Oleh: Fabby Tumiwa
Dalam perjalanan menuju salah satu resort di kawasan Pelabuhan Ratu, kendaraan yang kami tumpangi harus mengisi kembali bahan bakar setelah menempuh perjakanan dari Jakarta. Kami pun masuk ke sebuah SPBU yang berada di kawasan Cisolok, kira-kira 5 kilo meter dari pusat kota ibu kota kabupaten Sukabumi, Pelabuhan Ratu.
Kawasan wisata yang terkenal dengan mitos Nyai Roro Kidul ini sesungguhnya tidak terlalu jauh dari ibu kota Jakarta, kira-kira 3,5 sampai 4 jam berkendara jika kondisi lalu lintas tidak terlalu padat.
Ketika sedang mengisi bensin itulah, saya membaca spanduk dan setelah merenung sesaat, dan celingak celinguk memperhatikan kondisi SPBU saya merasa spanduk yang terpampang di depan saya penuh dengan kejanggalan.
Mungkin sebagian besar dari pembaca telah melihat isi spanduk yang sama berulang kali dalam beberapa waktu belakangan ini. Spanduk dengan pesan yang sama telah terpasang di hampir seluruh Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) di Jawa dan Bali.
Gambar 1. Spanduk Sosialisasi Premium sebagai BBM bersubsidi
Spanduk berisi “pesan moral” yang disebarkan ke ribuan SPBU bukanlah tanpa biaya. Sangat mungkin biaya untuk menyebarkan spanduk semacam ini diambil dari anggaran sosialisasi untuk mendukung pembatasan BBM yang ada di Kementerian ESDM. Berapa besarnya dan siapa yang ketiban rejeki proyek sosialisasi ini, wallahualam!
Kembali ke pertanyaan diatas, apa yang salah dengan spanduk yang dibuat dan diterbitkan oleh Kementerian ESDM ini?
Pertama, pesan yang tertulis pada spanduk ini keliru. Coba bacalah dengan teliti. “Premium adalah BBM bersubsidi, hanya untuk golongan tidak mampu.” Adalah benar bahwa “Premium,” merek dagang bensin Pertamina yang memiliki kadar oktan/RON 88 adalah produk bahan bakar minyak yang selama ini disubsidi oleh pemerintah, tetapi jika dibaca cermat kalimat “Hanya untuk golongan tidak mampu,” sungguh sebuah pernyataan yang kurang pas, bahkan salah kaprah.
Mengapa? Karena prakteknya selama puluhan tahun mereka yang mengkonsumsi bahan bakar minyak bermerk dagang “Premium” adalah pemilik kendaraan pribadi atau kendaraan umum yang sama sekali sukar dikategorikan sebagai “kaum dhuafa” alias yang rakyat tidak mampu.
Mengapa demikian? Karena kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini diberikan kepada pemilik kendaraan bermotor, dengan menganut asas compensated demand, alias berapa pun kebutuhan BBM bersubsidi pasti dipenuhi oleh pemerintah, dengan mengambilkan biaya pemenuhan tersebut dari pos subsidi APBN.
Gambar 2. Stasiun SPBU
Dari semula kebijakan BBM bersubsidi tidak bertujuan untuk memberikan jaminan akses bahan bakar kepada orang miskin atau kaum dhuafa, melainkan dibuat untuk menyubsidi golongan berpendapatan menengah bahkan kelompok kaya. Akibatnya siapapun boleh membeli bahan bakar subsidi, karena tidak ada pembatasan atau sanksi yang diberikan kepada para pelahap BBM subsidi.
Wacana untuk membatasi volume bahan bakar subsidi baru muncul dalam dua tahun terakhir lebih karena adanya tekanan fiskal terhadap APBN, sehingga diusulkan agar subsidi BBM dibatasi pada volume tertentu. Sementara itu pangkal persoalan yaitu subsidi yang salah sasaran dan tidak berdimensi keadilan ekonomi justru lepas dari perhatian perhatian penyelenggara negara. BBM bersubsidi menjadi “candu” yang menimbulkan dampak negatif terhadap ekonomi, lingkungan dan ketahanan energi bangsa ini.
Kajian Bank Dunia (2011) dengan mengutip hasil data Sensus Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2009, menguatkan pernyataan diatas. Menurut kajian tersebut sekitar 90% BBM bersubsidi dinikmati oleh 50% rumah tangga berpendapatan tertinggi dari Indonesia. Adapun golongan rumah tangga berpendapatan miskin atau sangat miskin, hampir-hampir tidak mengkonsumsi BBM bersubsidi.
Secara hitung-hitungan kasar, dari 160 triliun rupiah subsidi BBM yang dihabiskan pada tahun 2011 lalu, sekitar 144 triliun rupiah dinikmati oleh kelompok rumah tangga berpendapatan menengah keatas.
Kedua, bacalah kalimat paling akhir, “Terima kasih telah menggunakan BBM non-subsidi.” Untuk dapat mengkritisi kalimat tersebut, perhatikan gambar ke-2 yang berlokasi di SPBU yang sama. Kalau dicermati seluruh lajur pompa pengisian di SPBU ini, hanya dapat ditemui jenis bahan bakar “Premium” dan “Bio Solar,” yang keduanya adalah merek dan jenis BBM yang mendapatkan subsidi.
Andaikata pun ada orang pemilik kendaraan yang tergerak oleh pesan spanduk yang ambruladul ini, si empunya kendaraan tidak akan dapat melaksanakan niat tulusnya untuk mendukung seruan pemerintah dengan membeli BBM non subsidi, produk dan jenis ini tidak tersedia di SPBU ini.
Tidak seluruh SPBU Pertamina menjual BBM subsidi seperti Pertamax. Menurut Mochammad Harun, VP Communication Pertamina, dari 3061 SPBU Pertamina yang ada di Jawa dan Bali, hingga akhir 2011 baru 2065 SPBU yang menjual Pertamax. Sedangakan di Bali, dari 178 SPBU yang ada, baru 78 yang menjual Pertamax.
Dengan kondisi demikian, tidak terbayang dampak yang akan terjadi, jika kebijakan pembatasan BBM bersubsidi dilakukan pada 1 April 2012 mendatang.
Dari dua gambar diatas, kita bisa sedikit mengungkap dua hal: Pertama, kebijakan subsidi BBM selama ini carut marut, demikian juga rencana untuk membatasi peredaran BBM bersubsidi yang tidak menyentuh akar persoalan subsidi BBM, yaitu kebijakan yang salah sasaran, tidak adil serta memboroskan keuangan negara.
Pemerintah dan DPR punya pilihan yang lebih baik, menaikkan harga BBM bersubsidi ke tingkat harga Rp. 6000 per liter, dan melakukan automatic pricing adjustment hingga tingkat harga tertentu, untuk mengurangi subsidi BBM secara bertahap. Perbaiki infrastruktur dalam 1 hingga 2 tahun mendatang, sehingga rakyat memiliki opsi bahan bakar yang lebih murah dibandingkan BBM, misalnya Bahan Bakar Gas (BBG), sehingga diversifikasi energi terjadi secara berkesinambungan.
Pada saat yang bersamaan, anggaran dari pengurangan subsidi BBM dialokasikan untuk memberikan perlindungan dan jaminan kesehatan, pangan, perumahan, dan lapangan kerja bagi rakyat miskin, pembangunan infrastruktur ekonomi serta diversifikasi sumber energi non-BBM.
Kedua, komunikasi kebijakan publik yang dilakukan pemerintah sangat buruk yang tergambar dari isi pesan di spanduk dan pemasangannya. Komunikasi yang buruk ini menyebabkan rakyat kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah dalam menyusun kebijakan publik yang efektif, efisien dan melindungi kepentingan rakyat. Sudah waktunya pemerintah mengevaluasi dan memperbaiki cara-cara komunikasi publiknya.
Kalau memang diperlukan, pemerintah menggunakan jasa konsultan komunikasi professional yang dapat membantu komunikasi kebijakan publik yang komunikatif, isi yang tepat dan tidak membodohi rakyat. Jangan hanya sibuk memoles citra yang semakin coreng moreng karena ketidakmampuan pemerintah untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat dan bangsa.
*) Penulis adalah Direktur Eksekutif IESR, penulis buku Citizen Guide for Energy Subsidy in Indonesia (IISD, 2011).