The color of economic recovery is green

[Op-ed at The Jakarta Post, 21 July 2020]

With the impacts of the COVID-19 pandemic felt far and wide, almost all countries are now in combat mode: issuing and implementing various policies to stop the spread and to cushion the impacts on the economy and people’s livelihood.

For that purpose, governments have allocated more than US$12 trillion in the form of direct budget support, loan and equity injections, guarantees and other incentives. According to Energy Policy Tracker only a small fraction of $88 billion is aimed at clean energy, which is only half than stimulus for fossil fuels.

Learning from the past recession, there will be a spike in human and industrial activity post-crisis along with a bounce back in the economy. Carbon emissions dropped 1.4 percent in 2009 after the 2008 financial crisis, but rose 5.1 percent in 2010.

While many have prematurely celebrated the predicted 8 percent reduction in greenhouse gas emissions this year, the world needs to remain watchful.

Green growth, as a means of doing the best for people and the planet, has been proven to be economically effective, particularly in response to crisis. The International Energy Agency (IEA) highlighted how green stimulus programs in response to the 2008-2009 economic crisis had played an important role in recovering the economy in China, Japan, Korea and the European Union.

A recent study from Oxford University, co-authored by prominent experts including environmental economist Cameron Hepburn and Nobel laureate Joseph Stiglitz, also found large support for green economic measures from the respondents of the study (central bankers, finance ministers and academics). Their key question did not solely mention climate targets, but also the speed of implementation, long-run economic multiplier and policy desirability. Clean energy policies, particularly clean energy R&D, infrastructure and clean connectivity infrastructure, were listed in the top 10 desired recovery policies, considered having large long-run multipliers and a strong positive impact on the climate. Just last month, the IEA also issued its Sustainable Recovery Report, echoing the need to push for climate-oriented recovery and to “build back better”.

The Asian Development Bank (ADB) predicted that Indonesia’s economy would grow 2.5 percent in 2020, a stark contrast to 5 percent growth last year. Economic growth in the second quarter is negative and future growth remains bleak.

Undoubtedly, the Indonesian government needs to disburse economic stimulus to create growth. The growing voice to encourage greener measures, however, has yet to resonate in Indonesia. The government has designated Rp 695.2 trillion ($48 billion) for COVID-19 measures and economic stimulus packages, yet none was allocated to green stimulus.

Vivid Economics has been reviewing the “greenness” of 17 major economies’ COVID-19 stimulus injected into sectors that have long-term impacts on nature, and it suggested that Indonesia’s stimulus falls into the “brown” category (and has the lowest score), dominated by support for the high-carbon industry and energy sector.

Indonesia should opt for renewable energy for economic development, particularly in this difficult time and to reduce future greenhouse gas emissions. Currently, the share of renewable energy in Indonesia’s power sector is only 2 percent of total potential – a result of intertwining factors: a lack of consistent and supportive policies, market barriers, as well as concerns about human resources and grid readiness.

Solar energy, with the highest potential (of more than 200 GW nationwide), has yet to boom despite the global trend showing the exact opposite. Benefiting from massive deployment globally and a sharp decline in technology prices, solar energy could play an instrumental role in reviving Indonesia’s economy – and by extension, opening the doors to rapidly develop other renewables, keeping on track with our national energy target and climate pledge.

The Jakarta Post reported on June 19 that the Energy and Mineral Resources Ministry was working on a $1 billion solar program. It targets 1 gigawatt-peak (GWp) annual installations of rooftop solar for households receiving electricity subsidies. If prepared and implemented properly, this national solar program could be the answer to Indonesia’s absence in disbursing green stimulus: providing energy safety nets, boosting domestic solar industry and creating employment.

We estimate that this program could generate up to 30,000 green jobs per annum, much needed to fill in the gaps in recovering the economy.

The program is only one form of strategy for green economic recovery, and it is clearly not sufficient. As Indonesia aims to reach a 23 percent share of renewable energy in the primary energy mix by 2025, an additional $3 billion to $5 billion investment (in the renewable energy sector alone) is required. Building gigawatt solar plants and rooftop solar could be the fastest way to meet this target in due time. Unfortunately, Indonesia’s renewable energy investment attractiveness is pretty low.

The long-awaited presidential regulation on renewable tariffs and procurement of renewables, as well as the newly announced cooperation between the IEA and Indonesia should come to aid, as they are expected to increase investment attractiveness. Financing support for residential and commercial solar installation could also spur interest in installing rooftop solar, along with removing barriers to connect rooftop solar to state electricity company PLN’s grid.

Given the opportunity and the potential, we call on President Joko “Jokowi” Widodo to set green economic recovery strategies and to take the lead in accelerating energy transition in Indonesia. Putting the stimulus money into fossil fuels and dirty industry is not an option.

The pandemic has given us an opportunity to rethink our development, and we cannot just do business as usual. Carpe diem.

***

Fabby Tumiwa is the executive director of the Institute for Essential Services Reform (IESR), Marlistya Citraningrum is the institute’s program manager for sustainable energy access.

Featured image via The Jakarta Post – accompanying image of the op-ed.

Energi Terbarukan Sebagai Strategi Green Economic Recovery Pasca-COVID19



Akselerasi pembangunan energi terbarukan sebagai strategi green economic recovery pasca-COVID19

Pandemi virus corona menciptakan krisis global yang belum pernah terjadi pada generasi abad ini. Ketika tulisan ini dibuat, terdapat 3,308 juta orang yang terkena wabah ini, dengan kematian mencapai 234 ribu lebih di seluruh dunia. Hingga akhir Maret lalu terdapat lebih dari 100 negara yang menerapkan lockdown atau partial lockdown, yang berdampak pada kehidupan milyaran orang.

Aktivitas ekonomi di berbagai tingkatan lokal, nasional, global melambat drastic bahkan terhenti. Disrupsi logistik terjadi di berbagai negara, jaringan rantai pasok terkoyak, aktivitas produksi dan konsumsi mengalami stagnasi, permintaan energi anjlok, dan sebagai akibatnya kesempatan kerja pun semakin pupus dan tingkat pengangguran meningkat, demikian juga kemiskinan meningkat. 

The coronavirus lockdown is saving lives but destroying livelihoods,” kata Tim Harford, dalam artikelnya di Financial Times, 2 April 2020. International Monetary Fund (IMF) memperkirakan ekonomi global akan anjlok minus 3% tahun ini.

Indonesia juga terkena dampak sosial dan ekonomi dari wabah virus corona. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan jauh lebih rendah dari target yang dicanangkan tahun lalu. Kementerian Keuangan memprediksi ekonomi kita menghadapi ketidakpastian dan kemungkinan hanya tumbuh minus 0,4% – 2,3%. Sejumlah lembaga internasional memprediksi ekonomi Indonesia bisa tumbuh 1%-2,5%, tetapi berbagai prediksi tersebut tergantung pada faktor seberapa buruk dampak pandemi serta efektivitas respon pemerintah mengatasi perlambatan ekonomi dan besaran stimulus yang dialokasikan untuk memacu pemulihan ekonomi.  

Sejauh ini pemerintah merespon pandemi virus corona dengan tiga strategi: pertama, membatasi penyebaran virus corona lewat kebijakan PSBB; kedua, memperkuat fasilitas dan pelayanan kesehatan untuk menghadapi pandemi; ketiga, meredam dampak ekonomi yang diakibatkan karena aktivitas ekonomi yang melambat dengan memperkuat jaring pengaman sosial dan dukungan fiskal terhadap dunia usaha dan UMKM yang terdampak. Ketiga strategi ini terlihat dalam perubahan dan realokasi belanja dalam APBN 2020 yang mengalami penghematan anggaran K/L, realokasi belanja, dan perluasan pemanfaatan dana desa, serta tambahan anggaran untuk belanja penanganan COVID-19 yang diatur dalam Perpu No. 1/2020.

Jika diamati, respon pemerintah sejauh ini baru berorientasi pada penanganan krisis dan dampak krisis saat ini. Sejauh ini belum terlihat adanya strategi untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca-COVID-19. Dampak dari Pandemi COVID-19 memberikan tantangan yang lebih besar bagi pemerintah untuk mencapai target pembangunan nasional, antara lain: menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkualitas, menciptakan pemerataan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan membangun infrastruktur secara merata di seluruh Indonesia.

Kapasitas fiskal untuk pemerintah juga berkurang dengan menurunnya sumber-sumber penerimaan dari pajak dan pendapatan non-pajak. Pulihnya sumber penerimaan negara ditentukan oleh pulihnya ekonomi dunia dan ekonomi Indonesia yang masih tidak menentu. Oleh karena itu pilihan strategi pemulihan menjadi sangat instrumental dalam rangka optimalisasi sumber daya dan dana yang terbatas untuk menghadapi krisis multi-dimensi tersebut, sekaligus berupaya mencapai target-target pembangunan yang telah direncanakan.

Tantangan yang dihadapi tidak saja berkaitan dengan dampak yang dihasilkan oleh pandemi. Dunia, termasuk Indonesia pada saat yang bersamaan menghadapi ancaman perubahan iklim dan menurunnya kualitas dan daya dukung lingkungan. Ancaman-ancaman tersebut, jika tidak diatasi, dapat menjadi penghambat tercapainya pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan dalam jangka panjang, serta dapat memperbesar risiko dan biaya yang harus dikeluarkan dalam menghadapi krisis serupa dengan pandemi COVID-19, bahkan yang lebih besar, di masa depan. Oleh karena itu otoritas kebijakan perlu mempertimbangkan pemanfaatan sumber daya dan kapasitas fiskal secara optimal untuk menghadapi krisis dan tantangan multidimensi dalam merumuskan strategi pemulihan ekonomi.

Di sisi lain pandemi COVID-19 menciptakan peluang bagi Indonesia masuk ke dalam jalur pertumbuhan ekonomi rendah karbon (low carbon economy) yang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi 5,6% sampai 2024 dan selanjutnya rata-rata 6% sampai 2045. Jalur ini memberikan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari pendekatan business as usual seperti saat ini. Walaupun demikian pertumbuhan tinggi dapat terjadi dengan syarat jika aktivitas pembangunan mengintegrasikan mitigasi perubahan iklim untuk mengurangi emisi gas rumah kaca 41% pada 2030, termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan energi terbarukan mencapai 23% bauran energi primer hingga 2030 (Bappenas, 2019).

Untuk itu dalam menyusun paket stimulus pemulihan ekonomi pasca-pandemi, Presiden Joko Widodo harus mengintegrasikan transisi energi menuju sistem energi yang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, akselerasi pengembangan energi terbarukan, penciptaan lapangan kerja dalam jangka pendek, dan penguatan industri energi terbarukan nasional, serta penurunan emisi gas rumah kaca. Dengan pengintegrasian ini, diharapkan stimulus fiskal yang disiapkan oleh pemerintah dapat menciptakan dampak pada ekonomi dalam waktu singkat dan meletakan fondasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan.

Strategi ini sejalan dengan rekomendasi Managing Director International Monetery Fund (IMF), Kristalina Georgieva yang disampaikan di Petersberg Climate Dialogue, yang menyatakan bahwa kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah untuk menghadapi virus corona perlu diharmonisasikan dengan tindakan untuk mengatasi perubahan iklim dan memastikan pemulihan (ekonomi) yang berkelanjutan secara lingkungan. 

Untuk itu IESR mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan green economic recovery pasca-COVID19 melalui Program Surya Nusantara. Ini adalah program untuk memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap sebesar 1 GWp yang dilakukan di 500-600 ribu rumah tangga miskin penerima subsidi listrik masing-masing sebesar 1,5 kWp – 2 kWp yang on grid. Program dimulai persiapannya di 2020 dan dilaksanakan di 2021 dan dapat dilanjutkan hingga 2025 untuk mendukung tercapainya target 6,5 GW dari energi surya sebagaimana target Perpres No. 22/2017 tentang RUEN.

Program Surya Nusantara membutuhkan stimulus anggaran sebesar 15 triliun di tahun pertama, dapat semakin berkurang dari tahun ke tahun seiring dengan penurunan harga modul surya. Sumber anggarannya berasal dari APBN dan selanjutnya dapat diperluas ke APBD. Sebagian besar dari dana ini akan dinikmati oleh industri dan pelaku usaha serta pekerja domestik, yang akan berputar di dalam ekonomi Indonesia.

Program ini diperkirakan dapat menyerap 30 ribu pekerja secara langsung dan tidak langsung selama setahun penuh. Untuk eksekusinya, diperlukan tenaga kerja terampil sebagai installater dan untuk melakukan O&M. Penyiapan tenaga kerja terampil dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan yang tersertifikasi. Pelatihan ini dapat diintegrasikan dengan Program Prakerja. Pelaksanaan pelatihan dilakukan melalui bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja, BUMN dan perusahaan EPC yang akan menampung tenaga kerja untuk melaksanakan program ini.

Program Surya Nusantara dapat memberikan berbagai manfaat bagi ekonomi Indonesia, antara lain: pertama, penyerapan tenaga kerja hingga 30 ribu yang akan mengurangi tekanan pengangguran; kedua, penghematan subsidi listrik Rp. 1,3 triliun per tahun dan akan semakin bertambah jika program ini diperluas dan dilakukan sampai 2025. Dengan penurunan subsidi dari program tahun pertama, secara kasar investasi yang dikeluarkan pemerintah akan kembali dalam waktu 10-12 tahun; ketiga, adanya potensi mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 1,05 juta ton/tahun yang dapat berkontribusi pada target penurunan 29% emisi GRK dalam nationally determined contribution (NDC); keempat, merangsang tumbuhnya industri photovoltaic nasional dan terbukanya pasar dan investasi untuk industri pendukung PLTS; dan kelima, terbukanya pasar PLTS Atap.  IESR memperkirakan potensi PLTS Atap untuk rumah tangga di Jawa-Bali saja mencapai 12 GW. Pemanfaatan PLTS Atap oleh rumah tangga. bangunan komersial dan industri akan mengurangi tekanan terhadap PLN untuk berinvestasi menambah kapasitas pembangkit.

Program Surya Nusantara, jika dilakukan dapat menjadi contoh nyata green economic recovery in action, yang menunjukan kepemimpinan Indonesia merespon krisis di kawasan Asia Tenggara dan di tingkat dunia. 

 

[*] Penulis adalah Direktur Eksekutif IESR, Email: fabby@iesr.or.id