IESR-Publikasi-Cover-small

Akankah Bumi “Terselamatkan” di Durban?

Primer tentang COP 17/CMP 7 Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim 2011 di Durban, Afrika Selatan

Fabby Tumiwa

Perkembangan Negosiasi Perubahan Iklim (UNFCCC)

Negosiasi PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC) dilanjutkan kembali di negeri Nelson Mandela, Afrika Selatan. Tepatnya di Durban. Selama dua minggu, dimulai pada 28 November hingga 9 Desember 2011, para negosiator dari 180 lebih negara akan membicarakan nasib umat manusia di masa yang akan datang.

Para negosiator datang ke Durban dengan harapan yang tipis bahwa pertemuan ini akan menghasilkan kesepakatan di akhir negosiasi untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Diplomat dari negara-negara berkembang, dengan dimotori oleh Costa Rica dan sejumlah negara Afrika bahkan telah mengacam untuk melakukan “occupy Durban” dengan melakukan aksi duduk dan memboikot sesi negosiasi, karena rendahnya rasa urgensi dari negara-negara industri (Guardian, 24/11/2011).

Rasa frustrasi ini merupakan akumulasi kekecewaan dari negosiasi yang berlangsung lambat dan berlarut-larut. Paska gagalnya KTT Copenhagen membuat kesepakatan yang ambisius dan mengikat untuk mencegah kenaikan temperatur, harapan untuk adanya rezim perubahan iklim global semakin menguap. Kesepakatan Cancun, setahun kemudian, menerbitkan sedikit harapan. Salah satunya adalah pembentukan dan operasionalisasi Green Climate Fund yang dinanti oleh negara berkembang. Sayangnya, pertemuan Transitional Committee GCF yang berlangsung di Cape Town bulan Oktober lalu gagal mengahasilkan kesepakatan terhadap dokumen untuk operasionalisasi GCF.

Selain daripada itu, sejumlah negara yang merupakan anggota Protokol Kyoto, Jepang, Rusia dan Canada telah menyatakan penolakan melanjutkan Protokol Kyoto setelah 2012. Sementara itu, negara-negara Eropa yang sebelum Copenhagen menggebu-gebu berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kacanya hingga 30% pada tahun 2020, sepertinya harus memendam ambisi mereka mengingat para pemimpinnya sangat disibukkan dengan upaya menyelamatkan ekonomi Eropa yang sedang dilanda krisis finansial.

Dalam perkembangannya Uni Eropa, Norwegia, Australia dan New Zealand bersedia melanjutkan periode komitmen Protokol Kyoto kedua dengan syarat bahwa traktat baru tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat, selain itu mengikutsertakan negara-negara penghasil emisi terbesar (major emitter), termasuk diantaranya Amerika Serkat dan negara-negara berkembang yang lebih maju (advance developing countries), diantaranya: Cina, India, Brasil dan Afrika Selatan.

Adapun Amerika Serikat, yang berkontribusi sekitar 40% emisi global tahun 1990, dan satu-satunya negara industri (Annex-1) yang tidak ikut serta dalam kesepakatan Kyoto, menolak untuk berpartisipasi dalam kesepakatan penurunan emisi yang mengikat paska-2012. Upaya Presiden Obama untuk adanya target penurunan emisi domestik dengan instrumen “cap and trade” pada 2009 menemui jalan buntu di Kongres.

Yang lebih pelik lagi, tanpa ada persetujuan Kongres, tidaklah mungkin bagi Presiden AS menyepakati suatu persetujuan internasional yang mengikat AS untuk menurunkan emisi GRK mereka. Adapun persetujuan Kongres terhadap partisipasi AS dalam instrumen seperti Protokol Kyoto mensyaratkan adanya keikutsertaan negara-negara emerging economy, khususnya China dan India, dalam persetujuan tersebut.

Sejumlah negara maju malah sudah memberikan usulan untuk menggeser kerangka waktu negosiasi untuk menetapkan traktat penurunan emisi baru paska berakhirnya Protokol Kyoto, menjadi tahun 2014/2015. Berbagai perkembangan ini menunjukkan bahwa tidaklah mudah mencapai kesepakatan yang ambisius dan mengikat di Durban.

Masalah Keadilan Iklim

Adapun kedua negara ini, didukung oleh negara-negara anggota BRICS (Brasil, Russia, India, Cina, dan Afrika Selatan) sudah jelas menolak terikat dalam kewajiban untuk menurunkan emisi baik sebagai pihak dalam Protokol Kyoto paska 2012, maupun instrumen yang mengikat lainnya. Dalihnya adalah masalah perubahan iklim yang sekarang terjadi disebabkan oleh emisi negara-negara industri yang terakumulasi sejak akhir abad ke-18. Emisi GRK negara-negara berkembang baru muncul setelah pertengahan abad ke-20. Walaupun emisi China dan India secara kumulatif setara dengan kebanyakan emisi kumulatif negara-negara industri, emisi per-orang (per capita) di negara-negara tersebut masih lebih kecil ketimbang emisi per-orang di negara-negara industri.

Pendekatan yang diusung oleh negara-negara berkembang adalah isu keadilan iklim berdasarkan emisi GRK historis (historical emission). Dalam kurun waktu dua abad sejak revolusi industri, seperempat penduduk dunia yang berasal dari negara maju telah mengambil sekitar tiga-perempat ruang atmosfir (atmospheric space) yang tersedia untuk emisi GRK. Negara industri telah menggunakan seluruh kuota emisi mereka, dan meminjam kuota emisi dari masa depan (hingga 2050) bahkan mengambil kuota emisi penduduk negara berkembang.

Dengan pendekatan ini, negara-negara industri telah menghabiskan jatah (entitlement) kuota emisi negara berkembang. Oleh karena itu agar negara-negara berkembang memiliki kesempatan untuk membangun dalam kondisi ruang atmosfir yang terbatas karena adanya batasan kenaikan temperatur sebesar 1,5 – 2°C, maka negara-negara industri harus menurunkan emisi GRK mereka secepat mungkin pada periode tertentu, dan tidak membebankan penurunan emisi tersebut kepada negara berkembang.

Di sisi lain, negara-negara industri berdalih bahwa basis kumulatif emisi tahun 1990 yang menjadi acuan pembentukan UNFCCC pada tahun 1992 dan Protokol Kyoto di tahun 1997 sudah tidak lagi mencerminkan realitas produksi emisi GRK yang sebenarnya. Pada kenyataannya, selain emisi GRK negara industri yang memang terus bertumbuh, emisi GRK negara-negara berkembang juga mengalami lonjakan yang luar biasa, dan lebih besar secara akumulatif dibandingkan emisi dari negara-negara industri.

Menurut laporan International Energy Agency (IEA), pada kurun 1990-2009, emisi negara berkembang dari pembakaran bahan bakar fossil (batubara, minyak dan gas alam) tumbuh rata-rata sebesar 38%, dimana emisi China saja tumbuh 206%, Timur Tengah tumbuh 171%, dan Amerika Latin tumbuh 63%. Walaupun emisi per kapita masih rendah, secara kumulatif, emisi GRK Cina sudah melampaui AS dan negara-negara Persemakmuran Eropa).

Pada tahun 2009, akumulatif emisi GRK yang berasal dari negara-negara berkembang berkontribusi sekitar 54% dari total emisi global, dengan kontribusi terbesar dari Cina dan India. Dengan dasar itulah, negara-negara industri juga menuntut Cina dan India dituntut untuk ikut menanggung kewajiban untuk menurunkan emisi mereka, dalam suatu Protokol perubahan iklim yang melanjutkan berakhirnya komitmen pertama Protokol Kyoto tahun 2012.

Jika desakan penurunan emisi terhadap Cina dan India oleh negara-negara industri yang dimotori oleh AS, Canada, dan Jepang ini berhasil, akan prinsip Common but Differentiated Responsibility (CBDR) akan mengalami perubahan definisi yang berimplikasi politis dan ekonomis terhadap negara-negara emerging economy seperti Indonesia, Mexico, Afrika Selatan, bahkan negara-negara di timur tengah, yang emisi per-capitanya setara degan emisi di negara-negara industri.

Emisi GRK terus melaju

Situasi di meja perundingan UNFCCC sangat kontras dengan realitas emisi GRK di atmosfer. Sebelum perundingan mengalami anti-klimaks di Copenhagen, para ahli merekomendasikan untuk membatasi konsentrasi emisi GRK global sebesar 450 part per million (ppm) atau berkorelasi dengan kenaikan temperatur sebesar 2-2,4°C. Konsensus yang terbangun di dalam perundingan UNFCCC adalah kenaikan rata-rata suhu bumi harus dibatasi tidak melebihi 2°C di akhir abad ini. Walaupun demikian, berbagai kajian ilmiah terkini justru menyarankan bahwa batasan 2°C tidak lagi memadai untuk menghindari dampak yang luas akibat perubahan iklim, serta naiknya permukaan air laut yang berpotensi menenggelamkan negara-negara kepulauan kecil dan membanjiri kawasan pesisir di negara-negara berkembang di lingkaran khatulisiwa, serta dampak pemanasan global yang yang lebih luas terhadap berbagai ekosistem. Untuk itu, para ahli merekomendasikan untuk mengurangi resiko adverse impact dan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem, kenaikan temperatur global tidak lebih dari 1,5°C. Rekomendasi ini mendapatkan dukungan dari negara-negara kepulauan kecil, yang keberadaan negaranya sangat terancam oleh kenaikan muka air laut dan resiko bencana akibat perubahan iklim.

Berbeda dengan rekomendasi ilmiah, prakteknya emisi GRK global naik dengan kecepatan yang lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Dalam World Energy Outlook 2011, yang diluncurkan awal November ini, IEA menyampaikan bahwa seluruh dunia sudah menghabiskan sekitar 80% anggaran karbon (carbon budget) – istilah yang dipakai untuk menunjukkan kuota emisi GRK global (dalam ton CO2) untuk menghindari kenaikan temperatur lebih dari 2°C – sehingga menghasilkan konsentrasi GRK di atmosfer sebesar 390 ppm. Menurut IEA, di tahun 2010 sekitar 30,6 Giga ton (Gt) CO2 yang berasal hanya dari pembakaran bahan bakar fossil dibuang ke atmosfer. Total emisi GRK di tahun 2010 termasuk dari LULUCF diperkirakan sekitar 50 Gt. Dengan laju kecepatan ini maka IEA memperkirakan pada tahun 2015 jumlah anggaran karbon yang terpakai akan mencapai 90% dan pada tahun 2017 seluruh anggaran karbon akan habis terpakai sehingga ruang untuk melakukan penyesuaian hampir tidak ada. Dalam perhitungan IEA, kita hanya memiliki kurang dari lima tahun untuk menurunkan emisi GRK untuk dapat mempertahankan target kenaikan temperatur global tidak lebih dari 2°C.

Kajian Ecofys (2010), sebuah lembaga riset dari Belanda, menyarankan untuk mencapai 50% kemungkinan temperatur global tidak naik lebih dari 2°C, maka penambahan emisi karbon tidak lebih dari 2000 Giga ton (Gt) pada kurun waktu 2000-2050. Padahal selama 2000-2010, sudah sekitar 1000 Gt anggaran karbon yang telah terpakai. The German Advisory Council on Global Change (WBGU) mengusulkan anggaran karbon global sebesar 750 GT pada kurun waktu 2010-2050. Dengan jumlah ini, terdapat 75% kemungkinan kenaikan temperatur rata-rata tidak melebihi 2°C.

Gambar 1. Janji Penurunan Emisi (sesuai Cancun Pledge) vs. Kebutuhan Penurunan Emisi untuk scenario 1,5°C dan 2°C

Sumber: Climate Tracker (diunduh pada 28/11/2011)

Menurut kajian Climate Analytics (2011), untuk dapat memenuhi jalur skenario 2°C maka emisi global harus turun menjadi 44 Gt CO2eq per tahun. Sementara itu komitmen penurunan emisi yang dibuat di Cancun memberikan indikasi bahwa produksi emisi global akan mencapai 54 Gt pada tahun pada 2020. Berdasarkan scenario ini masih ada kesenjangan emisi sebesar 10 Gt, dan apabila kesenjangan emisi ini tidak ditutup, diperkirakan temperatur rata-rata akan naik sebesar 3.2°C (pada kisaran 2.6-4°C) di tahun 2100, dengan konsentrasi emisi GRK di atmosfir mencapai 650 ppm.

Isu-Isu Kritis di Durban

Di Durban, selain SBI, SBSTA yang akan membahas implemtasi hasil COP/CMP, negosiasi menyangkut rezim iklim masa depan dilangsungkan dalam dua track utama: Ad-Hoc Working Group for further commitment for Annex-1 Parties (AWG-KP) dan Ad-Hoc Working Group on Long Term Cooperative Action (AWG-LCA).

Dalam AWG-KP, pembahasan akan menyangkut tentang komitmen periode kedua Protokol Kyoto (PK), yang akan berakhir tahun 2012. Untuk memenuhi target 2°C, negara-negara industri didesak untuk menurunkan emisi GRK sebesar 40% dari level emisi 1990 pada kurun waktu 2013-2020. Sejauh ini, belum ada persetujuan dari negara-negara industri maju untuk melanjutkan Protokol Kyoto setelah periode komitmen pertama berakhir tahun depan.

Seandainya pun di Durban terjadi kesepakatan untuk melanjutkan PK pada periode komitmen kedua, masih terdapat kesenjangan waktu untuk implementasi, karena setiap negara harus mendapatkan persetujuan di tingkat domestik untuk melanjutkan KP. Sebagai gambaran, untuk menyepakati PK periode komitmen pertama, dibutuhkan waktu hampir 7 tahun sejak PK disepakati tahun 1997, hingga berketetapan hukum pada tahun 2004.

Sejumlah negara Annex-1 telah mengusulkan agar PK periode komitmen kedua tidak hanya melibatkan negara-negara industri yang masuk dalam daftar Annex-1, tetapi juga negara-negara berkembang yang lebih maju (advance developing countries), seperti Brasil, Cina, India, dan Afrika Selatan. AS secara khusus meminta agar diadakan revisi kategori Annex-1 dan non Annex-1 yang mencerminkan realitas kondisi nyata saat ini.

Sejumlah negara Annex-1 juga mengusulkan perubahan model kesepakatan untuk PK periode komitmen kedua, dari yang semula berdasarkan alokasi penurunan emisi GRK secara setara sesuai dengan kajian ilmiah, menjadi sistem “pemberian jaminan dan peninjauan ulang” (pledge and review). Berdasarkan mekanisme ini, setiap negara menyampaikan usulan target penurunan emisi dan mengkaji implementasinya secara berkala, tanpa ada ikatan secara hukum untuk memenuhi target tersebut. Berdasarkan mekanisme ini tidak ada jaminan target penurunan emisi pada akhirnya akan terpenuhi.

Dalam AWG-LCA, negosiasi akan dilakukan untuk seluruh isu: Visi bersama (Shared Vision), adaptasi, mitigasi di negara maju, aksi mitigasi di negara berkembang, REDD, pendekatan sektoral secara kooperatif, konsekuensi ekonomi dan sosial dari tindakan-tindakan untuk menurunkan emisi GRK, pendanaan dan alih teknologi.

Dalam hal adaptasi, sesi negosiasi pra-COP yang berlangsung di Panama bulan Oktober lalu sudah lebih memfokuskan pada pembentukan Komite Adaptasi (Adaptation Committee). Di Durban, paling tidak terdapat dua isu kritis: pertama, hubungan antara Komite Adaptasi dengan Mekanisme Pendanaan. Dalam hal ini posisi negara berkembang terpecah. Ada yang menyetujui Komite Adaptasi memiliki kewenangan menentukan pendanaan untuk adaptasi, termasuk penentuan kriteria dan prioritas untuk program adaptasi, tetapi ada juga keinginan untuk membatasi kewenangan tersebut. Negara maju sama sekali menolak memberikan kewenangan pendanaan pada komite ini. Kedua, tentang komposisi Komite Adaptasi. Sejumlah negara berkembang menginginkan mayoritas Komite Adaptasi berasal dari negara berkembang sementara AS menginginkan agar komposisi anggota Komite Adaptasi berimbang antara negara Annex 1 dan non-Annex-1.

Isu lain yang berkaitan erat dengan kepentingan negara berkembang ada pada isu pendanaan, yaitu tentang pendaan perubahan iklim, pembentukan komte permanen untuk pendanaan dan operasionalisasi Green Climate Fund (GCF). Dalam hal pendanaan jangka panjang, negara-negara maju tidak menyepakati usulan komitmen untuk menyediakan sumber dana. Adapun AS mengajukan proposal agar negara-negara berkembang ikut serta dalam menyediakan pendanaan bagi perubahan iklim.

Komisi Transisi yang di berikan mandat untuk mempersiapkan operasionalisasi GCF gagal menyepakati naskah usulan operasionalisasi dalam pertemuannya di Cape Town. Dengan demikian pembahasan naskah ini akan dilanjutkan di AWG-LCA, dengan kemungkinan naskah yang dipersiapkan sebelumnya oleh Komite Transisi dapat diadopsi atau dibuka kembali pembahasan untuk perubahan lebih lanjut. Situasi ini mengindikasikan kalau GCF tidak dapat langsung beroperasi pada 2012, sehingga dana-dana untuk program mitigasi di negara berkembang belum dapat didanai oleh institusi ini.

Apa yang akan harus terjadi di Durban

Mengingat negosisiasi di Durban memiliki arti strategis untuk memastikan bahwa penurunan emisi secara signifikan harus terjadi sebelum 2020, untuk memastikan tercapainya target penurunan emisi 1,5 atau 2°C, serta nilai strategis pertemuan ini untuk memastikan komitmen Annex-1 yang mengikat paska PK periode komitmen pertama berakhir tahun 2012, maka perundingan iklim di Durban harus menghasilkan:

  1. Target penurunan emisi GRK untuk negara Annex-1 yang mengikat dan secara proporsional signifikan sesuai dengan rekomendasi dari kajian ilmiah;
  2. Tindakan yang setara (comparable effort) dari AS , yang bukan anggota Protokol Kyoto, untuk melakukan penurunan emisi GRK sesuai dengan kewajibannya didalam Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC);
  3. Aksi mitigasi yang wajar oleh negara-negara berkembang yang didukung oleh pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas, sesuai dengan ketentuan Konvensi Perubahan Iklim.

Jakarta, 28/11/2011
Email: fabby@iesr.or.id