Beberapa pekan lalu sosial media sempat dihebohkan dengan berita mengenai mahalnya tarif listrik di Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) kemudian menanggapi berita tersebut dengan menyiapkan berbagai argumentasi yang menjelaskan bahwa tarif listrik Indonesia termasuk yang termurah di dunia, bahkan paling murah jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
Kehebohan mengenai murah tidaknya tarif listrik ini sebetulnya menimbulkan pertanyaan, benarkah harga energi seperti listrik itu harus murah? Jika murah, apa dampaknya terhadap perekonomian, terhadap keuangan negara ataupun masyarakat. Dan sebaliknya, jika harga listrik itu mahal, apa dampaknya? Apakah harga listrik yang mahal menurunkan minat investasi dan bisnis di negara tersebut? Atau sebaliknya?
Namun sebelum menjawab pertanyan-pertayan tesebut, menarik juga untuk menyimak mengenai Efisiensi Energi dan Konservasi Energi yang disampaikan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam acara IndoEBTKEConnex 2018 yang berlangsung di Jakarta, Kamis (30/08/2018).
Dalam terminologi ekonomi energi ada sebuah istilah yang dikenal dengan intensitas energi. Ini adalah parameter untuk menilai mengenai efisiensi energi disebuah negara. Jika semakin rendah intensitas energi suatu negara, itu artinya semakin efisien negara tersebut dalam penggunaan energi untuk pertumbuhan ekonominya.
Intensitas energi Indonesia terus mengalami penurunan, meskipun perlu banyak upaya yang harus dilakukan Indonesia semakin efisien dalam penggunaan energi.
Studi yang dilakukan International Energy Agency (IEA) menjelaskan bahwa efisiensi energi tak berdampak pada penghematan penggunaan energi tetapi juga penghematan biaya energi yang sangat besar.
Sebagai contoh penggunaan lampu LED yang lebih hemat energi akan mengurangi penggunaan energi sebesar 5,4 PJ (pico joules) dan menghemat biaya $ 1,2 milyar. Atau jika 25% dari penggunaan kendaraan roda dua menjadi motor listrik maka akan menghemat penggunaan BBM sebesar USD 0,8 milyar/tahun. Penggunaan penyejuk ruangan (AC) yang hemat energi juga akan mengurangi energi sebesar 32 PJ/tahun
Salah satu tantangan untuk mendorong kebijakan mengenai efisiensi energi adalah karena tidak adanya aturan mengenai keekoomian harga bahan bakar.
Maka tak heran jika dalam sebuah survei yang dilakukan terhadap 25Â negara pengkonsumsi 80% dari energi di dunia Indonesia masuk dalam peringkat ke 17, atau dinilai sangat tidak efisien. Studi ini mengukur dari sejumlah aspek diantara regulasi energi, efisiensi energi di sektor transportasi, industri dan bangunan.
Sebetulnya, apa yang menyebabkan efisiensi energi sulit diterapkan di Indonesia?
Menurut Fabby, ada beberapa faktor yang menyebabkan hal terjadi, namun yang paling utama adalah perilaku konsumen di Indonesia yang cenderung untuk memilih barang yang murah. Harga menjadi penentu utama dibandingkan dengan fungsi, kualiatas apalagi efisiensi energi
Faktor kedua, adalah keengganan industri untuk melakukan efisiensi energi, padahal 40% efisiensi energi berasal dari sektor ini. Kalangan industri lebih memilih untuk berivestasi untuk ekspansi usaha baru, ketimbang investasi untuk efisiensi
Faktor ketiga, kebijakan harga energi. Pemerintah terlalu banyak memberikan subsidi energi terutama untuk energi berbahan bakar fosil. Dan selain itu, tidak ada kebijakan terkait harga energi yang wajar dan sesuai nilai keekonomian. Akibatnya masyarakat tidak merasa terbebani dengan harga energi dan berprilaku boros energi.
Faktor keempat adalah kualitas regulasi dan implementasi kebijakan. Regulasi yang disiapkan bukan berdasarkan pertimbangan yang ilmiah dan obyektif tetapi lebih pada memenuhi kebutuhan pihak tertentu.
Faktor kelima tidak adanya sarana untuk pengujian efisiensi energi, seperti laboratorium pusat pengujian untuk efisiensi energi. Di seluruh Indonesia hanya tersedia 3 tempat untuk pengujian teknologi AC, padahal industri ini meghasilkan produksi 3 juta setiap tahunnya.
Faktor keenam, tidak adanya investasi swasta berupa dukungan pembiayaan ataupun fasilitas pendukung pendanaan.
Faktor ketujuh, lemahnya koordinasi antara lembaga pemerintah. Stadarisasi efisiensi energi yang tinggi tidak bisa karena masing-masing kementerian khawatir hal tersebut akan menganggu kepentingan sektornya. Akibatnya, industri Indonesia hanya menjadi pasar bagi produk negara lain, industri dalam negeri sendiri lemah dan lebih banyak melakukan import.
Untuk mengatasi tantangan ini semua, menurut Fabby, solusinya adalah memberi kesadaran kepada masyarakat para pihak, bahwa energi memang tidak murah. Untuk memproduksi energi dibutuhkan biaya yang sangat mahal dan teknologi yang tinggi.
Dan jika melihat lebih dekat lagi, hampir sebagian besar negara-negara maju di Asia seperti Singapura, Jepang dan Korea Selatan, bukanlah negara dengan sumber energi yang berlimpah, harga energi juga sangat tinggi, namun di sisi lain pertumbuhan ekonominya justru melampui negara-negara yang kaya dengan sumber energi dan harga energi yang murah.
Selain itu, perilaku masyarakatnya juga cenderung lebih efisien dalam penggunaan energi misalnya lebih memilih perlengkapan elektronik yang memiliki standar atau label dengan efisiensi energi yang lebih tinggi. Mereka juga lebih banyak menggunakan energi untuk keperluan yang produktif ketimbang yang konsumtif. Yah, karena mereka sadar bahwa energi memang bukan sesuatu yang murah.