“Polusi udara adalah sumber resiko kesehatan terbesar keempat di dunia. Di seluruh dunia, sebanyak 3,5 juta kasus kematian dini (premature deaths) terjadi akibat kemiskinan energi dalam hal penggunaan biomassa tradisional untuk memasak, dan minyak tanah untuk penerangan. Dan sekitar 3 juta kasus kematian dini akibat polusi udara luar ruangan (outdoor air pollution) sebagian besar terjadi wilayah di perkotaan,” demikian yang disampaikan Dr. Fatih Birol, Direktur International Energy Agency (IEA), dalam peluncuran WEO Special Report, Energy and Air Pollution, yang berlangsung di Jakarta, Selasa 19 Juli 2016.
Dari 3 juta kasus tersebut, China dan India berkontribusi sekitar 60 persen dari angka kematian prematur akibat polusi udara luar (outdoor air pollution). Secara global, angka tersebut akan meningkat menjadi 4,5 juta pada tahun 2040, dengan kebijakan yang telah direncanakan.
Di Indonesia sendiri diperkirakan 70 ribu kasus kematian prematur akibat polusi udara luar akan meningkat menjadi 120 ribu pada tahun 2040, dan 140 ribu kasus kematian prematur akibat polusi udara di dalam rumah (household air pollution).
Gambar 1. Kematian prematur karena polusi udara luar
Sumber: bahan presentasi peluncuran WEO Special Report (IEA, 2016)
Dr Birol menjelaskan bahwa produksi dan penggunaan energi merupakan sumber-sumber polutan udara buatan manusia yang terbesar. Itu sebabnya, sektor energi berperan sangat penting karena menjadi akar penyebab sekaligus obat untuk menangkal terjadinya polusi dan memburuknya kualitas udara. Pembakaran bahan bakar fosil yang digunakan untuk pembangkit listrik, khususnya batu bara, proses industri serta pembakaran bahan bakar untuk tranportasi merupakan sumber-sumber bagi pencemaran udara.
Menurut data IEA, saat ini hanya delapan persen produksi energi yang bebas pembakaran, dan ada lebih dari separuh produksi energi yang tidak memiliki teknologi untuk mengendalikan emisi dan pencemaran udara. Teknologi sendiri, menurut Dr Birol bukanlah sebuah tantangan, karena teknologi dapat berperan untuk menangka dan mengurangi pencemaran udara yang tersedia. Sejumlah negara kini telah meningkatkan berbagai upaya untuk menangan persoalan ini, dan mereka benar-benar berhasil untuk mengatasi persoalan pencemaran udara.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan kualitas udara yang buruk, berdasarkan kualitas udara bersih PM2.5, SO2, NO2. Walaupun indikator parameter PM2.5 sudah memenuhi target interim WHO, tetapi tidak demikian untuk SO2 dan NO2. Standar kualitas udara untuk PM10, SO2 dan NO2 sangat rendah jika dibandingkan dengan standar WHO.
Polusi udara luar akan semakin memburuk jika pembangkit batubara terus ditingkatkan dan beroperasi di masa depan. Menurut Greenpeace (2015), setiap operasi pembangkit batu bara dengan kapasitas 1000 MW dapat membunuh 600 orang Indonesia per tahun. Dengan penambahan 20 GW PLTU Batubara dari program 35 GW, maka jumlah kematian yang disebabkan oleh polusi PLTU diperkirakan mencapai 12 ribu orang setelah 2020.
Berdasarkan kajian skenario IEA, penetapan standar kualitas udara yang ketat untuk pembangkit batu bara merupakan kebijakan yang sangat penting dan memiliki dampak yang besar untuk kawasan Asia Tenggara. Adanya standar yang lebih ketat untuk PLTU batu bara dan peningkatan energi terbarukan dalam sistem pasokan energi dapat menurunkan intensitas PM2.5 dan SO2, sedangkan intensitas NO2 relatif tetap.
WEO Special Report ini juga mengidentifikasi tiga aspek penting untuk aksi pemerintah yaitu
- Menetapkan tujuan jangka panjang yang ambisius mengenai kualitas udara, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan jangka panjang, dan secara efektif menganalisa tujuan tersebut;
- Menyusun paket kebijakan udara bersih (clean air policies) untuk sektor energi dalam rangka mencapai target jangka panjang;
- Memastikan proses monitoring yang efektif, penegakan hukum/aturan, evaluasi dan melakukan komunikasi dengan para pihak secara efektif.
Jika mengikuti rekomendasi IEA tersebut, maka pemerintah Indonesia seharusnya tidak lagi menunda-nunda untuk memperbarui dan meningkatkan standar kualitas udara ambien (SO2, NO2, PM10, PM2.5, CO, dsb) untuk PLTU batubara dan pembangkit-pembangkit thermal lainnya yang saat ini sangat rendah.
Pemerintah juga perlu mengurangi sumber polusi udara untuk jangka panjang dari pembangkit PLTU dengan cara membatasi pembangunan PLTU baru dan mendorong pengembangan energi terbarukan secara besar-besaran untuk mengurangi proporsi pembangkit thermal dalam bauran energi.
Selain itu juga diperlukan upaya perbaikan kualitas bahan bakar minyak (bbm) bagi kendaraan bermotor yang beredar dan dipasarkan di Indonesia. Pemerintah juga perlu mempercepat adopsi standar Euro IV dan yang lebih tinggi untuk kualitas bbm, serta mendorong fuel economy standard untuk mengurangi permintaan atau konsumsi bbm, yang berdampak pada perbaikan kualitas udara.