Investor lari ke Vietnam: Kerangka kebijakan dan regulasi di Indonesia tidak menarik. Presiden Jokowi perlu evaluasi kebijakan dan regulasi sektoral yang menghambat investasi di bidang energi
Menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (4/9/2019) yang kecewa bahwa investasi yang pindah dari Tiongkok masuk ke Vietnam bukan ke Indonesia, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyarankan agar pemerintah Jokowi melakukan introspeksi dan evaluasi atas kebijakan dan peraturan di tingkat sektoral yang dibuat beberapa tahun terakhir yang justru membuat risiko investasi di Indonesia meningkat dan membuat investor menunda berinvestasi di Indonesia.
Menurut Fabby, minimnya Foreign Direct Investment (FDI) di bidang energi dalam 3 tahun terakhir karena kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan tidak mempertimbangkan persepsi risiko investor.
Selain itu ada ketidakselarasan antara regulasi teknis dengan kebijakan utama juga membuat investor ragu-ragu.
Dalam konteks Investasi di sektor Energi, sejumlah investor energi terbarukan sebenarnya bersiap berinvestasi di Indonesia pada 2014-2016. Pada saat itu mereka melihat peluang investasi dengan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 79/2014 yang mematok target energi terbarukan 23%. Pengalaman Indonesia dengan adanya kebijakan feed in tariff sebelumnya dinilai sebagai faktor positif oleh investor. Sayangnya adanya pergantian Menteri ESDM pada 2016 lalu sebanyak 4 kali dan diikuti dengan lahirnya berbagai kebijakan Menteri ESDM yang berkaitan dengan energi terbarukan melalui Permen ESDM No. 10/2017, 12/2017 jo 50/2017, Permen No. 49/2018 dan peraturan lainnya yang bertolak belakang dengan kebijakan sebelumnya, justru mematikan minat investasi dari investor-investor asing dan domestik.
Menurut analisa IESR, peraturan-peraturan ini justru meningkatkan ketidakpastian, menambah risiko, ketidakpastian proses bisnis untuk merealisasikan proyek yang memberikan tingkat pengembalian investasi yang wajar, serta membuat lembaga keuangan enggan membiayai proyek-proyek tersebut.
“Hasil dari regulasi yang dibuat oleh Menteri ESDM seperti yang kita lihat adalah pertumbuhan jumlah pembangkit energi terbarukan di era 2014-2019 lebih rendah dari periode sebelumnya. Itu pun berasal dari proyek-proyek yang sudah disiapkan sebelum 2014 dan 2015, yang kemudian berhasil COD dalam 1 dan 2 tahun belakangan ini. Sementara itu proyek-proyek baru justru mengalami kendala bankability,” kata Fabby.
Investor-investor yang awalnya melirik Indonesia sejak 2016 menjadi hijrah ke Vietnam. Dengan kebijakan dan regulasi yang lebih menarik, Vietnam mengalami booming dalam investasi energi terbarukan. Kualitas kebijakan dan regulasi di Vietnam memberikan kepastian usaha yang lebih baik, proses bisnis yang lebih jelas dan tingkat pengembalian ekonomi proyek yang lebih baik dibandingkan proyek di Indonesia. Menurut Fabby, faktor-faktor ini membuat investor lebih nyaman berinvestasi di Vietnam ketimbang di Indonesia.
Hasilnya, sejak 2017 hingga Juni 2019, energi surya bertumbuh menjadi 4,5 GW. Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Angin (wind power) dari 0 menjadi 228 MW pada akhir 2018. Saat ini pemerintah Vietnam sedang mempersiapkan proyek baru untuk mengejar target kapasitas PLTB menjadi 800 MW pada 2020.
IESR mendesak pemerintah Jokowi melakukan evaluasi yang serius atas kebijakan dan regulasi di bidang energi untuk merevitalisasi minat investor, khususnya regulasi-regulasi di bidang energi terbarukan. Hasil perhitungan IESR menunjukan untuk mencapai target energi terbarukan sebanyak 23% dari bauran energi pada 2025, dibutuhkan investasi sebesar $70-120 miliar. Sekitar 80-85% dari kebutuhan investasi ini diperkirakan berasal dari investor swasta domestik dan asing.
Jika Presiden serius menarik investasi energi terbarukan yang berasal dari Foreign Direct Investment (FDI) yang dibutuhkan Indonesia saat ini, maka perlu ada upaya untuk merombak total arah kebijakan dan regulasi serta instrumen pendukung untuk energi terbarukan kata Fabby Tumiwa.
Jakarta, 5 September 2019
Unduh versi PDF