The Jakarta Post | Five more years to meet renewable energy target

The new decade started with a terrifying kick-off. Extreme rainfall occurring from the west of Indonesia from Banten and Jakarta to East Nusa Tenggara, which is nearer to the ravaging bushfires of Australia, raised questions as to what has really caused this calamity.

Various factors are suspected as the culprits and climate change is one of the most mentioned. Indonesia as one of the world’s largest emitters of greenhouse gas surely needs to pay more attention to this matter.

Other than land use that contributes substantially to climate change, excessive fossil fuel consumption also plays a key role in this phenomenon. Sadly, the main solution to reduce fossil fuel usage through renewable energy has made very questionable progress in this country.

Indonesia actually has an ambitious target for its renewable energy development.

Based on the national energy policy, renewables should contribute at least 23 percent to the national energy mix by 2025. This means that hydropower, solar, wind, etc. should provide almost a quarter of the national energy needs.

The latest data from the National Energy Council show that these sources of energy only contribute around 9 percent of the total primary energy supply. Furthermore, various reports also suggest that progress in achieving the target is unsatisfactory.

The Institute for Essential Services Reform (IESR) just released an outlook in December 2019 that stated Indonesia was set to miss all of its 2019 renewable energy targets. These include the targets ratified in the National Medium-Term Development Plan, with a deficit of around 58 percent of renewable power generation capacity, while the One Million Rooftop Solar Initiative produces less than 20 megawatts of its gigawatt target.

Even from the government side, the Energy and Mineral Resources Ministry has also admitted to missing targets even though it argued that the Agency for the Assessment and Application of Technology was using impractical assumption, notably in national economic growth.

The 23 percent target was based on 7 to 8 percent growth per year while national economic growth is stagnant at around 5 percent. The ministry believes the renewable energy portion will only reach 13 percent in 2025 with current growth.

However, instead of blaming wrong assumptions and the now already official target of renewable energy, the government would better acknowledge the slow progress and address the real problems in order to increase the renewable energy portion in the energy mix. Based on numerous analyses, several issues are the most pivotal that constrain progress in national renewables development.

Among these is the pricing scheme. The International Institute for Sustainable Development stated in its report that the power purchase prices are simply too low, thus developers cannot recover their investment and turn a reasonable profit from their renewable energy business in Indonesia.

In addition, the current system of pricing does not really benefit renewable energy and even favors fossil fuels, especially coal, through subsidy and fiscal support, which diminishes the competitiveness of renewable energy.

Inconsistent regulations are considered by many stakeholders to be an important problem to solve. Recurrent policy changes, regulatory setback and erratic implementation ebb the investors’ interest to put their money into developing renewable energy projects in Indonesia. As quoted in the IESR report, investment in renewable energy has been stagnant for the past five years, which shows the low investment attractiveness in Indonesia.

Strong state control in the power sector is also considered an obstacle for renewable energy development. Research from Queensland University, Australia, has concluded that rigid state control across Asian nations including Indonesia does not necessarily lead to favorable output.

Numerous countries that perform electricity market reform to have more private party involvement in the power sector value chain have successfully increased their renewable energy portion. In another research study, many stakeholders believed strong control from the government could present conflicts of interest such as the provision of fossil fuel generators, instead of renewable energy-sourced plants in a rural area, only because the generators are owned by the state electricity company.

Beside those issues, many other studies mention more aspects to work on from political, economic, or technology perspectives, toward boosting our renewables. These findings should be a wake-up call for the government if they are really serious about at least getting closer to the target in 2025. Collaborate and listen more to other stakeholders such as developers, researchers and investors, to generate solutions that could benefit all parties.

Consistent regulation and implementation in the renewable energy sector are absolutely necessary to rebuild investors’ trust and increase attractiveness. Finally, if the government thinks renewable energy is indeed Indonesia’s future, there is no harm in following other developing countries in unbundling their electricity market to increase the renewable energy portion through transparent market dynamics.

Originally published at: The Jakarta Post, 20 January 2020, Opinion, by Huud Alam, Energy Analyst at PetroRaya Resources

Bagaimana Prospek Perkembangan Energi Bersih di Indonesia di 2020?

 

Pada Desember 2019 lalu, IESR meluncurkan laporan Indonesia Clean Energy Outlook 2020. Dalam laporan ini, disampaikan evaluasi perkembangan energi terbarukan dan efisiensi energi selama 2019, serta pandangan prospek pengembangan energi bersih di Indonesia pada 2020 ini. Bagaimana prospek perkembangan energi bersih, khususnya energi terbarukan di Indonesia pada 2020? Salah satu temuan dalam ICEO 2020 mengindikasikan investasi di bidang energi terbarukan mengalami penurunan.  Sejak 2015, realisasi investasi EBT terus menurun, padahal target investasi tahunan terus mengalami koreksi dari target Renstra KESDM 2015-2019. Bahkan target investasi EBT untuk 2019 sebesar $1,8 milyar hanya tercapai $1,5 milyar. Sepanjang 2015-2019 kapasitas pembangkit energi terbarukan (on-grid dan off-grid) bertambah 1,6 GW atau 11% dari total tambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik sebesar 15,5 GW. Pencapaian ini jauh lebih rendah dari realisasi pada periode 2010-2014. Pada 2020 KESDM memasang target pembangkit energi terbarukan dapat bertambah 685 MW. Angka ini jauh lebih tinggi dari realisasi penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan pada 2019 sebesar 376 MW. Walaupun lebih tinggi tetapi sesungguhnya pertambahan kapasitas ini masih lebih rendah dari penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan yang ditargetkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Untuk memenuhi target RUEN, setiap tahun sejak 2020, diperlukan penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan baru sebesar 4-5 GW.

Untuk dapat mencapai target tersebut maka diperlukan investasi yang cukup, kesiapan atau kemauan off-taker dan ketersediaan proyek-proyek yang feasible. Off taker yang terbesar adalah PLN yang memasok 95% energi listrik di Indonesia. Bagaimanakah status ketiga faktor ini di 2020?

Pertama, sejauh ini Indonesia belum menjadi target utama investasi energi bersih bagi investor asing. Daya tarik investasi untuk energi terbarukan tergolong biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol. Beberapa faktor utama antara lain: iklim investasi makro, kualitas kebijakan dan regulasi, rencana dan realisasi pembangunan energi terbarukan, ketersediaan pendanaan, serta akses pada teknologi dan rantai pasok domestik memiliki daya tarik yang lebih rendah bagi investor asing dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang menjadi kompetitor kita. Investor berpandangan kebijakan dan regulasi tidak stabil, mudah berubah, kualitasnya rendah, dan ketidakjelasan dalam implementasinya. Hal-hal ini menyebabkan persepsi risiko investasi di sektor energi terbarukan sangat tinggi yang berakibat pada meningkatnya cost of money untuk investasi proyek energi terbarukan di negara kita.

Di 2020 ini, investor sepertinya akan mencermati langkah pemerintah memperbaiki iklim investasi energi terbarukan. Perubahan kebijakan dan regulasi yang menghambat perkembangan energi terbarukan selama tiga tahun terakhir ini ditunggu oleh para pelaku usaha. Rencana pemerintah menerbitkan aturan feed in tariff (FiT) untuk pembangkit listrik ET skala kecil dalam bentuk Peraturan Presiden menjadi angin segar bagi pelaku usaha swasta. Tapi FiT saja mungkin tidak cukup karena harga/tarif hanyalah sebagian dari hambatan pengembangan ET. Bagaimana pemerintah melalui instrumen regulasi mengalokasikan risiko-risiko tarif, kebijakan, teknologi, evakuasi daya secara berimbang untuk PLN dan pengembang, dan proses bisnis yang transparan juga menjadi perhatian para investor, khususnya investor asing. Sentimen positif akan terjadi di 2020 kalau ada realisasi komitmen politik dan produk perundangan yang signifikan di tahun ini. 

Kedua, PLN sebagai satu-satunya off-taker listrik swasta, perkembangan energi terbarukan sangat dipengaruhi oleh visi, minat, perencanaan, lelang dan eksekusi dari BUMN ini. Beban pencapaian target energi terbarukan pun sebagian besar harus dipikul oleh PLN. Untuk mencapai target 23% sesuai Perpres No. 22/2017 maka dalam lima tahun mendatang, minimal 75-80% penambahan pembangkit listrik baru harus berasal dari energi terbarukan. Pada prakteknya untuk dapat masuk ke dalam sistem ketenagalistrikan, maka proyek energi terbarukan harus masuk dalam perencanaan PLN, yaitu Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Pada RUPTL 2019-2028, PLN merencanakan menambah 16,7 GW pembangkit energi terbarukan dimana 8 GW direncanakan pada kurun waktu 2019-2024. Untuk mencapai target RUEN, maka kapasitas pembangkit untuk energi terbarukan harus ditambah menjadi 12-15 GW pada kurun waktu tersebut dan dilipatgandakan pada lima tahun berikutnya. Konsekuensinya untuk dapat menampung kapasitas pembangkit energi terbarukan yang lebih besar maka PLN perlu melakukan pengurangan kapasitas pembangkit-pembangkit thermal yang direncanakan atau yang telah dioperasikan 5-10 GW dalam lima tahun mendatang.

Ada perbedaan antara target KESDM untuk penambahan kapasitas terpasang pembangkit ET di 2020 sebanyak 685 MW dengan RUPTL PLN sebesar 933 MW. Perbedaan ini merupakan sinyal bahwa ada persoalan dalam perencanaan kelistrikan dan koordinasi, khususnya untuk pembangkitan ET. Bagaimana perbedaan ini akan direkonsiliasi dalam RUPTL 2020-2029 yang kemungkinan akan terbit dalam beberapa waktu kedepan juga menjadi perhatian para investor dan pengembang.

Ketiga, ketersediaan proyek-proyek energi terbarukan yang bankable dan siap didanai merupakan salah satu faktor yang penting dalam memenuhi target penambahan kapasitas pembangkit listrik. Selama ini ketersedian proyek-proyek pembangkit energi terbarukan yang bankable jumlahnya terbatas. Berbeda dengan pembangkit thermal yang berkapasitas besar, pembangkit energi terbarukan kapasitasnya bervariasi dari skala dibawah 5 MW, 5-10 MW, 10-50 MW, dan diatas 50 MW. Misalkan untuk PLTS yang direncanakan mencapai 0,9 GW, hingga 2025 nanti, dapat terdiri dari 20-50 proyek dengan ukuran rata-rata 20-50 MW per proyek. PLTB yang direncanakan hingga 0,85 GW hingga 2025 dapat terdiri dari 15-30 proyek dengan kapasitas 10-100 MW per proyek.

Jadi, prospek pengembangan energi terbarukan di 2020 sebenarnya lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan adanya komitmen politik dari Presiden, langkah-langkah merevisi kebijakan dan regulasi harga ET (FiT) oleh Menteri ESDM, dan dukungan jajaran direksi PLN untuk mengembangkan energi terbarukan untuk mencapai target RUEN. Walaupun demikian, aksi-aksi positif ini tidak serta merta langsung meningkatkan daya tarik investasi dan realisasi investasi pembangkit pada tahun ini. Apabila pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan di tahun ini, paling tidak untuk tiga aspek diatas, dampaknya pun baru akan terasa dua sampai tiga tahun mendatang, yang ditandai dengan meningkatnya minat investor dan meningkatnya stok proyek-proyek pembangkit yang siap dikembangkan secara komersial.

Pemerintah harus melihat bahwa 2020 adalah tahun untuk memulihkan kepercayaan investor, dan tahun untuk memperkokoh fondasi untuk transformasi energi yang berkelanjutan di Indonesia. Kegagalan untuk melakukan perbaikan di tahun ini dapat berujung pada hilangnya momentum positif, hengkangnya investor asing, serta hilangnya kesempatan membangun sistem energi modern yang berkelanjutan dan kompetitif secara biaya dalam jangka panjang. Kalau ini terjadi, perlu waktu lama untuk membalik keadaan.

Jakarta, 15 Januari 2020.