“Banyak orang merayakan ulang tahun Jakarta dengan mengotori jalanan kotanya, 226 orang lainnya merayakannya dengan membersihkan suakanya…”
Seorang teman (sebut saja Nugie), menuliskan status tersebut di facebook nya setelah acara Trash Buster selesai.
Yup! Acara ini memang dilaksanakan dalam rangka merayakan ulang tahun Jakarta ke 486. Jika di Monas, Kemayoran, dan Bundaran HI orang-orang merayakannya dengan mengotori kotanya, beberapa orang yang tergabung dari berbagai komunitas, merayakannya dengan membersihkan Suaka Margasatwa Muara Angke.
Saya dan Gusti, mewakili Sobat Essensial IESR, tak mau ketinggalan berpartisipasi melindungi ‘benteng’ terakhir Jakarta ini, di minggu pagi yang cerah, tepatnya jam 7, acara dimulai. Satu persatu peserta berdatangan. Saya sudah stand by duluan di meja pendaftaran membantu panitia untuk registrasi ulang sekaligus memberikan lembar komitmen gaya hidup hijau kepada peserta yang datang. Meminta mereka mengisi sambil menunggu peserta yang lain datang.
Gusti belum tampak diantara mereka. Setelah beberapa saat, barulah batang hidungnya kelihatan. Datang dengan sumringah membawakan tambahan pulpen untuk mengisi lembar komitmen. Terima kasih Tuhan! Dia bisa bangun pagi. hehe..
Kira-kira pukul 8, setelah sambutan dari perwakilan Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta, dan kelurahan setempat, acara bersih angke pun dimulai. Peserta dibagi menjadi 10 kelompok karena ada 10 titik yang akan dibersihkan. Oya, tak hanya orang dewasa, anak-anak usia 4 sampai 11 tahun pun mengikuti acara ini. Beberapa dari mereka adalah anak-anak panti asuhan Vincentius Putra Jakarta.
Setelah dibekali sarung tangan, pengki, tongkat dan alat kebersihan lainnya, para peserta mengikuti PIC ke titiknya masing-masing. Anak-anak menuju titik 1 dan 2 karena aman dan paling dekat dengan pintu masuk, sedangkan orang dewasa ke titik 3 sampai 10. Gusti mendapat titik 4 dan saya, selain bertugas di meja pendaftaran, juga berkeliling untuk mendokumentasikan kegiatan .
Suaka Marga Satwa Muara Angke adalah kawasan konservasi di wilayah hutan bakau (mangrove) di pesisir utara Jakarta. Karena tingginya kerusakan hutan di daerah ini, sebagian besar arealnya berubah menjadi rawa terbuka yang ditumbuhi rumput-rumputan dan eceng gondok. Untuk menyusurinya, pengelola membangun jembatan kayu sepanjang 800 m.
Setelah tak ada peserta lain yang datang, saya mulai berkeliling. Membawa handicam kecil untuk merekam wajah-wajah dan tangan-tangan kotor peserta karena sampah dan lumpur. Tentu saja anthusiasme dan keceriaan mereka tak luput dari lensa. Banyak peserta yang tidak segan-segan tengkurap bahkan bergelantungan di jembatan kayu untuk mengambil sampah yang sulit dijangkau dari atas. Aji dan Sronggot dari komunitas Joint Society for Nature (JSN), juga Daniel dan Venan dari Komunitas Komjak (Kampus Orang Muda Jakarta) hilir mudik mendorong gerobak yang mengangkut sampah hasil jerih payah peserta.
Di perjalanan kembali ke meja pendaftaran, saya bertemu Ariel peserta dari Kanada yang saat ini menjadi sukarelawan di Yayasan Ciliwung Merdeka. Tak seperti yang lain, ia agak muram karena terlambat datang ,”Ah, we came after the party” ucapnya.
Pukul setengah 10, monyet ekor panjang, salah satu tuan rumah suaka ini, mulai keluar dari tempat peristirahatannya. Bukan karena terganggu, tapi memang ini jamnya mereka turun untuk mencari makan, dan bersosialisasi. Turunnya mereka sekaligus menandakan selesainya kegiatan bersih angke ini. Peserta diminta membersihkan badan, lalu berkumpul untuk sharing komunitas. Peserta anak-anak, berkumpul di aula untuk mendengarkan dongeng tentang lingkungan dari komunitas pendongeng Klub Cekatan.
Nugie, memimpin acara ice breaking bagi peserta dewasa. Dia memimpin kami memainkan beat of Philipine. Kebetulan juga, ada peserta yang berasal dari Philipine yang tergabung dalam Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB).
Setelah ice breaking, satu persatu komunitas sharing secara bergantian. International Animal Rescue (IAR) misalnya, menceritakan kegiatannya sambil berpesan untuk tidak memberi makan kepada monyet ekor panjang di suaka ini karena akan menyebabkan mereka tidak survive di alam liar. Monyet ini juga yang biasa dipakai untuk pertunjukan topeng monyet dan kampanye untuk menghentikan kekerasan satwa dalam pertunjukan topeng monyet juga salah satu bagian dari sharing mereka hari itu.
Akhirnya, giliran saya dan Gusti tiba, sebelum menjelaskan, kami membagikan materi berupa brosur dan carbon wheel. Mereka terlihat penasaran dengan carbon wheel. Lalu kami bercerita tentang apa itu IESR, bagaimana sobat essensial terbentuk,kegiatan-kegiatan kami, menjelaskan apa itu jejak karbon dan cara membaca carbon wheel. Peserta yang berprofesi sebagai guru meminta carbon wheel agak banyak untuk diperkenalkan dan dibagikan ke murid-muridnya. Di kesempatan ini pula,bagi yang belum mengisi lembar komitmen, diberi waktu untuk mengisinya.
Lembar komitmen berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai kegiatan sehari-hari yang menghasilkan emisi karbon yang berlebihan. Seperti pemakaian kendaraan bermotor, menyalakan lampu, dan menonton televisi. Dengan menandatanganinya, mereka berjanji mengurangi kegiatan-kegiatan tersebut demi berkurangnya emisi karbon, yang adalah penyebab pemanasan global saat ini.
Di akhir acara, panitia mengumumkan jumlah sampah yang berhasil kami kumpulkan, yakni sebanyak 1,46 ton sampah. Terdiri dari 1.459 kg sampah plastik dan 315 kg eceng gondok. Sampah ini akan dibawa ke TPA Bantar Gebang oleh kapal Dinas Kebersihan.
Angke memang tidak akan bersih total hanya dengan dibersihkan oleh segelintir orang, selama 2 jam. Namun semangat yang kami tunjukkan di waktu yang singkat tersebut, komitmen yang kami tanda tangani, semoga bisa menulari banyak orang untuk melakukan hal yang sama; menjaga ‘suakanya’.