Pada pertemuan terakhir COP 21 pada hari sabtu malam, 12 Desember 2015 di kompleks Le Bourget, Paris, setelah berunding selama dua minggu delegasi dari 196 negara akhirnya menyepakati Paris Agreement (Kesepakatan Paris). Sebelumnya negosiasi sepanjang minggu kedua berlangsung dengan cukup alot. Negosiasi COP 21 yang seharusnya berakhir di hari Jumat, diperpanjang satu hari. Para peserta COP 21 juga masih dibayang-bayangi kegagalan COP 15 di Copenhagen enam tahun sebelumnya. Kegagalan di Copenhagen bahkan nyaris menghancurkan proses negosiasi perubahan iklim itu sendiri.
Untungnya proses negosiasi yang dilakukan secara maraton oleh Presiden COP, yang juga Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius sejak Sabtu siang hingga malam berhasil mengakomodasi kepentingan dan posisi berbagai negara dan blok negosiasi. Titik temu dan kesepahaman berhasil tercapai terutama untuk isu-isu yang masih alot dibahas hingga Sabtu pagi, diantaranya: target temperature global, diferensiasi, fleksibilitas dan dukungan bagi negara berkembang untuk melakukan aksi.
Kesepakatan kunci dalam Paris Agreement terkait dengan aksi mitigasi
- Menjaga kenaikan temperatur global dibawah 2°C dan berusaha untuk menjaga kenaikan temperatur global pada 1,5°C (Article 2). Isi artikel 2 menyatakan bahwa kenaikan temperatur dibatasi dibawah 2°C dengan target akhir 1,5°C diatas temperatur bumi di era pra-industri. Target ini merupakan kesepakatan yang ambisus sekaligus terobosan dalam perundingan perubahan iklim. Target 2°C dan 1.5°C pertama kali muncul sebagai pilihan dalam naskah Copenhagen Accord. Pada saat itu, batas kenaikan temperatur 2°C dianggap sebagai sebuah kompromi tetapi batas tersebut bukanlah kompromi yang baik karena kenaikan hingga 2°C dikuatirkan telah melampaui tipping point, menurut penasehat perubahan iklim Kanselir Jerman, Hans Joachim Schellnhuber. Sedangkan ahli perubahan iklim NASA, James Hansen, menyatakan jika terjadi pemanasan global sebesar 2°C maka akan ada konsekuensi yang dapat dikatakan sangat merusak (disastrous). Dengan demikian, menjaga kenaikan temperatur tetap dibawah 2°C, bahkan 1,5°C merupakan pilihan yang lebih aman bagi masa depan manusia dan ekosistem.
Kenaikan temperatur global sudah terjadi. Pada bulan November 2015, NOAA mencatat kenaikan temperatur global telah mencapai hampir 1°C. Dengan demikian dibutuhkan upaya ekstra keras untuk membatasi kenaikan temperatur dibawah 2°C dan stabil pada 1,5°C pada akhir abad ini.
- Emisi Netto Nol (net-zero emission) sebagai tujuan jangka panjang (Article 4). Isi article 4 mengisyaratkan bahwa untuk mencapai gol temperatur global jangka panjang yaitu kenaikan dibawah 2°C dan menuju 1,5°C, maka emisi global harus mencapai puncak segera mungkin dan turun hingga “tercapai keseimbangan antara gas-gas emisi anthropogenic sesuai sumbernya dan penghilangan oleh suang-suang (sinks) pada paruh kedua abad ini.” Net-zero emission berarti emisi dapat naik tetapi harus diimbangi dengan teknologi yang mengandung emisi negatif (teknologi yang menyerap emisi). Jika secara global tercapai net-zero emsission artinya terjadi carbon neutral. IPCC menyatakan bahwa untuk mencapai net-zero emission maka emisi dari fossil fuel harus turun pada rentang 2040-2070 dan setelah itu menjadi nol. Kajian Climate Analytics menyatakan untuk mencapai target 2°C maka besaran emisi pada tahun 2050 hanya separuh dari besaran emisi 2010, dan net-zero emission harus tercapai antara 2080-2100. Untuk mencapai target 1,5°C maka besaran emisi pada tahun 2050 hanya boleh mencapai 5-30% dari besaran emisi 2010 dan net-zero emission harus tercapai pada 2060-2080.
- Janji untuk membatasi emisi gas rumah kaca melalui Nationally Determined Contribution (NDC). Aksi mitigasi sukarela seluruh negara anggota UNFCCC mulai dilakukan paska COP 15 Copenhagen. Saat itu seluruh negara diminta menyampaikan dukungan penurunan emisi sebagaimana yang tercantum dalam Copenhagen Accord. Pada COP 16 Cancun, proses ini diformalkan dan negara–negara anggota UNFCCC pun diminta untuk menyampaikan rencana penurunan emisi GRK hingga 2020. Keputusan Ad Hoc Working Group on Durban Platform (ADP) dalam 1/CP. 19 meminta negara-negara melakukan persiapan penyusunan Intended Nationally Determine Contribution (INDC) paska 2020, terlepas dari bentuk legal kontribusi tersebut. Keputusan 1/CP.20 mengundang para negara anggota UNFCCC untuk menyampaikan INDC sebelum COP 21. Hingga akhir 2015, terdapat 160 submisi Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yang mencakup 188 negara. INDC yang disampaikan tidak hanya mencakup komponen mitigasi tetapi juga adaptasi. Dalam articles 4.2 dan 4.3, disepakati bahwa setiap negara akan mempersiapkan dan mengkomunikasikan Nationally Determine Contribution (NDC) yang merupakan aksi mitigasi di tingkat domestik yang seambisius mungkin. Pada article 4.4. Upaya mitigasi dipimpin oleh negara maju dengan menerapkan economy-wide absolute emission reduction target, sedangkan negara berkembang dihimbau untuk meningkatkan target penurunan emisi mereka dan perlahan menuju economy wide emission reduction/limitation target.
Menurut perhitungan Climate Interactive dengan menggunakan model C-ROADS, submisi INDC yang sifatnya unconditional (tanpa syarat) masih mengarah pada trend kenaikan temperatur global 3,5°C pada akhir abad ini. Hasil ini sedikit berbeda dengan perhitungan yang dilakukan oleh Climate Action Tracker (CAT) yang mencakup seluruh janji (pledges) dalam INDC baik bersyarat maupun tidak, yang menghasilkan penurunan atas proyeksi kenaikan temperatur global menjadi 2,7°C, jika janji tersebut tercapai seluruhnya.
Walaupun berbeda, kedua hasil ini menunjukan bahwa janji penurunan emisi negara-negara anggota UNFCCC dalam bentuk INDC masih belum cukup untuk memenuhi target penurunan emisi untuk mencapai target yang dicanangkan dalam Article 2 Paris Agreement.
- Global stocktake secara berkala. Artice 14.1 dan 14.2 menyepakati proses tinjauan global dimana tinjauan proses tinjauan terhadap kemajuan implementasi Paris Agreement dilakukan melalui global stocktake yang dimulai pada tahun 2023 dan setiap lima tahun sesudahnya. Tujuan dari global stocktake ini adalah adalah memberikan informasi kepada negara-negara untuk memutakhirkan dan meningkatkan aksi dan dukungan mereka. Proses stock taking akan dimulai pada 2018 untuk mengkaji hasil implementasi penurunan emisi secara sukarela pra-2020 terhadap target yang dicantumkan dalam Paris Agreement article 2.1 serta dalam rangka mempersiapkan NDC yang disampaikan pada tahun 2020.
Implikasi target kenaikan temperatur global dibawah 2°C dan 1,5°C
Kajian yang dilakukan oleh Climate Interactive dengan menggunakan perangkat pemodelan C-ROADS memberikan gambaran berbagai skenario hasil dari aksi mitigasi global terhadap target Paris Agreement (Gambar 1).
Gambar 1. Ringkasan skenario dan perhitungan emisi GRK
Skenario:
- Business as Usual (BaU): tidak ada aksi mitigasi yang dilakukan. Kenaikan temperatur global akan mencapai 4,5°C
- INDCs Strict: tidak ada perubahan selepas janji penurunan emisi yang disampaikan dalam INDC. Kenaikan temperatur global akan mencapai 3,5°
- Ratchet 1: INDC ditambahkan dengan janji penurunan emisi terus berlanjut pasca periode penurunan berakhir (2025 atau 2030). Temperatur global akan naik mencapai 3°
- Ratchet 2: INDC ditambah dengan China menambahkan jenis GHG dan menurunkan emisi GRK-nya setelah mencapai puncak (emission peak) pada 2030 sebesar 2% per tahun. Temperatur global akan naik mencapai 2,6°
- Ratchet Success: INDC ditambah dengan semua negara dapat mencapai puncak emisi (emission peak) sebelum 2030, dan setelah itu emisinya berkurang secara bertahap. Temperatur global akan naik mencapai 1,8°
- Ratchet to 1,5: INDC ditambah dengan negara maju melakukan pemotongan yang tajam (deeper cuts), emisi negara-negara lainnya mencapai puncak (peak) pada 2025 dan setelah itu turun secara bertahap.
Dari skenario ini dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai target kenaikan temperature dibawah 2°C, maka emisi GRK pada tahun 2050 harus dikurangi hingga mencapai separuh emisi GRK di tahun 2010 yaitu sebesar 23 GtCO2eq/tahun. Sedangkan untuk mencapai target 1,5°C maka emisi global harus dikurangi hingga kurang dari seperlima dari emisi GRK di tahun 2010, yaitu sebesar 12 GtCO2eq/tahun.
Implikasi terhadap [I]NDC Indonesia
Menurut kajian Climate Action Tracker (CAT), INDC Indonesia (tanpa memperhitungkan emisi dari kehutanan) dikategorikan insufficient untuk memenuhi target 2°C (gambar 2). Penilian CAT didasarkan pada ketidakjelasan penurunan emisi untuk setiap sektor, termasuk ketidakjelasan penurunan emisi dari penurunan laju deforestasi.
Gambar 2. Penilaian INDC Indonesia oleh CAT
Dengan menggunakan data output dari skenario hasil pemodelan C-ROADS maka hasil perhitungan yang saya lakukan secara kasar dengan mempertimbangkan proporsionalitas prosentase emisi Indonesia yang tetap terhadap emisi global. Pada tahun 2030, emisi Indonesia diperkirakan mencapai 3,5-3,7% dari total emisi global berdasarkan skenario INDC. Perhitungan saya menunjukan bahwa untuk berkontribusi terhadap skenario kenaikan temperatur dibawah 2°C maka target emisi Indonesia dalam INDC sebesar 2,045 GtCO2eq/tahun di tahun 2030 harus turun sebesar 18% sehingga mencapai 1,676 GtCO2eq/tahun. Untuk berkontribusi terhadap target 1,5°C maka di tingkat emisi INDC di tahun 2030 harus turun sebesar 33% sehingga mencapai 1,37 GtCO2eq/tahun. Masing-masing 10% diatas dan 6% dibawah level emisi Indonesia tahun 2010.
Berdasarkan perhitungan kasar ini maka, penurunan emisi Indonesia pada 2030 harus mencapai 42% dari emisi BAU (2,881 GtCO2eq) untuk mendukung target kenaikan temperatur dibawah 2°C dan 52% dari emisi BAU untuk mendukung target kenaikan temperatur 1,5°C.
[1] Direktur Eksekutif IESR dan Koordinator Climate Action Network South East Asia (CANSEA), salah seorang negosiator RI pada COP 21.