Sabtu, 16 November 2019//10:35
FAJAR.CO.ID,SURABAYA– Dampak sulitnya mencari solar bersubsidi kian meluas. Di Surabaya, misalnya, banyak angkutan yang telat masuk Pelabuhan Tanjung Perak gara-gara bahan bakar langka. Banyaknya truk yang ketinggalan kapal menghambat arus pengiriman barang.
Ketua Organda Khusus Pelabuhan Tanjung Perak Kody Lamahayu menjelaskan, ada beberapa jenis barang yang pengirimannya sedikit terlambat. Contohnya sembako, besi, dan kayu. ”Kebanyakan diangkut ke Kalimantan dan Sulawesi,” katanya.
Kelangkaan solar, menurut Kody, membuat pengusaha angkutan yang beroperasi di kawasan pelabuhan kelimpungan. Sebagian terpaksa meliburkan armadanya. Mereka mengaku tidak mampu membeli bahan bakar jenis dexlite yang lebih mahal dua kali lipat. ”Pekan depan kami akan rapat. Jika masih langka, kami akan berhenti beroperasi,” ucap Kody. Dia mengungkapkan, banyak pemilik angkutan yang kena tegur pengguna jasa gara-gara barang yang dikirimnya molor.
Ketua DPC Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Surabaya Putra Lingga membeberkan, dalam sehari truk bisa mengangkut barang dua kali. Setelah solar langka, kendaraan hanya bisa sekali melakukan perjalanan.
”Ruginya rata-rata Rp 500 ribu sehari,” katanya. Menurut Putra, saat ini ada 1.600 anggota Aptrindo Surabaya. Jika dijumlahkan, total kerugian mencapai Rp 800 juta dalam sehari. ”Namun, perlu ditegaskan, saat ini kami masih memutuskan untuk jalan. Tidak ada stop operasi,” tambah dia.
Hal senada diungkapkan Sekjen Aptrindo Jatim Eddo Adrian Wijaya. Dia mengaku tidak pernah diberi perincian mengenai berapa solar yang bisa didistribusikan hingga akhir tahun. Karena tidak ada sosialisasi, sebagian besar pengusaha menolak pembatasan solar. Ketika saat ini stok solar menipis, mereka ingin ada komunikasi yang transparan, baik dari pemerintah maupun Pertamina.
”Karena kami ini, mau enggak mau, harus menaikkan tarif pengiriman barang 40 sampai 60 persen. Harga dexlite kan mahal lebih dari 100 persennya solar,” ujarnya. Padahal, rata-rata klien menolak kenaikan tarif tersebut. Sementara pengusaha truk tidak memiliki solusi lain selain menaikkan tarif pengiriman barang.
Eddo mengingatkan pemerintah agar memikirkan risiko inflasi yang timbul akibat menipisnya persediaan solar. Sebab, banyak pengiriman logistik yang tertunda, pembayaran sopir yang lebih mahal, dan pengeluaran untuk membeli dexlite yang membuat pengusaha tekor. Pengiriman barang untuk ekspor juga tertunda.
Akibatnya, harga barang semakin mahal. ”Ya artinya tidak hanya pengaruh ke kenaikan harga barang untuk domestik, tapi barang yang mau diekspor juga jadi lebih mahal. Belum lagi pengiriman barang ke luar negeri terlambat. Nanti bisa inflasi dan barang ekspor kita tidak bisa bersaing di pasaran,” jelasnya.
Akibat Pengurangan Kuota
Kosongnya stok solar bersubsidi di SPBU-SPBU telah menghambat aktivitas masyarakat dan pelaku bisnis. Kelangkaan solar tersebut ditengarai sebagai buntut lebih rendahnya kuota solar bersubsidi tahun ini jika dibandingkan dengan tahun lalu. Ditambah dugaan tidak optimalnya kontrol konsumsi dan distribusi.
”Hampir bisa diprediksi (kelangkaan solar, Red). Memang kuota tahun ini lebih rendah daripada tahun lalu. Padahal, seharusnya kuota tahun ini ditambah karena asumsi pertumbuhan ekonomi masih di atas 5 persen,” ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman kepada Jawa Pos kemarin (15/11).
Petugas SPBU Gunung Gedangan, Kota Mojokerto, bersantai karena stok solar kosong. (Sofan Kurniawan/Jawa Pos Radar Mojokerto)
Mengenai alasan lebih rendahnya kuota tahun ini daripada tahun lalu, Kyatmaja yang sebelumnya berdiskusi dengan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan bahwa anggaran 2019 tidak mencukupi. Karena itu, kuota solar bersubsidi diturunkan dari 15,6 juta kiloliter tahun lalu menjadi 14,5 juta kiloliter tahun ini.
”Angka tersebut sedari awal sudah disinyalir kurang. Kami mengkhawatirkan November dan Desember tersendat. Ternyata, benar-benar terjadi di lapangan,” ungkapnya.
Di samping masalah kuota tersebut, Kyat menyoroti kontrol distribusi dan konsumsi solar bersubsidi di lapangan. Pada kesempatan sebelumnya, Pertamina sempat menyinggung solar bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Dia berpendapat, memang ada berbagai kejanggalan di sejumlah titik kelangkaan solar.
”Pertamina pernah membeberkan bahwa ada dua daerah yang konsumsi solar subsidinya lebih tinggi daripada Pulau Jawa. Yaitu, Riau dan Kaltim. Ini kan aneh,” katanya.
Sebab, jumlah penduduk Jawa jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Riau dan Kaltim. Selain itu, dua daerah tersebut didominasi sektor CPO (crude palm oil) dan pertambangan yang armada truknya tidak boleh menggunakan solar bersubsidi.
Secara regulasi, memang ada kendaraan-kendaraan yang dibatasi untuk menggunakan solar bersubsidi. Antara lain, kendaraan pengangkut hasil perkebunan (perkebunan besar), kehutanan, dan pertambangan dengan roda lebih dari enam, baik dalam kondisi bermuatan maupun kosong. Selanjutnya, larangan penggunaan solar bersubsidi juga diberlakukan pada mobil tangki BBM, CPO, dump truck, truk trailer, serta truk molen (pengangkut semen).
Aptrindo sudah mendapat laporan dari anggota di tiga daerah yang mengeluhkan kesulitan mendapatkan solar. Tiga daerah yang dimaksud adalah Banten, Surabaya, dan Jambi. Menurut Kyat, tak ada pilihan selain menunggu distribusi kembali normal. Pihaknya kini menginventarisasi daerah mana saja yang kesulitan solar untuk kemudian dilaporkan ke pemerintah pusat.
Di pihak lain, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menduga kelangkaan itu memang terjadi by design. Pertamina sengaja mengendalikan volume distribusi. Terutama untuk solar. ”Solar disubsidi dengan kuota tertentu. Saya duga kuotanya sudah mau habis. Jadi, peredarannya harus dikendalikan supaya subsidinya tidak membengkak,” ulasnya.
Dalam subsidi tersebut, Pertamina memiliki perhitungan soal interval kuota yang harus diberikan. Sementara saat ini kuota itu diduga sudah melebihi ambang batas. ”Makanya dikendalikan. Terlebih, akhir tahun kan masih 1,5 bulan lagi,” ucapnya.
Karena dikhawatirkan bikin rugi dan berpengaruh ke keuangan internal, diambil langkah tersebut. Dengan begitu, diharapkan pengguna beralih ke Pertamina dex atau lainnya yang harganya lebih mahal.
Sementara itu, Pertamina tak memberikan jawaban saat dimintai konfirmasi oleh Jawa Pos. VP Corporate Communications Pertamina Fajriyah Usman hanya memberikan keterangan resmi yang berisi pernyataan bahwa Pertamina akan memastikan ketersediaan solar bersubsidi di SPBU untuk mencukupi kebutuhan konsumen.
”Untuk menjaga keandalan distribusi ke masyarakat, Pertamina menambah sekitar 20 persen suplai solar untuk memastikan pemerataan penyaluran dan percepatan distribusi,” ujar Fajriyah kemarin. (JPC)