Sudah lebih 3 bulan sejak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyampaikan rencana untuk mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM mengenai Perangkat Fotovoltaik Atap (rooftop solar). Namun hingga hari ini, peraturan yang diharapkan menjadi payung hukum bagi pelanggan PLN dalam menggunakan listrik yang bersih ini belum juga dikeluarkan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menghargai upaya Menteri ESDM meminta masukan dan tanggapan dari sejumlah pihak di tahap penyusunan awal Rapermen. Namun IESR juga mengkritik proses pembahasan yang dianggap kurang transparan, bertele-tele dan minimnya arah kebijakan dan posisi utama KESDM terhadap pengembangan listrik surya atap. Hal tersebut pada akhirnya menyandera Menteri ESDM sendiri untuk mengakomodasi kepentingan PT PLN secara berlebihan dalam penyusunan pasal-pasal Rapermen, yang justru menghilangkan semangat implementasi perangkat listrik surya atap secara massif dan mengorbankan kepentingan publik yang luas.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyatakan “Mengingat Indonesia sudah sangat tertinggal dibandingkan negara lain dalam hal instalasi listrik surya atap, Permen ini hendaknya mengusung semangat akselerasi pengembangan pembangkit listrik surya atap dan menarik minat warga masyarakat untuk berinvestasi pada listrik surya atap untuk mendukung pencapaian target bauran energi terbarukan sebesar 45 Gigawatt (GW) di tahun 2025, dimana 6,5 GW berasal dari pembangkit surya.”
“IESR mendukung target Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) yaitu 1 GW instalasi listrik surya atap pada 2020, dan kami juga menantang pemerintah untuk melakukan program nasional #Surya Nusantara dengan target 10 GW pada 2025,” katanya.
Fabby Tumiwa menjelaskan setidaknya ada tiga hal penting yang harus menjadi perhatian Menteri ESDM dalam menyusun Peraturan Menteri tentang listrik surya atap:
Pertama, nilai transaksi listrik yang adil dan menjaga keekonomian investasi listrik surya atap melalui skema net-metering/gross-metering. Peraturan Direksi PT PLN No.0733.K/DIR/2013 mengatur penggunaan net-metering dimana harga energi listrik 1 kWh yang dijual ke jaringan PLN, sama dengan harga energi listrik 1 kWh yang dibeli oleh pelanggan dari PLN. Dengan adanya ketentuan ini keekonomian listrik surya atap akan menjadi lebih menarik sehingga dapat menarik investasi masyarakat dengan tingkat pengembalian investasi selama 8-9 tahun.
Kedua, Kemudahan dalam pemasangan dan operasi perangkat listrik surya atap oleh pengguna. Sertifikasi Laik Operasi (SLO) listrik surya atap sebaiknya disamakan dengan SLO instalasi tegangan rumah tangga. Perangkat listrik surya atap adalah tipe pembangkit listrik yang tidak bergerak, tidak menimbulkan bunyi, tidak mengeluarkan emisi dan tegangannya rendah. Untuk mengaturnya, pemerintah dapat menggunakan ketentuan kelaikan yang digunakan dalam Permen ESDM No. 27/2017 pada pasal 20 sebagai instalasi tenaga listrik dengan tegangan rendah.
Ketiga, kemudahan perizinan penggunaan listrik surya atap dan jaminan ketersediaan meter export-import (Meter Exim). Aturan ini dalam rancangan permen ini perlu menjelaskan tentang kemudahan proses penggunaan listrik surya atap dengan mekanisme yang transparan dan akuntabel, di mana pelanggan cukup melaporkan dengan menyertakan dokumen yang dibutuhkan kepada PLN, serta ketentuan waktu yang jelas jelas kapan pelanggan akan mendapatkan meter EXIM untuk melakukan transaksi kredit.
IESR juga menolak pandangan yang menyatakan keberadaan listrik surya atap dapat mengancam kelangsungan usaha PLN Menurut perhitungan IESR, apabila skema net-metering 1:1 diberlakukan maka hanya berpotensi mengurangi 0,42% pendapatan PT PLN pada 2020 ketika total kapasitas solar rooftop mencapai 1 GW. Dengan proyeksi pendapatan PT PLN sebesar Rp 348 triliun, potensi revenue loss PLN berada di kisaran Rp 1,5 triliun saja dengan adanya 1 GW solar rooftop terpasang, tersambung dan berproduksi semua. Dengan adanya kapasitas sebesar itu dan lokasinya tersebar di kota-kota besar, PLN juga mendapatkan manfaat finansial melalui optimalisasi operasi pembangkit konvensional dan pengurangan biaya operasi dan perawatan serta penghematan bahan bakar yang memberikan keuntungan finansial tambahan.
Dia pun menyarankan, ketimbang merasa terancam, PLN sebaiknya segara melakukan adaptasi model bisnisnya dan memberikan prioritas investasi di pembangkit energi terbarukan khususnya surya atap skala besar dan PLTS. Keikutsertaan PLN dalam mengembangkan listrik tenaga surya akan memberikan dorongan terhadap menurunnya biaya investasi teknologi surya sehingga harga listriknya dapat bersaing bahkan lebih murah dari pembangkit gas dan/atau batubara.
Jakarta, 19 September 2018
###
Tentang IESR
Institute for Essential Services Reform (IESR) adalah sebuah lembaga independen, non-pemerintah yang bergerak di bidang Energi dan Perubahan Iklim. Berdiri resmi di tahun 2007, IESR merupakan lembaga pemikir (think tank) untuk kebijakan publik yang mendorong, dan mendukung perubahan-perubahan menuju keadilan pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan manusia Indonesia.
Kontak media:
Yesi Maryam (Eci) |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477