Indonesia Climate Action Network (ICAN) mendesak delegasi negara-negara yang akan hadir dalam perundingan COP 21 di Paris untuk mencapai kesepakatan kolektif untuk membatasi kenaikan temperatur global tidak melebihi 2°C. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) kenaikan temperatur diatas 2°C akan dapat menimbulkan dampak besar terhadap ekosistem dan gangguan terhadap ekonomi.
ICAN menilai COP 21 menjadi satu momentum yang krusial dimana seluruh pemimpin negara perlu menyepakati percepatan transformasi pembangunan rendah karbon secara global. Transformasi pembangunan tersebut juga perlu berkeadilan dan dapat memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat rentan akibat perubahan iklim. COP 21 diharapkan tidak melahirkan suatu institusi global baru untuk mengatasi perubahan iklim, melainkan sebuah kesepakatan yang dapat menutup kesenjangan yang belum diatasi sebelumnya, misalnya pendanaan, Dunia tidak memiliki banyak waktu untuk mencegah memburuknya perubahan iklim. Akhir bulan lalu, UNFCCC merilis laporan synthesis submisi Intended Nationally Determine Contribution (INDC) menunjukan walaupun terdapat peningkatan negara-negara yang mengambil aksi perubahan iklim tetapi belum cukup mencegah kenaikan temperatur tidak melebihi 2°C.
Kunci kesepakatan global yang berarti dan efektif di COP 21 sangat ditentukan oleh posisi dan peran kepala negara dan/atau kepala pemerintahan yang akan menghadiri sesi tingkat tinggi yang akan dilangsungkan di awal minggu pertama COP 21. Kehadiran Presiden Joko Widodo pada COP 21 di Paris merupakan momentum penting bagi Indonesia dalam mempercepat upaya penanggulangan perubahan iklim di dalam negeri.
Fabby Tumiwa, koordinator Indonesia CAN, mendesak Presiden untuk membuat pernyataan positif tentang partisipasi Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim dan menyampaikan komitmen politik pemerintahannya untuk mengimplementasikan pembangunan rendah karbon di Indonesia.
Menurut Fabby, Indonesia dapat berkontribusi lebih banyak dalam upaya mitigasi perubahan iklim global melalui sejumlah opsi berbiaya rendah yaitu penanganan kebakaran lahan dan hutan, perlindungan lahan gambut, pengendalian pembukaan lahan, dan efisiensi energi di perangkat rumah tangga, industri dan bangunan gedung, dan peningkatan efisiensi bahan bakar untuk transportasi melalui perbaikan fuel economy standard, dan akeselarasi energi terbarukan untuk bahan bakar dan pembangkitan tenaga listrik.
Pemanfaatan energi terbarukan untuk sistem off-grid untuk listrik perdesaan di daerah yang tidak terjangkau jaringan listrik merupakan salah satu potensi yang belum dioptimalkan. Pemerintah cenderung mendorong elektrifikasi melalui perluasan jaringan dengan menggunakan bahan bakar diesel. Strategi ini membuat pemanfaatan potensi energi terbarukan yang tersedia di lokal tidak dikembangkan secara optimal.
Indra Sari dari WWF Indonesia menyatakan bahwa ke depan kontribusi sektor energi terhadap peningkatan emisi karbon akan semakin tinggi bila pengembangan energi terbarukan tidak didoring dari sekarang. Indonesia perlu memiliki target yang ambisius dan konsisten untuk pengembangan energi terbarukan. Pemanfaatan teknologi energi terbarukan berbasis masyarakat seperti mikrohidro, panel surya, biogas dan biomassa masih dapat ditingkatkan terutama untuk memberikan akses energi bersih bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil.
Potensi energi terbarukan skala besar seperti geotermal juga sangat penting untuk segera dioptimalkan di Indonesia. Berbagai kendala dalam pengembangan panas bumi yang terjadi saat ini seperti persoalan perijinan, koordinasi lintas sektoral, konflik sosial, serta investasi publik dan swasta harus segera diselesaikan dengan mengedepankan aspek keberlanjutan dan keadilan, tambah Indra Sari.
Pendanaan dan investasi teknologi rendah karbon merupakan kunci untuk mempercepat implementasi pembangunan rendah karbon di Indonesia. Henriette Imelda dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa Indonesia perlu memperkuat institusi pendanaan perubahan iklim di Indonesia, salah satunya dengan meningkatkan kemampuan akses langsung institusi-institusi Indonesia terhadap pendanaan perubahan iklim di global, misalnya Green Climate Fund (GCF). Selain itu, pengembangan institusi dan mekanisme pendanaan di tingkat kota juga perlu dieksplorasi yang dapat membuka peluang yang lebih besar untuk pendanaan aksi-aksi mitigasi di skala perkotaan dan skala komuitas.
Fabby Tumiwa menekankan bahwa kunjungan Presiden Jokowi di COP 21 harus dioptimalkan untuk memperkuat dialog dengan negara-negara emerging economy dan negara maju lainnya untuk meningkatkan kerjasama bilateral dalam rangka memperkuat akses teknologi bersih (energi terbarukan dan energi efisiensi), R&D, restorasi lahan gambut, dan pengembangan kapasitas serta investasi dan kerjasama pembiayaan.
Kerja sama ini bilateral dan implementasi kesepakatan UNFCCC di Paris diharapkan dapat mendukung upaya Indonesia mempercepat Indonesia menerapkan pembangunan rendah karbon.
Jakarta, 23 November 2015
Kontak media
Henriette Imelda (IESR), surel: imelda@iesr.or.id, HP: 081383326143 Indra Sari Wardhani (WWF Indonesia), surel: iwardhani@wwf.or.id, HP: 08111847095
Mengenai Indonesia Climate Action Network (ICAN):
ICAN adalah koalisi organisasi masyarakat sipil (OMS) Indonesia yang melakukan advokasi di bidang perubahan iklim di tingkat nasional, regional dan internasional. ICAN beranggotakan Institute for Essential Services Reform (IESR), Yayasan WWF Indonesia, dan Yayasan Pelangi. ICAN merupakan anggota dari Climate Action Network (CAN) South East Asia dan CAN International, yang melakukan advokasi dan kampanye kesepakatan perubahan iklim sejak UNFCCC dicetuskan tahun 1992.
Indonesia Climate Action Network (ICAN)
d/a Institute for Essential Services Reform (IESR)
Jl. Mampang Prapatan VIII No. R-13 Jakarta 12790
Tel. +62-21-7992945, Fax. +62-21-7996160
Unduh Siaran Pers (PDF)