Akses energi masih menjadi salah satu tantangan dunia di abad 21 ini khususnya bagi individu dan masyarakat di negara-negara berkembang. Fakta mencatat terdapat lebih dari tiga (3) miliar orang di negara-negara berkembang yang masih bergantung pada biomassa tradisional untuk memasak dan pemanasan /heating (1); satu setengah (1,5) miliar orang tanpa listrik (2); bahkan di saat jasa-jasa energi (energy services) tersebut tersedia, jutaan orang miskin tetap tidak dapat menikmatinya lantaran harganya yang terlalu mahal dan mereka tidak memiliki kemampuan secara ekonomi untuk membelinya. Rendahnya akses pada energi dan jasa-jasa energi modern membuat penduduk-penduduk di negara berkembang kehilangan kesempatan mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi dan peningkatan taraf hidup.
Walaupun energi sendiri bukanlah kebutuhan dasar, tetapi energi merupakan pendukung utama untuk tercapainya kebutuhan-kebutuhan dasar. Tanpa energi, kebutuhan-kebutuhan tersebut sukar tercapai. Contoh sederhana dapat dilihat dari peran energi untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Walaupun ketersediaan bahan pangan dapat dicukupi, tanpa menyelesaikan masalah energi masyarakat tetap akan mengalami fenomena kekurangan pangan. Hal ini disebabkan karena untuk bisa menyelesaikan masalah pangan bukan hanya bahan mentah pangan yang diperlukan yang harus tersedia, namun akses terhadap layanan energi yang memungkinkan bahan pangan tersebut diolah dan/atau dimasak, juga harus tersedia. Demikian juga dengan air bersih. Jasa energi dalam bentuk listrik memungkinkan air bersih dipompa dari sumber-sumber air dan didistribusikan kepada para penggunanya.
Pentingnya penyediaan akses energi secara universal mulai mendapatkan perhatian sejak hadirnya laporan Komisi Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan atau Report of World Commission on Environment and Development (Bruntland Commission) tahun 19873. Walaupun demikian, akses energi secara universal baru benar-benar menjadi pusat perhatian setelah diterbitkannya sebuah laporan yang komprehensif berjudul World Energy Assessment: Energy and the Challenge of Sustainability oleh UNDP, UNDESA dan WEC, tahun 2000. Laporan ini mengungkapkan pertautan yang kuat antara energi dan kemiskinan, serta menyerukan adanya aksi dunia untuk mendorong penyediaan akses energi bagi seluruh umat manusia.
Dalam persiapan KTT Pembangunan Berkelanjutan (WSSD) tahun 2002, Rio+10, di Johanesburg, sebuah kelompok kerja bernama WEHAB (Water, Energy, Health, Agriculture and Biodiversity) kemudian dibentuk. Dalam laporannya WEHAB menggambarkan pentingnya energi dalam uraian yang sederhana:
“Walaupun energi bukanlah kebutuhan dasar manusia, energi sendiri sangat penting untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar tersebut. Kekurangan akses terhadap jasa energi yang beraneka ragam dan ter-
jangkau, artinya kebutuhan dasar dari banyak orang tidak terpenuhi”
KTT Pembangunan Berkelanjutan 2002 kemudian menyepakati rencana aksi WEHAB. Dalam rencana aksi energi terdapat 5 issue yaitu: akses energi dan jasa energi modern, efisiensi energi, energi terbarukan, teknologi bahan bakar fosil yang lebih maju, dan energi dan transportasi (4). Rencana Implementasi KTT Pembangunan Berkelanjutan (WSSD Plan of Implementation) menyadari pentingnya akses yang lebih baik terhadap energi yang handal dan terjangkau untuk mencapai Tujuan Pembangunan Millenium serta relasi antara akses pada energi dan penurunan kemiskinan.
Walau demikian, perkembangan selama satu dekade terakhir ini memberikan indikasi bahwa masyarakat global masih belum secara optimal bekerja untuk meningkatkan akses energi penduduk negara-negara berkembang. Hal ini tampak dari proporsi alokasi ODA (5), pendanaan multilateral dan investasi swasta yang relatif kecil untuk investasi akses energi (6). Walaupun jumlah penduduk yang belum mendapatkan listrik turun sekitar 0.5 miliar dibandingkan dengan angka pada 2000, tetapi kualitas elektrifikasi di banyak negara masih memprihatinkan dan bahkan konsumsi energi listrik masih sangat terbatas pada penerangan dan belum menyentuh pemanfaatan secara produktif. Elektrifikasi perdesaan yang berbasikan energi terbarukan dan off-grid belum sepenuhnya berjalan/beroperasi untuk memasok energi secara berkesinambungan karena faktor-faktor teknis, finansial, dan sosial-budaya.Sementara itu sekitar 3 miliar orang atau 40 persen populasi dunia yang masih mengandalkan biomassa tradisional untuk memasak karena ketidaktersediaan pasokan dan infrastruktur energi modern secara berkesinambungan untuk bahan bakar memasak.
IEA mencatat bahwa beberapa hal yang menjadi kendala dalam pencapaian tujuan-tujuan yang terdapat dalam Tujuan Pembangunan Millenium di tahun 2015, adalah masalah pendanaan dan masalah energi. IEA memperkirakan bahwa di tahun 2015, dibutuhkan tambahan akses untuk sekitar 395 juta orang yang perlu mendapatkan akses pada listrik dan 1 miliar orang yang memerlukan akses pada fasilitas-fasilitas
memasak. Hal ini memerlukan investasi tahunan di tahun 2010-2015 sekitar 41 miliar dollar Amerika, atau sekitar 0,06% dari GDP (7).
Itu sebabnya pula, dengan adanya permasalahan ini, peningkatan akses pada energi menjadi suatu hal yang perlu ditangani secara serius. Namun, meningkatkan akses pada energi bukanlah satu-satunya tantangan terbesar. Kenyataan bahwa tidak semua masyarakat dapat menerima tawaran layanan energi yang ada, membuat upaya untuk meningkatkan akses pada energi semakin sulit. Hal ini membawa pada sebuah kesimpulan bahwa untuk meningkatkan akses pada energi, teknologi bukanlah satu-satunya jawaban. Perlu juga adanya upaya peningkatan kapasitas dan pengenalan pada produk-produk energi yang ada, agar masyarakat dapat menikmati layanan energi serta memeliharanya untuk jangka panjang.
Sustainable Energy for All Initiative
Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian mencanangkan tahun 2012 sebagai tahun Sustainable Energy for All. Diharapkan dari inisiatif ini, negara-negara dapat menyusun perangkat kebijakan nasional untuk dapat mendukung perluasan akses pada energi yang modern.
Inisiatif Sustainable Energy for All, atau yang sering disingkat sebagai SEFA ini, memiliki 3 (tiga) buah target:
– Akses universal pada layanan energi modern
– Meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi (energy mix)
– Meningkatkan dua kali lipat upaya-upaya untuk melakukan efisiensi energi
Akses Universal pada Layanan Energi Modern
Dunia telah mengakui bahwa tanpa adanya layanan energi yang memadai, adalah tidak mungkin untuk dapat mencapai tujuh poin dari tujuan pembangunan millenium. Bahkan, sebuah pembangunan yang berkelanjutan dikatakan tidak akan pernah ada apabila energi yang berkelanjutan dapat tercapai. Itu sebabnya, mengapa akses universal pada layanan energi modern menjadi sangat penting bagi pencapaian pembangunan yang berkelanjutan; karena tanpa adanya energi, tidak mungkin terjadi kehidupan.
Tersedianya layanan energi yang bersih dan terjangkau secara ekonomi dan juga secara upaya (jarak dan/atau waktu tempuh untuk pengadaan energi), dapat berkontribusi pada beberapa aspek sosial. Layanan energi yang mudah dijangkau secara jarak, akan memudahkan perempuan dan anak-anak (yang umumnya mencari bahan bakar) untuk mendapatkan layanan energi. Dengan demikian, tidak perlu ada kekhawatiran mengenai tindakan kekerasan pada perempuan dan anak-anak, yang mungkin ditemui di perjalanan. Layanan energi yang bersih juga harus diperhitungkan sebagai komponen yang penting. Dengan mengganti tungku tradisional untuk memasak, dengan tungku yang lebih baik efisiensinya, serta dilengkapi dengan cerobong, akan dapat membantu masyarakat desa untuk menjaga kesehatannya. UN mencatat, bahwa peralihan pada layanan energi yang lebih bersih, akan dapat menyelamatkan kematian bayi sampai dengan 800.000 bayi (8), yang disebabkan pada paparannya terhadap polusi udara di dalam ruangan. Itu sebabnya, akses pada energi modern yang universal harus dilakukan agar dapat tercapai, sehingga bukan hanya ekonomi saja yang ditingkatkan, namun juga indikator sosial lainnya seperti kesehatan, dapat terpenuhi.
Adanya layanan energi yang bersih dan juga terjangkau, dapat memampukan masyarakat untuk meluaskan penggunaan energi; dari hanya sekedar listrik untuk penerangan rumah tangga, menjadi sebuah usaha untuk meningkatkan pendapatan atau kehidupan ekonomi suatu keluarga. Dengan demikian, akses pada energi bukan hanya dapat meluaskan kesempatan masyarakat agar mendapatkan tambahan pendapatan, namun juga mengoptimalkan penggunaan layanan energi yang tersedia.
Meningkatkan Bagian Energi Terbarukan menjadi Dua Kali Lipat dari Komposisi Bauran Energi
Hingga hari ini, ketergantungan dunia terhadap bahan bakar fosil sangat tinggi. Ketergantungan ini dapat disebabkan oleh berbagai macam hal; salah satunya adalah karena keberadaan subsidi bagi industri-industri penghasil bahan bakar fosil, baik di sisi produsennya, maupun dari sisi konsumen. Di Indonesia sendiri, keberadaan subsidi pada bahan bakar fosil di sisi konsumen telah membuat ketahanan energi di Indonesia terancam. Daya tarik bahan bakar fosil sangat tinggi ketimbang daya tarik layanan energi yang berasal dari energi terbarukan. Keberadaan subsidi untuk bahan bakar fosil menyebabkan harga beli dari energi-energi yang tergolong energi terbarukan menjadi tidak terjangkau. Di lain pihak, ketersediaan bahan bakar fosil yang semakin menipis, pertumbuhan kendaraan bermotor, serta pertumbuhan populasi, menyebabkan ketidakseimbangan supply-demand energi. Itu sebabnya, perlu upaya-upaya pengembangan energi baru dan terbarukan yang bersih, aman, terjangkau (baik secara harga maupun ketersediaan), yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan energi.
Upaya untuk menggalakan energi terbarukan menjadi dua kali lipat dari yang ada saat ini dalam bauran energi, merupakan salah satu inisiatif global yang seharusnya didukung oleh komitmen dari berbagai macam pihak. Indonesia sendiri merevisi
Kebijakan Energi-nya sehubungan dengan komposisi energi terbarukan yang hendak dicapai; yang mana awalnya energi terbarukan ditargetkan mencapai 17% di tahun 2025 terhadap bauran energi, kini menjadi 25%. Hal ini menandakan bahwa Indonesia telah menyadari perlunya peralihan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan sebagai upaya pemenuhan permintaan energi di dalam negeri serta mempersiapkan masyarakat untuk beralih pada energi baru terbarukan.
Walau demikian, kebijakan harga energi, yang cukup banyak ditentukan dari besaran subsidi bahan bakar fosil, perlu mendapatkan perhatian tinggi.
Menggandakan Kegiatan Energi Efisiensi
Energi efisiensi juga merupakan salah satu kegiatan yang menjadi target dari inisiatif Sustainable Energy for All. Selain memiliki dampak yang besar pada penghematan penggunaan energi, melakukan kegiatan efisiensi energi merupakan kegiatan yang relatif lebih murah daripada kegiatan lainnya. Indonesia sendiri telah menetapkan target konservasi energi melalui kegiatan efisiensi energi hingga 15,7% di tahun 2025 terhadap skenario Business as Usual (BaU). Target ini merupakan awal yang baik bagi Indonesia dalam berkontribusi terhadap upaya efisiensi energi global. Walaupun demikian perlu diperhatikan bahwa elastisitas energi Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang setara di kawasan Asia Tenggara, bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara OECD . Hal ini mengindikasikan penggunaan energi yang belum produktif dan optimal.
Institusional SEFA
Ketiga tujuan yang telah dibuat oleh SEFA seharusnya bukan hanya menjadi sesuatu yang ada di atas kertas, melainkan menjadi sebuah target yang dapat diolah untuk keluar dengan rencana kerja yang bukan hanya berlaku di skala internasional, melainkan skala nasional. Untuk mengimplementasikan SEFA, ada begitu banyak hal yang perlu diperhitungkan, terutama untuk memastikan bahwa implementasi dari inisiatif ini menjadi kokoh untuk kemudian berkelanjutan.
Saat ini UN Secretary General telah membentuk High Level Group (HLG) untuk SEFA. Tugas yang paling mendesak dari grup ini adalah untuk merekomendasikan sebuah Action Agenda, yang disusun berdasarkan konsultasi dengan para pemangku kepentingan, dimana para pemangku kepentingan dapat membuat komitmen yang konkrit untuk mencapai tujuan sustainable energy for all di tahun 2030. Grup ini juga akan merancang proses-proses yang ada untuk pembelajaran serta akan merancang kerangka akuntabilitas yang memampukan para peserta mengkomunikasikan mengenai berhasil tidaknya suatu kegiatan energi dan untuk memastikan bahwa komitmen-komitmen yang dibuat benar-benar ditaati. Perkembangan dari komitmen ini akan dibuat terbuka dan transparan.
HLG SEFA saat ini telah mengeluarkan kerangka Action Agenda, yang dapat diakses oleh seluruh pihak. Kerangka ini diharapkan dapat disempurnakan, berdasarkan diskusi dengan para pemangku kepentingan. Action Agenda ini diharapkan dapat keluar dengan versi final sebelum pertemuan di Rio de Janeiro, yaitu Konferensi Tingkat Tinggi Bumi, untuk ditawarkan menjadi sebuah inisiatif yang dapat diadopsi oleh banyak negara, sehingga dapat mencapai tiga target yang telah ditetapkan oleh SEFA di tahun 2030.
Walau demikian, pertanyaan baru kemudian muncul, apabila Action Agenda SEFA kemudian disepakati di Rio+20, entitas manakah yang akan memonitor perkembangan dalam pencapaian target SEFA? Hal ini harus menjadi pertimbangan bagi para member countries saat akan memberikan komitmennya untuk pencapaian
target-target SEFA.
Akses pada Energi dalam Rio+20
Akses pada energi di dalam naskah Rio+20 terdapat di komponen ekonomi hijau (Green Economy) serta di dalam Frame of Action sebagai salah satu prioritas yang harus diresponi.
Energi dalam komponen ekonomi hijau jelas-jelas sangat diperlukan. Laju penggunaan energi fosil yang relatif murah, menjadi zona nyaman bagi pihak industri maupun perorangan. Karena harganya yang relatif murah akibat subsidi yang diberikan, penggunaan energi (yang saat ini masih didominasi oleh bahan bakar fosil) terkadang melampaui penggunaannya. Ketergantungan masyarakat dunia dengan bahan bakar fosil pun berakibat bukan hanya pada konsumsi energi yang berlebihan, namun juga pada pemanasan global yang berujung pada perubahan iklim akibat dari produksi gas rumah kaca yang berlebihan. Itu sebabnya, dalam pembangunan ke depan, penggunaan energi terbarukan sangat penting untuk ditingkatkan; demikian pula dengan penggunaan energi secara efisien.
Energi kemudian menjadi bagian dari prioritas Frame of Action yang terdapat di dokumen zero draft Rio+20. Di dalam prioritas tersebut, pada bagian energi, terdapat draft pembukaan yang mengarahkan kesepakatan pada pentingnya akses pada layanan energi yang berkelanjutan terhadap kehidupan, untuk meningkatkan kesehatan, dan memastikan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Naskah tersebut juga telah mengidentifikasikan bahwa energi memainkan peran yang sangat penting dalam pembangunan berkelanjutan.
Paragraf ke-70 mengatakan bahwa, sidang Rio+20, sepakat untuk membangun kerangka aksi di bidang energi, berdasarkan inisiatif Sustainable Energy for All. Inisiatif ini memiliki target, bahwa di tahun 2030, akses pada energi secara universal harus tercipta; menggandakan porsi energi efisiensi global dalam kegiatan energi; serta menggandakan komposisi energi terbarukan di dalam baruan energi global pada tahun 2030. Namun tentu saja, untuk mencapai seluruh target yang telah ditetapkan, diperlukan upaya-upaya pendanaan yang berasal dari domestik maupun internasional untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan tersebut.
Paragraf tersebut juga memuat pernyataan mengenai pencabutan subsidi bahan bakar fosil secara bertahap yang dapat mempercepat pencapaian target berikutnya, yaitu penggunaan energi terbarukan dan juga efisiensi energi. Namun, pencabutan subsidi bahan bakar fosil di sini memiliki catatan yaitu, pencabutan subsidi bahan bakar fosil harus disesuaikan dengan kondisi negara; terutama untuk negara-negara yang rentan secara ekonomi/miskin.
Implikasi Rio+20 dan SEFA pada Indonesia
Hasil dari Rio+20 dan implementasi inisiatif SEFA sedikit banyaknya akan mempengaruhi Indonesia.
Tujuan peningkatan energi terbarukan dalam bauran energi membuka kesempatan bagi Indonesia untuk mencari kemitraaan dan pendanaan dari negara-negara maju untuk alih dan pengembangan teknologi energi terbarukan yang sesuai dengan kondisi geografis dan demografis bangsa Indonesia. Dengan 80 juta penduduk yang belum mendapatkan listrik, dimana sekitar 60 persen diantaranya tinggal di perdesaan dan kawasan terpencil, teknologi energi terbarukan untuk off-grid merupakan pilihan yang rasional dan potensial.
Di sisi lain, peningkatan akses energi yang berbasis pada energi terbarukan mem- butuhkan perencanaan yang koheren, kerangka kebijakan dan institusi serta tata kelola yang handal dan akuntabel, pendanaan yang terencana, serta partisipasi berbagai pihak – pembuat kebijakan, pelaku, penerima manfaat, pemerintah daerah dan pusat, dan sebagainya. Koordinasi di pusat dan daerah dibutuhkan untuk mensinergikan peningkatan akses energi bagi masyarakat dengan berbagai agenda pembangunan dan ekonomi.
Dalam hal meningkatkan target efisiensi energi, Indonesia memiliki potensi efisiensi energi yang cukup besar, antara 15-30 persen untuk berbagai sektor industri, bangunan komersial dan transportasi. Namun, kebutuhan investasi untuk efisiensi energi pun relatif besar dan potensi investasi yang besar. Kajian ADB (2009) memperkirakan, kebutuhan investasi untuk energi efisiensid di sektor industri diperkirakan sebesar 3 miliar dollar, sedangkan untuk sektor bangunan komersial diperkirakan mencapai 1 miliar dollar. Kebutuhan investasi ini sebenarnya dapat ditutup oleh investasi dari dalam dan luar negeri. Tetapi untuk itu hambatan-hambatan investasi perlu dihilangkan untuk membuka potensi pasar, salah satunya adalah dengan mereformasi kebijakan harga energi dan merasionalisasi subsidi energi di sisi konsumen.
Efisiensi di sektor transportasi membutuhkan adanya regulasi fuel economy, perbaikan efisiensi kendaraan bermotor dan peningkatan kualitas bahan bakar serta konversi yang berkisambungan bahan bakar minyak (BBM) ke non-BBM. Perancangan kota, perencanaan tata guna lahan, ketersediaan transportasi publik yang masal, dan sistem manajemen transportasi yang baik, merupakan faktor-faktor pendukung tercapainya efisiensi energi di sektor transportasi. Untuk mewujudkan hal ini dibutuhkan koordinasi yang lebih baik dalam perancangan dan implementasi kebijakan lintas sektoral dan lintas instansi pada berbagai tingkatan. Mewujudkan dan meningkatkan koordinasi dan sinergitas yang efektif dan efisien merupakan salah satu tantangan yang perlu segera dibenahi oleh pemerintah pusat dan daerah.
Dalam hal tujuan menghilangkan subsidi bahan bakar fosil, Indonesia perlu mempersiapkan rencana yang komprehensif mengingat subsidi BBM di Indonesia memiliki dimensi yang kompleks dan politis. Pencabutan subsidi pada bahan bakar fosil tentu saja harus diiringi dengan analisis ekonomi dan sosial yang tepat serta disesuaikan dengan kondisi negara dimana subsidi untuk bahan bakar fosil diberlakukan.
Walau demikian, subsidi tidak seharusnya dihilangkan secara keseluruhan. Subsidi tetap harus diberlakukan untuk meringankan biaya bagi masyarakat kecil dalam mengakses pada layanan energi yang tersedia. Namun, sebaiknya, subsidi dberikan pada penggunaan layanan energi yang berasal dari energi terbarukan. Subsidi juga seharusnya diberikan kepada teknologi-teknologi efisiensi energi yang dapat dilakukan secara individu atau sekelompok orang.
Inisiatif SEFA sendiri dapat menimbulkan potensi mengalirnya investasi domestik dan asing ke Indonesia. Pertanyaan mendasar adalah apakah Indonesia siap dalam pengelolaan investasi atau bantuan yang ditujukan untuk isu akses pada energi ini, dan menjamin pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia?
Rujukan
http://www.sustainableenergyforall.org/universal-access
http://www.un.org/jsummit/html/documents/summit_docs/wehab_papers?wehab_energy.pdf
International Energy Agency, “Energy Poverty: How to Make Modern Energy Access
Universal?”, OECD/IEA, 2010
PLN, Rasio Elektrifikasi di Indonesia, 2012 World Energy Outlook 2011: Energy for All Financing Access for the Poor, IEA, Paris
World Commission on Environment and Development: Our Common Future, Ox-
ford, 1987
Zero Draft Document, Text revision after 2nd Informal Meeting, May 2012
1) http://www.sustainableenergyforall.org/objectives/universal-access
2) http://www.sustainableenergyforall.org/objectives/universal-access
3) World Commission on Environment and Development: Our Common Future, Oxford, 1987
4) http://www.un.org/jsummit/html/documents/summit_docs/wehab_papers?wehab_energy.pdf
5) Overseas Development Assistance
6) World Energy Outlook 2011: Energy for All Financing Access for the Poor, IEA, Paris
7) International Energy Agency, “Energy Poverty: How to Make Modern Energy Access Universal?”, OECD/IEA, 2010
8) http://www.sustainableenergyforall.org/objectives/universal-access