisan planet bumi ini kepada anak-cucu, generasi kita yang akan datang?

Hanoi, 17 Mei 2010

ihttp://www.mediaindonesia.com.
iihttp://blog.skytruth.org.
iiihttp://www.huffingtonpost.com.
ivhttp://www.huffingtonpost.com.
vhttp://www.nytimes.com.
vihttp://tonto.eia.doe.gov.

Press Release – Pemerintah dan Perusahaan EI Indonesia diserukan untuk Serius Terapkan EITI

Jakarta, 6 Mei 2010. Pemerintah Indonesia dan Perusahaan EI (Ekstraktif Industri) diserukan untuk serius menerapkan EITI (Extractive Industri Transperency International), menyusul telah ditandatanganinya Peraturan Presiden (PerPres) No 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Daerah dari Industri Ekstraktif.

Hal ini ditandaskan oleh IESR (Institute for Essential Services Reform) dan PWYP (Publish What You Pay), dalam acara Diskusi Dengan Media: Tantangan PerPres No.26/2010, Kamis, 6 April 2010, di Jakarta, menyusul telah ditandatanganinya PerPres tersebut oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 April 2010. Hadir dalam acara Deputi Menko Perekonomian, Ir Muhammad Husen, Priyo Pribadi Sumarno (IMA/ Indonesia Mining Association).

“Ini langkah awal yang baik untuk mendorong transparasi dan akuntabilitas yang lebih luas dalam menegakkan pemberantasan korupsi serta demokratisasi lewat sektor ini. Meski ada keraguan akan implementasinya tapi upaya ini harus dihargai. Kita harapkan segera dikonkretkan,”jelas Direktur IESR, Fabby Tumiwa. Ditambahkannya, diperlukan konsensus serta pembentukan multipihak dari pemerintah, usaha EI, dan masyarakay sipil untuk memastikan keterbukan pelaporan dan pendapatan usaha EI di Indonesia.

Sebagai informasi EITI adalah Inisiatif global yang menuntut keterbukaan usaha Industri Ekstraktif (mineral, gas, minyak, batu bara, dan sejenisnya) untuk melaporkan secara terbuka pendapatan usaha EI-nya kepada publik, begitu juga pemerintah melaporkan pendapatan dari hasil setoran yang terima dari usaha EI. Inisiatif ini telah dilakukan 30 negara di seluruh dunia, dan 10 negara lainnya kini mulai berkomitment mengikuti EITI.

Di Indonesia ditandatanganinya PerPres ini adalah langkah awal Indonesia menerapkan EITI. Artinya, kini perusahaan minyak dan gas bumi atau apa pun yang dihasilkan perut bumi maka harus melaporkan segala hasil pendapatannya yang disetor ke pemerintah secara terbuka kepada publik. Instansi pemerintah yang telah terima pembayaran itu juga mengisi laporan hasil penerimaan tersebut.

Multipihak yang ditunjuk mengawasi proses pelaporan ini terutama dalam me- cross check -an laporan satu dengan lainnya. Sehingga akan jelas di sana baik pendapatan EI dan yang diperoleh (hasil setoran) pemerintah. Hasil cek silang ini kemudian dipublikasikan juga secara terbuka kepada publik.

Sementara Koordinator nasional PWYP Indonesia, Ridaya Laodengkawe menjelaskan, PerPres itu setidaknya bisa mengurai rejim ketertutupan dalam aliran pendapatan Negara dari sektor migas dan tambang. Apalagi 32-35% total penerimaan Negara dalam beberapa tahun terakhir berasal dari sektor strategis ini. Sektor ini juga selalu menjadi sumber polemik antara pemerintah puat dan pemerintah daerah, terutama tentang besaran dana bagi hasil yang merupakan salah satu elemen kunci dalam desentralisasi.

“Terdapat 7000-an kuasa pertambangan telah dikeluarkan pemerintah daerah selama Sembilan tahun masa desentralisasi, tanpa kejelasan beberapa manfaat yang telah diberikan. Kerusakan ekologis lebih menonjol sebagai akibat dari ribuan KP yang dikeluarkan tanpa kesiapan tata kelola yang baik,” jelasna.

Baik IESR dan PWYP meyakini bahwa pelaksanaan EITI secara konsukuen akan memperbaiki tatakelola aliran pendapatan Negara dari EI tetapi juga akan meningkatkan tata kelola EI secara keseluruhan.

Sedangkan Ketua IMA, Priyo Pribadi Sumarno mengatakan bahwa pihaknya telah mencoba mesosialisasikan keberadaan EITI ke perusahaan-perusahaan tambang, gas dan minyak Indonesia. Pihkanya juga menyambut baik PerPres ini.

“Sebenarnya beberapa perusahaan tambang telah melakukan pelaporan ini tiap tahunnya. Usaha EI yang menyatakan siap menjalankan EITI sementara ini hanya dari Medco dan Rio Tinto. Masyarakat akan diberikan informasi seluasnya, apakah mereka akan mendapatkan hal sepadan atau tidak,” jelasnya.

Sementara Ir Muhammad Husen menjelaskan saat ini pihaknya tengah mendorong agar Per-Pres dikonkretkan dalam implementasi yang jelas.

“Prosesnya masih panjang untuk bisa sampai ke UU. Kita fokuskan saja bagaimana menjalankan ini dengan baik. Terutama menyertakan multipihak baik dari pemerintah, usaha EI dan juga masyarakat sipil yang diwakili LSM. Saya masih bingung LSM mana yang mesti disertakan untuk masuk dalam multipihak seperti yang ditentukan EITI,”jelasnya.

Tidak tegas dan tidak ada sanksi

Sedangkan Ridaya menyayangkan Per-Pres yang ada masih dikemas dalam bahasa hukum yang halus atau tidak tegas.

“Kami sebenarnya menginginkan bahasa hukum yang tegas. Misalnya, memerintahkan kepada Pemerintah dan Perusahaan untuk menyerahkan laporan….” Namun dalam pasal 14 PerPres pemerintah memilih meformulasikan dengan tidak tegas.

Demikian juga tentang keterlibatan para pihak (multistakeholder steering group/MSG). PerPres mengatur MSG dengan sistem dua kamar (pasal 4): Tim Pengarah dan Tim Pelaksana. Konsukunesi dari sistem dua kamar ini adalah rantai koordinasi yang lebih panjang daripada yang dibayangkan oleh EITI (satu kamar).

PerPres juga tidak menyatakan benchmark atau jenis data minimal yang harus dilaporkan secara eksplisit. Di satu sisi ketiadaan benchmark dapat sebagai peluang untuk memperluas lingkup pelaporan, namun di sisi lain dapat juga bearti memainkan kekuasaannya.

Kekhawatiiran ini, meskipun diharapkan tidak terjadi, namun tetap ditemukan komposisi Tim Pelaksana (pasal 10) yang tidak seimbang dan dalam PerPres ini tidak diatur tentang voting block mechanism (pengambilan keputusan berdasarkan perwakilan unsur), sehingga kelak ada keputusan yang adil.

PerPres ini juga disayangkan tidak menegaskan adanya sanksi bagi yang tidak membuat pelaporan tegas kepada publik. Hal ini diakui Husen sebagai kelemahan PerPres.

“Tidak ada hitam di atas putihnya. Jadi memang sanksi moral saja. Tapi kunci dari keberhasilan implementasi EITI lewat PerPres ini adalah komitment semua pihak. Jika salah satunya tidak menjalankan, ini jutsru menurunkan citra kesungguhan kita yang ingin terbuka terhadap pelaporan pendapatan dan penerimaan pendapatan EI yang ada,”tandas Husen.

Nomor Kontak:

Ridaya Laodengkowe (Koordinator Nasional): 0812 803 7964
Email- ridaya.lon@gmail.com
Fabby Tumiwa (Direktur IESR): 0811 949 759
Email: fabby@iesr-indonesia.org

Press Release- Time for the World Bank to clean its energy investments – or lose relevance

As the World Bank Group (WBG) asks an $86 billion general capital increase from its major shareholders, it appears this lending and knowledge institution is not committed to direct public resources to measures that support sustainable development, poverty reduction and clean energy. Instead, the Bank looks set to mobilize public money to subsidize fossil fuel industry and orient funds for large-scale thermal, hydropower projects and energy-related policy reforms, says joint NGO report.

This critique emerges from the recent study on the energy portfolio of the Bank in Indonesia undertaken by the Jakarta-based Institute for Essential Services Reform (IESR) and Bank Informartion Center (BIC), an IFI watchdog working in Indonesia, Mekong and South Asia. The study looked at the Bank’s influence on Indonesia’s energy sector over the last 40 years through its lending and non-lending services. The report is released in time for the May 6 Jakarta consultation that WBG organizes to solicit external comments on its energy strategy approach paper.

“Since 1969, the WBG has provided over USD 5.4 billion in energy lending in Indonesia which has focused on centralized, large scale, grid based thermal and hydropower projects and on the financial viability and privatization of the Perusahaan Listrik Negara (PLN)”, says Daniel King, one of the researchers for the study. Bank’s appetite for risky, dirty public debt for energy remains high as demonstrated by pending loans for a $500 million geothermal project in Sumatra and North Sulawesi, $530 million Upper Cisokan hydropower in West Java, and $225 million transmission project in Java and Sumatra.

“If these were an indication that Bank wants to keep its business-as-usual model for energy financing, this leaves us with little confidence that the institution can play a relevant role in promoting low-carbon development and wider energy access for the poor,” argues Fabby Tumiwa, Executive Director of IESR. “Apparently, the Bank only pays lip service as an institution concerned with climate change and delivering affordable and reliable energy to off grid, rural communities. It does not walk the walk”, Tumiwa adds.

Delivering energy access for the poor?

“The Bank’s mandate is to reduce poverty, but it is disappointing that the objective for energy access for the poor is not made clearer in the 2009-2012 Country Partnership Strategy, its country support masterplan. Although the Bank’s rural electrification projects of the 1990s brought electricity access to 10 million households, it still has no clear plan to address energy access for over 70 million Indonesians without electricity access”, King reveals.

The study found that the Bank has oriented its energy financing into investments that are considered high in greenhouse gas emissions, environmentally and socially risky and ones that favor privatization of energy utilities. King discovered that in the 1970s, nearly $600 million worth of loans and grants focused on oil and transmission while loans more than tripled ($1.5 billion) in the 1980s but this time, the Bank dedicated public debt to Indonesia’s coal, large hydropower and transmission projects. In the 1990s, the Bank repeated the same lending pattern. Although it can be credited for investing $670 million for rural electrification projects, it has also scaled up its loans geared to privatize State-owned and operated power utilities.

A climate bank?

While the energy sector is the second largest source of CO2 emissions in Indonesia, discharged from power generation, the Bank’s strategy to mitigate climate change is poor, says the report. As the Government of Indonesia (GOI) aims to reduce GHG emissions by 26 percent by 2020 and make a further cut up to 41 percent with international support, it turns out the Bank has no clear cut strategy to progressively shift its funding from fossil fuel.

“It is predictable – as well as disappointing – that the Bank is not ready to abandon its addiction to dinosaur energy sources and technologies,” claims Tumiwa. “Promoting the use of coal had been a specific policy aim of WBG projects in Indonesia until 1995; coal and gas still form a key part of the Bank’s energy strategy in the country and the lending institution has propensity to label its advanced coal technologies as clean energy. This is inaccurate and misleading”, Tumiwa asserts.

Is the Bank promoting alternatives?

“At the conceptual plane, it looks like this post-World War Bank seeks alternatives but how clean and sustainable these offered solutions are is highly suspect”, argues Yaya Nurhidayati dari Bank Dunia. “Large hydropower is back on the agenda. The Bank is set to approve a $530 million loan in October 2010 to develop the Cisokan River Pumped Storage Power Project, reveals Forqon. The Bank champions hydropower as a “clean energy” source due to its low carbon emissions but scientific studies show that in tropical climate, methane emissions from dam reservoir can be high”, he added.

The Bank has recently increased its funding for geothermal projects using clean thecnology fund and regular investment loan but the actual social, environmental and economic impacts are yet to be seen. Meanwhile its public and private sector arms have extended the lending envelope to “new renewables” such as wind, solar, small hydro and modern biomass but volume has been negligible.

What’s new in the country energy agenda?

In the study, King found that the Bank is infusing large chunk of public money for policy-based reforms, called development policy loans (DPL), the successor of structural adjustment programs (SAPs) that were controversial in the 1980s and 1990s. From 2007 to 2010, the Bank prepositioned $467 million for DPLs related to financing energy infrastructures, some of which include regulatory, institutional and administrative reforms.

The Bank acknowledges that the infrastructure sector “continues to be plagued with corruption issues in Bank-financed projects, which has delayed project preparation and implementation and has serious implications for the future project pipeline.” Yet, this has not stopped the Bank from providing infrastructure DPLs plagued with lack of transparency and accountability. In the design of the DPL, large amount of money has been provided over a short period of time with little public consultation. This raises another concern on fiduciary control: with little detail available, the public are left in the dark how the public debt is actually spent. The public hardly knows if energy-related DPLs contribute to low carbon development or simply disbursed without addressing the energy needs of the poor.

Time to clean up the act

“With its dirty, risky energy portfolio, it is long overdue for the Bank to progressively shift from unsustainable and climate damaging investments to one that supports developing economies’ transition to low carbon development”, states Norly Mercado of the Bank Information Center. “As the Bank revises its new energy strategy for the next 10 years, the Bank should set out a clear, limited role – only supporting activities that have maximum impact on its goals of sustainable development and poverty reduction.”

“The Bank’s energy strategy must prioritize support for increased energy access for millions of the poor living rural, off grid, and those dependent on non-electrical energy sources. After all, energy access is a human right”, states Mercado. It must also focus on decentralised sustainable energy solutions that meet the energy needs of the poor in a cost-effective and energy efficient manner.”

“As countries like Indonesia make the transition necessary to prevent dangerous climate change, the Bank must end investments in fossil fuel extraction and use by 2015 and implement full life-cycle risk adjusted cost accounting by 2015.”

“By failing to clean its energy investments, its role as a climate bank makes no relevance”, asserts Tumiwa.