IESR Encouraging Community Capacity Building Through the Energy Transition Academy

Fabby Tumiwa

Jakarta, June  23, 2023 – The Institute for Essential Services Reform (IESR) encourages community capacity building towards an emission-free Indonesia by launching the Energy Transition Academy platform, accessed via the academy.transisienergi.id website. The platform serves as a forum for learning about energy transition and climate change issues connecting with the growing popularity and frequent use of the phrase “energy transition” in public spaces.

The Executive Director of IESR, Fabby Tumiwa explained that the Government of Indonesia had launched a gradual energy transition and would achieve net zero emission (NZE) in 2060 or earlier. Howeverd, based on the IESR study entitled “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050” shows that technologically and economically, Indonesia’s energy sector can achieve zero carbon emissions by 2050. The transformation of energy supply and utilization across all energy sectors is crucial to attaining NZE.

“By achieving NZE by2050, Indonesia can generate 3.2 million new jobs in the renewable energy sector. This presents opportunities for economic growth and job growth. Therefore, there is a need to build new capacities, expertise, and skills, considering that the energy transition must bring social and economic benefits. Reflecting on this, the energy transition academy can serve as a means for the community to participate in the energy transition by enhancing insight and capacities,” explained Fabby Tumiwa.

Panel discussion on energy transition platform launching

Irwan Sarifudin, Coordinator of the Clean Energy Hub, IESR, highlighted that through the Energy Transition Academy platform, it is expected that the general public can apply knowledge about energy transition in their daily work. Particularly for Non-Governmental Organizations, by gaining knowledge about the energy transition, can enable them to initiate renewable energy projects, without solely relying on assistance from the central government.

“The Energy Transition Academy platform offers several features that  facilitate learning, distinguishing it from other platforms, such as Synchronous and Asynchronous, Continue Later, As Fast as Your Understanding, Ask Anywhere, Data Sources & Reference, and Tutor Guidance,” said Irwan.

Raditya Wiranegara, IESR Senior Researcher, mentioned the Energy Transition Academy collaborated with various well-known universities and institutions in three phases of module development. In the first phase of the Energy Transition Academy partnered  with ITB, UNS, and ATW Solar, the second phase was collaborated with UI, Swiss German University, ITS, Mongabay, and Tempo, and the third phase was collaborated with UGM, Mataram University, PEC, Ministry of Energy and Mineral Resources and so on.

“There are several energy transition academy classes with guaranteed quality, including the basics of the energy transition, an introduction to the energy transition roadmap in Indonesia, and rooftop solar power training,” said Raditya.

The launch of the Energy Transition Academy has received positive feedback from various sectors. Khoiria Oktaviani, GERIYA Program Manager at the Ministry of Energy and Mineral Resources, explained that the existence of the Energy Transition Academy is expected to provide insight and knowledge related to the energy transition.

“We think there is a gap where college students primarily acquire theoretical knowledge, so after graduation, they often feel a lack of  practical experiences in the field. The limitation of GERILYA lies in the selection, which sometimes results in an even distribution of participants across Indonesia,” said Khoiria.

Irvan S. Kartawiria, Deputy Chancellor of the Swiss German University (SGU), emphasized that the Z and alpha generations are highly concerned about the social impact of the work to be carried out, how work impacts others, and environmental sustainability. For this reason, several universities (including SGU, red) prepare their students to meet these needs.

On the other hand, Efri Ritonga, a TEMPO journalist, stated that this energy transition is highly complex process, not only the change in the energy system from fossil-based energy to clean energy, but is closely related to other sectors,such ass of energy, electricity, battery-based transportation.

“From the journalist’s point of view, it is not easy to understand the issue of the energy transition. The easiest things that directly affect people, such as home energy consumption, electric vehicles, the issue of coal-fired power plants (CFPP) pollution, our need is to understand issues directly grounded in society,” said Efri.

Hadi Priyanto, Climate & Energy Campaigner at Greenpeace, assessed that the government’s Just Energy Transition Partnership (JETP) commitment is increasingly focused on the energy transition. However, to mainstream the energy transition to society, broader and more massive awareness and more stable regulations from the government are needed.

Muhammad Arman, Legal Consultant Advocate & AMAN Mediator, said the practice of clean energy has long been carried out with local wisdom by indigenous peoples. For example, several villages have implemented energy independence in Sorong, West Papua.

“The principle of the energy transition is inclusive, equitable, and fair. Do not let the energy transition create injustice and lots of piracy. For that, we need an Indigenous Peoples Law to ensure that Indigenous peoples protect the environment,” said Arman.

 

The Energy Transition Academy launch event was held on Friday (23/6/2023) with two sessions, namely the launch and workshop of the Energy Transition Academy platform. Several students and the general public participated in trying out the Energy Transition Academy platform in the workshop.

 

Bagaimana Prospek Perkembangan Energi Bersih di Indonesia di 2020?

 

Pada Desember 2019 lalu, IESR meluncurkan laporan Indonesia Clean Energy Outlook 2020. Dalam laporan ini, disampaikan evaluasi perkembangan energi terbarukan dan efisiensi energi selama 2019, serta pandangan prospek pengembangan energi bersih di Indonesia pada 2020 ini. Bagaimana prospek perkembangan energi bersih, khususnya energi terbarukan di Indonesia pada 2020? Salah satu temuan dalam ICEO 2020 mengindikasikan investasi di bidang energi terbarukan mengalami penurunan.  Sejak 2015, realisasi investasi EBT terus menurun, padahal target investasi tahunan terus mengalami koreksi dari target Renstra KESDM 2015-2019. Bahkan target investasi EBT untuk 2019 sebesar $1,8 milyar hanya tercapai $1,5 milyar. Sepanjang 2015-2019 kapasitas pembangkit energi terbarukan (on-grid dan off-grid) bertambah 1,6 GW atau 11% dari total tambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik sebesar 15,5 GW. Pencapaian ini jauh lebih rendah dari realisasi pada periode 2010-2014. Pada 2020 KESDM memasang target pembangkit energi terbarukan dapat bertambah 685 MW. Angka ini jauh lebih tinggi dari realisasi penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan pada 2019 sebesar 376 MW. Walaupun lebih tinggi tetapi sesungguhnya pertambahan kapasitas ini masih lebih rendah dari penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan yang ditargetkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Untuk memenuhi target RUEN, setiap tahun sejak 2020, diperlukan penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan baru sebesar 4-5 GW.

Untuk dapat mencapai target tersebut maka diperlukan investasi yang cukup, kesiapan atau kemauan off-taker dan ketersediaan proyek-proyek yang feasible. Off taker yang terbesar adalah PLN yang memasok 95% energi listrik di Indonesia. Bagaimanakah status ketiga faktor ini di 2020?

Pertama, sejauh ini Indonesia belum menjadi target utama investasi energi bersih bagi investor asing. Daya tarik investasi untuk energi terbarukan tergolong biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol. Beberapa faktor utama antara lain: iklim investasi makro, kualitas kebijakan dan regulasi, rencana dan realisasi pembangunan energi terbarukan, ketersediaan pendanaan, serta akses pada teknologi dan rantai pasok domestik memiliki daya tarik yang lebih rendah bagi investor asing dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang menjadi kompetitor kita. Investor berpandangan kebijakan dan regulasi tidak stabil, mudah berubah, kualitasnya rendah, dan ketidakjelasan dalam implementasinya. Hal-hal ini menyebabkan persepsi risiko investasi di sektor energi terbarukan sangat tinggi yang berakibat pada meningkatnya cost of money untuk investasi proyek energi terbarukan di negara kita.

Di 2020 ini, investor sepertinya akan mencermati langkah pemerintah memperbaiki iklim investasi energi terbarukan. Perubahan kebijakan dan regulasi yang menghambat perkembangan energi terbarukan selama tiga tahun terakhir ini ditunggu oleh para pelaku usaha. Rencana pemerintah menerbitkan aturan feed in tariff (FiT) untuk pembangkit listrik ET skala kecil dalam bentuk Peraturan Presiden menjadi angin segar bagi pelaku usaha swasta. Tapi FiT saja mungkin tidak cukup karena harga/tarif hanyalah sebagian dari hambatan pengembangan ET. Bagaimana pemerintah melalui instrumen regulasi mengalokasikan risiko-risiko tarif, kebijakan, teknologi, evakuasi daya secara berimbang untuk PLN dan pengembang, dan proses bisnis yang transparan juga menjadi perhatian para investor, khususnya investor asing. Sentimen positif akan terjadi di 2020 kalau ada realisasi komitmen politik dan produk perundangan yang signifikan di tahun ini. 

Kedua, PLN sebagai satu-satunya off-taker listrik swasta, perkembangan energi terbarukan sangat dipengaruhi oleh visi, minat, perencanaan, lelang dan eksekusi dari BUMN ini. Beban pencapaian target energi terbarukan pun sebagian besar harus dipikul oleh PLN. Untuk mencapai target 23% sesuai Perpres No. 22/2017 maka dalam lima tahun mendatang, minimal 75-80% penambahan pembangkit listrik baru harus berasal dari energi terbarukan. Pada prakteknya untuk dapat masuk ke dalam sistem ketenagalistrikan, maka proyek energi terbarukan harus masuk dalam perencanaan PLN, yaitu Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Pada RUPTL 2019-2028, PLN merencanakan menambah 16,7 GW pembangkit energi terbarukan dimana 8 GW direncanakan pada kurun waktu 2019-2024. Untuk mencapai target RUEN, maka kapasitas pembangkit untuk energi terbarukan harus ditambah menjadi 12-15 GW pada kurun waktu tersebut dan dilipatgandakan pada lima tahun berikutnya. Konsekuensinya untuk dapat menampung kapasitas pembangkit energi terbarukan yang lebih besar maka PLN perlu melakukan pengurangan kapasitas pembangkit-pembangkit thermal yang direncanakan atau yang telah dioperasikan 5-10 GW dalam lima tahun mendatang.

Ada perbedaan antara target KESDM untuk penambahan kapasitas terpasang pembangkit ET di 2020 sebanyak 685 MW dengan RUPTL PLN sebesar 933 MW. Perbedaan ini merupakan sinyal bahwa ada persoalan dalam perencanaan kelistrikan dan koordinasi, khususnya untuk pembangkitan ET. Bagaimana perbedaan ini akan direkonsiliasi dalam RUPTL 2020-2029 yang kemungkinan akan terbit dalam beberapa waktu kedepan juga menjadi perhatian para investor dan pengembang.

Ketiga, ketersediaan proyek-proyek energi terbarukan yang bankable dan siap didanai merupakan salah satu faktor yang penting dalam memenuhi target penambahan kapasitas pembangkit listrik. Selama ini ketersedian proyek-proyek pembangkit energi terbarukan yang bankable jumlahnya terbatas. Berbeda dengan pembangkit thermal yang berkapasitas besar, pembangkit energi terbarukan kapasitasnya bervariasi dari skala dibawah 5 MW, 5-10 MW, 10-50 MW, dan diatas 50 MW. Misalkan untuk PLTS yang direncanakan mencapai 0,9 GW, hingga 2025 nanti, dapat terdiri dari 20-50 proyek dengan ukuran rata-rata 20-50 MW per proyek. PLTB yang direncanakan hingga 0,85 GW hingga 2025 dapat terdiri dari 15-30 proyek dengan kapasitas 10-100 MW per proyek.

Jadi, prospek pengembangan energi terbarukan di 2020 sebenarnya lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan adanya komitmen politik dari Presiden, langkah-langkah merevisi kebijakan dan regulasi harga ET (FiT) oleh Menteri ESDM, dan dukungan jajaran direksi PLN untuk mengembangkan energi terbarukan untuk mencapai target RUEN. Walaupun demikian, aksi-aksi positif ini tidak serta merta langsung meningkatkan daya tarik investasi dan realisasi investasi pembangkit pada tahun ini. Apabila pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan di tahun ini, paling tidak untuk tiga aspek diatas, dampaknya pun baru akan terasa dua sampai tiga tahun mendatang, yang ditandai dengan meningkatnya minat investor dan meningkatnya stok proyek-proyek pembangkit yang siap dikembangkan secara komersial.

Pemerintah harus melihat bahwa 2020 adalah tahun untuk memulihkan kepercayaan investor, dan tahun untuk memperkokoh fondasi untuk transformasi energi yang berkelanjutan di Indonesia. Kegagalan untuk melakukan perbaikan di tahun ini dapat berujung pada hilangnya momentum positif, hengkangnya investor asing, serta hilangnya kesempatan membangun sistem energi modern yang berkelanjutan dan kompetitif secara biaya dalam jangka panjang. Kalau ini terjadi, perlu waktu lama untuk membalik keadaan.

Jakarta, 15 Januari 2020.