JAKARTA, KOMPAS.com – Institute for Essential Service Reform (IESR) memaparkan hasil kajian mereka soal prospek energi terbarukan di 2019. Laporan tersebut memperkirakan prospek energi terbarukan tahun depan akan lebih suram, setidaknya hingga semester pertama.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, ada beberapa faktor yang menghambat pengembangan energi di Indonesia. Salah satunya soal kualitas kebijakan soal energi yang tak terlihat dampaknya.
“Laporan ini memberikan peringatan keras bahwa pemerintah tidak berada di jalur untuk mencapai 23 persen target energi terbarukan sebagaimana ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional 2014 dan 2017,” ujar Fabby di Jakarta, Rabu (19/12/2018).
Fabby mengatakan, situasi telah memburuk dalam dua tahun terakhir karena kebijakan dan regulasi yang dianggap hanya menguntungkan Perusahaan Listrik Negara. Di sisi lain, kebijakan tersebut gagal menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk memobilisasi investasi sektor swasta.
“Akibatnya investasi energi terbarukan terus turun sejak 2015,” kata Fabby.
Faktor penghambat lainnya adalah akses pembiayaan bunga rendah, kapasitas jaringan, dan terbatasnya proyek energi terbarukan yang bankable. Laporan IESR juga menyoroti mandeknya kapasitas terpasang baru dari pembangkit listrik energi terbarukan dalam tiga tahun terakhir.
Selain itu, kajian ini juga memperkirakan situasi di 2019 tak mungkin membaik. Alasannya, pertama, tahun depan sudah memasuki tahun Pemilu dan harga menjadi suatu hal yang sentral dalam kampanye. Kemungkinan besar pemerintah akan berusaha menjaga harga tetap rendah.
Fabby menyebutkan, belakangan Menteri ESDM Ignasius Jonan menyatakan bahwa harga listrik tak akan naik hingga akhir 2019.
“Ini berarti bahwa pemerintah akan mempertahankan kebijakan status quo untuk melindungi bunga PLN dan tarif energi terbarukan ditetapkan leboh rendah untuk mensubsidi biaya pembangkitan listrik PLN yang lebih tinggi,” kata Fabby.
Alasan kedua yakni tak ada kejelasan soal rencana merevisi peraturan soal energi terbatukan untuk mempercepat pengembangannya ke depan. Selain itu, di tahun politik, kemungkinan investor asing akan wait and see hasil pemilihan dan arah kebijakan pemerintah untuk sektor ini.
Laporan IESR juga memperkirakan proyek energi terbarukan seperti angin, panas bumi, matahari, dan biomassa akan stagnan pada 2019. Oleh karena itu, IESR mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengambil posisi tegas dalam pengembangan energi bersih di Indonesia.
Presiden juga diminta memberi panduan yang jelas kepada kementerian sektoral untuk mempercepat pengembangannya. IESR juga mendesak pemerintah membentuk Dana Energi Bersih Indonesia untuk mendukung pembiayaan energi terbarukan. Insentif fiskal juga perlu disiapkan untuk meningkatkan keekonomian proyek ini.
“Dengan rekomendasi ini diharapkan pengembangan energi bersih akan mendapatkan daya dorong yang lebih kuat selama berlangsungnya tahun politik,” kata Fabby.
Sumber: kompas.com.