Jakarta-CNN Indonesia. Pemerintah memperlambat laju kinerjanya sementara waktu dengan menunda pengerjaan sejumlah proyek listrik. Hal itu dilakukan demi mengurangi tekanan impor terhadap neraca perdagangan yang ujungnya melemahkan rupiah.
Sejumlah proyek yang akan ditunda ialah proyek pembangkit listrik yang belum memasuki tahap pemenuhan kewajiban pembiayaan (financial closing).
Tak tanggung-tanggung, jumlah proyek pembangkit listrik yang ditunda mencapai 15.200 MegaWatt (MW) dengan total investasi mencapai US$23,9 miliar atau mencapai Rp353 triliun.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebanyak 67 proyek dengan total kapasitas 12,28 ribu MW di antaranya merupakan bagian dari program 35 ribu MW. Dengan rincian, 29 proyek di Sumatra, 18 proyek di Kalimantan, 10 proyek di Jawa, 9 proyek di Sulawesi, dan 1 proyek di Nusa Tenggara.
Kemudian, 72 proyek dengan total kapasitas 2,97 ribu MW merupakan bagian dari program reguler. Terdiri dari, 66 proyek di Sumatra dan enam proyek di Jawa.
Semula, sebagian besar proyek-proyek ditargetkan beroperasi (commercial operation date/ COD) pada 2018 – 2019. Namun, Kementerian ESDM meminta pengerjaan digeser, sehingga bisa selesai pada 2020 hingga 2026, menyesuaikan dengan kebutuhan listrik setempat.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengungkapkan langkah tersebut bisa mengurangi pengadaan barang impor sekitar US$8 miliar-US$10 miliar atau setara Rp118 triliun-Rp148 triliun.
Menanggapi kebijakan tersebut, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengaku pesimistis langkah ini akan efektif menekan impor barang modal, termasuk komponen proyek kelistrikan untuk jangka pendek.
Pasalnya, proyek-proyek yang ditunda memang masih dalam tahap perencanaan dan belum berkontrak dengan PT PLN (Persero).
“Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2018-2027, ada pengerjaan proyek pembangkit 9 GigaWatt yang sudah dimundurkan. Lalu, ada proyek-proyek yang belum financial closing,” ujar Fabby kepada CNNIndonesia.com, Rabu (6/9).
Kendati sejumlah proyek ditunda, Fabby meyakini pemenuhan kebutuhan listrik sampai 2022 masih aman, mengingat sebagian besar proyek-proyek yang sudah dibangun akan beroperasi secara bertahap pada 2020 hingga 2022.
Terlebih, pertumbuhan konsumsi listrik saat ini masih di bawah target, seiring laju pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dari perkiraan.
Pemerintah memperkirakan konsumsi listrik tahun ini hanya tumbuh 6 persen. Padahal, dalam menyusun APBN 2018, pemerintah memprediksi pertumbuhan konsumsi listrik tahun ini bisa mencapai 8 persen.
Sebagai pengingat, di awal pemerintah, Presiden Joko Widodo menargetkan pertumbuhan ekonomi bisa bergerak hingga 7 persen pada 2019. Kenyataannya, laju pertumbuhan ekonomi hingga saat ini sulit beranjak dari kisaran 5 persen.
Di sisi lain, penundaan pengerjaan proyek pembangkit listrik, meski belum memasuki tahap FC, bukan tanpa konsekuensi.
Ketua Harian Asosiasi Pembangkit Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengingatkan ada risiko perubahan biaya untuk proyek yang sudah ditandatangani melalui perjanjian penjualan listrik (power purchase agreement/PPA) yang akan berujung pada penyesuaian tarif ke depan. Belum lagi, biaya yang sudah keluar pra-perjanjian jual beli yang nilainya tidak kecil.
“Untuk mempunyai PPA pasti sudah ada dana-dana yang menjadi komitmen pengembang. Pasti ada survei lahan dan pembebasan lahan. Kemudian, pasti sudah ada kerja sama dengan arsitek, konsultan, dan pihak ketiga lain,” ujar Arthur.
Maka itu, pemerintah perlu memperjelas mekanisme penundaan proyek kepada pelaku usaha dalam bentuk petunjuk teknis tertulis, misalnya dalam bentuk Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri.
“APLSI memahami arahan pemerintah sebagai upaya untuk membuat nilai rupiah stabil dan devisa tidak tergerus. Namun, menurut saya, (penundaan proyek) ini tidak bisa dilihat secara jangka pendek,” ujarnya.
Industri Dalam Negeri Dikebut
Kebutuhan impor terjadi karena industri dalam negeri belum bisa memasok seluruh kebutuhan bahan material pembangkit. Saat ini, Jonan menyebutkan, rata-rata Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) proyek pembangkit listrik masih ada di kisaran 20 persen-40 persen.
Berdasarkan data ESDM, pembangkit listrik dengan TKDN tertinggi yaitu mencapai 70 persen adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan kapasitas kecil yaitu kurang dari 15 MW. Namun, semakin besar kapasitasnya, semakin berkurang komponen lokal yang terkandung. Misalnya, untuk PLTU dengan kapasitas lebih dari 600 MW per unit TKDN-nya hanya 33 persen.
Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), realisasi TKDN-nya telah mencapai 57,5 persen, lebih tinggi dari target 43,72 persen. Sementara itu, untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air dengan kapasitas 50 sampai dengan 150MW, realisasi TKDN hanya 21,89 persen lebih rendah dari targetnya yang mencapai 49 persen.
Pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), rata-rata TKDN pembangkit yang berkapasitas antara 60 hingga 110 MW hanya 28,6 persen.
Selanjutnya, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dengan kapasitas sampai dengan 100 MW realisasi TKDN 43,57 persen. Terakhir, untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) yang berkapasitas lebih dari 300 MW, realisasi rata-rata. TKDN hanya 29,17 persen.
Sebenarnya, pemerintah telah berusaha untuk mendorong perkembangan industri di dalam negeri. Kementerian ESDM mencatat peralatan listrik yang sudah bisa dipasok dari dalam negeri.
Di antaranya kabel listrik, konektor, isolator, kWh meter, Pemutus Sirkuit Mini (MCB), transfomator tenaga dan distribusi, transformasi arus (CT) dan tegangan (VT), panel listrik (switch board), panel kontrol, motror listrik, tiang listrik beton, tower listrik, dan generator set.
Namun, spesifikasi pasokan yang tersedia seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, masih ada peralatan yang memang masih harus diimpor karena berteknologi tinggi seperti mesin boiler, turbin pada pembangkit, dan generator.
“Kalau memang semua teknologi sudah tersedia di dalam negeri dan harga kompetitif, ngapain perlu ada komponen impor?,” ujar Arthur.
Direktur Perecanaan Korporat PLN Syofvi Felienty Roekman mengungkapkan perseroan sudah semakin banyak menggunakan produk lokal untuk peralatan transmisi dan distribusi.
PLN juga memberlakukan sistem pengadaan terbuka (open-book) untuk memantau dan mengontrol material dasar yang digunakan mitra perseroan dalam pengerjaan proyek.
“Sekarang PLN bisa kontrol kualitasnya, sampai pesan material dasarnya itu PLN bisa lihat,” ujar Syofvi beberapa waktu lalu
Dengan dorongan PLN, lanjut Syofvi, pabrikasi komponen ketenagalistrikan dalam negeri mulai berkembang. Misalnya, jumlah pabrik trafo dalam negeri sudah bertambah dari dua menjadi enam pabrik di Indonesia.
“Kami sejak lima tahun lalu tidak impor trafo,” terang dia.
Perbaikan neraca perdagangan penting untuk dicapai demi menjaga stabilitas kurs rupiah. Namun, pemerintah sebaiknya tidak sekedar mengambil jalan pintas untuk mengatasi gejolak yang ada.
Pemerintah perlu lebih serius dalam mendorong hilirisasi industri sehingga kebutuhan bahan baku domestik bisa dipenuhi dari dalam negeri.
Sumber : CNN Indonesia