IESR, Warsawa (11/11). Mulai 11 sampai 22 November 2013, para utusan khusus, menteri, delegasi pemerintah, dan masyarakat sipil serta pelaku usaha akan berkumpul di ibu kota Polandia, Warsawa, untuk mengikuti UNFCCC COP-19/CMP-9. Perundingan di Warsawa dimaksudkan untuk mendiskusikan kesepakatan baru atas penurunan emisi gas rumah kaca yang melibatkan negara-negara maju dan berkembang dapat dilakukan setelah tahun 2020.
Walaupun tidak diharapkan pertemuan di Warsaw menghasilkan keputusan penting, tetapi hasil pertemuan selama dua minggu mendatang yang berlangsung di Stadion Nasional yang menjadi tempat perhelatan piala dunia 2010 lalu, sangat krusial sekaligus sebagai indikator apakah kesepakatan internasional dapat tercapai pada COP-21 di Paris, tahun 2015 mendatang.
Kesepakatan tersebut sangat penting bagi masa depan bumi dan umat manusia. Bulan September lalu, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengeluarkan laporan AR-5 yang menyatakan bahwa manusia adalah penyebab utama perubahan iklim, dengan derajat kepastian lebih dari 95%. Hal ini dilakukan, salah satunya, melalui pembakaran bahan bakar fosll (minyak bumi, gas alam dan batubara). IPCC telah menaikkan proyeksi kenaikan muka air laut, dan mengkaji dampak akibat percepatan pemanasan global di berbagai kawasan (regional).
Sejak laporan sebelumnya, IPCC telah memperingatkan bahwa untuk menghindari kenaikan temperatur bumi diatas 2oC pada akhir abad ini, maka emisi gas rumah kaca (GRK) harus mencapai puncak dan turun pada 2020-2050, serta zero-net emisi pada paruh kedua abad ini. Keputusan ini harus melibatkan negara-negara maju dan berkembang, sesuai dengan prinsip-prinsip UNFCCC yaitu Common But Differentiated Responsibility (CBDR) dan Equity.
Kesulitan terbesar adalah bagaimana membagi porsi emisi GRK yang harus diturunkan oleh setiap negara. Sejak revolusi industri pada pertenghaan abad 18 hingga akhir abad 20, sejumlah kecil negara, yang dikenal sebagai kelompok negara maju, bertanggung jawab atas lebih dari dua pertiga emisi GRK. Sejak pembicaraan tentang hal ini dimulai di KTT Bumi di Rio tahun 1992, terjadi pertentangan antara negara maju, berkembang dan misikin, siapa yang harus bertanggung jawab atas pemanasan global dan upaya mengatasinya.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang disepakati tahun 1992 tetapi baru teratifikasi tahun 1994, memberikan tanggung jawab utama penurunan emisi GRK kepada negara-negara maju yang dikategorikan sebagai negara-negara “Annex-1”. Seiring dengan perjalanan waktu, sejumlah negara pengemisi utama seperti GRK menolak untuk berpartisipasi sesuai dengan konvensi. Amerika yang bertanggung jawab atas 40% emisi global hingga tahun 1990, menolak menyepakati Protokol Kyoto yang mengatur pembagian penurunan emisi GRK diantara negara “Annex-1”. Sejumlah negara industri lain seperti Canada dan Jepang, menolak bergabung dengan Protokol Kyoto di periode komitmen kedua yang berlangsung setelah 2012.
Di COP-15 Copenhagen yang berakhir kurang menyenangkan, terdapat kesepakatan diantara sejumlah pemimpin negara untuk memberikan janji penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan oleh setiap negara yang bersangkutan secara sukarela. Indonesia, misalnya memberikan janji penurunan emisi GRK sebesar 26% dari skenario BAU pada tahun 2020.
COP-17 di Durban tahun 2011 sepertinya mengembalikan harapan kesepakatan aksi global untuk mengatasi dan menghadapi dampak perubahan iklim. Di Durban sebuah platform negosiasi baru yaitu Ad Hoc Working Group on Durban Platform for Enhanced Action (ADP) disepakati. Platform baru dibawah Konvensi dimaksudkan dapat menyepakati protokol emisi GRK yang baru dan universal pada tahun 2015 dan berlaku pada periode setelah 2020. Track negosiasi ini mencakup diantaranya mencari cara dan kesepakatan untuk meningkatkan lebih lanjut aksi penurunan emisi GRK di tingkat nasional dan internasional.
Di Warsawa, negosiasi ditujukan untuk menghasilkan kesepakatan mengenai isi dan elemen dari kesepakatan 2015, dan rencana serta strategi aksi untuk dapat memangkas gap ambisi sebelum tahun 2020.
Sejumlah negara berkembang, telah menegaskan bahwa negara-negara maju harus menunjukkan leadership mereka dalam penurunan emisi GRK, dan bertanggung jawab untuk memenuhi komitmen pendanaan, kapasitas dan teknologi yang memampukan negara berkembang untuk melakukan adaptasi dan mitigasi, sesuai ketentuan Konvensi.
Bagi negara maju, sejumlah negara berkembang harus punya rencana yang ambisius untuk menurunkan emisi GRK. Mereka berpendapat bahwa gabungan emisi GRK negara berkembang akan melampaui emisi GRK negara maju setelah tahun 2020. Secara kumulatif, emisi GRK Cina telah melampaui AS sejak beberapa tahun lalu, Adapun emisi India, Brasil, Afrika Selatan, Indonesia dan negara-negara penghasil minyak di teluk mengalami kenaikan.
Menilik dari pengalaman selama ini, kesepakatan multilateral sangat kompleks dan njlimet. Berbagai cara dan argumen akan dipakai oleh sejumlah negara untuk lepas dari tanggung jawabnya. Hasil Warsaw harus menanti 12 hari kedepan.
Walaupun demikian, kita harus merasa optimis walaupun hasil negosiasi di COP seringkali tidak memenuhi harapan, tetapi hanya disinilah tempat untuk membangun kesepakatan bersama, dimana ratusan juta bahkan milyaran penduduk bumi menggantungkan asa dan nasibnya.
IESR berpartisipasi dalam COP-19 di Warsaw dengan kehadiran 2 aktivisnya. Henriette Imelda, bersama dengan delegasi Climate Action Network (CAN), sebuah jaringan global NGO/CSO yang melakukan advokasi dan mengawasi negosiasi perubahan iklim, lebih dari 20 tahun, dimana IESR merupakan salah satu anggotanya. Fabby Tumiwa datang ke Warsawa sebagai anggota Delegasi Republik Indonesia, yang akan membantu negosiasi Indonesia di sejumlah agenda negosiasi, salah satunya pendanaan perubahan iklim.