Press Release- Bank Dunia Tidak Menyentuh Masyarakat Miskin dan Perbaikan Iklim

Jakarta, 5 Mei 2010, Sebagai Kelompok Bank Dunia (WBG) dengan peningkatan general capital $ 86 miliar dari pemegang saham utama mereka, tampak jelas Bank dunia dan kelompoknya tetap tidak menunjukkan komitmennya dalam menjalankan mandat terhadap publik guna mendukung langkah-langkah pembangunan berkelanjutan, penanggulangan dan pengurangan kemiskinan serta menegakkan energi bersih. Sebaliknya, Bank Dunia tetap akan memobilisasi uang rakyat untuk mesubsidi industri bahan bakar fosil dalam termal skala besar, proyek-proyek hydropower dan reformasi energi yang terkait.

Kritik ini disampaikan terkait dengan hasil penelitian dari IESR dan BIC (Bank Information Centre) terkait Portfolio Bank Dunia di Sektor energi Indonesa. Penelitian ini mengkaji peran dan pengaruh Bank Dunia di sektor energi Indonesia selama lebih dari 40 tahun dalam memberikan pelayanan kredit dan non pinjaman. Laporan dari hasil penelitian ini akan dibawa oleh IESR dan BIC dalam Konsultasi Publik Bank Dunia di Sektor energi Indonesia pada Kamis ini (6/7), di Jakarta, dimana Bank Dunia akan melakukan sosialisasi kebijakan dan strategi energinya di Indonesia.

“Sejak Tahun 1969, WBG telah memberikan lebih dari USD 5,4 miliar pada pinjaman energi di Indonesia yang memiliki fokus pada sentralisasi, skala besar, grid berbasis termal dan proyek tenaga air juga terhadap viabilitas keuangan dan privatisasi Aktiva pajak tangguhan Listrik Negara (PLN)”, jelas Daniel King salah seorang konsultan dan peneliti IESR.

King juga menjelaskan bahwa Bank telah melakukan kebijakan yang justru mengedepankan hutang publik secara kotor untuk sektor energi secara tinggi dengan menunda pinjaman untuk proyek geothermal (panas bumi) di Sumatera dan Sulawesi Utara sebesar 500 juta US$, 530 juta US$ untuk proyek hydropower di Jawa Barat, dan 225 juta US$ untuk proyek transmisi di Jawa dan Sumatera.

“Jika ini merupakan indikasi bahwa Bank tetap ingin mempertahankan model ini sebagai business-as-usual untuk pembiayaan energi, jelas membuat keyakinan kami semakin berkurang bahwa lembaga ini dapat memainkan peran yang relevan dalam mendorong pembangunan rendah karbon dan akses energi yang lebih luas bagi masyarakat miskin,” tambah Direktur IESR, Fabby Tumiwa.

“Jelas sekali, sebagai lembaga keuangan internasional yang katanya peduli terhadap perubahan iklim dan akan memberikan akses energi terjangkau bagi masyarakat miskin dan pedesaan, ternyata hanyalah sebuah lips-service belaka. Nyatanya di (praktik) di lapangan mandat mereka untuk mengedepankan penanggulangan kemiskinan tidak berjalan sama sekali,” tandas Fabby lagi.

Memberikan energi akses bagi kaum miskin?

Senada juga diungkapkan oleh King, terkait mandat bank dunia yang harusnya mengedepankan pada kepentingan masyarakat miskin dan bukan sebaliknya.

“Mandat Bank adalah untuk mengurangi kemiskinan, tetapi sungguh mengecewakan bahwa tujuan agar masyarakat miskin mendapatkan akses energi justru tidak dibuat secara jelas dan tegas dalam Country Partnership Strategy (Strategi Kemitraan Negara) untuk tahun 2009-2012, dimana Negara mendukung masterplannya. Meskipun proyek kelistrikan di pedesaan Bank Dunia di tahun 1990 telah membuat 10 juta rumah tangga mengakses listrik, namun mereka masih belum memiliki rencana yang jelas untuk menangani akses energi bagi lebih dari 70 juta orang Indonesia yang tidak memiliki akses listrik “, jelas King yang asli Australia ini.

Penelitian ini juga menemukan bahwa Bank dunia telah berorientasi melakukan pendanaan energi ke dalam investasi yang justru mendukung meningkatkan emisi gas rumah kaca, kerusakan lingkungan dan resiko-resiko sosial bahkan mendukung privatisasi utilitas energi. Ditambahkan oleh King bahwa pada tahun 1970-an, sekitar 600 juta US$ senilai pinjaman dan hibah justru difokuskan pada minyak dan transmisi sementara jumlah kredit itu dilebihkan tiga kali lipat (1,5 miliar US$) pada tahun 1980-an. Bank Dunia jelas mendedikasikan hutang publik kepada pembiayaan (investasi untuk asing) batu bara Indonesia, proyek hydropower skala besar serta proyek transmisi. Tahun 1990, Bank Dunia kembali mengulangi pola pinjaman yang sama. Meskipun dapat dikreditkan untuk imvestasi $670 juta untuk proyek kelistrikan di desa, namun juga telah ditingkatkan pinjaman yang ditujukan untuk memprivatisasi BUMN dan dioperasikan utilitas kekuasaan.

Sebuah Bank Iklim?

Sementara pemerintah Indonesia menyatakan akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020 dan didukung secara internasional hingga 41%, justru bank dunia tidak memiliki strategi jelas dan lebih mengedepankan pendanaan terhadap bahan bakar fosil. Padahal sektor energi adalah terbesar kedua dalam emisi CO2 di Indonesia dari pembangkit listrik.

“Ini bisa diprediksi – dan juga mengecewakan – bahwa Bank tidak siap meninggalkan kecanduan untuk sumber energi dinosaurus dan teknologi,” tandas Tumiwa. “Mempromosikan penggunaan batubara telah menjadi tujuan kebijakan Bank Dunia dan kelompoknya hingga 1995; batubara dan gas masih diangap bagian penting dari strategi energi Bank Dunia di negara dan lembaga pinjaman yang memiliki kecenderungan untuk memberi label bahwa ada teknologi canggih energi bersih batubara. Hal ini jelas menyesatkan dan sangat tidak akurat,” tandas Fabby.

Apakah Bank Dunia mempromosikan Energi Alternative?

“Di konseptual, tampaknya seperti paska-Perang Dunia Bank mencari alternatif tetapi bagaimana bisa bersih dan berkelanjutan sebagai bagian ditawarkan, patut dicurigai”, jelas Koordinator BIC Asia Tenggara, Grace Marcia Mercado

“Banyak proyek hydropower dijadikan sebagai agenda kembali. Bank diatur untuk menyetujui pinjaman sebesar $ 530 juta pada Oktober 2010 untuk mengembangkan Cisokan River Storage Power Project. Bank Dunia selalu mengatakan bahwa ini proyek energi bersih dan rendah karbon, tapi penelitian menemukan bahwa hydropower di daerah tropis seperti Indonesia justru memicu emisi metana dari serapan air bisa tinggi,”jelas Norly.

Bank baru-baru ini meningkatkan pendanaan untuk proyek panas bumi (geothermal) dengan menggunakan dana teknologi bersih dan kredit investasi biasa, tetapi sebenarnya dampak sosial, lingkungan dan ekonomi jelas belum terlihat. Sementara itu pada sektor swasta dan publik telah memperpanjang pinjaman untuk “energi terbarukan” seperti angin, solar, hydro kecil dan biomassa modern tetapi volumenya telah diabaikan.

Apa agenda energi terbaru di Indonesia?

Penelitian King juga menemukan bahwa Bank menanamkan potongan besar uang publik untuk reformasi kebijakan-berbasis pengembangan kebijakan pinjaman (DPL), pengganti program penyesuaian struktural (Sap) yang kontroversial pada 1980-an dan 1990-an. Dari 2007 sampai 2010, Bank prepositioned $ 467.000.000 untuk DPLs terkait dengan energi pembiayaan infrastruktur, beberapa diantaranya termasuk regulasi, kelembagaan dan reformasi administrasi.

Bank mengakui bahwa sektor infrastruktur “terus menjadi terganggu dengan isu korupsi dalam proyek-proyek yang didanai Bank, yang telah menunda persiapan dan pelaksanaan proyek dan memiliki implikasi serius untuk masa depan proyek pipa” Namun, hal itu tidak menghentikan dan mengganggu Bank dari penyediaan infrastruktur DPLs kendati kurangnya transparansi dan akuntabilitas.

Dalam desain DPL, sejumlah besar uang telah diberikan dalam waktu singkat dengan konsultasi publik yang sedikit. Hal ini menimbulkan keprihatinan lain tentang pengendalian fidusia: dengan detail kecil yang tersedia, masyarakat yang tertinggal dalam gelap, bagaimana hutang publik sebenarnya dibelanjakan. Masyarakat tidak tahu jika DPLs yang berhubungan dengan energi berkontribusi pada pengembangan karbon rendah atau hanya disalurkan tanpa mengatasi kebutuhan energi masyarakat miskin

Waktunya Untuk Memperjelas Aksi

Sementara Norly menambahkan bahwa dengan portfolio energi berisiko dan kotorr yang didorong Bank Dunia justru semakin mendorong ketidakberlanjutan, bahkan merusak iklim investasi. Tapi pihak Bank Dunia selalu mengatakan bahwa mereka telah mengembangkan mengembangkan transisi ekonomi untuk pengembangan rendah karbon.

“Bank merevisi strategi energi baru untuk 10 tahun ke depan, Bank harus menetapkan peran yang jelas terbatas – kegiatan yang mendukung hanya yang memiliki dampak maksimum pada tujuan pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan,” tandas Norly.

Ditambahkan Norly bahwa Strategi Energi Bank Dunia harus memprioritaskan dukungan untuk akses peningkatan energi bagi jutaan orang miskin yang hidup di pedesaan, dan mereka bergantung pada sumber-sumber energi non-listrik. Lagi pula, akses energi merupakan hak asasi manusia.

“Negara seperti Indonesia memang rentan terhadap dampak perubahan iklim, dan Bank harus mengkhiri investasinya pada bahan bakar fosil dan menerapkan siklus akuntansi biaya disesuaikan pada tahun 2015. Bank Dunia telah gagal untuk investasi energi bersih, dan perannya sebagai Bank Iklim, sama sekali tidak membuat iklim bumi lebih baik,” tandas Fabby. (***/Fay).

Contact
Fabby Tumiwa, IESR, fabby@iesr-indonesia.org; +62811949759
Nadia Hadad, BIC, nhadad@bicusa.org; +62811132081

Share on :

Leave a comment