Realisasi investasi EBTKE hanya US$ 1,60 miliar atau 79,60% dari target

 

Dirjen EBTKE, Rida Mulyana –PLTS Nunukan Terangi Wilayah Perbatasan

JAKARTA-KONTAN.CO.ID. Realisasi investasi di subsektor Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) tak memenuhi target. Sepanjang tahun 2018, Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hanya mencatatkan realisasi investasi sebesar US$ 1,60 miliar atau 79,60% dari target yang dipatok diangka US$ 2.01 miliar.

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Rida Mulyana beralasan, target tersebut terlalu ambisius sehingga sulit tercapai. Sebab, Rida menjelaskan bahwa target investasi di EBTKE sangat tergantung dengan porsi pembangkitan listrik yang tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), sedangkan target investasi sebesar US$ 2,01 miliar dipatok dengan asumsi akan ada percepatan pembangunan yang dilakukan pada tahun 2018.

“Investasi (EBTKE) yang ditargetkan itu berdasarkan RUPTL. Target US$ 2,01 miliar itu sifatnya ada percepatan pembangunan, berarti kan ditarik ke sini (2018), nah itu tidak terealisasi,” kata Rida dalam pemaparan capaian EBTKE tahun 2018 di Kantor Ditjen EBTKE, Selasa (8/1).

Rida menekankan, investasi di subsektor EBTKE dinilai menarik oleh investor. Buktinya, kata Rida, realisasi investasi tahun ini masih lebih tinggi jika dibandingkan tahun 2017 yang hanay mencapai US$ 1,3 miliar.

Investasi di subsektor EBTKE pun ikut berkontribusi dalam menarik aliran modal dari investor luar negeri ke dalam negeri. Namun, Rida kembali menegaskan, berbeda dengan subsektor mineral dan batubara (minerba) serta minyak dan gas (migas) yang realisasi investasinya sangat dipengaruhi oleh harga komoditas, di EBTKE ini, patokannya adalah pembangkitan dalam RUPTL.

“Investor banyak yang tunggu, Alhamdulillah lebih besar dari tahun sebelumnya. Jadi kita tidak mandeg, banyak masuk juga dari luar negeri, aliran (dana) masuk ke dalam negeri, tapi itu berdasarkan rencana, RUPTL” ujar Rida.

Selain itu, Rida menambahkan karakteristik investasi di EBTKE pun memiliki perbedaan dari segi jangka waktu, dimana masa perencanaan proyek EBTKE bisa memakan waktu 2-3 tahun. “Apalagi panas bumi malah 6-7 tahun, listrik baru bisa dirasakan,” imbuhnya.

Adapun, pada tahun 2019 ini, Kementerian ESDM mematok target investasi di subsektor EBTKE lebih kecil dibanding tahun lalu. Yakni sebesar US$ 1,79 miliar dengan rincian investasi di panas bumi sebesar US$ 1,23 miliar, bio energi US$ 0.051 miliar, aneka energi EBT US$ 0,511 miliar, dan konservasi energi US$ 0,007 miliar.

Rida berdalih, penurunan besaran investasi itu tidka terkait dengan realisasi tahun 2018 yang tidak mencapai target, melainkan mengikuti panduan dalam RUPTL. “Bukan diturunkan, mengikuti RUPTL-nya aja. Kita berbasis rencana,” katanya.

Di sisi lain, Rida tak menampik bahwa banyak pihak yang menilai Peraturan Menteri (Permen) Nomor 50 Tahun 2017 menjadi penghambat investasi. Terutama terkait dengan skema penyerahan aset ketika kontrak berakhir atau build, own, operate, and transfer (BOOT).

Rida mengatakan sudah banyak yang memberikan masukan terkait dengan Permen dan skema BOOT tersebut. Ia pun mengaku bahwa pihaknya bersikap terbuka dan alergi dengan perubahan regulasi.

Namun, pada akhirnya perubahan Permen itu tergantung pada pertimbangan dan keputusan dari Menteri ESDM Ignatius Jonan. “Pak Menteri sudah menerima masukan. Jadi karena itu Permen, kita tunggu arahan dari Pak Menteri. Yang jelas kita tidak alergi dengan perubahan,” tutur Rida.

Kendati demikian, pada kesempatan yang sama, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Harris, meyakinkan bahwa Permen 50 Tahun 2017 dan skema BOOT bukan menjadi kendala utama yang menghambat investasi. Harris memberikan gambaran bagaimanan investasi dalam pembangunan pembangkit listrik EBT terus berjalan.

Berdasar data terkini yang dipaparkannya, dari 70 proyek pembangkit EBT yang sudah menandatangani kontrak jua beli listrik atau Power Purchase Agreement (PPA), sudah ada empat proyek yang telah Commercial Operation Date (COD) dengan kapasitas total 27 Megawatt (MW) dan nilai investasi sebesar Rp. 718,9 miliar.

Sedangkan 29 proyek lainnya sedang dalam masa konstruksi dengan total kapasitas 282 MW dan nilai investasi Rp. 21,1 triliun. Sisanya, sebanyak 37 proyek masih dalam proses untuk mendapatkan kepastian pendanaan (financial close/FC) dengan total kapasitas 404 MW dan nilai investasi yang diperlukan sebesar Rp. 13,3 triliun.

Per pagi tadi, kata Harris, pihaknya baru mendapatkan kabar dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bahwa ada tambahan 10 proyek yang sudah tanda tangan dan masuk tahap konstruksi. Namun, Harris mengaku belum mendapatkan laporan detailnya.

“Konstruksi itu yang saya catat tadi pagi masih 29. Tapi karena ada tambahan dari PLN, berati ini jadi 39. 10 tambahan itu saya belum dapat datanya. Jadi total 27 (yang masih menuju FC),” ujarnya.

Adapun, selama tahun 2018, Harris mengatakan, ada lima proyek yang PPA. Yakni satu telah COD, satu sedang konstruksi dan tiga masih mencari pendanaan. Sehingga, Harris meyakini bahwa Permen Nomor 50 tahun 2017 dan skema BOOT tidak menjadi penghambat investasi. Tapi, Harris mengungkapkan bahwa yang bisa menghambat investasi adalah persoalan teknis dalam feasibility studies (FS) dan pengajuan proposal dalam pengajuan pendanaan.

Jadi, menurut Harris, para pengembang harus mampu untuk menunjukkan keberlanjutan proyek serta perhitungan resiko dan keekonomian yang jelas. “Bukan BOOT-nya, tadi dari aspek teknis proposal, kaitannya dengan sustainability project. Kalau salah hitung kan resikonya besar, itu yang harus dibenahi, selama in banyak bermasalah” jelasnya.

Namun, menurut Ketua Asosiasi Perusahaan Pengembang Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni, Permen Nomor 50 tahun 2017 khususnya skema BOOT yang ada di dalamnya, sangat tidak ideal bagi investasi. Terutama untuk proyek pembangkit kecil di bawah 10 MW, karena tidak menarik bagi perbankan.

Riza pun meminta supaya pengembang dalam negeri diberikan insentif, sebab proyek pembangkitan listrik mini ini rentan diakuisisi oleh perusahaan asing. “Sangat tidak ideal. Yang di bawah 10 MW, karena aturannya tidak bankable akhirnya ada beberapa yang jalan karena diakuisisi perusahaan asing. Investor China suka yang skala kecil,” kata Riza kepada KONTAN, Selasa (8/1).

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Menurutnya, Permen No.50/2017 dan skema BOOT masih menjadi tantangan untuk investasi kelistrikan EBT.

“Tergantung pada pengembang, tapi Permen itu masih menjadi hambatan untuk mendapatkan pembiayaan secara umum. Selain itu kapasitas pengembang dan kemampuan finansial juga masih jadi tantangan pengembangan energi terbarukan,” terangnya.

Fabby pun memproyeksikan, investasi dan pengembangan EBT pada tahun ini akan stagnan. Ia memperkirakan, potensi investasi pembangkit EBT yaang sudah PPA dengan PLN pada tahun lalu dan telah FC, akan di bawah 200 MW.

Menurut Fabby, mayoritas investor akan wait and see di tahun ini, meningat ada resiko politik dan kualitas regulasi yang menjadi pertimbangan. Sehingga, ia memprediksikan bahwa realisasi investasi di tahun ini hanya berkisar di angka US$ 1,4 miliar. “Itu estimasi saya, dari proyek-proyek yang potensi masuk di 2019. Saya kira target (investasi EVT 2019 yang dipatok pemerintah) itu juga moderat,” katanya.

Adapun, pada ahun 2019 ini, Ditjen EBTKE menargetkan akan ada lima Wilayah Kerja Panas Bumi yang akan dilelang. Sedangkan kapasitas terpasang sepanjang tahun ini ditargetkan bisa mencapai: 2.128,50 MW untuk panas bumi, 1.881,90 MW untuk bio energi, 318,07 MW untuk pembangkit tenaga air, 15 MW untuk tenaga surya, dan 60 MW untuk tenaga angin.

Sumber: kontan.co.id.