Presiden Joko Widodo meresmikan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Provinsi Sulawesi Selatan, pada Senin (2/7). | Sekretariat Negara
Jakarta-Akurat.co. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai beroperasinya dua pembangkit listrik yang memiliki potensi listrik tenaga bayu (angin), PLTB Sidrap, dengan kapasitas 75 MW dab PLTB Janeponto dengab kapasitas 70 MW, merupakan sinyal postif berkembangnya energi baru dan terbarukan di Indonesia.
IESR memprediksi potensi-potensi PLTB di Indonesia akan mencapai 100 GW. Namun IESR menyesalkan pernyataan Presiden tersebut yang mengatakan bahwa Pemerintah sebenarnya tidak perlu melakukan intervensi dan tidak perlu memberikan insentif tambahan terhadap sektor energi terbarukan.
Presiden beralasan energi terbarukan adalah sektor yang banyak diminati oleh para investor. Karenanya dengan adanya kompetisi diantara investor akan mendorong proses kompetisi sehingga harga menjadi murah.
Data Kementerian ESDM menunjukan nilai investasi di sektor energi terbarukan tahun 2017 sebesar Rp 11,74 triliun. Nilai ini turun dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai Rp 21,25 triliun (2016), Rp13,96 triliun (2015) dan Rp 8,63 triliun (2014).
“Kedua PLTB yang diresmikan oleh Presiden Jokowi adalah proyek yang telah dikembangkan sejak lima tahun yang lalu, dengan tingkat kepercayaan yang lebih baik dan kondisi regulasi untuk PLTB yang lebih flexible dan memungkinkan adanya negosisasi dalam mekanisme perjanjian jual beli tenaga listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) antara pengembang dan PT PLN,” kata Fabby dalam keterangan tertulisnya di Jakarta (4/7).
Fabby mengingatkan bahwa meski potensi energi terbarukan di Indonesia berlimpah dan minat investasi sangat tinggi, namun hingga kini ada banyak kendala yang dihadapi para pengembang, khususnya investasi untuk proyek pembangkit listrik di bawah skala 10 Megawatt (skala menengah).
Akhir tahun 2017 sebanyak 70 pengembang listrik energi terbarukan yang telah melakukan tanda tangan PPA dengan PT PLN. Namun hingga Juni 2018, baru empat pembangkit yang sudah masuk dalam tahap pengoperasian secara komersil atau COD (commercial operation date), sementara 45 proyek lainnya terpaksa mandek karena pengembang kesulitan untuk mencari pendanaan dari perbankan, dan hingga sampai batas waktu yang ditentukan dalam PPA belum juga mencapai financial closing.
Sementara itu, kendala lainnya yang juga dihadapi para investor energi terbarukan adalah regulasi pemerintah yang tidak konsisten dan menurunkan minat investasi. Fabby mencontohkan Permen ESDM No. 12/ 2017 dan Permen No. 50/2017, kedua kebijakan ini telah yang mencabut insentif Feed-in Tariff dan menggantinya dengan aturan harga listrik berbasis energi terbarukan maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) PT PLN di masing-masing wilayah.
Permen No. 50/2017 juga membuat proyek-proyek energi terbarukan menjadi tidak bankable karena adanya ketentuan harga beli dengan referensi BPP PLN dan adanya ketentuan BOOT (Build, Own, Operate, Transfer).
Sumber: Akurat.co