Oleh: Dwitho Frasetiandy (Walhi Kalsel)
Dalam tulisan saya sebelumnya, pembahasan memang lebih ditekankan pada bagaimana kita coba ”membuka” daerah gelap yang selama ini hampir sama sekali tidak terjamah oleh masyarakat awam yaitu transparansi di sektor industri ekstraktif. Untuk bagian ini saya akan coba mengangkat bagaimana transparansi yang ada di sektor industri ekstraktif terkait dengan bagaimana daya rusaknya terutama di sektor pertambangan batubara yang ada di Kalimantan Selatan.
Potret Daya Rusak Tambang Batu bara Kalsel
Tambang batu bara sendiri hingga saat ini masih menjadi ”kutukan” ataupun paradoks bagi daerah yang kaya akan sumber daya alam, empat hal yang selalu menjadi potret daya rusak tambang yang ada di Kalsel saat ini misalnya adalah masalah kerusakan lingkungan, pemiskinan masyarakat sekitar tambang, tidak terjaminnya keselamatan masyarakat sekitar tambang, dan juga konflik dan pelanggaran HAM.
Inilah hal-hal yang terus saja ada dan menjadi ”hantu” yang selalu membayangi adanya industri pertambangan batu bara. Selain hal-hal umum yang disebutkan tersebut banyak hal-hal spesifik lain yang menggambarkan bagaimana masifnya daya rusak tambang batu bara yang ada sekarang ini misalnya,
Pertama, ancaman krisis pangan dan lahan, tambang batu bara adalah industri yang rakus lahan. Meningkatnya pengerukan batubara dalam sepuluh tahun terakhir artinya kebutuhan lahan untuk dikeruk tentunya juga meluas. Lahan-lahan itu, termasuk lahan produktif. Banyak lahan produktif, yang dulunya berupa sawah, ladang, perkebunan sungai bahkan pemukiman beralih menjadi kawasan tambang. Tak sedikit desa yang kemudian hilang dari peta beralih jadi kawasan tambang, seperti di desa Lamida atas yang tergusur akibat adanyanya tambang PT Adaro.
Dalam kurun waktu 8 tahun saja sejak tahun 2000-2008 dengan 23 buah PKP2B dan 380 Kuasa Pertambangan (KP) yang mengkapling sekitar 1,8 Juta Hektare lahan di Kalimantan Selatan atau sepertiga dari luas kalsel yang mencapai 3,7 Juta Hektare. Kedepan, Alih fungsi lahan ini akan menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan warga setempa, mengingat kawasan – tersebut adalah penghasil pangan warga setempat. Tentunya dengan makin banyak lahan-lahan mata pencaharian masyarakat.
Di tahun 2009 saja sudah terjadi 21 kali banjir dan ada sekitar lebih dari 15.000 hektar persawahan yang terendam banjir. Tercatat 11 dari 13 kabupaten/kota di Kalsel merupakan daerah langganan banjir dan tanah longsor setiap tahunnya. Daerah tersebut meliputi Kabupaten Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Barito Kuala, Tanah Laut, dan Kotabaru. Kabupaten Hulu Sungai Utara, Banjar, dan Tanah Bumbu merupakan daerah paling rawan terhadap ancaman bencana ini. Untuk Kota Banjarmasin juga tidak aman karena rob atau pasang laut selalu terjadi dan merendami permukiman warga. Menurut catatan Dinas Kessos Kalsel, sepanjang 2009, korban bencana alam ini mencapai 19.366 keluarga dengan taksiran kerugian Rp3 miliar lebih.
Kedua, adalah masalah daya rusak terkait krisis air dan pencemaran. Tak hanya rakus lahan. Pengerukan batubara juga rakus air. Pola penambangan terbuka tidak saja mengganggu sistem hidrologi tanah tetapi juga seluruh kegiatan warga yang bergantung pada sungai. Pengerukan batu bara mengakibatkan sungai menjadi hilang juga meningkatkan pendangkalan badan sungai. Lokasi penimbunan atau stockpile batu bara yang biasanya ada di dekat kawasan sungai berpotensi mencemari air sungai. Krisis air adalah keniscayaan bagi warga sekitar pertambangan batu bara. Warga di sekitar industri pertambangan selalu mengeluhkan sulitnya mendapatkan air bersih saat kegiatan pertambangan berlangsung. Pelajaran ini bisa kita dapat dari beberapa kasus tambang yang ada.
Sebagai gambaran, di daerah Sungai Danau – Kabupaten Tanah Bumbu, tepatnya di kawasan sekitar tambang PT Arutmin. Dulunya warga menggunakan air “guntung”, sebutan untuk sungai-sungai kecil disana untuk kebutuhan air harian. Saat ini warga harus membuat sumur sejak guntungnya rusak. Demikian pula dengan warga desa Sungai Cuka – kecamatan Satui, semenjak air sumur mereka kering. Mereka harus membeli pipa agar bisa mengambil air dari lubang bekas tambang milik Arutmin yang ditelantarkan dan terisi oleh air hujan. Jarak lubang tambang dari pemukiman hanya sekitar 25 hingga 30 meter. Begitu pula dengan masyarakat yang ada di sekitar pertambangan PT Adaro di Kabupaten Tabalong, tong-tong berjejer dirumah di depan rumah menjadi pemandangan biasa Entah apa jadinya dikemudian hari, ketika perusahaan tambang tersebut sudah menutup dan mengakhiri kegiatan pertambangannya. Siapa yang akan mengisi tong-tong air tersebut diatas, sementara tidak ada lagi sumber air yang bagus.
Belum lagi hal yang lebih besar yang dapat berdampak ke masyarakat yang ada di hilir, seperti misalnya, salah satu kasus yang terjadi adalah sistem pembuangan air limbah penambangan oleh perusahaan pertambangan batu bara PT Tanjung Alam Jaya yang menuju Sungai Riam Kiwa, Kabupaten Banjar, Kalsel yang menyebabkan kekeruhan air sangat parah karena banyaknya jumlah sedimen yang terbawa arus dari pertambangan. Tingkat kekeruhan air di sungai itu sudah mencapai 438 miligram per liter. Padahal, toleransinya 400 miligram per liter.
Selain itu yang baru-baru saja terjadi adalah pencemaran sungai balangan yang disebabkan oleh ”meluapnya” limbah PT Adaro. Ribuan warga di 4 Kecamatan Kabupaten Balangan yakni Kecamatan Paringin, Juai, Paringin Utara dan Kecamatan Lampihong saat ini tidak bisa mengakses langsung air sungai Balangan untuk keperluan sehari-hari. Demikian juga yang dialami masyarakat di 4 Kecamatan Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kecamatan Amuntai Tengah, Babirik, Sei Pandan dan Banjang). Terganggunya operasional PDAM di Balangan dan Amuntai hingga terhentinya layanan distribusi air bersih ke warga selama 3 hari. Keruhnya sungai Balangan ini juga menyebabkan biaya tinggi bagi PDAM dalam memproduksi air bersihnya.
Dan celakanya sungai-sungai seperti, sungai Martapura, balangan dan barito bukanya hanya menjadi konsumsi warga sekitar tambang saja tapi terus dikonsumsi hingga di warga perkotaan, menurut penelitian BLHD Provinsi Kalsel saja di Banjarmasin hampir seluruh sungainya tercemar oleh logam berat, untuk pencemaran yang disebabkan pertambangan batu bara dan besi (Fe) sebesar 16,209, semestinya batas normalnya hanya 0,3. Timbal (Pb) sudah mencemari sebesar 0,125 untuk batas normalnya hanya 0,3.Sungai Barito dan Sungai Martapura yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di Kalsel terbukti telah tercemar berbagai unsur logam berat. Kondisi air sungai mempunyai tingkat kekeruhan tinggi dengan total suspended solid (TSS) mencapai 182-567 mg/l jauh di atas standar 50 mg/l. Kadar DO mencapai 5 mg/l dengan standar -6 mg/l. Jika dibiarkan tanpa ada komitmen serius untuk menanggulanginya, bukan tidak mungkin kasus yang pernah menimpa masyarakat buyat pante akibat pertambangan PT Newont bisa terulang.
Itu belum ditambah dengan masalah lain terkait dengan rusaknya 6 dari 12 DAS di empat kabupaten yang kondisinya sangat kritis karena sebagian besar tidakberhutan lagi dan lingkungan sungai-sungai yang buruk. Enam DAS yang sangat kritis itu adalah DAS Barito pada daerah dua sub- DAS (Riam Kiwa dan Kanan) di Kabupaten Banjar. Di Kabupaten Tanahlaut terjadi pada DAS Tabonio dengan sub-DAS (Asam- asam, Sawangan, dan Sabuhur). Selain itu juga pada DAS Kintap, yakni sub-DAS Kintap dan Kintap Kecil. Yang hulunya terdapat pertambangan batu bara, perkebunan sawit skala besar dan perkebunan monokultur. Aktivitas-aktivitas perusakan lingkungan ini telah menghabiskan tutupan lahan dan mengancam keberadaan daerah aliran sungai (DAS) yang ada di kalsel.
Ketiga, Konflik horizontal dan banyak pelanggaran HAM juga menjadi potret yang menyedihkan dari daya rusak tambang yang ada. Dalam pertambangan batubara konflik adalah hal biasa jika industri tambang masuk yang pertama muncul pada pertambangan skala besar, berijin PKP2B dan Kontrak Karya, biasanya konflik horisontal antar warga yang setuju dengan setuju dan yang menolak tambang, baik itu terkait lahan dan permaslahan lainnya. Konflik juga muncul di tingkat warga dengan pemerintah daerah dan perusahaan tambang. Rasa tidak aman warga menjadi sangat terasa, saat pemerintah dan aparat menjadi pelindung perusahaan tambang.
Salah satu contohnya di Kabupaten Balangan, tepatnya di kawasan pengerukan PT Adaro. Perusahaan telah membuka tambangnya sejak tahun 1991. Tambang skala besar tersebut telah menggusur dua desa, yaitu Lamida Atas di Kecamatan Paringin dan Wonorejo di Kecamatan Juai. Perluasan tambang PT Adaro di tahun 2003 membuat dua desa itu lenyap dari peta. Perusahaan melakukan pembebasan lahan dan memaksa warga pindah ke desa lain setelah diganti rugi. Ironisnya lagi saat ini desa yang direlokasi itu akan kembali direlokasi karena daerah yang mereka tempati sekarang akan dijadikan areal perluasan untuk conveyor batu bara PT Adaro, ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Potret-potret kecil daya rusak tambang di atas hanya lah sebagian kecil dari banyak permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh dampak buruk pertambangan batubara, dan tidak cukup dituliskan dalam tulisan saya ini, tapi paling tidak dari contoh-contoh diatas menggambarkan betapa industri ekstraktif khususnya pertambangan batu bara tidak berdampak siginifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.
Transparansi Sebagai Sebuah Solusi Jawaban?
Banyak pertanyaan memang yang mengemuka apakah transparansi di dalam sektor industri ekstraktif khususnya batubara akan menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat daya rusaknya, saya pikir tidak juga menyelesaikan masalah besar terkait dengan daya rusak tambangnya, tapi paling tidak dengan transparansi di sector ini sedikit banyak akan mengurangi potensi kerugian Negara akibat maraknya praktek korupsi yang ada di sektor ini yang sudah sejak lama menjadi “lahan basah” bagi para pelakunya.
Lalu selanjutnya adalah masyarakat umum tahu seberapa banyak sebenarnya manfaat yang mereka dapat dari maraknya pertambangan batubara yang ada di daerahnya sehingga harapan ke depannya adalah masyarakat tahu apa yang paling tidak bisa mereka lakukan untuk terus mendukung ataupun “mengganggu” industri pertambangan yang ada di Kalsel. Namun penting juga kiranya adalah bahwa setransparan apapun industry pertambangan –terkait pendapatan dan dana bagi hasilnya- kita tidak hanya bisa menempatkan pendapatan sebagai satu-satunya indikator untuk “melegalkan” industri tambang batu bara, yang jauh lebih penting adalah bagaimana kita melihat daya rusak tambang yang ada, saya kira seberapa besar pun keuntungannya tidak akan mampu untuk “membayar ongkos” daya rusak tambang yang ada. Jadi mungkin tidak akan ada istilah bahwa “Tambang boleh nambah terus asal transparan”, pendapat yang keliru juga saya kira.
Dan apakah saat ini transparansi dapat dijadikan “alat” untuk “menelanjangi” potret buruk industri batu bara? Saya pikir itu sangat lah mungkin tapi tidak lantas hanya menempatkan isu transparansi ini tanpa mendudukkan fakta terkait daya rusaknya. Dan jangan pula lantas kita terjebak hanya dalam isu transparansi. Tapi sebagai bagian dari “menelanjangi” bobroknya sistem pengelolaan industri ekstraktif dari sector hulu hingga hilir transparansi menjadi isu yang juga sangat krusial. Jadi di hulunya ada masalah kerusakan dan dihilirnya adalah masalah ketidaktransparanan. Klop lah sudah gambaran buruknya pengelolaan industry ekstraktif kita.
Sudah merusak, tidak transparan, menunggak royalti, korup pula…!!!