Bayangkan, listrik satu kabupaten di Papua padam gara-gara ular memanjat tiang. Belum mati lampu akibat kabel tersangkut truk, sampai korslet. Pakar menjelaskan alasan manajemen listrik kita jalan di tempat.
Ulah binatang sanggup membuat padam aliran listrik kawasan Kabupaten Bintuni, Papua Barat, pada Minggu (23/6) lalu. Seekor ular yang memanjat tiang listrik jadi biang keladinya. Si ular diduga menganggap tiang listrik itu tempat aman buatnya bertengger, tapi kemudian tersetrum dan membuat jaringan kabel rusak.
Padamnya listrik karena hewan tidak hanya terjadi di Indonesia bagian paling timur saja, yang banyak pemukiman warganya bersebelahan dengan hutan. Di pinggiran Ibu Kota, sempat terjadi gangguan ular serupa, membuat aliran listrik wilayah Kota Depok dan Kabupaten Bogor padam.
Mungkin tak banyak pembaca sadar, ada tiga faktor utama pemicu listrik mati di negara kita ini, semuanya terkait alam. Yakni gangguan hewan, tersambar petir, dan pohon tumbang. Ketiga faktor tadi rutin makan korban jaringan kabel listrik. “Gangguan karena ular naik, ada juga [gangguan] biawak dan burung dara,” ujar Kepala Humas Perusahaan Listrik Negara (PLN) area Depok, Setiyo Budiono saat dihubungi Detikcom.
Rusaknya jaringan kabel listrik PLN gara-gara faktor alam sekilas tak normal. Tapi kalau melihat betapa jaringan kabel di negara ini amat semrawut, siapapun terpaksa menerima kenyataan pahit itu. Jalinan kabel ruwet sudah seperti rambut yang menghiasi kota-kota besar di Tanah Air. Diganggu hewan itu satu hal. Tapi kalau kabelnya terkelupas sampai memicu korsleting atau mengalami gangguan akibat bolak-balik tersangkut truk, harusnya sih kita segera sadar ada masalah.
Persoalan terbesar tentu saja satu ini: kenapa sih kabel listrik sedemikian semrawut? Selain tidak enak dilihat, bahayanya sangat besar. Bukankah sudah tersedia teknologi penyaluran listrik via bawah tanah yang berulang kali dikaji PLN? Emang mahal sih. Buat menanam kabel di tiga ruas jalan saja PLN habis Rp60 miliar. Tapi, apakah kita sadar pentingnya upaya memindah kabel ke bawah tanah, yang terbukti lebih aman, harus menunggu ular-ular lain tersetrum dan bikin aliran listrik padam di banyak kota?
Untuk mendalami dunia kabel-kabelan ini, VICE ngobrol bersama Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR). Lembaga think-thank yang dipimpin Fabby rutin memantau isu kelistrikan dan manuver PLN sebagai lembaga monopoli jasa penyediaan listrik.
Intinya, dia cukup paham hambatan apa saja yang membuat manajemen pengelolaan kabel listrik di negara kita dari awal kemerdekaan sampai sekarang kok terkesan terus ruwet. Sedikit bocoran dari penjelasan Fabby, ada faktor yang kita harus pahami: ternyata PLN bukan satu-satunya yang bisa disalahkan atas ruwetnya jaringan kabel listrik di negara ini.
VICE: Kenapa sih banyak kabel-kabel tiang listrik kebanyakan di Indonesia nampak semrawut?
Fabby Tumiwa: Tiang listrik di Indonesia memang sangat semrawut. Tapi perlu disadari, yang membuat terlihat berantakan lebih banyak kabel fiber optik dari provider internet yang memasang asal-asalan. Belum lagi kabel dari provideryang mungkin sudah tidak digunakan lagi, jadi kabel itu tetap nempel ke tiang listrik tapi sudah tidak ada fungsinya.
Apakah Indonesia tertinggal karena masih pakai tiang listrik dan kabel, ketika negara lain banyak yang listriknya dialirkan bawah tanah?
Negara lain juga masih banyak banget kok yang pakai tiang listrik. Di Indonesia, salahnya emang dari awal pemasangan tiangnya di lokasi yang kurang tepat, memakan bahu jalan. Sudah kurang enak dilihat, membahayakan juga bagi pengendara mobil atau motor. [Listrik padam karena hewan] jarang saya dengar. Paling sering itu gara-gara pohon tumbang. Tapi sebenarnya dari 2018 sudah ada [perumahan dan perkantoran di Indonesia] mulai memakai kabel listrik bawah tanah. Seperti di kawasan Lippo, Jakarta dan di sebuah perumahan elit Bandung. Rata-rata tegangannya 150 kilovolt.
Hambatan mengganti kabel tiang listrik ke sistem bawah tanah apa saja?
Tentu dana [pemutakhiran infrastruktur]. Untuk kota seperti Jakarta, atau kota-kota besar lainnya di Jawa, butuh dana yang sangat besar. Kerjanya dua kali lipat, karena bongkar tiang listrik, pengamanan kabel sementara agar tetap berfungsi, biar tidak terlalu mengganggu kebutuhan listrik masyarakat yang setiap harinya diperlukan, lalu menentukan jalur tanah yang aman, menggali, menanam kabel. Rumit.
Berapa lama, kalau memang niat, Indonesia bisa beralih ke sistem pengaliran listrik bawah tanah?
Butuh dana yang besar sekali, belum juga memikirkan kabel-kabel lain yang ikut numpang di tiang listrik. Butuh rencana sangat panjang itu. Kabel listrik bawah tanah atau microtunneling itu estetika supaya terlihat rapi saja lingkungannya. Tantangannya, teknik pipe jacking untuk membuat saluran listrik menggunakan mesin bor. Di Indonesia, perlu diperhatikan prosesnya. Karena di Indonesia pipa yang sudah ada di dalam tanah rata-rata pipa air dan gas juga. Tapi saya yakin pelan-pelan PLN dan pemerintah mencobanya.