Rabu, 03 Juni 2020 / 18:16 WIB
Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Situasi pandemi Corona dan belum rampungnya regulasi membuat investasi di sektor energi baru terbarukan (EBT) masih menemui hambatan sepanjang tahun ini.
Sebagai catatan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan perolehan investasi sektor EBT di tahun 2020 sebanyak US$ 2 miliar. Nilai investasi tersebut diharapkan dapat terus meningkat menjadi US$ 20 miliar hingga tahun 2024 mendatang. Hal ini guna mendorong target bauran EBT di Indonesia sebanyak 23% di tahun 2025 nanti.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, pemerintah menargetkan penambahan pembangkit EBT sebanyak 686 megawatt (MW) menjadi 10,84 gigawatt (GW) di tahun ini.
Jika dirinci, kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) ditargetkan naik 165,2 MW menjadi 6.050,7 MW di tahun ini. Kemudian, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) naik 140,1 MW menjadi 2.270,7 MW, Pembangkit Listrik Berbasis Bioenergi naik 246,9 MW menjadi 2.131,5 MW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) naik 116,5 menjadi 231,9 MW.
Adapun kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Bayu tetap di level 154,3 MW di tahun ini. Begitu pula dengan Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid yang tetap di level kapasitas 4 MW.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, seluruh investasi di sektor EBT yang meliputi pembangunan pembangkit listrik EBT dan infrastruktur EBT non listrik seperti biodiesel sulit mencapai target US$ 2 miliar di tahun ini. Belum cukup, kondisi investasi EBT di tahun tahun depan juga diperkirakan tidak bisa pulih 100%.
Sebab, untuk tahun ini saja lelang-lelang proyek pembangkit oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mengalami penundaan. Bahkan, di tahun lalu tidak ada lelang proyek besar dari PLN, kecuali proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Bali berkapasitas 2×25 megawatt (MW).
Lalu, proyek-proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTMH) juga masih tertunda. “Kemungkinan investasi EBT bisa pulih di tahun 2022 dengan catatan pandemi Corona tak berlarut-larut lewat dari kuartal II-2020,” ungkap dia, Rabu (3/6).
Ia menyebut, untuk saat ini proyek EBT yang paling realistis dibangun dengan cepat adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) maupun PLTS Atap. Pasalnya, proyek ini tidak memerlukan survei terlalu lama dan masa persiapan proyeknya bisa di bawah 18 bulan. Adapun masa konstruksinya berkisar 9-12 bulan.
Perkiraan Fabby, ada potensi kapasitas sebanyak 200 MW-300 MW dari proyek PLTS yang bisa dieksekusi pemerintah dengan peluang investasi sekitar US$ 160 juta-US$ 240 juta. Akan lebih bagus lagi apabila pemerintah juga memaksimalkan segmen PLTS Atap.
“Kalau tahun depan pemerintah mau dapatkan investasi EBT cepat, caranya adalah memberikan kesempatan kepada industri dan komersial untuk memasang PLTS atap,” terangnya.
Lebih lanjut, tantangan mencapai target investasi EBT tak hanya dari keberadaan pandemi Corona, melainkan kepastian hukum yang belum kunjung didapat para pelaku usaha di sektor tersebut.
Saat ini, para investor masih menunggu penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Feed in Tariff EBT hingga implementasi Peraturan Menteri ESDM No. 4 Tahun 2020 utamanya terkait poin purchasing power agreement (PPA) antara PLN dan pengembang. “Selain itu, investor perlu stimulus pasca Covid-19 lewat program nasional,” tambah Fabby.
Dia mencontohkan, di Malaysia terdapat program LSS@MEnTARI yaitu pengadaan PLTS 2×500 MW untuk menarik investasi 4 miliar ringgit Malaysia. Program ini dibuka untuk perusahaan domestik dan diharapkan dapat menciptakan 12.000 lapangan kerja.
“Ini contoh bagaimana pemerintah menciptakan proyek yang memberi dampak berganda untuk mengatasi kondisi investasi lesu karena wabah Corona,” pungkasnya.