Percepatan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) terus dilakukan

Kamis, 16 Januari 2020 / 21:00 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Upaya percepatan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) terus dilakukan. Salah satunya dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) feed in tariff untuk menentukan harga jual EBT berdasarkan biaya produksi energi terbarukan.

Sebelumnya, Kontan sempat mendapat draf Perpres harga penjualan PLTP, PLTA, PLTB, PLTS, PLTBg, PLTBm, dan PLTSa. Di dalam draf tersebut, harga listrik yang dijual perusahaan listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) akan mengalami kenaikan dibandingkan saat ini.

Sebagai contoh, harga jual listrik dari PLTP swasta untuk kapasitas 1 megawatt (MW) hingga 10 MW dari tahun ke-1 sampai tahun ke-12 ditetapkan sebesar US$ 14,50 sen per kWh. Sedangkan harga jual listrik tersebut untuk tahun ke-13 sampai tahun ke-30 ditetapkan sebesar US$ 12,90 sen per kWh.

Hingga tulisan ini dimuat, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM FX Sutijastoto belum bisa dimintai keterangan terkait draf Perpres Feed in Tariff EBT.

Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengaku, draf Perpres Feed in Tariff EBT sebenarnya belum sampai tahap final, sehingga harga jual EBT yang ditetapkan dalam draf tersebut belum tentu sama nantinya.

METI dan beberapa pelaku usaha EBT pun masih akan mengadakan rapat bersama pemerintah. “Besok kami masih akan rapat. Ada beberapa hal yang masih harus didiskusikan,” ujar dia kepada Kontan.co.id, Kamis (16/1).

Terlepas dari itu, ia menyoroti skema harga staging yang diterapkan pada draf Perpres Feed in Tariff EBT. Dengan skema tersebut, harga jual listrik berbasis EBT terdiri dari dua periode. Di periode pertama, harga EBT ditetapkan lebih tinggi dari rata-rata. Kemudian harga EBT akan mengalami penurunan di periode kedua.

Durasi masing-masing periode bervariasi, tergantung dari masing-masing jenis sumber energi. “Harga EBT juga bisa saja ditetapkan di level yang tinggi di awal untuk mempercepat pengembalian investasi dari pihak pengembang,” terang Surya Darma.

Ambil contoh pada harga jual listrik dari PLTP swasta yang disebutkan tadi. Angka US$ 14,50 sen per kWh yang tertera tentu memiliki berbagai pertimbangan. Misalnya tingkat kesulitan dan teknologi yang dibutuhkan untuk membangun PLTP sehingga mempengaruhi nilai investasi proyek tersebut.

Selama ini, harga jual listrik PLTP merujuk pada Permen ESDM No. 50 Tahun 2017. Di sana tertulis harga pembelian listrik dari PLTP ditetapkan paling tinggi sebesar biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, dengan adanya skema harga staging, selama periode pengembalian pinjaman, maka pengembang EBT akan memperoleh harga jual yang lebih tinggi. Baru setelah itu, harga akan diturunkan.

Ia pun menganggap harga EBT di dua periode tersebut dapat memberikan pemerataan tarif dengan tingkat interal rate of return (IRR) yang menarik bagi para pengembang EBT. “Harga yang tinggi membuat arus kas pengembang tidak terganggu selama masa pembayaran utang,” ujar dia, hari ini.

Terlepas dari itu, Fabby berpendapat, jika Perpres Feed in Tariff dirancang dengan benar dan tarif EBT yang ditetapkan memberikan tingkat pengembalian IRR yang cukup, maka seharusnya tidak dibutuhkan lagi insentif lain untuk merangsang investasi di bidang EBT.

Adapun Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Rizal Calvary menyampaikan, apapun skema penentuan harga EBT nantinya, ia berharap harga tersebut disesuaikan saja dengan nilai keekonomian proyek EBT. “Masing-masing proyek EBT punya keunikan dan dipengaruhi oleh beragam faktor,” tutur dia, Kamis (16/1).

Durasi masing-masing periode bervariasi, tergantung dari masing-masing jenis sumber energi. “Harga EBT juga bisa saja ditetapkan di level yang tinggi di awal untuk mempercepat pengembalian investasi dari pihak pengembang,” terang Surya Darma.

Ambil contoh pada harga jual listrik dari PLTP swasta yang disebutkan tadi. Angka US$ 14,50 sen per kWh yang tertera tentu memiliki berbagai pertimbangan. Misalnya tingkat kesulitan dan teknologi yang dibutuhkan untuk membangun PLTP sehingga mempengaruhi nilai investasi proyek tersebut.

Selama ini, harga jual listrik PLTP merujuk pada Permen ESDM No. 50 Tahun 2017. Di sana tertulis harga pembelian listrik dari PLTP ditetapkan paling tinggi sebesar biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, dengan adanya skema harga staging, selama periode pengembalian pinjaman, maka pengembang EBT akan memperoleh harga jual yang lebih tinggi. Baru setelah itu, harga akan diturunkan.

Ia pun menganggap harga EBT di dua periode tersebut dapat memberikan pemerataan tarif dengan tingkat interal rate of return (IRR) yang menarik bagi para pengembang EBT. “Harga yang tinggi membuat arus kas pengembang tidak terganggu selama masa pembayaran utang,” ujar dia, hari ini.

Terlepas dari itu, Fabby berpendapat, jika Perpres Feed in Tariff dirancang dengan benar dan tarif EBT yang ditetapkan memberikan tingkat pengembalian IRR yang cukup, maka seharusnya tidak dibutuhkan lagi insentif lain untuk merangsang investasi di bidang EBT.

Adapun Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Rizal Calvary menyampaikan, apapun skema penentuan harga EBT nantinya, ia berharap harga tersebut disesuaikan saja dengan nilai keekonomian proyek EBT. “Masing-masing proyek EBT punya keunikan dan dipengaruhi oleh beragam faktor,” tutur dia, Kamis (16/1).

Artikel asli

Catatan Akhir Tahun: Energi Terbarukan Masih Terseok

Jakarta, 23 Desember 2019

“Kita butuh kepastian investasi, sekian tahun ke depan ada kejelasannya,” kata Gatot S Prawiro, Chief Bussines Development Maxpower Indonesia, satu pengembang energi terbarukan di daerah terpencil, memberikan pandangan.

Dia mengingatkan, apapun regulasi yang pemerintah bikin, pengusaha dan pengembang energi terbarukan memerlukan konsistensi dan kejelasan aturan.

Serupa dikatakan pendiri Xurya, pengembang surya atap, Eka Himawan. Dia bilang, pemerintah tinggal bikin peraturan dan kalau sudah jadi jangan berubah-ubah terus.

“Karena kalo berubah-ubah, bingung. Asumsi berbeda-beda. Kalau investasi kan perlu bikin perencanaan ke depan. Perlu konsisten dengan aturan,” katanya.

Jaya Wahono pendiri dan CEO Clean Power Indonesia juga memberikan pandangan mengenai hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia, ke depan.

Pertama, memberikan insentif kepada daerah yang aktif mendorong pembangunan energi terbarukan secara masif terutama dalam menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).

Kedua, PLN perlu mendapat mandat yang jelas dalam membeli listrik dr sumber energi terbarukan terutama bila bisa menurunkan biayapokok penyediaan (BPP) jangka panjang bukan sekadar BPP tahunan.

Ketiga, PLN wajib menaikkan konsumsi listrik di wilayah-wilayah tertinggal terutama untuk mendorong investasi dan pembukaan lapangan kerja secara masif.

Keempat, bank nasional dapat mandat untuk menyalurkan pendanaan murah bagi pembangunan energi terbarukan di daerah-daerah tertinggal. Ia bisa dengan skema subsidi bunga dan prinsipal pinjaman yang dibiayai dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang baru terbentuk.

Kelima, badan usaha yang mempunyai rencana membeli listrik dari sumber energi terbarukan mendapatkan keringanan pajak dan kemudahan membeli dari pengembang langsung tanpa harus melalui PLN.

Medio Desember lalu, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO), sebuah laporan akhir tahun ketiga, mengulas kemajuan pengembangan energi bersih di tanah air, dan meninjau prospek perkembangan pada 2020.

Merujuk laporan ini, tambahan kapasitas terpasang energi terbarukan sebesar 385 MW tahun ini, tak berdampak signifikan terhadap kemajuan pembangunan energi terbarukan dalam mengejar pencapaian target kapasitas 45 GW pada 2025 sesuai target rencana umum energi nasional (RUEN).

Energi terbarukan, salah satu sumber angin, begitu besar di Indonesia, tetapi masih minim dimanfaatkan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Untuk itu, masih sangat perlu komitmen politik pemerintah yang dituangkan dalam kebijakan dan regulasi progresif serta perbaikan iklim investasi hingga mengakselerasi pembangunan energi bersih di Indonesia. Juga bertransisi menuju sistem energi lebih bersih, kompetitif, dan handal.

Tahun lalu, IESR memperkirakan prospek energi terbarukan stagnan pada 2019 dalam laporan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) kedua. Dua indikasi yang disampaikan dalam laporan itu, yakni kondisi politik dinamis selama pemilihan umum dan kebijakan serta peraturan tak kondusif. Hal itu setidaknya masih relevan untuk jadi basis penilaian kemajuan pembangunan energi bersih tahun 2020.

Fabby Tumiwa, Direktur IESR saat peluncuran di Jakarta, mengatakan, laporan ICEO tahun ketiga ini lebih rinci menyoroti dua faktor utama yang masih jadi penghambat percepatan pengembangan energi terbarukan di tanah air.

Faktor pertama, bankability dari Power Purchase Agreements (PPAs) yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 10 dan No. 50/2017. Aturan ini membuat 27 dari 75 kontrak jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) proyek energi terbarukan masih berjuang dalam mencapai financial closed. Bahkan, lima PPA sudah diterminasi pada Oktober 2019.

Kedua, skema insentif bagi proyek energi terbarukan tak kompetitif dan situasi politik serta masa transisi pemerintahan baru mengakibatkan capaian investasi energi terbarukan rendah tahun ini, sebesar US$1,17 miliar dari target US$1,8 miliar atau baru 65% per September 2019. Kontribusi proyek energi panas bumi, US$0.52 juta, jadi andalan pemerintah dari total capaian investasi itu.

“Secara umum, total investasi energi terbarukan ini masih sangat kecil untuk mencapai target bauran energi dalam RUEN tahun 2025 yang diperkirakan memerlukan investasi US$70-US$90 miliar.”

Selain itu, dalam hal investasi energi terbarukan, Indonesia berkompetisi dengan sesama negara ASEAN lain, terutama Vietnam, Malaysia, Filipina dan Thailand.

Dalam tiga tahun terakhir, negara-negara ini mengalami kenaikan kapasitas pembangkit energi terbarukan yang cukup tinggi ditandai dengan arus investasi mengalir dari luar.

“Di era energi terbarukan, semua negara punya sumber daya energi terbarukan relatif setara dan dapat dikembangkan,” kata Fabby.

Investor punya pilihan cukup banyak dan leluasa memilih negara yang memberikan pengembalian investasi menarik dan risiko kecil. Dengan kondisi ini, kualitas kebijakan dan regulasi akan menentukan daya saing Indonesia menarik investasi energi terbarukan, khusus investasi asing.

Di sektor efisiensi energi, kata Fabby, usaha-usaha mencapai target penurunan intensitas energi final sebesar 1% per tahun, harus lebih fokus kepada tiga sektor kunci yang menyumbang konsumsi energi terbesar: transportasi, industri, dan rumah tangga. Dari 2013-2018, ketiga sektor ini tercatat sebagai sektor yang mendominasi 44%, 33%, dan 15% secara berturut-turut dari konsumsi energi final.

Akselerasi penggunaan kendaraan listrik, peningkatan konservasi energi di sektor industri, dan perbaikan standar serta pelabelan energi untuk peralatan listrik rumah tangga, jadi beberapa opsi yang teridentifikasi dalam laporan ICEO dalam meningkatkan usaha-usaha di sektor ini.

Sumber: KESDM

2020, tahun penentu

Meskipun demikian, IESR juga mengidentifikasi tiga hal yang cukup progresif tahun ini. Pertama, ada peningkatan dan minat penggunaan pembangkit listrik surya atap yang makin dilirik oleh kementerian, lembaga, dan badan usaha di tingkat pusat dan daerah, pelaku usaha industri, bangunan komersial dan residensial.

Kedua, konsumsi biodiesel juga meningkat seiring program B20 yang digalakan sejak awal 2019. Ketiga, sektor transportasi, ada Peraturan Presiden No. 55/2019 tentang kendaraan listrik mengisyaratkan komitmen dan dukungan politik kuat dalam mengembangkan teknologi baru ini di tanah air.

Selain membahas status dan perkembangan energi bersih pada 2019, laporan ini juga menyimpulkan pada 2020 sebagai momentum penentu dan titik balik mengejar ketertinggalan. Baik dalam mencapai target-target di tanah air, maupun kemajuan energi terbarukan pada tingkat regional.

“Pemerintah perlu memperhatikan sejumlah hal,” kata Jannata Giwangkara, Manajer Program Tranformasi Energi IESR.

Pertama, kabinet dan konfigurasi posisi baru di kementerian dan lembaga terkait harus bisa mendapatkan kembali kepercayaan investor di kuartal pertama 2020.

Caranya, dengan memberikan sinyal politik dan rencana aksi terperinci yang tertuang dalam perbaikan kebijakan dan regulasi dalam mempercepat pembangunan energi terbarukan dan implementasi efisiensi energi.

Perbaikan itu, katanya, mencakup reintroduksi feed in tariff (FiT), ada instrumen pendanaan khusus untuk proyek energi terbarukan skala kecil misal di bawah 10 MW, penerapan skema lelang terbalik (reverse auction) untuk proyek energi terbarukan skala utilitas. Juga, alokasi risiko adil antara independent power producer (IPP) dan PLN, dan perbaikan-perbaikan kebijakan dalam mendorong implementasi efisiensi energi.

Perbaikan itu, katanya, seperti penerapan mandatori manajemen energi ke lebih banyak perusahaan di setiap sektor industri, transportasi, dan bangunan, dan penerapan standar kinerja energi minimum (SKEM) untuk peralatan listrik yang lebih banyak dan standar lebih tinggi.

Seorang pekerja di PLTS Kayubihi, Bangli, Bali. PLTS ini merupakan yang pertama dibangun di Indonesia pada 2012. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

Kedua, berbagai inisiatif terkait energi bersih oleh aktor non-pemerintah dan pemerintah daerah perlu terus didukung dan difasilitasi. Lebih 200 perusahaan multinasional, 40 beroperasi di Indonesia, adalah anggota RE100 dengan pendapatan gabungan hingga US$4,5 triliun. Mereka kini berkomitmen gunakan 100% energi terbarukan di seluruh fasilitas operasional global pada 2030.

Peraturan yang mengatur implementasi power wheeling (akses terbuka penggunaan transmisi jaringan oleh swasta), katanya, dapat jadi pilihan untuk menyelesaikan akses listrik terbarukan perusahaan RE100 dan lain-lain.

Kemudian, kata Jannata, hambatan-hambatan seperti perencanaan, pembiayaan, dan koordinasi dengan PLN dalam implementasi inisiatif-inisiatif di pemerintah daerah harus dapat tertangani. Dengan begitu, bisa merealisasikan berbagai inisiatif jadi proyek nyata.

Ketiga, perlu lebih dari sekadar peraturan untuk memulai revolusi surya dan kendaraan listrik. “Kedua teknologi ini kami proyeksikan dapat jadi pionir penggerak dalam transisi menuju energi bersih di tanah air.”

Proses akuisisi lahan cukup menyulitkan, skema pendanaan kurang atraktif, transparansi proses pengadaan kurang dan timeline tak menentu. Juga, pengembangan industri manufaktur surya yang status quo merupakan beberapa hambatan utama yang perlu mendapatkan perhatian dalam merevolusi energi surya.

Sedangkan, dalam memulai industri dan meningkatkan penetrasi kendaraan listrik dengan cepat perlu insentif fiskal, antara lain, pembebasan pajak kendaraan listrik dan pembangunan infrastruktur pengisian listrik agresif, minimal 30.000 Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) sebelum 2025.

“Presiden Jokowi harus menyadari, Indonesia sedang diamati dunia dalam memerangi krisis iklim melalui pengembangan energi terbarukan dan transisi menuju sistem energi bersih,” kata Fabby.

Lima tahun ini, katanya, Indonesia menyia-nyiakan kesempatan jadi jawara energi terbarukan di ASEAN. Saat ini, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga, padahal memiliki ragam sumber daya energi terbarukan.

“Saat ini, kita Indonesia bukan primadona investor energi bersih, tapi bisa kalau ada transformasi yang revolusioner melalui kebijakan dan regulasi serta insentif yang disediakan pemerintah,” katanya.

Sumber: KEDSM

Untuk itu, IESR kembali mendesak Jokowi agar menunjukkan komitmen politik dan memimpin pengembangan energi bersih di Indonesia. Presiden, katanya, perlu memberikan instruksi jelas dan kuat kepada kementerian sektoral dan lembaga terkait dalam mempercepat pengembangan dan mendorong investasi energi terbarukan.

Halim Sari Wardana, Sekretaris Dirjen EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengatakan, KESDM bersungguh-sungguh mencapai target pembangunan berkelanjutan ketujuh, yakni soal pemenuhan energi merata dan adil.

Lima hal jadi sasaran pemerintah dalam mencapai pembangunan berkelanjutan itu, dengan memenuhi kebutuhan listrik lewat program 35.000 Megawatt melalui energi terbarukan, biodiesel untuk menurunkan gas rumah kaca, penggunaan gas untuk keperluan pariwisata. Juga, kebijakan batubara untuk dalam negeri dan edukasi masyarakat dalam mendukung kebijakan pemerintah.

Meski begitu, Halim membenarkan peran energi fosil dalam pemenuhan kebutuhan energi masih signifikan. “KESDM fokus pada keadilan energi dengan harga yang terjangkau,” katanya.

Saat ini, anggaran KESDM masih banyak untuk pembangunan infrastruktur jaringan gas kota, converter kit untuk nelayan dan lampu tenaga surya hemat energi. Selain untuk pembangunan sumur bor buat kebutuhan air bersih di daerah yang sulit air serta subsidi belanja sektor produktif.

Halim bilang, pemerintah juga fokus pengembangan kendaraan listrik terutama untuk Jawa yang kapasitas listrik berlebih.

Pemerintah, katanya, menyadari pengembangan energi terbarukan sangat menjanjikan di Indonesia. Untuk itu, mengacu kebijakan energi nasional (KEN), pemerintah bikin mandatori biodiesel dan bioethanol, perencanaan pembangunan 12 PLTSa di 12 daerah terpilih dan dukungan untuk PLTS.

“Reformasi di KESDM juga memberikan kemudahan lewat perizinan online yang terintegrasi dengan data sumber daya alam.”

Halim menegaskan, pemerintah menyadari meningkatan bauran energi terbaru akan meningkatkan stabilitas ekonomi karena sumber energi tak bergantung neraca perdagangan internasional.

Saat ini, katanya, pemerintah merevisi sejumlah aturan yang dinilai menghambat investasi energi terbarukan.

Menghadapi proyek energi terbarukan yang tak bankable, kata Halim, pemerintah fokus menyajikan data potensi lebih akurat dan valid.

“Jadi, peluang investasi ada dukungan data.”

Tak hanya potensi, pemerintah juga akan memfasilitasi pasar ataupermintaan, misal, dengan pembangunan eko wisata yang gunakan energi terbarukan.

Operasional Intake PLTA Singkarak di nagari Guguk Malalo, Tanah Datar. Foto : Riko Coubut

Soal aturan

Harris, Direktur Aneka Energi Terbarukan KESDM, menambahkan, salah satu regulasi sedang revisi pemerintah yakni Permen 50/2017 tentang pemanfaat sumber energi terbarukan.

Meski tercatat ada 75 kontrak di bawah permen ini, kata Harris, tak semua murni hasil regulasi ini. Beberapa kontrak itu, katanya, hasil penunjukan langsung.

Setelah berjalan dua tahun, kata Harris, pemerintah menyadari ada aspek menghambat investasi dalam permen ini. Penggunaan biaya pokok pembangkitan (BPP) bermasalah untuk sejumlah daerah dengan BPP rendah.

“Untuk BPP tinggi tidak masalah,” katanya.

Untuk Jawa, misal, dengan acuan 7 sen dolar Amerika Serikat per kWh tak memungkinkan pengembangan panas bumi karena biaya pokok pembangkitan lebih mahal.

“Untuk PLTS dengan reverse auction (skema lelang terbalik berdasarkan harga terendah) bisa, tapi nggak banyak.”

Sisi lain, pemerintah juga tahu, negara tetangga makin kompetitif untuk investasi energi terbarukan. Dia sebutkan, Kamboja, bisa menetapkan harga 3,6 sen dolar AS untuk PLTS.

Kabar baiknya, lelang PLTS di Bali Barat dan Bali Timur, saat ini ada yang menawarkan harga 5,8 sen dolar AS per kWh. Selain itu, PLTS apung di Cirata juga akan memasuki jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA) bulan depan.

Kalau PLTS Cirata dengan kapasitas 145 megawatt beroperasi target 46 megawatt pada 2019 dapat tercapai bahkan tiga kali lipat.

Selain BPP, kata Harris, kontrak energi terbarukan membuat investasi energi terbarukan hingga tahun ini tak bankable.

Saat ini, KESDM sedang menyiapkan peraturan presiden yang mengatur pengembangan energi terbarukan. Dalam rancangan aturan yang digodok KESDM, pemerintah hendak kembali menerapkan skema feed in tarrif (FiT), yang pernah berlaku pada 2015-2016. FiT akan berlaku untuk pembangkit energi terbarukan dengan kapasitas hingga 10 megawatt. Khusus PLTA skema FIT juga dipakai untuk kapasitas hingga 20 megawatt.

Untuk pembangkit lebih dari kapasitas itu berlaku negosiasi antara pengembang dengan PLN. Untuk pembangkit lebih 20 mw negosiasi antara PLN pusat dengan pengembang, dan pembangkit kurang 10 megawatt negosiasi dengan PLN wilayah.

Selain itu, kata Harris, berbagai kendala teknis pembangunan pembangkit energi terbarukan juga akan terakomodir dalam regulasi baru ini, antara lain, PLTA garapan Kementerian PUPR yang mandek karena tak bisa menjual listrik ke PLN dan penyediaan lahan untuk PLTS yang kerap jadi kendala.

Dia berharap, dengan perpres ini, kendala lintas kementerian dan lembaga bisa teratasi. Hal ini luput terakomodir dalam permen.

Pemerintah optimis dengan perpres ini akan menyelesaikan kendala listrik dari energi terbarukan yang mahal. Pengalaman dari PLTB Sidrap 75 megawatt, kalau mula-mula harga jual listrik mencapai 11 sen dolar AS, karena tak ada biaya infrastruktur, tahap kedua PLTB ini bisa kurang 7 sen dolar AS.

“Proses (perpres) masih berjalan. Kami sudah komunikasikan draf-nya dengan menteri,” kata Harris.

Sumber: KESDM
Artikel Asli

Indonesia ‘must stop building new coal plants by 2020’ to meet climate goals

2 December 2019

JAKARTA — Indonesia must stop building new coal-fired power plants by 2020 if it wants to do its part to cap global warming under the targets of the Paris climate agreement, new analysis shows.

The country is one of the few still actively planning and constructing new plants, putting it on a trajectory to miss its climate commitments, aimed at limiting global warming to 1.5 degrees Celsius (2.7 degrees Fahrenheit) above pre-industrial levels and achieving net-zero greenhouse gas emissions by 2050.

In an analysis of four scenarios, carried out by the Institute for Essential Services Reform (IESR), a Jakarta-based think tank, only one would see Indonesia contribute to those goals — and it starts with scrapping the dozens of coal-fired power plants being built or planned.

Achieving that goal, the IESR says, “would require that there are fewer coal plants installed capacity in Indonesia,” including “no more coal plants … built after 2020.”

“The 1.5 [degree] scenario would even need 2 gigawatts less of coal plant installed capacity from current existing capacity by 2020, meaning coal plant phase-out should happen this year,” it adds.

That scenario sees burning of coal phased out altogether by 2048 and the country’s total emissions peak by 2028 at 274 million tons of carbon dioxide equivalent (CO2e) before declining to zero by 2048.

A second, less stringent, scenario projects capping global warming at 2 degrees Celsius (3.6 degrees Fahrenheit) above pre-industrial levels. It too would require stopping building new coal-fired power plants by 2020.

The other scenarios are less ambitious in scope, such as retiring coal plants older than 30 years, and improving the efficiency of existing plants. But these scenarios would mean Indonesia falling short of its climate commitments and contributing to a global temperature rise of 2 to 3 degrees Celsius (3.6 to 5.4 degrees Fahrenheit).

And even then, said IESR executive director Fabby Tumiwa, “we still won’t reach net-zero emissions” by 2050.

The Cilacap coal power plant is located near a port for local fishermen. Image by Tommy Apriando/Mongabay-Indonesia.

Coal building spree

A landmark report by the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) last year warned that the world had until 2030 to cap global warming at 1.5 degrees Celsius to avoid catastrophic climate change impacts. In practice, this means global greenhouse gas emissions will have to drop by half over the next 10 years and reach net-zero around mid-century.

Much of Indonesia’s emissions to date have come from deforestation and land use change, particularly the burning of carbon-rich peatlands to make way for plantations of oil palm, pulpwood, and rubber. But under the current administration’s ambitious energy push, emissions from electricity generation are poised to dominate.

The country’s energy consumption growth is among the fastest in the world, and the government is relying mostly on coal-fired plants to feed that demand. In 2018, coal accounted for 60 percent of Indonesia’s energy mix.

Under the government’s latest electricity procurement plan, the installed capacity of coal plants in the country is expected to nearly double over the next decade from the current 28 gigawatts. Thirty-nine coal-fired power plants are currently under construction, and 68 have been announced, which will maintain coal’s dominance of the energy mix at nearly 55 percent by 2025.

Of six new power plants expected to go online this year, three are fired by coal. (The other three are small-capacity facilities powered by natural gas, hydro and solar, respectively.)

This trajectory risks trapping Indonesia in a high-carbon economy, says the IESR’s Fabby, because once a coal plant is built, it can remain in operation for up to 50 years.

“If we build fossil fuel infrastructure today, the emissions for the next half a century will be locked,” he said. “It’s estimated that our emissions from power plants will be at 700 to 800 million tons of CO2 in 2030.”

Coal spill from July 2018 along a beach in Indonesia’s Aceh province in Sumatra. Image by Junaidi Hanafiah/Mongabay-Indonesia.

Regional outlier

Indonesia’s coal plant building spree makes the country an outlier in Southeast Asia, where governments are increasingly taking a stand against the fossil fuel. Recent analysis by the Global Energy Monitor (GEM) identifies Indonesia as the only country in the region to build new coal energy infrastructure in the first half of 2019.

Thailand in January removed two major coal plants, the 800-megawatt Krabi and 2,200 MW Thepa facilities, from its energy development plan. It also shelved the 3,200 MW Thap Sakae project due to community resistance. The country’s plan also reduces the share of coal in the energy mix from 25 percent envisaged in the previous plan to just 12 percent.

Instead, Thailand is making a major pivot toward clean energy, announcing an ambitious plan to build the world’s largest floating solar farms to power Southeast Asia’s second-largest economy.

In the Philippines, which faces a similar challenge to Indonesia of meeting fast-growing demand for cheap electricity, President Rodrigo Duterte recently called on his department of energy to fast-track the development of renewable energy and reduce dependence on coal. In practice, however, the government still hasn’t issued an executive mandate that would compel the energy department to change its coal-dependent roadmap. And in October, Duterte inaugurated the country’s 21st coal-fired power plant.

And while the region as a whole is home to three of the world’s top 10 biggest networks of planned coal power plants, construction of new plants in Southeast Asia has actually fallen dramatically since peaking at 12,920 MW new installed capacity in 2016, according to the GEM. In 2018, only 2,744 MW of new coal-fired capacity entered into construction.

Christine Shearer, the director of the GEM’s coal program, said coal had become increasingly less attractive for investors in Southeast Asia.

“Coal power is facing something of a perfect storm,” she said. “Communities are rejecting it due to the high levels of pollution, renewable energy technology is undercutting it in terms of quality and cost, and financial institutions are backing away fast, making funding an increasing challenge for coal proponents.”

A worker walking by rows of solar panels at the Kayubihi Power Plant in Bangli, Bali. The Kayubihi Power Plant is the only solar-powered plant operating in Bali out of a total of three plants. Image by Anton Muhajir/Mongabay Indonesia.

Lack of renewable-friendly policies

While the IESR analysis makes clear that Indonesia must begin phasing out coal power as soon as possible if it wants to contribute to the global climate effort, Fabby said doing so will be challenging without a clear exit strategy. He noted that coal mining is an industry that generates significant revenue and jobs for several provinces.

“Of course coal power plants can’t just be closed down, because there’s going to be economic and financial consequences,” Fabby said. “We need energy transition. We also need to anticipate the economic consequences that might happen.”

While the government plans to increase the share of renewables in the energy mix from 7 percent at present to 23 percent by 2025, progress has been sluggish. There are currently no carbon disincentives to encourage investment in renewable energy, while coal-fired power plants continue to receive hefty subsidies.

The government has hitched its renewable wagon to biofuel made with palm oil — a controversial decision, given the deforestation attendant in the production of much of the country’s palm oil.

Fabby pointed to a key omission in the renewable transition for Indonesia, the only country in Asia that lies on the equator: solar power, which remains largely unexploited.

“What we need is the political will,” he said. “For example, Vietnam, in a matter of 12 months they built 4.5 GW of solar. Countries like Vietnam can do it. The key is for the government [in Indonesia] to have the political will, feed-in tariffs and [attractive] prices so that investors can enter.”

Vietnam has turned into a solar power champion in the region, hitting its solar target six years early thanks to the government’s feed-in tariff that ensures a price of 9.35 U.S. cents per kilowatt-hour — thereby giving producers a financial incentive to invest in the sector.

As a result, Vietnam is experiencing a solar boom, with energy consultant Wood Mackenzie predicting the country’s installed solar capacity will reach 5.5 GW by the end of 2019, representing 44 percent of the total for Southeast Asia.

Last year, Vietnam’s installed solar capacity was just 0.134 GW.

Indonesia can also look to India’s transition as an example, said Lauri Myllyvirta, the lead analyst at the Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA). Both countries share similar demographics and a reliance on coal in their energy mix. India, however, has had greater success developing its renewables and easing away from coal, thanks to competitive auctions, according to Myllyvirta.

“So you make renewable energy providers compete for the lowest price and scale up the industry to bring down cost,” he said.

But with no policies in place in Indonesia to bring down the cost of renewables, development of clean energy alternatives will remain expensive, he said.

“If I drink a cup of coffee or eat rice in Australia, the cost is 10 times more expensive [than in Indonesia],” Myllyvirta said. “But if I want to build a solar PV, it’s more expensive in Indonesia. So we can see that the condition [for renewables] in Indonesia isn’t optimal yet. And this isn’t caused by geographical condition, because Indonesia has a lot of sun.”

Kuntoro Mangkusubroto, a former energy adviser to the Indonesian government and now head of the IESR-affiliated Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), agreed that Indonesia risked being left behind in the global transition from coal to renewables without a drastic change in its policies.

“There needs to be a regulation that’s revolutionary,” he said as quoted by local media. “In a short time, coal will become the enemy of the world. Yet Indonesia still depends on coal for its power plants. This has to change immediately.”

Note: This article is adapted from an article published on Nov. 10, 2019, at our Indonesian website: https://www.mongabay.co.id/2019/11/10/bangun-pltu-dan-lepas-hutan-bakal-gagalkan-komitmen-iklim-indonesia-bagaimana-cara-capai-target/

 

Artikel Asli

Pengamat Sebut Rudiantara Mampu Urusi PLN

Kamis, 28 November 2019//09:03 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dipandang mampu menahkodai PT PLN (Persero) oleh sejumlah pengamat energi. Anggapan mereka berikan lantaran Rudiantara pernah menjabat sebagai direktur di sejumlah perusahaan.

Pengalamannya dalam mengelola perusahaan bisa menjadi modal Rudiantara untuk memimpin PLN. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan kemampuan kepemimpinan menjadi hal utama yang dibutuhkan untuk menjadi bos di satu perusahaan, termasuk PLN.

Rudiantara, katanya, juga mampu berinteraksi cukup baik dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder).

“Rudiantara kan seorang profesional, sudah oke. Itu menjadi modal dan dia (Rudiantara) juga bisa berkoordinasi dengan stakeholder, termasuk teman-teman di parlemen. Stakeholder BUMN ini kan luas,” ungkap Komaidi kepada CNNIndonesia.com, dikutip Rabu (27/11).

Diketahui, sebelum Rudiantara menjadi menteri komunikasi dan informatika pernah menjadi wakil direktur utama di PLN. Jabatan diembannya pada 2008 hingga 2009 lalu.

Pengalaman tersebut bisa menjadi nilai tambah bagi Rudiantara jika benar-benar terpilih menjadi direktur utama di PLN. Kalau pun Rudiantara tak pernah mencicipi karir di PLN, Komaidi menyatakan hal itu bukan menjadi soal.

Sebab, masing-masing perusahaan tentu memiliki tim ahli sendiri yang mengurus detail berbagai sektor usaha yang dijalankan.

“Jadi istilahnya tidak perlu tahu bisa bermain musik detail, yang penting orkestra bisa berjalan dengan baik. Kepemimpinan yang utama, untuk teknis (energinya) ada tim ahlinya lagi,” papar dia.

Selain PLN, Rudiantara juga pernah menjadi Wakil Direktur Utama PT Semen Indonesia Tbk (Persero), Direktur Utama PT Rajawali Asia Resources, Direktur Hubungan Korporat PT XL Axiata Tbk. Lalu, ia juga pernah menjadi komisaris di PT Indosat Tbk.

Senada, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan Rudiantara pantas menjadi petinggi di PLN. Kemampuannya soal korporasi akan menjadi bekal mengurus perusahaan listrik milik negara tersebut.

“Saya kira secara bisnis oke. Kemampuan bisnisnya bagus,” ujar dia.

Hanya saja, Fabby mengingatkan bahwa PLN punya tantangan besar dalam lima sampai enam tahun ke depan. Salah satunya adalah penurunan laju permintaan listrik di sejumlah wilayah.

“Ada tantangan kelebihan pasokan listrik di Jawa Bali,” kata Fabby.

Di sisi lain, pemerintah memiliki program mega proyek 35 ribu Megawatt (MW) yang harus segera diselesaikan. Jika pasokan berlebih, nantinya akan ada risiko bagi keuangan PLN.

“Makanya, menurut saya realisasi 35 ribu MW itu harus bertahap. Kalau ada kelebihan pasokan, kondisinya nanti membebani keuangan PLN,” jelasnya.

Untuk itu, Rudiantara harus memutar otaknya untuk menjaga keuangan PLN jika permintaan listrik terus menurun. Belum lagi, pemerintah sedang mendorong PLN untuk mencari pendanaan sendiri guna memenuhi kebutuhan ekspansi dan operasionalnya.

Ia menambahkan PLN juga memiliki utang jatuh tempo dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Bila keuangan perusahaan memburuk, maka akibatnya akan fatal terhadap kewajiban bayar utang PLN.

“Jadi bisa dibilang kondisi dua hingga tiga tahun ke depan mengkhawatirkan,” pungkas Fabby.

Diketahui, nama Rudiantara senter disebut-sebut sebagai direktur utama PLN baru. Pihak Istana Kepresidenan menyebut bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah meneken surat keputusan bos baru PLN.

Namun, hal itu belum dikonfirmasi oleh Kementerian BUMN. Staf Khusus Kementerian BUMN Arya Sinulingga menyatakan pihaknya masih menunggu surat resmi dari Jokowi kepada Menteri BUMN Erick Thohir.

Artikel asli

Indonesia’s Ahok bags top job at state energy giant Pertamina – is a return to politics next?

23 November 2019//9.00

Former Jakarta governor Basuki Tjahaja Purnama, best known as Ahok, has been named the new president commissioner of Indonesian state energy giant PT Pertamina, sparking speculation of a return to politics following his jailing in 2017 for blasphemy.

The Christian and ethnic Chinese politician, who was released in January after serving a controversial two-year term behind bars for insulting Islam, was officially awarded the position on Friday following days of rumour among Indonesia’s political elite.

He will replace outgoing president commissioner Tanri Abeng.

The appointment was met with mixed reaction among economists and analysts in Jakarta. Some praised the move, saying it would help weed out corruption at Pertamina, which as of March had assets worth at least US$65 billion.

“I think if Ahok is going to fit into a state-owned enterprise, he is going to be the top man, since I can’t see him working well with someone over him,” said Keith Loveard, an analyst at Concord Consulting. “[But it might be] difficult at one of the really big firms like Pertamina where a degree of industry knowledge is helpful.

“He has experience in managing a large organisation and has demonstrated his capacity for searching out inefficiency and corruption. As long as he doesn’t get too opinionated – and we all know he has a habit of speaking out a lot – he is going to be a credit to the organisation.”

Ahok was first floated as a likely pick for the position earlier this month, and since then Indonesian media have responded positively.

Indonesian President Joko Widodo, himself a former governor of Jakarta until he handed the position to Ahok in 2014, has recently praised his record. “We know [the quality] of his work,” he said last Saturday, referring to Ahok’s performance as vice-governor between 2012 and 2014.

Ahok became the head of the capital by default in October 2014 when Widodo became president, and he served until 2017, building a reputation as a straight talker who was keen to cut red tape.

Gunarto Myrdal, an economist at Bank Maybank Indonesia in Jakarta, said Ahok had shown professionalism and integrity in the past, and was qualified for the position.

“A key figure like him would be fit to be a leader or executive at a strategic enterprise such as Pertamina or [electricity provider] Perusahaan Listrik Negara,” he said.

Ahok’s blasphemy conviction was the result of a comment he made while campaigning for re-election as Jakarta governor. He did not appeal against the sentence and opted to serve the term at a prison in Depok just outside the capital. He subsequently lost the election.

Born in Manggar in East Belitung island, he is a member of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI), which is Widodo’s political vehicle and the party with the most seats in the Indonesian legislature. The organisation is chaired by Megawati Sukarnoputri, daughter of late president Sukarno.

Ahok’s return to public life has sparked talk in recent days of a possible political comeback, but Loveard poured cold water on that idea.

“No, I don’t think that will happen. There has been a degree of protest even over a job for him in a state-owned enterprise, and I don’t believe any political party would want to take the risk of stirring up the hornets’ nest once more.”

Mohamad Qodari, an analyst and executive director of political consulting firm Indo Barometer, said Ahok’s political future had been terminated as he was now perceived in a negative light by many Indonesians, especially Muslims.

“I don’t see Ahok having a chance of returning to the political arena if you define political life as running for mayor or regent, for example. His name is now negative to the public due to his straight-talking behaviour.”

Fabby Tumiwa, executive director of the Institute for Essential Service Reform, said Ahok’s appointment raised concerns about the lack of clear procedures and criteria for talent scouting at state enterprises, especially at the policy decision level.

“I have not seen President Widodo announce anything on the criteria for picking executives,” Fabby said.

Rini Soemarno, the former cabinet minister previously in charge of state enterprises, had failed to implement proper mechanisms for hiring and firing, Fabby added, and executives at Pertamina had been appointed in a process seen as fishy. “Not to mention that state enterprises have been cash cows for political elites and bureaucrats,” he said.

Corporate organisational structure in Indonesia differs from that in many other countries. Indonesian firms have a board of commissioners chaired by a president commissioner. The board supervises management policies and advises the company’s board of directors, which is responsible for daily management and operations. The CEO, referred to as the president director in Indonesia, chairs the board of directors.

Erick Thohir, who took over as the minister for state enterprises this month, did not respond to requests for comment. Neither did his two vice-ministers, Budi Gunadi Sadikin and Kartika Wirjoatmodjo.

Artikel asli

Waduk untuk Pembangkit, PLN Menanti Kerja Sama Kementerian PUPR

14 November 2019//19:08 WIB

Bisnis.com, JAKARTA – PT PLN (Persero) mengaku telah mengajukan permohonan kerja sama ke Kementerian PUPR untuk mendapatkan ijin memanfaatkan waduk eksisting sebagai pembangkitan.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani mengatakan pembangunan pembangkit dengan memanfaatkan waduk eksisting akan mempercepat realisasi bauran EBT. Setidaknya, produsen listrik tidak perlu membangun bendungan maupun waduk untuk membangun PLTA sehingga waktu konstruksi dapat dipersingkat.

Sripeni mengatakan dengan memanfaatkan waduk milik Kementerian PUPR, pembangunan pembangkit listrik tenaga hydro dapat dilakukan dalam waktu tiga tahun atau lebih singkat dari biasanya yang selama lima tahun. Pada satu tahun pertama pengadaan pembangkit listrik tenaga hydro, PLN akan melakukan studi kelayakan (feasibility study/FS).

Setelah itu, dua tahun selanjutnya akan dilakukan pembangunan pembangkitan. Artinya, dalam tiga tahun saja, pembangkit tersebut sudah dapat beroperasi komersial (commercial operation date/COD).

Menurutnya, selain dapat mempersingkat waktu pengadaan pembangkitan, waduk yang dibangun Kementerian PUPR juga memiliki ukuran-ukuran besar sehingga potensi listrik yang dihasilkan juga akan sebanding besarnya.

“Tiga [tahun] sudah jadi dengan memanfaatkan itu, cuma masalahnya waduk ada yang memang secara teknis bisa dimanfaatkan, masih cukup lahan untuk plant stall atau teknologi-teknologi, masih ada yang perlu kita kaji dan kita perlu detailkan,” katanya, Kamis (14/11/2019).

Sripeni menegaskan rencana memanfaatkan waduk tersebut sangat penting untuk mempercepat bauran EBT 23% pada 2025. Apabila mendorong realisasi pengadaan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) akan membutuhkan waktu tujuh tahun.

Sementara itu, jika memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) maupun pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) , diakuinya, bisa lebih cepat. Hanya saja, sifat PLTS dan PLTB adalah intermiten sehingga tetap perlu dibangun pembangkit yang mampu menjadi beban dasar (base load).

PLN juga memiliki pilihan untuk memanfaatkan sumber daya biomassa setempat. Hanya saja, listrik yang diproduksi biasanya kecil dan juga memperlukan sosialisasi ke masyarakat.

“23% pada 2025, itu mesti kita rinci, karena ebt ini relatif. Saya lagi nunggu Menteri PUPR dan PLN sudah mengajukan permohonan kerja sama,” katanya.

Direktur Perencanaan PLN Syofvi Felienty Roekman mengatakan pihaknya menarget pada tahun depan kerja sama dengan Kementerian PUPR tersebut sudah dapat dilakukan.

Rencananya, salah satu lokasi yang potensi airnya akan dimanfaatkan sebagai waduk sekaligus pembangkit listrik  berada di Kalimantan Timur. Pembangunan pembangkit listrik tenaga hidro di Kalimantan Tiur bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik ibukota baru.

Menurutnya, meskipun nota kesepahaman belum ditandatangi, pihaknya dengan Kementerian PUPR telah melakukan diskusi panjang untuk membahas rencana tersebut. Rencana tersebut dinilai harusnya bisa terealisasi tahun depan mengingat kebutuhan listrik yang cukup besar di sejumlah lokasi, terutama ibu kota baru di Kalimantan Timur.

Apalagi, rencana memanfaatkan waduk sebagai pembangkit listrik di Kalimantan Timur sejalan dengan harapan pemerintah yang menginginkan pemanfaatan energi baru terbarukan 100% sebagai sumber bahan bakar pembangkit listrik di ibu kota baru.

Adapun berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019 – 2028, potensi energi primer di Kalimantan Timur meliputi cadangan Batu Bara 25 miliar ton, Uranium, Cadangan Gas Bumi 46 triliun standard cubic feet (TSCF), cadangan Minyak Bumi 985 Million Stock Tank Barrels (MMSTB), potensi Gas Metan Batu Bara (CBM) 108 TSCF, Air 830 MW, Bioenergi 13,5 MW, dan Surya 0,7 MW.

Pemerintah melalui Kementerian ESDM memprediksi kebutuhan tambahan tenaga listrik di ibu kota baru yakni sekitar 1.196 MW. Sedangkan, untuk menjamin keandalan dengan cadangan atau reserve margin 30%, dibutuhkan pembangunan pembangkit sekitar 1.555 MW.

Sembari menunggu nota kesepahaman tersebut diteken, PLN saat ini juga sedang menyusun rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2020 -2029 yang nantinya akan memetakan sejumlah lokasi yang akan menerapkan kerja sama tersebut. Penentuan lokasi sangat penting lantaran tidak lokasi yang berpotensi dibangun waduk memiliki kebutuhan listrik yang tinggi.

PLN perlu memetakan demand atau kebutuhan listrik sebelum menentukan lokasi mana yang waduknya dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan. Hingga saat ini, lokasi yang dapat dipastikan untuk dilakukan pemanfaatan waduk sebagai pembangkitan adalah di Kalimantan Timur.

“Kemarin yang diminta Kalimantan Timur karena ingginya suplai EBT sesuai kebutuhan, ekpektasinya untuk mendukung ibu kota baru,” katanya.

PLN akan mengincar pembangunan pembangkit listrik pada waduk-waduk baru yang akan dibangun. Pasalnya, waduk-waduk eksting saat ini memiliki debit air kecil sehingga tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk pembangkitan.

Apabila kerja sama tersebut disepakati, PLN dan PUPR akan duduk bersama dalam mengembangkan desain waduk sehingga dapat sesuai untuk memenuhi kebutuhan pembangkitan.

“Waktu pertama kali bangun aduk, kita merencanakan un sudah harus duduk bersama-sama membahas berapa debiy mau bikin bendungan, desainnya sama, kita sebut joint planning,” katanya.

Terpisah, Kementerian ESDM mengaku mendukung rencana PLN melakukan kerja sama dengan Kementerian PUPR dalam membangun pembangkitan di waduk maupun bendungan.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Harris mengatakan sebenarnya kerja sama dalam pemanfaatan nilai tambah waduk telah dilakukan. Hanya saja kerja sama tersebut dilakukan antara Kementerian ESDM dengan Kementerian PUPR dengan pemanfaatan nilai tambah waduk berupa pemenuhan air baku, untuk irigasi, dan pembangkit listrik.

Dalam perjalanannya, pemanfaatan waduk untuk pembangkit listrik menjadi terkendala sejak dirilisnya peraturan menteri (Permen) ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi baru terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Beleid tersebut mewajibkan setiap pembangunan pembangkit EBT harus dilakukan melalui mekanisme pengadanaan yang memerlukan proses seleksi.

Di lain sisi, lantaran waduk yang dibangun merupakan aset Kementerian PUPR, juga dilakukan pelelangan untuk konstruksi. Dua mekanisme lelang tersebut menjadi tumpang tindih dan menghambat pengembangan waduk sebagai pembangkitan.

“Nah memang potensi itu banyak, kan ada ratusan waduk bisa dikembangkan dan melalui kementerian pupr dilakukan semacam meningkatkan nilai tambah aset dengan mengundang partispasi swasta mengembangkan PLTMH, rencana listrik jual ke PLN, konsepnya seperti itu kmren ad kendala kita lagi berproses,” katanya.

Direktur Institute For Essential Services (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan kerja sama antara PLN dan Kementerian PUPR dalam memanfaatkan waduk sebagai pembangkitan seharusnya sudah dimulai sejak lama. Setidaknya, selain dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga hydro, waduk tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai PLTS terapung maupun pump storage.

PLTA pump strorage akan menyokong atau menjadi cadangan sumber daya pembangkit energi baru terbarukan (ebt) yang bersifat intermiten atau tidak stabil. Pump Storage akan memanfaatkan air yang dibendung untuk mengerakkan turbin dalam menghasilkan listrik.

“Menurut saya ini hal yang bagus untuk diterapkan, sepanjang layak teknis dan ekonomisnya. Waduk yang dirancang multipurpose bisa saja dikembangkan menjadi pembangkit listrik ,” katanya.

Artikel asli

Solar Langka, Pengusaha Angkutan Tekor Rp800 Juta

Sabtu, 16 November 2019//10:35

FAJAR.CO.ID,SURABAYA– Dampak sulitnya mencari solar bersubsidi kian meluas. Di Surabaya, misalnya, banyak angkutan yang telat masuk Pelabuhan Tanjung Perak gara-gara bahan bakar langka. Banyaknya truk yang ketinggalan kapal menghambat arus pengiriman barang.

Ketua Organda Khusus Pelabuhan Tanjung Perak Kody Lamahayu menjelaskan, ada beberapa jenis barang yang pengirimannya sedikit terlambat. Contohnya sembako, besi, dan kayu. ”Kebanyakan diangkut ke Kalimantan dan Sulawesi,” katanya.

Kelangkaan solar, menurut Kody, membuat pengusaha angkutan yang beroperasi di kawasan pelabuhan kelimpungan. Sebagian terpaksa meliburkan armadanya. Mereka mengaku tidak mampu membeli bahan bakar jenis dexlite yang lebih mahal dua kali lipat. ”Pekan depan kami akan rapat. Jika masih langka, kami akan berhenti beroperasi,” ucap Kody. Dia mengungkapkan, banyak pemilik angkutan yang kena tegur pengguna jasa gara-gara barang yang dikirimnya molor.

Ketua DPC Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Surabaya Putra Lingga membeberkan, dalam sehari truk bisa mengangkut barang dua kali. Setelah solar langka, kendaraan hanya bisa sekali melakukan perjalanan.

”Ruginya rata-rata Rp 500 ribu sehari,” katanya. Menurut Putra, saat ini ada 1.600 anggota Aptrindo Surabaya. Jika dijumlahkan, total kerugian mencapai Rp 800 juta dalam sehari. ”Namun, perlu ditegaskan, saat ini kami masih memutuskan untuk jalan. Tidak ada stop operasi,” tambah dia.

Hal senada diungkapkan Sekjen Aptrindo Jatim Eddo Adrian Wijaya. Dia mengaku tidak pernah diberi perincian mengenai berapa solar yang bisa didistribusikan hingga akhir tahun. Karena tidak ada sosialisasi, sebagian besar pengusaha menolak pembatasan solar. Ketika saat ini stok solar menipis, mereka ingin ada komunikasi yang transparan, baik dari pemerintah maupun Pertamina.

”Karena kami ini, mau enggak mau, harus menaikkan tarif pengiriman barang 40 sampai 60 persen. Harga dexlite kan mahal lebih dari 100 persennya solar,” ujarnya. Padahal, rata-rata klien menolak kenaikan tarif tersebut. Sementara pengusaha truk tidak memiliki solusi lain selain menaikkan tarif pengiriman barang.

Eddo mengingatkan pemerintah agar memikirkan risiko inflasi yang timbul akibat menipisnya persediaan solar. Sebab, banyak pengiriman logistik yang tertunda, pembayaran sopir yang lebih mahal, dan pengeluaran untuk membeli dexlite yang membuat pengusaha tekor. Pengiriman barang untuk ekspor juga tertunda.

Akibatnya, harga barang semakin mahal. ”Ya artinya tidak hanya pengaruh ke kenaikan harga barang untuk domestik, tapi barang yang mau diekspor juga jadi lebih mahal. Belum lagi pengiriman barang ke luar negeri terlambat. Nanti bisa inflasi dan barang ekspor kita tidak bisa bersaing di pasaran,” jelasnya.

Akibat Pengurangan Kuota

Kosongnya stok solar bersubsidi di SPBU-SPBU telah menghambat aktivitas masyarakat dan pelaku bisnis. Kelangkaan solar tersebut ditengarai sebagai buntut lebih rendahnya kuota solar bersubsidi tahun ini jika dibandingkan dengan tahun lalu. Ditambah dugaan tidak optimalnya kontrol konsumsi dan distribusi.

”Hampir bisa diprediksi (kelangkaan solar, Red). Memang kuota tahun ini lebih rendah daripada tahun lalu. Padahal, seharusnya kuota tahun ini ditambah karena asumsi pertumbuhan ekonomi masih di atas 5 persen,” ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman kepada Jawa Pos kemarin (15/11).

Petugas SPBU Gunung Gedangan, Kota Mojokerto, bersantai karena stok solar kosong. (Sofan Kurniawan/Jawa Pos Radar Mojokerto)
Mengenai alasan lebih rendahnya kuota tahun ini daripada tahun lalu, Kyatmaja yang sebelumnya berdiskusi dengan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan bahwa anggaran 2019 tidak mencukupi. Karena itu, kuota solar bersubsidi diturunkan dari 15,6 juta kiloliter tahun lalu menjadi 14,5 juta kiloliter tahun ini.

”Angka tersebut sedari awal sudah disinyalir kurang. Kami mengkhawatirkan November dan Desember tersendat. Ternyata, benar-benar terjadi di lapangan,” ungkapnya.

Di samping masalah kuota tersebut, Kyat menyoroti kontrol distribusi dan konsumsi solar bersubsidi di lapangan. Pada kesempatan sebelumnya, Pertamina sempat menyinggung solar bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Dia berpendapat, memang ada berbagai kejanggalan di sejumlah titik kelangkaan solar.

”Pertamina pernah membeberkan bahwa ada dua daerah yang konsumsi solar subsidinya lebih tinggi daripada Pulau Jawa. Yaitu, Riau dan Kaltim. Ini kan aneh,” katanya.

Sebab, jumlah penduduk Jawa jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Riau dan Kaltim. Selain itu, dua daerah tersebut didominasi sektor CPO (crude palm oil) dan pertambangan yang armada truknya tidak boleh menggunakan solar bersubsidi.

Secara regulasi, memang ada kendaraan-kendaraan yang dibatasi untuk menggunakan solar bersubsidi. Antara lain, kendaraan pengangkut hasil perkebunan (perkebunan besar), kehutanan, dan pertambangan dengan roda lebih dari enam, baik dalam kondisi bermuatan maupun kosong. Selanjutnya, larangan penggunaan solar bersubsidi juga diberlakukan pada mobil tangki BBM, CPO, dump truck, truk trailer, serta truk molen (pengangkut semen).

Aptrindo sudah mendapat laporan dari anggota di tiga daerah yang mengeluhkan kesulitan mendapatkan solar. Tiga daerah yang dimaksud adalah Banten, Surabaya, dan Jambi. Menurut Kyat, tak ada pilihan selain menunggu distribusi kembali normal. Pihaknya kini menginventarisasi daerah mana saja yang kesulitan solar untuk kemudian dilaporkan ke pemerintah pusat.

Di pihak lain, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menduga kelangkaan itu memang terjadi by design. Pertamina sengaja mengendalikan volume distribusi. Terutama untuk solar. ”Solar disubsidi dengan kuota tertentu. Saya duga kuotanya sudah mau habis. Jadi, peredarannya harus dikendalikan supaya subsidinya tidak membengkak,” ulasnya.

Dalam subsidi tersebut, Pertamina memiliki perhitungan soal interval kuota yang harus diberikan. Sementara saat ini kuota itu diduga sudah melebihi ambang batas. ”Makanya dikendalikan. Terlebih, akhir tahun kan masih 1,5 bulan lagi,” ucapnya.

Karena dikhawatirkan bikin rugi dan berpengaruh ke keuangan internal, diambil langkah tersebut. Dengan begitu, diharapkan pengguna beralih ke Pertamina dex atau lainnya yang harganya lebih mahal.

Sementara itu, Pertamina tak memberikan jawaban saat dimintai konfirmasi oleh Jawa Pos. VP Corporate Communications Pertamina Fajriyah Usman hanya memberikan keterangan resmi yang berisi pernyataan bahwa Pertamina akan memastikan ketersediaan solar bersubsidi di SPBU untuk mencukupi kebutuhan konsumen.

”Untuk menjaga keandalan distribusi ke masyarakat, Pertamina menambah sekitar 20 persen suplai solar untuk memastikan pemerataan penyaluran dan percepatan distribusi,” ujar Fajriyah kemarin. (JPC)

Artikel asli

IESR: Posisi Dirut Definitif PLN Berikan Kepastian

Kamis, 31 Oktober 2019 01:32 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan direktur utama (dirut) dan direksi definitif akan memberikan kepastian bagi PLN dan juga mitra-mitra PLN. Fabby menyampaikan posisi Sripeni Inten Cahyani yang hingga kini masih menjabat sebagai pelaksana tugas (plt) dirut PLN dirasa belum cukup ideal dalam melakukan sejumlah program di PLN lantaran persoalan status.

Meskipun begitu, kata Fabby, penting bagi Menteri BUMN Erick Thohir mempunyai konsep untuk memperkuat tata kelola PLN dan struktur manajemen yang dapat membuat PLN efektif mengatasi tantangan ke depan. Ini termasuk mencari kriteria direksi yang dapat menghadapi tantangan tersebut.

“Jadi walaupun ada urgensi tapi sebaiknya tidak buru-buru atau grasa-grusu, tapi saya harapkan di awal 2020 sudah ada direksi (PLN) definitif,” lanjutnya.

Pantauan Republika.co.id, Plt Dirut PLN Sripeni Inten Cahyani terlihat mendatangi Kantor Kementerian BUMN pada Rabu (30/10) sekira pukul 13.00 WIB. Inten didampingi Direktur Pengadaan Strategis I PLN Djoko Rahardjo Abumanan. Inten enggan memberikan jawaban saat ditanya tentang wacana adanya dirut definitif PLN. Dia menilai kehadirannya ke Kantor Kementerian BUMN tidak ada kaitannya dengan posisi dirut PLN yang masih lowong.

“Menghadap Pak Deputi (Kementerian BUMN), mau konsolidasi, update saja,” kata Inten.

Artikel asli

Batubara Masuk Komponen Tarif Listrik

Rabu, 30 Oktober 2019/ 22:46 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Keputusan pemerintah memasukkan harga patokan batubara menjadi salah satu faktor dalam penentuan penyesuaian tarif listrik menuai tanggapan dari sejumlah pihak.

Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan ketiga atas Permen ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang tarif tenaga listrik yang disediakan oleh PT PLN (Persero).

Dengan beleid yang diteken oleh Menteri ESDM Ignatius Jonan pada 10 Oktober 2019 saat itu, PLN dapat melakukan penyesuaian tarif pada 13 golongan pelanggan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan, pemerintah perlu memperhatikan aspek transparansi.

“Perlu dijelaskan kepada publik berapa harga energi primernya, dan komponen lainnya berapa sehingga nanti bisa diawasi. Jika dalam keseluruhan biaya produksi turun ya tarif turun, dan sebaliknya,” sebut Fabby kepada Kontan.co.id, Rabu (30/10).

Lebih jauh Fabby menjelaskan, penetapan tarif biasanya didasari dengan asumsi atau acuan harga energi primer yang menyumbang terhadap produksi listrik PLN. Perubahan pada energi primer ini lah yang akan berdampak pada naik atau turunnya tarif selain komponen inflasi dan nilai tukar.

Poin tersebut yang dinilai Fabby penting untuk disampaikan kepada publik. Fabby menilai kehadiran komponen batubara akan berdampak positif bagi PLN.

Dalam catatan Kontan.co.id, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengaku tak lagi bersikeras meminta perpanjangan harga patokan batubara untuk kelistrikan sebesar US$ 70 per ton yang akan berlaku hingga akhir tahun ini.

Pelaksana Tugas Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani mengungkapkan, pihaknya mengambil langkah tersebut lantaran pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menetapkan 13 golongan tarif tenaga listrik yang akan terkena penyesuaian tarif alias tariff adjustment.

“Nggak (meminta diperpanjang harga patokan batubara US$ 70 per ton) kalau sudah ada tariff adjustment. Karena memperhitungkan bagaimana fluktuasi harga batubara acuan sebagai indikator kebijakan (penyesuain tarif),” ungkap Sripeni saat ditemui di peluncuran SPKLU di kawasan BSD, Serpong, Senin (28/10).

Tariff adjustment tersebut bisa dilaksanakan setiap tiga bulan apabila terjadi perubahan, baik peningkatan maupun penurunan salah satu dan/atau beberapa faktor yang dapat mempengaruhi Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik.

Beleid tersebut menyebutkan empat faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian BPP, yakni: nilai tukar dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah (kurs), Indonesian Crude Price (ICP), inflasi, dan harga patokan batubara.

Artinya, turun atau naiknya tarif listrik untuk 13 golongan tersebut bergantung dari pergerakan harga keempat komponen tersebut.

“Jadi ini kan sebagai antisipasi karena harga patokan berakhir di tahun ini. Saat ini harga batubara sedang rendah, dan saat yang tepat untuk merumuskan kembali,” kata Sripeni.

Saat ini, harga batubara yang tercermin dari Harga Batubara Acuan (HBA) memang terus menurun di bawah harga patokan US$ 70 per ton. Bahkan, HBA Oktober 2019 telah menyentuh US$ 64,8 per ton, terendah dalam tiga tahun terakhir.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia berharap kehadiran aturan ini dapat berdampak positif bagi industri batubara.

“Kami berharap PLN dapat membeli batubara dengan harga pasar, dengan demikian akan turut mendukung perbaikan kondisi batubara nasional,” jelas Hendra kepada Kontan.co.id, Rabu (30/10).

Lebih jauh Hendra menjelaskan, harga batubara berpeluang membaik pada November mendatang kendati tidak signifikan. Menurut Hendra, jelang akhir tahun di mana memasuki musim dingin, permintaan batubara akan cenderung meningkat.

Artikel asli