Sejak terjadinya musibah tsunami yang merusak pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima, Jepang, tahun 2011 lalu, muncul trend di negara-negara Eropa untuk meninggalkan energi nuklir dan bahan bakar fosil dan beralih pada penggunaan energi baru dan terbarukan.
Pemerintah Perancis misalnya, pada Maret 2015 telah mengeluarkan undang-undang energi yang mengurangi penggunaan energi nuklir sebesar 80% pada saat ini menjadi 50% di tahun 2030, dan separuhnya lagi dipenuhi dari dari pasokan energi baru dan terbarukan.
Sementera di Jerman, tahun 2011 Kanselir Angela Markel secara resmi meluncurkan Program Energiewende atau program transisi energi dengan empat target utamanya yaitu:
- Penghentian pemakaian PLTN secara bertahap hingga sepenuhnya dihilangkan pada tahun 2022;
- Pengurangan emisi gas rumah kaca dengan baseline tahun 1990: 40% pada 2020, 55% pada 2030, 70% pada 2040, 80-95% pada 2050;
- Pengembangan energi terbarukan dan peningkatan peranannya dalam konsumsi listrik: 40-45% pada 2025, 55-60% pada 2035, lebih dari 80% pada 2050;
- Peningkatan efisiensi energi sehingga terjadi pengurangan konsumsi listrik dengan baseline tahun 2008: 10% pada 2020, 25% pada 2050.
Menurut Lard Waldmann dari Angora Energiewende, sebuah lembaga think tank Jerman yang bekerja untuk kebijakan energi di Jerman, salah satu kunci utama keberhasilan program energiewende ini adalah komitmen para pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, lembaga riset dan kelompok-kelompok kepentingan di masyarakat.
Pada mulanya pelaksanaan program energiewende bukan sebuah proses yang mudah. Apalagi banyak pihak-pihak yang tetap menginginkan proyek-proyek berbahan bakar fosil terus berjalan dan bertahan. Namun pemerintah Jerman sangat konsisten untuk mengajak semua pihak berdiskusi, menyamakan persepsi dan pengetahuan mengenai tantangan dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan, serta mencari berbagai macam solusi.
Ide mengenai program transisi energi sendiri ini sebetulnya bukan hal yang baru bagi masyarakat Jerman, karena sejak tahun 1970-an telah tumbuh gerakan yang menolak menolak penggunaan nuklir sebagai sumber energi.
Selain itu, pemerintah juga telah menerapkan kebijakan green fee di tahun 1986. Pada mulanya, green fee dimaksudkan untuk mendorong komitmen pengurangan emisi CO2 dengan cara penerapan pajak untuk konsumsi energi, seperti transmisi listrik, bahan bakar dan listrik yang dikonsumsi masyarakat. Namun lambat laun penerapan kebijakan ini justru mendorong Jerman untuk menerapkan efisiensi energi. Dana yang terkumpul dari pajak konsumsi energi kemudian dipergunakan untuk membiayai berbagai kegiatan dan program pengembangan energi baru terbarukan. Termasuk kegiatan yang mendorong para insinyur dalam mengembangkan dan memasarkan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi energi.
Tak heran jika dalam kurun waktu 25 tahun, produk dan teknologi energi terbarukan buatan Jerman berkembang sangat pesat dan dikenal sebagai produk yang efisien dengan harga yang terjangkau.
Perusahaan di Jerman kini mampu memproduksi listrik dari solar panel dengan harga kisaran 8-9 cent euro/kwh, dan di masa depan banyak kalangan yang memperkirakan harha ini turun lagi hingga 2 euro cent/kwh. Ini merupakan harga teknologi yang paling murah di dunia.
Selain teknologi solar panel, teknologi windmill juga tumbuh dengan pesat. Saat ini, harga listrik dari windmill (di daratan) berkisar 6-9 cent euro/kwh. Dengan begitu, windmill (di daratan) dan solar panel saat ini sudah sangat kompetitif dibandingkan dengan teknologi berbahan bakar fosil seperti gas atau batubara.
Selain itu, Jerman juga membangun infrastruktur jaringan listrik yang saling terintegrasi. Sistem pengelolaan jaringan juga dirancang secara rinci untuk memudahkan proses distribusi pasokan listrik dari wilayah penghasil ke wilayah konsumsi. Voltase listrik tingkat tinggi dan sedang akan didistribuskan ke kawasan yang besar, sementara voltase tingkat rendah didistribusikan ke tingkat perumahan atau masyarakat. Tempat penyimpanan atau storage dibanguun dengan kapasitas yang sangat memadai guna mengantisipasi kebutuhan listrik di malam hari atau saat tak ada sinar matahari.
Pemerintah Jerma juga mengintegrasikan semua tipe pembangkit energi terbarukan ke dalam European Interconnected Electricity Grid, yang secara otomatis dalam digunakan sewaktu waktu untuk memenuhi kebutuhan listrik ketika kondisi cuaca sedang memburuk, seperti hujan, kecepata angin yang rendah atau sinar matahari yang kurang terik.
Insentif
Ditambahkan oleh Lars kunci keberhasilan lain dari program Energiwende ini adalah kerja keras pemerintah untuk menciptakan situasi yang kondusif, baik untuk kalangan investor dan pilihan bagi masyarakat untuk menggunakan jenis teknologi dan layanan.
Pemerintah Jerman mengenalkan sistem feed-in tariff khususnya industri solar panel dan windmill. Dengan sistem ini investor (baik itu individu maupun perusahaan) mendapatkan tawaran keuntungan investasi jangka panjang melalui pemasangan solar panel dan windmill ke dalam jaringan listrik. Jadi selama masih tersambung ke dalam jaringan listrik dan masih menghasilkan listrik, maka investor akan mendapatkan uang untuk setiap kwh yang dihasilkannya. Skema ini berbeda dari insentif pajak dimana investor akan mendapatkan dana di muka pada saat memulai investasinya namun tidak mendapatkan insentif lain pada saat beroperasi. Selain sistem feed-in tariff, investor di Jerman pun memiliki jaminan dari pemerintah bahwa uang yang mereka investasikan akan dikembalikan dalam periode tertentu.
Saat ini sambungan solar panel ke dalam jaringan listrik mencapai 2,5 GW per tahun dan windmill mencapai 3,5 GW per tahun.
Program percepatan listrik di Indonesia
Program Energiewende ini tentu sangat menarik dan banyak pelajaran yang bisa diambil terutama untuk mendorong program percepatan pembangunan listrik 35000 MW yang akan dilaksanakan pemerintah selama lima tahun. Kira-kira mana teknologi yang dapat digunakan untuk mendorong pelaksanaan program ini?
Ada beberapa alternatif yang bisa digunakan, misalnya pengalaman dari Pemerintah India yang memilih teknologi solar panel yang diinstal dalam waktu yang singkat dan kemudian disambungkan. Atau pengalaman Jerman yang menginstal solar panel dengan kapasitas 8 GW dalam waktu 6 bulan.
Menurut perhitungan Lars, dengan kawasan lima kali lebih luas dari Jerman, maka Indonesia membutuhkan lahan maksimum sebesar 15.000 m2 untuk instalasi solar panel yang lengkap sehingga dapat menghasilkan listrik sebesar 40.000 MW (atau sekitar 7-8m2/KW). Dan dengan tingat efisiensi yang sangat tinggi dari solar panel, maka dibutuhkan sekitar 11.000-12.000 m2 untuk menghasilkan jumlah listrik yang sama. Sebagai bandingan, diperlukan 300 km2 (hampir 2% dari luas gurun sahara) untuk dapat menyediakan listrik untuk seluruh dunia dengan teknologi solar panel.
Di samping solar panel, windmill pun memungkinkan untuk diinstal dan dimasukkan ke dalam jaringan listrik dalam waktu yang singkat dibandingkan dengan pembangkit listrik skala besar mengingat ada banyak isu terkait dengan pembangkit listrik skala besar, seperti, isu tanah, teknologi, lingkungan, keamanan, besaran investasi.
Ratusan windmill dapat diinstalal dengan cepat. Secara teknis, potensial angin di dataran rendah di Indonesia adalah 2-5 meter per second wind speed (dimana kecepatan ini lebih stabil dibanding di Jerman). Apabila generator yang sangat kecil di daerah dengan kecepatan angin seperti itu, maka windmill akan terus bergerak dan menghasilkan listrik secara konstan. Dengan cara lain, generator tersebut dapat diinstal di rooftop (atap) gedung yang membutuhkan listrik); dan itu hanya membutuhkan biaya instalasi 8-9 USD.
Mengenai industri dan pasar listrik di Indonesia, hanya ada satu supplier listrik di Indonesia. Secara konstitusi, hanya satu perusahaan yang bisa menyediakan listrik di Indonesia, yaitu PLN; namun masyarakat tidak dibatasi dalam konstitusi untuk memilih listrik harus dari PLN. Jadi ketika ada pilihan solar panel yang diinstal di atap bangunan yang dilakukan secara masif di Jawa Bali, maka PLN mungkin akan menyadari bahwa dia harus merubah mekanisme penyediaan listriknya.