Jakarta, 22 April 2016 – Institute for Essential Service Reform memberikan penghargaan atas keputusan pemerintah Indonesia menandatangani Paris Agreement di New York hari ini. Penandatanganan ini merupakan ketentuan mengadopsi Paris Agreeement yang telah disetujui pada UNFCCC COP 21 di Paris.
“Dengan mengadopsi Paris Agreement, Indonesia memposisikan dirinya sebagai bagian dari gerakan global mengatasi perubahan iklim yang mengacam manusia. Ini berarti transformasi pembangunan rendah karbon di Indonesia harus berlangsung secara cepat dan massif yang tercermin dalam rencana dan implementasi pembangunan Indo- nesia mulai saat ini,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Salah satu butir kesepakatan dalam Paris Agreement adalah membatasi kenaikan tem- peratur global dibawah 2 derajat dan berusaha untuk mencapai 1,5 derajat. Sejumlah kajian ilmiah menunjukkan bahwa untuk mencapai target tersebut maka emisi global harus mencapai puncak sebelum 2030, setelah itu turun dan mencapai situasi karbon netral setelah 2050. Artinya setelah 2050, emisi GRK yang dikeluarkan dan yang diserap haruslah berjumlah nol.
Untuk mendukung upaya ini negara-negara anggota UNFCCC telah diminta menyam- paikan janji atau komitmen mereka mengurangi emisi gas rumah kaca, sebelum COP 21 Paris. Janji atau komitmen tersebut dituangkan dalam bentuk Intended Nationally Determined Contribution (INDC). Indonesia telah menyampaikan INDC-nya dengan janji menurunkan emisi GRK 29% dibawah Business as Usual (BAU) scenario dan tambahan 12% dengan bantuan internasional pada 2030, yang nilainya setara dengan 0.848 GtCO2eq dan 1,191 GtCO2eq.
Berbagai kajian menunjukkan janji/komitmen yang telah dinyatakan oleh negara-neg- ara dalam INDC hingga April 2016, belum cukup menahan laju kenaikan temperatur sesuai dengan target Paris Agreement. Jika skenario INDC dilaksanakan, kenaikan tem- peratur global diperkirakan masih sebesar 2,7-3,3oC. Diperlukan upaya yang lebih besar secara global untuk bisa menyelamatkan dunia dari perubahan iklim.
Bagi Indonesia, yang ada dalam peringkat 10 besar penghasil emisi GRK di tingkat global, diperlukan upaya yang lebih ambisius untuk menurukan emisi, bersama dengan negara-negara lainnya. Analisa oleh IESR menunjukkan untuk secara efektif mendukung Paris Agreement maka target komitmen INDC Indonesia masih belum memadai. Seti- daknya emisi GRK harus turun 30-35% lebih banyak dari yang sudah dijanjikan dalam INDC.
Emisi dari sektor lahan dan hutan serta energi (transportasi dan pembangkit listrik) meru- pakan penyumbang utama emisi GRK Indonesia hingga 2030. Dalam INDC, kontribusi penurunan terbesar diharapkan diberikan oleh aksi mitigasi di sektor lahan. Tetapi jika In- donesia ingin lebih ambisius maka penurunan emisi dari sektor energi perlu ditingkatkan.
“Emisi sektor energi yang terdiri dari pembangkit listrik dan transportasi harus diturunkan sebanyak 40%-45% dari skenario BAU sektor energi INDC atau setara dengan 0.6 GtCO2e pada 2030. Untuk mencapai ini maka bauran energi terbarukan harus melampaui 30% pada 2030, dan separuh dari kapasitas pembangkit listrik berasal dari energi terbarukan. Target konservasi dan efisiensi energi harus di Kebijakan Energi Nasional harus dapat ter- penuhi, bahkan dilipatgandakan,” kata Fabby.
Fabby Tumiwa juga menyatakan bahwa untuk dapat menghasilkan penurunan emisi yang ambisius, peran aktor-aktor non-pemerintah, seperti bisnis, NGO, pemerintah daerah, dan komunitas harus dioptimalkan. “Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri melakukan aksi mitigasi yang ambisius dengan hanya mengandalkan proyek-proyek pemerintah. Keter- libatan aktor non-negara merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar jika ingin mence- gah kenaikan temperatur dibawah 2oC,“ kata Fabby.
Fabby mengingatkan pemerintah agar memulai mengidentifikasi potensi penurunan emisi aktor-aktor non-pemerintah serta mencari cara untuk mengintegrasikannya dalam komitmen Nationally Determined Contribution (NDC), yang merupakan pengganti INDC dalam Paris Agreement. Pemerintah juga diingatkan agar mulai merancang mekanisme Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) untuk aktivitas mitigasi aktor-aktor non- pemerintah yang kelak akan diperhitungkan dalam komitmen NDC.
Adopsi Paris Agreement merupakan langkah awal yang penting untuk transformasi pem- bangunan Indonesia yang berkelanjutan dan berkeadilan. Diperlukan komitmen nyata dan konsistensi pemerintah melalui kepemimpinan Presiden Jokowi untuk mewujudkan hal itu.
Jakarta, 23 April 2016
Kontak media:
Yesi Maryam
yesi@iesr.or.id
081318760750
Tentang IESR
“Institute for Essential Services Reform (IESR) adalah sebuah lembaga not-for-profit yang bergerak di bidang Energi dan Perubahan Iklim, dan dijabarkan dalam 4program: Access to Energy, Climate Justice, Electricity Governance, dan Extractive Industry Reform. Berdiri resmi di tahun 2007, IESR bergerak sebagai lembaga pemikir (think tank) bagi masyarakat sipil yang secara aktif menginspirasi, mendorong, dan mendukung perubahan-perubahan ke arah keadilan pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung pembangunan manusia.”
Unduh Siaran Pers (PDF)