IESR-Publikasi-Cover-small

Tulisan Opini I : Mempertanyakan PT Weda Bay Nickel di Maluku Utara

Oleh: Nurmansyah Surya Adiputra-

Di kalangan aktivis lingkungan, nama PT Weda Bay Nickel (WBN) (Indonesia) dan salah satu badan Bank Dunia (World Bank/WB) yaitu Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) belakangan menjadi bahasan penting dalam kaitan perusahaan itu dalam menambang nikel di Halmahera, Maluku Utara.

Tulisan ini mencoba merangkum argumentasi dari berbagai pihak, guna melihat duduk persoalan ini dari berbagai sisinya.

  1. I. Profil PT Weda Bay Nickel

PT Weda Bay Nickel bisa dibilang sebagai perusahaan patungan dari berbagai perusahaan lain yang berasal dari berbagai negara yang berbeda. Untuk mudahnya, berikut skema patungan yang menghasilkan WBN.

Skema di atas adalah berdasarkan presentasi WBN pada acara yang mereka sebut sebagai konsultasi publik, yaitu sebuah dialog dengan berbagai organisasi masyarakat sipil (OMS / Civil Society Organization-CSO) tanggal 15 Juni 2010. Sedangkan skema di bawah berasal dari situs resmi Mitsubishi Corporation. (http://www.mitsubishicorp.com/jp/en/pr/archive/2009/files/0000002859_file1.pdf).

Sebetulnya tidak ada perbedaan yang mencolok, namun jika ditelisik lebih jauh, ada perbedaan dalam status Strand Minerals Pte Ltd. Presentasi WBN menjelaskan bahwa perusahaan Strand Mineral Pte Ltd adalah perusahaan Singapura. Pernyataan ini juga didukung oleh situs www.jonesday.com. Tapi ada juga yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut adalah perusahaan Indonesia misalnya situs www.tradingmarkets.com, dan www.money.cnn.com.

Eramet sendiri adalah perusahaan pertambangan dan metalurgi dari Perancis; sedangkan Mitsubishi adalah perusahaan asal Jepang yang bergerak di begitu banyak bidang antara lain keuangan, logistik, energi, logam, mesin, kimia dan sebagainya. PT Antam adalah perusahaan yang 65% sahamnya dikuasai Pemerintah Indonesia dan sisanya dimiliki oleh publik. Produk utama Antam adalah feronikel, nikel, emas, perak dan bauksit.

Secara saham, berarti Pemerintah Indonesia hanya menguasai kurang dari 10% dari kepemilikan WBN mengingat hanya 65% saham Antam yang dikuasai Pemerintah Indonesia. Jika ingin memaksimalkan potensi pendapatan dari proyek ini, maka Pemerintah Indonesia harus betul-betul memperjuangkan pendapatan dari pajak, bagi hasil, dan sebagainya. Bila proyek ini berlanjut, maka dibutuhkan transparansi maksimal atas segala proses yang terjadi agar kemungkinan korupsi dapat ditekan seminimal mungkin. Meski demikian harapannya, jangan dilupakan bahwa ada suara yang menentang yang berasal dari masyarakat sipil terhadap proyek ini. penentangan ini akan dibahas pada bagian berikutnya.

WBN sayangnya tidak menyediakan informasi yang lengkap mengenai profil dan kegiatan mereka sendiri karena jika menengok situs internet mereka hanya tersedia homepage dan tidak ada informasi lain kecuali alamat kantor mereka di Jakarta yaitu kantor pusat di Wisma Pondok Indah 2, 11th Floor Suites.1101 Jl. Sultan Iskandar Muda Kav. V-TA, Pondok Indah, Jakarta – 12310, telepon: +62-21-75922802. Kemudian alamat di lokasi tambang yaitu di Tanjung Ulie, Kabupaten Halmaheraengah, Maluku Utara, telepon: +62-21-75922865. Ini tentu saja menyulitkan publik yang ingin mengetahui lebih lanjut kegiatan WBN. Kenyataan ini cukup ironis mengingat perwakilan WBN pada acara dialog dengan OMS menyatakan mereka telah membuat semacam pusat informasi kegiatan.

Bersambung….