Pada tanggal 14 September 2012 yang lalu, Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama dengan Electricity Governance Initiative (EGI) mengadakan sebuah seminar berjudul Clean Energy Regulation: International Experience and Lessons Learned for Indonesia. Seminar ini menghadirkan beberapa ahli yang membagikan pengalaman mereka, serta perkembangan terkini dari peraturan energi bersih (clean energy regulation) di beberapa negara berkembang di dunia; secara spesifik Brazil dan India, serta beberapa negara lainnya.
Berdasarkan informasi dan pandangan dari para narasumber, diharapkan bahwa pengalaman-pengalaman yang relevan di negara tersebut, dapat menjadi masukan bagi penyusunan kebijakan energi bersih di Indonesia untuk mempercepat perkembangan energi di bersih di Indonesia baik kini, maupun di masa yang akan datang. Narasumber yang hadir dalam seminar ini adalah Davida Wood, PhD., Prof. Gilberto De Martino Januzzi, PhD., dan Shantanu Dixit.
Acara ini dibuka oleh Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dengan keynote speech oleh Ibu Maritje Hutapea, Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi. Seminar ini dihadiri oleh berbagai variasi kalangan, seperti pemerintah, asosiasi, NGO, serta media.
Dalam keynote speech-nya Ibu Maritje memaparkan kondisi energi Indonesia, dimana elastisitas energi adalah 1,65 dan bagian dari energi non-fosil berada pada komposisi 5% dari total, serta subsidi energi yang memiliki kecenderungan meningkat dari tahun 2004 yang lalu.
Perubahan jelas paradigma harus dilakukan terhadap pengelolaan energi nasional; yang saat ini lebih ditekankan pada sisi supply-nya, untuk bergeser ke sisi demand dimana energi efisiensi harus diterapkan, baik di sektor rumah tangga, transportasi, industri, dan komersil. Perubahan paradigma juga harus dilakukan melalui sumber pembangkit listrik yang digunakan. Saat ini, Pemerintah cenderung untuk menyediakan listrik dengan menggunakan bahan bakar fosil yang ada, dengan harga berapa pun, yang tentu saja akan berakibat pada pembengkakan subsidi yang harus disediakan oleh negara. Energi terbarukan saat ini, masih menjadi sekedar “alternatif”. Perubahan paradigma ini harus terjadi, dengan meletakkan pembangunan energi terbarukan sebagai pondasi yang terutama, dan apabila terjadi kekurangan, bahan bakar fosil akan menjadi penyeimbangnya.
Pengembangan energi bersih tentu saja seiring dengan komitmen Indonesia yang dilontarkan oleh Presiden di Pittsburg tahun 2009 lalu, pada pertemuan G20. Saat ini, Presiden mengatakan bahwa Indonesia akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% dari business as usual(BAU) atau 767 juta ton CO2-ekivalen, secara sukarela; dimana kontribusi penurunan yang berasal dari sektor energi (tanpa transportasi) mencapai 30 juta ton CO2-ekivalen. Hal ini akan dilakukan dengan mengembangkan energi terbarukan serta implementasi kegiatan konservasi energi di seluruh sektor.
Kebijakan lain yang mendukung adalah Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 mengenai target energi di tahun 2025, dimana elastisitas energi harus mencapai kurang dari 1, serta bauran energi di mana porsi energi baru dan terbarukan mencapai 17% dari total.
Davida Wood dari World Resources Institute (WRI) memaparkan beberapa pertanyaan kunci mengenai tata kelola yang diperlukan dalam mencapai target dari energi bersih, yang telah ditentukan. Beberapa di antaranya adalah:
- Apakah yang menjadi tujuan dari kebijakan energi terbarukan?
- Mekanisme apa saja yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut?
- Bagaimana respon terhadap sinyal-sinyal pasar yang ada?
- Bagaimana dengan mekanisme koordinasi yang ada untuk multi-level dan di dalam lembaga tersendiri?
- Bagaimana partisipasi stakeholder yang ada?
- Industri apa sajakah yang dapat berperan untuk mendukung terjadinya scale-up?
Davida juga menyatakan bahwa masing-masing negara memiliki karakteristiknya sendiri. Misalnya, di Filipina, isu deployment untuk energi terbarukan menemui masalah, karena kurangnya partisipasi masyarakat sipil di dalamnya. Di Jerman, integrasi grid merupakan masalah yang cukup krusial. Sedangkan di Afrika Selatan, masalah antar departemen menjadi isu yang penting.
Davida menyampaikan bahwa koordinasi antara pembuat kebijakan dan regulator merupakan aspek yang sangat penting. Begitu pula dengan tantangan kapasitas yang harus dilalui, terutama saat melakukan integrasi grid skala besar dengan tingkat kapasitas lokal yang ada.
Pengalaman Brazil memberikan gambaran yang juga berbeda, dimana Prof. Gilberto M. Jannuzzi menyampaikan pembelajaran dari kasus pengembangan Etanol di Brazil. Prof. Jannuzzi mengatakan diperlukan waktu 30 tahun untuk Brazil dapat mengintegrasikan Etanol sebagai pilihan bahan bakar, ke dalam sistem energi modern.
Pengembangan Etanol di Brazil melibatkan banyak pihak, salah satunya adalah pihak swasta, dimana mereka memainkan peranan yang sangat penting. Hanya pihak swasta yang memiliki kapasitas untuk melakukan pengolahan, seperti pencampuran antara Etanol dengan bahan bakar lain. Inisiatif ini memberikan peluang bagi masyarakat dengan pendapatan menengah ke bawah, sebagai salah satu kegiatan ekonomi yang dapat mereka lakukan dan dapat meningkatkan ekonomi mereka. Profession Jannuzzi juga menjelaskan bahwa dalam prosesnya, investasi di bidang R &D (Research and Development) harus mendapatkan porsi yang signifikan. Justru dengan adanya R & D yang berfungsi dengan baik, temuan-temuan untuk pengembangan Etanol, menjadi lebih bervariasi.
Shantanu Dixit menyampaikan pengalaman pengembangan energi terbarukan di India dari sisi kebijakan dan kerangka regulasi. Shantanu memaparkan sejumlah kebijakan di India yang membuka kesempatan pengembangan energi terbarukan di India. Beberapa di antaranya adalah Undang-Undang Listrik tahun 2003, Kebijakan Kelistrikan Nasional 2005, Kebijakan Tarif Nasional, Rencana Aksi Nasional mengenai Perubahan Iklim tahun 2008, kebijakan-kebijakan tingkat daerah, mekanisme-mekanisme promosi regulasi seperti Feed-in-Tariffs dan Renewable Energy Certificates.
Beberapa tantangan besar di sektor energi terbarukan India adalah bagaimana mengintegrasikan daya yang dihasilkan dari energi terbarukan dalam jumlah besar ke dalam grid. Hal ini disebabkan karena pembangkit listrik yang berbasiskan energi terbarukan tidak dapat diprediksi, dimana harus mempertimbangkan stabilitas grid serta realibilitas dari supply. Pembangkit listrik berbasiskan energi terbarukan juga membutuhkan infrastruktur transmisi untuk evakuasi daya energi terbarukan di banyak tempat. Mempromosikan sektor manufaktur energi terbarukan dalam skala domestik juga merupakan tantangan tersendiri. Kegiatan-kegiatan untuk mempromosikan energi terbarukan, diperlukan dalam skala domestik. Begitu juga untuk R&D, inovasi teknologi, serta akses pada pendanaan dengan bunga yang rendah, sangat dibutuhkan. India juga memerlukan adanya pembagian tanggung jawab yang merata untuk mencapai target energi terbarukan nasional, di antara daerah-daerah dengan populasi yang lebih besar.
Materi para panelis dapat diunduh di link berikut ini: