Smelter Bukan Tujuan Akhir Hilirisasi

Jakarta, 26 Januari 2024– Hilirisasi akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat. Topik ini menguat seiring dengan kampanye salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menekankan agenda hilirisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hilirisasi atau penghiliran adalah proses pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam “Katadata Forum – Pascadebat Ke-4 Pilpres 2024 “Dilema Hilirisasi Tambang: Dibatasi atau Diperluas?” (25/1/2024) mengungkap berbagai bentuk pengolahan alam harus tetap mengakar pada 3 poin penting yakni kejelasan dan penegakan hukum, perolehan manfaat ekonomi yang optimal, dan rencana jangka panjang setelah sumber daya alam tersebut dikeruk dan cadangannya menipis.

“Siapapun presiden yang akan menjabat, semestinya fokus pada pembahasan rencana jangka panjang pemanfaatan sumber daya alam. Jangan sampai sumber daya sudah habis dikeruk, tetapi setelahnya alam rusak, ekonomi baru tidak ada, maka bisa jadi angka kemiskinan naik lagi. Mitigasi ini harus masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) kita,” tegas Fabby.

Menyoal hilirisari tambang, Fabby menyebut nikel merupakan salah satu mineral penting dalam teknologi energi terbarukan. Ia menuturkan nikel terbagi dalam dua kelas olahan. Nikel kelas satu diperuntukkan untuk bahan baku baterai kendaraan listrik, sementara nikel kelas dua digunakan untuk produk stainless steel. Ia mengamati sejak keluarnya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengamanatkan untuk pengolahan mineral dalam negeri sehingga akhirnya mendorong hilirisasi dan membuat rencana pertumbuhan proyek smelter atau fasilitas pengolahan hasil tambang menjadi bahan baku, semakin meningkat. Hingga tahun 2024, tercatat sebanyak 48 smelter kritikal mineral yang akan dibangun.

“Semakin banyak smelter maka semakin banyak ekstrasinya. Hilirisasi tidak cukup berhenti sampai di smelter. Melainkan perlu mengejar manfaat optimal dan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan dengan pembangunan industri baterai untuk kendaraan listrik dan berbagai industri energi terbarukan lainnya di Indonesia,” imbuhnya.

IESR membahas pula perkembangan rantai pasok industri baterai di Indonesia yang dapat dibaca dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2024.

Minimnya Dorongan Akselerasi Transisi Energi dari Ketiga Paslon saat Debat Cawapres

Jakarta, 23 Januari 2024 – Debat calon wakil presiden (cawapres) kedua yang berlangsung pada Minggu (21/1/2024) mengangkat isu pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa, menuai perhatian publik. Hal ini lantaran adu gagasan tersebut diwarnai dengan berbagai gimik serangan dan saling sindir.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) sekaligus panelis debat cawapres kedua,  Fabby Tumiwa menilai, debat keempat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 belum mengutamakan konten, khususnya berkaitan dengan transisi energi. Hal tersebut membuat sejumlah isu penting terkait ekonomi dan lingkungan  hidup jauh dari pembahasan serius.

“Menurut saya, banyak paslon yang tidak memahami pertanyaan panelis yang dibacakan oleh  moderator. Mereka terlihat tidak menanggapi pertanyaan secara tepat dan ketika sesi tanya-jawab, cawapres terlihat memberikan pertanyaan yang kurang substansial. Dengan demikian, saya melihat bahwa ketiga cawapres belum sungguh-sungguh berdebat (adu gagasan- red),” ujar Fabby Tumiwa dalam program acara Laporan Khusus Kompas TV pada Selasa (23/1/2024).

Fabby menyatakan, debat panas antara cawapres yang berlangsung di Jakarta Convention Center tersebut juga belum membahas persoalan secara esensial. Hal tersebut tak lepas dari format debat tersebut yang tidak mendukung untuk mengeksplorasi gagasan dengan cukup efektif.

 

Pernyataan Cawapres

Ketiga cawapres dalam debat kedua tersebut memiliki pandangan yang mirip mengenai transisi energi hijau.  Cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, menilai komitmen pemerintah saat ini belum serius dalam melakukan transisi energi yang ditunjukkan dari penurunan target energi baru terbarukan (EBT) dan penundaan pajak karbon. Untuk itu, Muhaimin berkomitmen untuk mempercepat implementasi pajak karbon sekaligus menjalankan transisi EBT.

Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, menyampaikan kebijakan pembangunan rendah karbon yang berkeadilan harus dilakukan dengan menghentikan ketergantungan terhadap energi fosil.

Di sisi lain, cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, hanya menyinggung terkait persoalan penyelesaian sumber daya alam dan energi yang harus diselesaikan secara menyeluruh dari hulu ke hilir.

Untuk mengetahui fakta di balik pernyataan ketiga cawapres di debat tersebut, IESR telah mengadakan Live Fact Check Debat Cawapres melalui Twitter, yang dapat diakses di Twitter IESR.

Menggapai Target 23% Bauran Energi Terbarukan 2025

Jakarta, 16 Januari 2024 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan realisasi bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sekitar 13,1% pada 2023, hanya naik 0,8% dari realisasi pada 2022 sekitar 12,30%. Lambatnya pertumbuhan EBT di Indonesia ini beriringan dengan pemberian subsidi fosil yang masih berjalan. Berdasarkan laporan Bank Dunia yang berjudul Detox Development, Repurposing Environmentally Harmful Subsidies (Juni 2023), tercatat Indonesia  merupakan negara pemberi subsidi energi fosil terbesar di ASEAN, sekaligus terbesar ke-8 di skala global pada 2021.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan, terdapat persoalan sistemik dalam mencapai target bauran energi terbarukan pada 2025. Hal ini berkaca dari perkembangan energi terbarukan yang setiap tahunnya tidak begitu signifikan. Salah satu persoalan sistemik tersebut, kata Fabby, yakni subsidi energi fosil. 

“Subsidi energi fosil ini memberikan insentif kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk tetap mempertahankan operasi PLTU sehingga biaya listriknya menjadi murah. Adanya subsidi energi fosil membuat harga listrik PLTU tidak mencerminkan harga sebenarnya. Di sisi lain, sebenarnya harga energi terbarukan sudah semakin kompetitif, tetapi tidak bisa masuk ke dalam sistem PLN karena masih banyak bahan bakar PLTU yang disubsidi,” ujar Fabby di program acara Energy Corner CNBC Indonesia berjudul “Energi Fosil Masih Disubsidi, Bauran EBT 23% di 2025 Sulit Tercapai?” pada Selasa (16/1/2024).

Selain itu, Fabby menekankan, hal yang mempengaruhi perkembangan energi terbarukan yakni pengadaan pembangkit energi terbarukan di PLN. Fabby menilai, PLN tidak pernah sesuai dengan hal yang sudah direncanakan berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Menurut Fabby, koreksi mengenai hal tersebut juga tidak pernah dilakukan. 

“Adanya lelang pembangkit yang terlambat ataupun tidak dilakukan, membuat tidak siapnya pembangkit energi terbarukan saat ini. Beberapa faktor yang mempengaruhi lelang seperti regulasi, di mana kita ada perubahan dari Permen ESDM No 50 Tahun 2017, yang kemudian revisinya cukup lama, di mana menghasilkan Perpres No 112 Tahun 2022. Kemudian, adanya kondisi kelebihan listrik (overcapacity) di sistem kelistrikan Jawa-Bali. Ada juga faktor kapasitas internal PLN yang mempengaruhi hal tersebut,” papar Fabby Tumiwa. 

 

Menggali Energi Laut: Alternatif Menuju Net Zero Emission

Jakarta, 21 Desember 2023 – Balai Besar Survei dan Pemetaan Geologi Kelautan (BBSPGL) Badan Geologi Kementerian ESDM telah melakukan survei dan pemetaan potensi energi laut yang dapat dimanfaatkan menjadi energi listrik. Hasilnya, 17 titik perairan di Indonesia teridentifikasi memiliki potensi energi laut. Potensi listrik dari lokasi tersebut diklaim mencapai 60 GW (gigawatt).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menjelaskan, energi laut merupakan potensi energi yang dihasilkan dari energi kinetik dan energi potensial dari laut itu sendiri. Lebih lanjut, Fabby memperkirakan potensi 60 GW tersebut terlalu rendah karena Indonesia pada dasarnya dikelilingi oleh laut, sehingga potensinya seharusnya lebih dari 60 GW. Untuk itu, sebaiknya pemetaan tersebut dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya 17 titik saja. 

“Meski demikian, potensi 60 GW ini juga jauh lebih tinggi dari sumber daya panas bumi sekitar 29 GW berdasarkan data Kementerian ESDM. Untuk itu, apabila kita mengacu terhadap rencana jangka panjang pengembangan sistem energi di Indonesia, dan dikaitkan dengan upaya mencapai net zero emission (NZE), energi laut dapat membantu kita mencapai target NZE di sektor kelistrikan pada 2050 dan sektor seluruhnya pada 2060,” kata Fabby di program acara Market Review iNews pada Kamis (21/12). 

Fabby menyatakan, energi laut memiliki karakteristik yang cukup unik, hampir mirip dengan panas bumi dan hidro yakni dapat diprediksi (predictable). Dengan adanya energi laut dimanfaatkan sebagai sumber ketenagalistrikan, dapat mengikis kekhawatiran banyak pihak terhadap integrasi energi terbarukan ke dalam sistem ketenagalistrikan. Lebih lanjut, Fabby menilai, potensi energi laut yang paling cocok untuk wilayah perairan Indonesia yaitu energi pasang surut dan energi gelombang laut. Hal tersebut dinilai berdasarkan tingkat kesiapan teknologi, keekonomian, serta kondisi di Indonesia. 

“Kenapa kedua jenis energi laut tersebut? Karena terdapat kesiapan teknologinya, beberapa teknologi itu sudah masuk pasar komersial jadi mudah. Menurut saya, kalau sudah masuk pasar komersial itu lebih mudah diaplikasikan karena sudah teruji (proven). Kedua, kondisi Indonesia sendiri di mana kita melihat pembangkit cocok untuk menyediakan listrik di daerah pesisir. Misalnya saja, untuk ketersediaan listrik di pulau terpencil. Ketiga, kedua teknologi tersebut relatif harganya mulai turun sehingga menarik untuk dikembangkan,” jelas Fabby.

Di lain sisi, Fabby memaparkan, beberapa tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia secara umum. Pertama, kualitas kebijakan dan regulasi yang menentukan apakah proyek energi terbarukan itu masuk kategori bankable atau tidak. Kedua, kondisi struktur pasar ketenagalistrikan di mana ketika masyarakat ingin mengembangkan energi terbarukan hanya dapat dijual kepada PLN, yang mana bergantung dengan kesiapan jaringan serta kebutuhan listrik. Sejak 3 tahun terakhir, PLN mengklaim tengah berada dalam kondisi overcapacity. Ketiga, investasi energi terbarukan relatif tidak menggembirakan. Investasi ini juga banyak dikaitkan dengan jenis pendanaan karena energi terbarukan secara mature, pengeluaran modal (capital expenditures, CAPEX) tinggi dan biaya operasional (operating expense, OPEX) rendah.

Mencecar Komitmen Iklim Usai COP 28

Jakarta, 20 Desember 2023 – KTT Iklim COP 28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) telah berakhir pada Rabu (13/12/2023) siang, dengan menghasilkan beberapa kesepakatan diantaranya  menyerukan peralihan dari transisi bahan bakar fosil, serta meningkatkan kapasitas energi terbarukan global sebanyak tiga kali lipat. Selain itu, COP 28 berhasil menggalang pendanaan senilai USD 85 miliar serta 11 janji dan deklarasi yang berkomitmen terhadap aksi iklim. 

Sicha Alifa Makahekum, Staff Program Ekonomi Hijau, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai adanya berbagai kesepakatan tersebut sebaiknya diiringi dengan komitmen pendanaan yang kuat. Menurutnya, tanpa dukungan finansial yang memadai, pencapaian target-target tersebut mungkin akan sulit dilakukan. Pendanaan USD 85 miliar dari hasil COP 28 dapat menjadi langkah awal yang signifikan. Namun, perlu adanya komitmen lebih lanjut baik dari pemerintah maupun sektor swasta untuk memastikan bahwa angka tersebut tidak hanya menjadi angka nominal, tetapi benar-benar tersalurkan untuk mendukung aksi iklim. 

“Seiring kesepakatan tersebut, Indonesia sendiri juga memiliki target untuk mencapai 44% bauran energi terbarukan pada 2030 dalam kerangka Just Energy Transition Partnership (JETP). Pemerintah Indonesia perlu fokus juga untuk mengejar target JETP, melakukan reformasi kebijakan dan peningkatan komitmen pembuat kebijakan untuk mengejar target JETP,” ujar Sicha di X Space IESR dengan topik “After COP28, What’s Next?pada Rabu (20/12).

Arief Rosadi, Koordinator Proyek Diplomasi Iklim, IESR menyatakan, untuk pertama kalinya COP 28 membahas hasil dari Global Stocktake atau Inventarisasi Global. Dari penilaian tersebut, Indonesia tidak bisa mencapai target pada Persetujuan Paris 2015 dan perlu mengejar ketertinggalannya. 

“Indonesia perlu melakukan penguatan komitmennya melalui  second NDC yang akan lebih ambisius dan akan lebih selaras pada upaya-upaya untuk menjaga agar kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi tidak lebih dari 1,5°C. Saya berharap NDC terbaru nantinya dapat merefleksikan untuk mengejar target kapasitas energi terbarukan global sebanyak tiga kali lipat serta meningkatkan efisiensi energi juga serta mampu mengakomodir konsep just transition secara jelas,” papar Arief Rosadi.

Arief menekankan, second NDC juga perlu merefleksikan isu lainnya berkaitan dengan perubahan iklim di tingkat tapak. Misalnya saja, gender dan inklusi sosial, indikatornya harus terukur detail dan perlu membuat peta jalan yang selaras dari kebijakan iklim serta strateginya. Lebih lanjut, berkaitan dengan sektor energi, Arief menyatakan, diperlukan komunikasi yang intens di tingkat pemerintah nasional serta harmonisasi kebijakan yang sudah ada dengan dokumen kebijakan iklim terbaru. 

“Apabila kita melihat lima tahun terakhir, proses updating kebijakan iklim di Indonesia sangat cepat. Hanya saja, tantangannya yakni proses harmonisasi di tingkat pemerintah memerlukan waktu yang lebih banyak. Semua sektor terkait perubahan iklim pasti akan diarahkan untuk pemenuhan target NDC,” ujar Arief. 

Menjelang Pemilu 2024, Arief dan Sicha berharap agar calon presiden serta calon legislatif yang terpilihnya dapat meningkatkan urgensi dalam menangani perubahan iklim. Salah satunya dengan menggencarkan isu perubahan iklim dan transisi energi. 

“Polarisasi terhadap isu perubahan iklim iklim makin parah akibat efek ruang gema (echo chamber) dalam media sosial, di mana paparan informasi hanya menggemakan satu suara penyangkalan dan kebal koreksi dari penjelasan ilmiah. Selain itu, terkadang hanya kalangan tertentu saja yang membahasnya. Kita harus bisa membuat orang awam juga mengerti urgensi perubahan iklim dan transisi energi. Selain itu, kita juga perlu mengintensifkan pendekatan bilateral untuk melakukan dekarbonisasi, tidak hanya aktif di dalam forum internasional semata,” tegas keduanya. 

Memacu Industri Baterai Kendaraan Listrik Secara Berkelanjutan

Farid Wijaya, Analis Senior Bahan dan Energi Terbarukan, Institute for Essential Services Reform (IESR)

Jakarta, 19 Desember 2023 – Dalam beberapa tahun terakhir, transisi energi telah menjadi fokus utama di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mempromosikan peralihan dari sumber energi konvensional ke energi terbarukan. Salah satu langkah strategis yang ditekankan adalah pengembangan kendaraan listrik. Dukungan ini diwujudkan melalui berbagai insentif, termasuk keringanan pajak, untuk mempercepat pertumbuhan industri kendaraan listrik serta perluasan pasar.

Farid Wijaya, Analis Senior Bahan dan Energi Terbarukan, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, salah satu komponen utama dalam kendaraan listrik yang memungkinkan kinerja dan efisiensi tinggi adalah baterai. Untuk itu, nikel menjadi bahan baku kunci dalam pembuatan baterai kendaraan listrik. Berdasarkan International Energy Agency (IEA), tren transisi energi akan meningkatkan permintaan nikel di pasar global. Apalagi dengan adanya permintaan kendaraan ramah lingkungan yang menggunakan baterai listrik. Pada tahun 2040 mendatang, kendaraan listrik diproyeksi akan menguasai 58 persen kendaraan global.

“Sayangnya, peningkatan permintaan nikel dapat mengakibatkan ketergantungan yang lebih besar pada sumber daya alam. Proses penambangan dan pemurnian nikel dapat menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan, termasuk deforestasi, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem. Untuk itu, kita perlu memperhatikan pengelolaannya agar memenuhi analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan standar lingkungan hidup, serta unsur keadilan sosial,” ujar Farid Wijaya di Forum Group Discussion (FGD) dengan judul “Rantai Pasok Baterai Kendaraan Listrik: Bekerjasama Membangun Rantai Pasok yang Berkelanjutan” yang diselenggarakan oleh Traction Energy Asia pada Selasa (19/12). 

Farid menuturkan,  industri pertambangan dan pemurnian nikel sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan. Untuk itu, berdasarkan analisis IESR terdapat beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam mengoptimalkan hilirisasi nikel melalui industrialisasi ramah lingkungan. Pertama, perizinan dari tata kelola pertambangan dan pemurnian nikel perlu ditinjau ulang dan berlaku pencabutan izin beserta denda. Misalnya, masalah administrasi, lingkungan dan ketidakadilan sosial. 

“Kedua, pembuatan peta jalah oleh masing-masing industri untuk melakukan dekarbonisasi. Ketiga, pengembangan dan implementasi Standar Industri Hijau (SIH) untuk pertambangan dan pemurnian nikel,” tegas Farid Wijaya. 

Lebih lanjut, Farid menekankan peningkatan yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan hilirisasi nikel melalui industrialisasi ramah lingkungan, seperti penggunaan teknologi bersih ramah lingkungan, konservasi energi dan kepatuhan terhadap standar lingkungan hidup serta analisis mengenai AMDAL. Tidak hanya itu, perlu pula perhatian terhadap  keamanan dan keselamatan pekerja serta konsultasi pemangku kepentingan. 

Di lain sisi, Farid juga memaparkan, dunia akan dibanjiri dengan baterai lithium ion besar yang sudah habis masa pakainya dan perlu dibuang seiring peningkatan jumlah kendaraan listrik di jalan raya secara global. Untuk itu, proses daur ulang dibutuhkan untuk memulihkan sebagian besar bahan aktif baterai. Pada tahun 2040, IEA memperkirakan 10% permintaan dapat dipenuhi dengan mendaur ulang baterai bekas. 

“Apabila baterai lithium ion (LIB) bekas dibuang begitu saja dan ditimbun dalam jumlah besar bisa menyebabkan infiltrasi logam berat beracun ke dalam air bawah tanah, yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Begitu juga LIB bekas dibakar sebagai limbah padat, hal tersebut akan menghasilkan sejumlah besar gas beracun. Misalnya hidrogen fluorida (HF) dari elektrolit di dalam LIB, yang dapat mencemari atmosfer. Oleh karena itu, penanganan limbah dari baterai bekas ini sangat dibutuhkan. Tak hanya itu, daur ulang menjadi penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor luar negeri,” tukas Farid Wijaya.

Penguatan Komitmen Pemerintah dalam Mitigasi Perubahan Iklim

Jakarta, 15 Desember 2023 – Pemerintah Indonesia terus berbenah dalam hal penguatan komitmen mitigasi perubahan iklim. Sejak mulai gencar komitmen mitigasi iklim pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia terus melakukan tindak lanjut melalui berbagai penjajakan komitmen pendanaan dan pembuatan peta jalan dekarbonisasi di setiap sektor.

Nurcahyanto, Analis Kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menuturkan dalam peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024 yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform bahwa salah satu upaya yang saat ini sedang dilakukan pemerintah melalui Kementerian ESDM adalah dengan melakukan revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN). Diharapkan hasil revisi KEN akan lebih relevan dengan upaya Indonesia saat ini untuk melakukan dekarbonisasi secara menyeluruh utamanya pada sektor ketenagalistrikan.

“Revisi target (KEN) hanya sebuah cara dari angka namun dari sisi implementasi harus didukung regulasi dan perlu kita optimalkan. Misalnya dalam melakukan pensiun dini PLTU, perlu disiapkan peta jalan, serta konsolidasi dengan K/L terkait,” katanya.

Terbitnya Perpres 112/2022 menjadi salah satu dokumen pedoman dekarbonisasi Indonesia sektor ketenagalistrikan, dengan poin utama percepatan penghentian PLTU batubara.

August Axel Zacharie, Head of Energy Cooperation, Kedutaan Denmark mengungkapkan bahwa dalam konteks global, posisi Indonesia sebagai negara berkembang (emerging economies) menjadi daya tarik investasi tersendiri, namun Indonesia perlu menyiapkan ekosistem yang suportif. 

“Kebutuhan investasi untuk transisi energi yang mencapai kira-kira 1 triliun USD hingga 2050, harus dipandang bukan sekedar membangun infrastruktur namun dalam kebutuhan biaya ini terdapat aspek komunitas, transisi pekerjaan, kualitas hidup, dan aspek non-fisik lainnya,” tambah August. 

Masih terkait dengan kebutuhan investasi energi terbarukan yang tinggi, dan kewajiban pemerintah untuk menjamin ketahanan energi, Pemerintah Indonesia menggelontorkan subsidi energi. Namun kebijakan ini bukanlah kebijakan yang berkelanjutan.

Evita Herawati Legowo, Senior Fellow PYC, menyatakan bahwa perlu dipikirkan metode yang lebih tepat sasaran untuk pemberian subsidi energi ini. 

“Perlu keterlibatan seluruh pihak dalam hal ini, bukan hanya kolaborasi namun pembagian tugas yang jelas siapa melakukan apa, mulai dari industri, penelitian, energi, juga investor,” kata Evita.

Komitmen Pemerintah Indonesia untuk melakukan dekarbonisasi menjadi suatu panduan mengikat. Disampaikan oleh Unggul Priyanto, Perekayasa Ahli Utama, BRIN utamanya setelah tahun 2060, seluruh sumber energi harus berasal dari sumber energi bersih.

“(Penggunaan-red) LNG, atau gas alam merupakan salah satu opsi selama transisi. Namun setelah 2060 mau nggak mau harus diganti dengan (sumber energi-red) yang benar-benar bersih,” katanya.

Tukar Wawasan Pengembangan Manufaktur Industri Surya Lokal di Indonesia dan Vietnam

Ha Noi, 14 Desember 2023 – Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Vietnam menyelenggarakan acara tahunan: Forum Teknologi dan Energi 2023, bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan dan proyek Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia di Vietnam. Dalam beberapa tahun terakhir, tren transisi energi di Vietnam mengalami perkembangan yang besar, terutama pada PLTB dan PLTS. Pada akhir tahun 2022, total kapasitas dari PLTB dan PLTS mencapai 20.165 MW, yang berkontribusi 25,4% dari total kapasitas daya dalam sistem.

Namun, terlepas dari kemajuan tersebut, 90% peralatan untuk proyek energi terbarukan di Vietnam diimpor dari negara-negara seperti Cina, Jerman, India, dan Amerika Serikat. Ketergantungan ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan negara untuk melakukan tugas-tugas spesifik selama fase penilaian dan pengembangan proyek dan ketergantungan yang tinggi pada teknologi impor. Faktor yang berkontribusi terhadap situasi ini, di antaranya kapasitas teknologi lokal yang tidak memadai, tingkat produksi yang tidak memenuhi persyaratan, dan kurangnya dukungan dari kebijakan dan mekanisme industri untuk mendorong listrik terbarukan.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan Vietnam dan rantai pasokan lokal mengalami partisipasi yang terbatas. Demikian pula, Indonesia menghadapi tantangan yang sama dalam pengadaan energi terbarukan, khususnya tenaga surya. Meskipun kedua negara ini memiliki potensi tenaga surya yang sangat besar, pasar domestik mereka belum siap untuk manufaktur tenaga surya. Kekurangan ini berasal dari ketidakpastian dalam permintaan lokal dan kurangnya daya saing dalam rantai pasokan lokal.

Fabby menjelaskan mengenai regulasi konten lokal yang dapat meminimalisir ketergantungan pada produk impor.

“Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah pasar domestik, produk-produk lokal ini menghadapi kesulitan untuk masuk ke pasar. Kurangnya jalur pengembangan yang kredibel membatasi kelayakan finansial untuk fasilitas manufaktur modul surya baru. Untuk PLTS atap, PLN membatasi kapasitas instalasi hingga 15%. Peraturan ini semakin menghambat pasar modul surya dalam negeri,” kata Fabby.

Fabby kemudian menyoroti beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari penerapan Tingkat Kemampuan Dalam Negeri di Indonesia (TKDN), yang berpotensi mempercepat pengembangan konten lokal energi surya Vietnam. Pertama, terlepas dari proyeksi pertumbuhan tenaga surya, tersedianya jalur distribusi modul surya yang jelas akan mengirimkan sinyal pasar yang cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan industri modul surya. Kedua, ketidakkonsistenan dalam kebijakan di seluruh badan pemerintah dapat menghambat investasi di pasar tenaga surya karena meningkatnya ketidakpastian. Ketiga, dukungan untuk industri modul surya dalam negeri harus mencakup industri bahan baku hilir untuk mengurangi ketergantungan impor dan meningkatkan daya saing produk akhir. Terakhir, pemerintah harus memberikan insentif, baik fiskal maupun non-fiskal, untuk mendorong pengembangan fasilitas manufaktur modul surya. Fabby menekankan bahwa TKDN, tanpa iklim investasi yang kondusif untuk industri, mungkin akan menghambat, bukannya mendorong pengembangan tenaga surya.

Persiapan Transisi Energi di Sumatera Selatan bagi Kaum Muda

Palembang, 5 Desember 2023 – Meningkatnya intensitas bencana hidrometeorologi dalam satu dekade terakhir mengindikasikan perubahan iklim sedang berlangsung saat ini. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, menyebut bahwa di tahun 2023 bumi telah memasuki era pendidihan global (global boiling), di mana bulan Juli 2023 tercatat sebagai hari terpanas sepanjang sejarah.

Perubahan iklim terjadi akibat tingginya emisi gas rumah kaca. Sektor energi termasuk penghasil emisi tertinggi, terutama dengan penggunaan energi fosil seperti batubara. Indonesia merupakan salah satu negara dengan produsen batubara, dengan 80% hasil batubaranya untuk kebutuhan ekspor. Produksi batubara Indonesia terkonsentrasi pada empat provinsi di Indonesia yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, dan Sumatera Selatan. Sumatera Selatan merupakan lumbung pangan dan energi untuk pulau Sumatera. Batubara yang dihasilkan Sumatera Selatan akan digunakan untuk membangkitkan listrik yang memasok seluruh kebutuhan listrik di pulau Sumatera bahkan menurut proyeksi akan mengekspor listrik hingga ke Singapura.

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam kuliah umum di Universitas Sriwijaya mengutip survey terkait fenomena perubahan iklim yang sedang terjadi ini, orang muda dengan rentang usia 24-39 tahun memiliki kekhawatiran tinggi terhadap krisis iklim dan dampaknya.

“Transisi energi menjadi suatu upaya sistematis untuk memitigasi dampak krisis iklim yang semakin sering kita rasakan,” ujar Marlistya Citraningrum yang akrab disapa dengan Citra.

Perubahan sistem energi ini juga membawa dampak ikutan lainnya yaitu tumbuhnya kebutuhan tenaga kerja yang memiliki skill dan wawasan keberlanjutan. 

Namun antusiasme anak muda untuk terjun di bidang pekerjaan hijau terbentur beberapa hal, salah satunya masih terbatasnya informasi tentang pekerjaan hijau dan lowongan kerja di bidang pekerjaan hijau. 

“Dalam proses transisi energi, anak-anak muda dapat mengambil peran sesuai dengan keahlian masing-masing, tidak terbatas pada bidang teknik engineering saja. Jurusan sosial seperti ekonomi, hubungan internasional juga dapat berkontribusi pada proses transisi energi,” kata Citra.

Citra menambahkan bahwa saat ini sejumlah tantangan masih dihadapi pengembangan pekerjaan hijau di Indonesia, salah satunya terkait sertifikasi. Saat ini sertifikasi pekerjaan hijau masih terbatas pada sektor teknis yang terkait dengan pembangkitan listrik berbasis energi terbarukan. 

Di sisi lain, pengurangan dan penghentian penggunaan batubara dan beralih ke energi terbarukan akan berdampak pada aspek sosial dan ekonomi di daerah penghasil batubara di Indonesia. Hari Wibawa, Kepala Bidang Perekonomian dan Pendanaan Pembangunan Bappeda Sumatera Selatan, dalam kesempatan yang sama, mengatakan cadangan batubara di provinsi Sumatera Selatan akan habis dalam 12 tahun, sehingga diversifikasi ekonomi menjadi sangat penting untuk menghindari guncangan ekonomi yang besar saat sektor batubara sudah berhenti.

“Prioritas kami (pemerintah) saat ini adalah integrasi rencana transisi energi ke dalam RPJPD sehingga setiap aksi atau aktivitas sudah memiliki payung legalitas yang kuat,” kata Hari.