GEB: Mangrove Menjadi Bukti Tekad Menurunkan Emisi Pribadi

Jakarta, 27 Maret 2024– Iring-iringan rombongan berbaju hijau lumut terlihat memadati jalan di sekitar Gambir, Jakarta Pusat. Tulisan di baju mereka menandakan identitas mereka sebagai Generasi Energi Bersih. Beberapa dari mereka membawa papan ajakan untuk siapapun yang melihat, agar mengurangi emisi pribadi. Raut muka mereka tampak segar dengan usia yang rata-rata belia. Sekitar 350 orang muda berkumpul untuk bertindak mengurangi emisi sebagai biang penyebab krisis iklim di dunia.

Didukung oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Generasi Energi Bersih (GEB) Jakarta Selatan bekerja sama dengan GEB Jakarta, dan UKM Riset dan Karya Ilmiah Heuri Cosmos Universitas Pertamina, menggerakkan anak-anak muda di sekitar Jakarta. Mereka ambil andil dalam jalan santai dan upaya pengurangan emisi dengan penanaman mangrove. Beranjak dari Gambir, serentak rombongan menuju kawasan ekowisata mangrove di Pantai Indah Kapuk.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR,  yang turut dalam gerakan penanaman mangrove ini mengungkapkan kegiatan ini diprakarsai oleh GEB yang telah menggunakan jejakkarbonku.id untuk menghitung emisi yang mereka hasilkan sehari-hari. Para anak muda yang tergabung di GEB lalu mengumpulkan uang dan donasi untuk melakukan penyeimbangan karbon atau carbon offset. Salah satu cara yang mereka lakukan ialah dengan menanam mangrove. 

“Penanam mangrove ini merupakan bentuk nyata dari kepedulian generasi muda kita bahwa kegiatan  yang mereka lakukan sehari-hari punya dampak terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca. Selain kesadaran mengurangi emisi gas rumah kaca, melalui kegiatan sehari-hari, seperti mematikan lampu dan mengurangi sampah, mereka juga melakukan offset. Diharapkan dengan menanam mangrove bisa menyerap emisi gas rumah kaca yang ada di atmosfer,” jelas Fabby.

Fabby berharap, kegiatan serupa dapat pula dilakukan di tempat lain, karena GEB telah tersebar di sembilan kota, termasuk Bandung, Yogyakarta, Bali, and Bogor.

“Kesadaran untuk melakukan penurunan emisi dimulai dari diri sendiri bisa dimiliki oleh semua anggota GEB. Mereka juga dapat menjadi sumber informasi atau bisa menginspirasi peers (rekan sebaya-red) mereka untuk melakukan hal serupa, sehingga kita punya generasi yang punya kesadaran untuk penurunan emisi GRK untuk  mencegah terjadinya krisis iklim,” imbuh Fabby.

Senada, Ketua GEB Jakarta Selatan, Riko Andriawan menuturkan penanaman 350 bibit mangrove akan mampu berkontribusi terhadap penyerapan emisi. 

“Pengurangan emisi tidak perlu biaya mahal, tapi bisa dimulai dari kesadaran diri sendiri misalnya dengan menggunakan kendaraan umum untuk wilayah perkotaan, tidak menggunakan plastik sekali pakai, selalu menggunakan tumbler, tidak menggunakan listrik secara berlebihan di rumah. Generasi muda perlu menyadari pemanasan global dan mengerti caranya dalam mengurangi emisi,” tutur Riko.

Ketua GEB Indonesia, Maya Lynn melanjutkan bahwa tantangan terbesar bisa jadi berasal dari diri sendiri.

“Penyadaran tentang jejak karbon perlu dimulai dari diri sendiri. Kita dapat menghitungnya menggunakan jejakkarbonku.id sehingga dapat melihat berapa besar jejak emisi yang kita tinggalkan di bumi.”

Kolaborasi dengan GEB Jakarta Selatan, diakui oleh Nur Azizah dari UKM Riset dan Karya Ilmiah Heuri Cosmos Universitas Pertamina merupakan kesempatan baik. Pihaknya telah mendukung energi terbarukan dan penurunan emisi melalui riset dan karya ilmiah. Keterlibatannya di penanaman mangrove menjadi aksi nyata untuk membuat bumi lebih hijau.

Energi Terbarukan Perlu Merajai Asia Tenggara

Jakarta, 27 Maret 2024– Asia Tenggara tergolong kawasan dengan perekonomian yang menduduki peringkat ke-5 terbesar di dunia pada 2022. Aktivitas ekonomi yang tinggi di kawasan Asia Tenggara, membuat proyeksi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan mencapai 60 persen pada 2050. Penurunan emisi kawasan akan berdampak signifikan terhadap upaya pengurangan emisi global. Sayangnya, upaya penurunan emisi dengan pemanfaatan energi terbarukan di Asia Tenggara belum sejalan dengan Persetujuan Paris untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Konferensi Internasional Revision 2024 di Tokyo (14/3) menyebutkan negara yang tergabung dalam ASEAN mempunyai target untuk mencapai bauran energi terbarukan di kawasan sebesar 23 persen pada 2025. Namun, menurutnya, target ini tidak selaras dengan Persetujuan Paris.

“Agar memenuhi Persetujuan Paris, bauran energi terbarukan harus mencapai 55 persen, dengan energi terbarukan variabel (variable renewable energy, VRE) berkontribusi sebesar 42 persen. Kecuali Vietnam, Kamboja, dan Filipina, negara-negara lain belum mencapai penetrasi energi terbarukan sebesar 5 persen. Kabar baiknya, pada tahun 2023, negara-negara ASEAN akan memiliki lebih dari 28 GW kapasitas pembangkit listrik tenaga surya dan angin yang beroperasi, atau meningkat 20 persen dari kapasitas yang beroperasi sejak tahun lalu. Saat ini, kapasitas tersebut mencapai 9 persen dari total kapasitas listrik negara-negara ASEAN. Namun, agar negara-negara ASEAN dapat mencapai target tersebut, mereka perlu memasang lebih banyak energi terbarukan,” jelas Fabby.

Fabby melanjutkan, sumber daya energi terbarukan di Asia Tenggara tergolong melimpah , dengan 40-50 kali lebih besar dari kebutuhan energi tahun ini. Pemanfaatan PLTS terapung dapat menjadi salah satu pilihan strategis dalam dekarbonisasi sistem energi di kawasan. Ia mengurai, setidaknya terdapat potensi teknis PLTS terapung sebesar 134 hingga 278 GW untuk waduk, 343 hingga 768 GW untuk permukaan air alami seperti sungai, danau, laut. Potensi teknis ini bervariasi di setiap negara. Ia menilai, penghitungan yang rinci mengenai potensi teknis pasar dan ekonomi, serta  potensi tekno-ekonomi spesifik lokasi harus dilakukan untuk mengembangkan PLTS terapung.

Ia juga menyoroti kawasan Asia Tenggara perlu mempunyai kebijakan yang lebih ambisius, memberikan dukungan anggaran dan insentif yang kuat, dan menciptakan lebih banyak kebijakan yang menarik investasi. Investasi tahunan rata-rata dalam kapasitas energi terbarukan harus ditingkatkan hingga lima kali lipat menjadi USD 73 miliar per tahun.

Fabby menegaskan negara-negara di Asia Tenggara harus meningkatkan ambisi mereka untuk memenuhi target Persetujuan Paris. Sebagai langkah dekat, ASEAN perlu mencapai 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025, dan 40 persen pada 2030.

“Banyak kajian menunjukkan Asia Tenggara punya potensi energi terbarukan yang besar dan cukup untuk dekarbonisasi. Namun secara kebijakan dan aksi saat ini dinilai masih kurang untuk mencapai dekarbonisasi pada 2050.  Investasi yang sangat besar untuk energi terbarukan mengharuskan setiap negara untuk mereformasi kebijakan dan mengelola risiko yang terkait dengan proyek energi terbarukan, agar dapat menarik dan memobilisasi investor,” imbuh Fabby.

Lebih jauh, ia mendorong agar tidak meneruskan narasi yang menitikberatkan pada mempertahankan energi fosil sebagai pembangkit beban puncak (baseload), dan mengaitkannya dengan upaya menjaga ketahanan energi, serta mengesampingkan energi terbarukan. Menurutnya, narasi semacam ini justru mengganggu dan tidak sejalan dengan semangat Persetujuan Paris.

Meninjau Kebutuhan Investasi Energi Terbarukan Indonesia

Investasi energi terbarukan

Jakarta, 8 Maret 2024 – Komitmen transisi energi Indonesia secara resmi dimulai sejak tiga tahun lalu saat Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengeluarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang menargetkan adanya penambahan kapasitas energi terbarukan sebagai salah satu prasyarat tercapainya net zero emission Indonesia pada 2060, secara khusus sektor ketenagalistrikan pada tahun 2050.

Dalam sesi Market Review, Jumat 8 Maret 2024, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa pengembangan energi terbarukan merupakan suatu keniscayaan. Pemerintah melalui sejumlah kebijakan seperti RUPTL 2021, dan Perpres 112/2022 telah mencanangkan penambahan kapasitas energi terbarukan sekaligus komitmen untuk tidak lagi membangun PLTU baru kecuali yang sudah dalam proses kontrak.

“Komitmen-komitmen ini harus diturunkan sampai ke rencana teknis dan ekonomis yang dapat dijalankan. Oleh karena itu proses revisi RUKN dan RUPTL yang saat ini sedang berlangsung menjadi sangat penting,” kata Fabby.

Dalam RUPTL 2024 – 2040, PLN berencana menambah kapasitas pembangkit energi terbarukan hingga 80 GW. Rencana ini akan membawa konsekuensi adanya kenaikan signifikan untuk energi terbarukan dari saat ini sekitar 9 GW menjadi 70 GW. 

Fabby menambahkan semangat dan ambisi ini perlu dikawal publik mengingat catatan pemerintah untuk peningkatan kapasitas energi terbarukan selalu di bawah target. Dalam mengejar target bauran 23 persen energi terbarukan pada 2025 Indonesia belum menunjukkan kemajuan yang diharapkan. Hingga tahun 2023, bauran energi terbarukan baru 13 persen saja. Hal ini membuat sisa dua tahun ini menjadi tantangan untuk akselerasi energi terbarukan. 

Kebutuhan biaya untuk membangun pembangkit energi terbarukan yang mencapai USD 152 miliar (setara 2.300 triliun rupiah) hingga 2040 menjadi sorotan. Angka ini dianggap sebagai angka yang realistis oleh Fabby, mengingat angka ini merupakan kebutuhan investasi meliputi kebutuhan pembangunan pembangkit energi terbarukan serta pembangunan jaringan transmisi dan distribusi.

“Angka USD 152 miliar sudah angka yang realistis saat ini. Kita juga harus memahami bahwa teknologi terus berkembang, bukan tidak mungkin ke depan kebutuhan investasi ini akan turun sesuai perkembangan teknologi,” jelas Fabby.

Fabby menyoroti niat pemerintah untuk melibatkan pihak swasta lebih banyak lagi. Untuk mengundang investasi swasta yang lebih besar diperlukan perbaikan regulasi antara lain Kebijakan Energi Nasional sesuai dengan target net zero emission sektor kelistrikan di tahun 2050, peninjauan ulang harga beli listrik dari pembangkit energi terbarukan, hingga peninjauan ulang tarif listrik yang berlaku saat ini.

Memperjuangkan Keadilan Transisi Energi di Indonesia, Kolombia dan Afrika Selatan

Jakarta, 29 Februari 2024– Aspek keadilan dalam transisi energi erat kaitannya dengan pelibatan masyarakat dalam prosesnya, terutama dalam mempersiapkan masyarakat daerah penghasil batubara. Organisasi masyarakat sipil sebagai pihak yang berinteraksi dekat masyarakat dan pemerintah mempunyai peran yang signifikan untuk mendorong pemerintah dalam membuat kebijakan partisipatif dan mengarusutamakan prinsip adil, serta membangun kapasitas secara keterampilan maupun pengetahuan kepada masyarakat sehingga mereka mampu menyurakan kepentingannya.

Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut pendapatan daerah penghasil batubara di Indonesia sangat bergantung pada industri batubara. Ia menilai minimnya diversifikasi ekonomi di daerah akan berdampak pada disrupsi ekonomi jika terjadi penurunan permintaan batubara akibat transisi energi global dan kurangnya mitigasi terhadap perubahan ini.

“Indonesia melakukan keadilan distributif terhadap energi fosil dengan keleluasaan akses terhadap listrik dari batubara dan sejumlah subsidi untuk menjaga keterjangkauan harga. Pemerintah seharusnya dapat melakukan keadilan distributif untuk adopsi energi terbarukan dalam arus transisi energi global ini. Apalagi Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris untuk berkontribusi pada penurunan emisi, di antaranya emisi dari sektor energi,” jelas Ilham pada webinar Cross-country reflections on coal and just transitions in Colombia, South Africa and Indonesia yang diselenggarakan oleh Stockholm Environment Institute (SEI) bekerja sama dengan IESR.

Ilham menyoroti konsep transisi energi yang diusung oleh pemerintah, yang menurutnya, masih membingungkan. Di satu sisi, Indonesia menerima berbagai pendanaan untuk bertransisi energi seperti Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP), tetapi di sisi lain, Indonesia tampak memberikan izin pada pembangunan PLTU batubara untuk kepentingan industri.

Organisasi masyarakat sipil, menurut Ilham, perlu menyiapkan ruang diskusi yang intensif dan memperkuat relevansi transisi energi dengan masyarakat sehingga semakin banyak masyarakat terpapar pada isu transisi energi.

Senanda, Juliana Peña Niño, Staff Senior, National Resource Governance Institute, mengungkapkan daerah penghasil batubara di La Guajira dan Cesar di Kolombia sangat bergantung pada royalti dari industri batubara. Ia mengatakan hampir 50% pendapatan daerah tersebut berasal dari royalti batubara dan pada gilirannya memiliki ekonomi yang kurang terdiversifikasi.

“Pemerintah perlu memanfaatkan royalti ini untuk mengarahkan investasi ke arah diversifikasi ekonomi. Tantangannya, pemerintah setempat tidak mempunyai kapasitas untuk mengakses sumber daya ini dan merumuskan proyek ekonomi alternatif,” jelasnya.

Lebih lanjut, membahas tentang transisi energi di Afrika Selatan, Muhammed Patel, Ekonom Senior, Trade and Industrial Policy Strategies, memandang pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) merupakan cara yang ideal untuk mendorong partisipasi masyarakat. Namun, pendekatan ini cenderung sulit dilakukan karena pendekatan umum yang dilakukan di Afrika Selatan bersifat atas ke bawah (top-down).

“Banyak kebijakan energi dibuat di tataran nasional, sementara pemerintahan di tingkat sub nasional sering kewalahan dengan keterbatasan pendanaan di daerah. Tidak hanya itu, dari segi kapasitas, pemerintah daerah cenderung mempunyai keterbatasan. Bahkan untuk memenuhi pelayanan pokok saja, sering kali pemerintah daerah bergantung pada sektor swasta,” imbuh Patel.

Di Afrika Selatan, gerakan masyarakat sipil juga menyuarakan isu transisi energi dengan banyak cara, melakukan perlawanan misalnya dengan membawa berbagai kasus terkait pencemaran udara dari pabrik di Afrika Selatan, melakukan advokasi ke pemerintah dan melakukan pelibatan masyarakat.

“Jika gerakan tersebut berupa menentang ketidakadilan, terutama ketika melibatkan komunitas rentan dan operasi industri berat, kerap kali organisasi masyarakat sipil sulit mendapat dukungan dari pihak lain, Hal ini membuat mereka seperti berjuang sendiri,” ungkap Patel.

Antara Rendahnya Target Energi Terbarukan dan Ambisi Pertumbuhan Ekonomi yang Tinggi

Jakarta, 20 Februari 2024 – Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai langkah Dewan Energi Nasional (DEN) melakukan penyesuaian target bauran energi terbarukan di Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional dari semula 23 persen menjadi 17-19 persen pada 2030 merupakan langkah mundur karena tidak sesuai dengan cita-cita pengurangan emisi dan pencapaian target net-zero emission Indonesia pada 2060 atau lebih cepat yang telah dicanangkan.

Fabby menyoroti pula agenda transisi energi yang diusung masing-masing pasangan calon presiden dalam pemilu 2024, yang memuat sejumlah target bauran energi terbarukan hingga tahun 2030 dalam wawancara dengan program Squawk Box

Menurutnya, masing-masing kandidat telah memiliki agenda transisi energi, salah satunya kehendak untuk mengejar target bauran energi terbarukan sama dengan Kebijakan Energi Nasional yang berlaku saat ini, berkisar antara 27-30 persen pada 2030. Selain itu, masing-masing kandidat juga memiliki komitmen untuk membatasi operasi PLTU batubara.

“Untuk pasangan 02, yang terlihat jelas adalah peningkatan penggunaan biofuel untuk mengganti atau mengurangi subsidi BBM seperti disampaikan pada saat kampanye,” kata Fabby. Pasangan calon presiden dan wakil presiden bernomor urut dua menargetkan  persentase campuran biofuel sebesar 50 persen pada tahun 2029, juga pemanfaatan etanol 10-20 persen.

Lebih jauh, Fabby menegaskan untuk sektor ketenagalistrikan, tujuan pengakhiran operasional PLTU batubara secara dini harus dibarengi dengan penambahan porsi energi terbarukan yang lebih besar. Selain untuk menggantikan daya listrik yang awalnya dipenuhi oleh PLTU batubara, pembangkit energi terbarukan juga harus mencukupi kebutuhan proyeksi pertumbuhan listrik di masa mendatang. Apalagi Indonesia berambisi untuk  mengejar pertumbuhan ekonomi hingga misalnya 6-7 persen, maka kebutuhan listrik diproyeksikan akan tumbuh lebih besar lagi. 

“Hitungan IESR, untuk mencapai berbagai target tersebut bauran energi terbarukan pada 2030 harus mencapai 40 persen, hal ini agak berbeda dengan penyesuaian target yang dibuat DEN saat ini,” jelas Fabby.

Fabby menambahkan PR pemerintahan baru terkait di sektor energi nanti adalah melakukan percepatan pembangunan energi terbarukan utamanya pada sub-sektor ketenagalistrikan dan bahan bakar cair.

Indonesia Menuju Era Hidrogen Hijau

Bogor, 6 Februari 2024Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin mendesak, satu di antara langkah krusial yang harus diambil adalah mempercepat investasi dalam teknologi energi bersih. Salah satu inovasi terkini yang menonjol adalah pengembangan hidrogen hijau. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dengan potensi energi terbarukan sekitar 3.686 gigawatt, Indonesia memiliki kapasitas untuk memproduksi hidrogen hijau.

Farid Wijaya, Senior Analis Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, berbeda dengan bahan bakar fosil, energi hidrogen hanya menghasilkan air, listrik, dan panas ketika dikonversikan, tanpa meninggalkan jejak emisi gas rumah kaca atau debu halus. Proses produksinya juga ramah lingkungan, terutama jika menggunakan metode elektrolisis untuk memisahkan hidrogen dari senyawa air, yang mana arus listrik digunakan untuk memecah molekul air menjadi oksigen dan hidrogen gas. Hal ini menjadikan hidrogen hijau sebagai cara untuk merespons kebutuhan akan keseimbangan lingkungan, membuka peluang untuk menciptakan pasar baru dan nilai baru bagi industri dunia.

“Mengacu hasil studi IESR bersama Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), beberapa nilai penting dari hidrogen hijau di antaranya menguatkan ketahanan energi nasional, akselerasi dekarbonisasi, dan ekonomi yang berkelanjutan, menyimpan kelebihan suplai listrik dan untuk pemerataan penggunaan energi terbarukan, alternatif dari bahan bakar fosil dengan efisiensi tinggi yang dapat dikonversi menjadi NH3, alkohol (metanol, etanol), metana dan bahan bakar sintetis, serta densitas energinya lebih besar dari baterai dengan kepraktisan serupa bahan bakar minyak (BBM),” ujar Farid dalam Forum Konsultasi Stakeholders mengenai Pengembangan serta Pemanfaatan Hidrogen dan Amonia pada Selasa (6/2/2024). 

Lebih lanjut, Farid menekankan sejumlah faktor pendukung komersialisasi hidrogen hijau. Pertama, keuntungan, manfaat dan kewajiban dalam penggunaan. Kedua, ketersediaan dan kemampuan akses dari teknologi, waktu dan keamanan. Ketiga, harga yang terjangkau dan kompetitif yang diiringi investasi dan operasional. Keempat, ramah pengguna, lingkungan dan masyarakat sekitar. 

“Berkaca dari hal tersebut, yang kemudian kita perlukan dalam pemenuhan kebutuhan pasar untuk mendorong hidrogen hijau di antaranya inovasi teknologi dari sektor swasta dan pemerintah terhadap pengembangan pasar, transformasi dan transisi nilai ekonomi ke ramah lingkungan dan hijau, permintaan pasar yang tinggi untuk mendorong investasi, serta adanya peta arah dan kebijakan regulasi untuk mendukung transformasi dan transisi nasional,” ujar Farid. 

Indonesia, kata Farid, dapat belajar dari beberapa negara yang telah melakukan pemanfaatan hidrogen hijau. Contohnya, pemanfaatan hidrogen sebagai bahan dari amonia olehFortescue Australia yang mengalami kesulitan pendanaan untuk 550 MW kapasitas elektroliser di Pulau Gibson akibat biaya investasi dan listrik yang tinggi. Hal ini diakibatkan biaya investasi dan operasional tinggi, terbatasnya subsidi pemerintah, dan harga amonia terlalu tinggi untuk pupuk. 

“Untuk meminimalisir kejadian tidak diinginkan dalam pemanfaatan hidrogen hijau, kita perlu melakukan langkah strategis. Pertama, standardisasi dan sertifikasi, yang menjadi hal penting termasuk untuk menjaga nilai rantai pasok yang aman dan terkendali Kedua, penetapan kebijakan peta arah dan regulasi yang mendukung pengembangan hidrogen hijau di Indonesia. Ketiga, akses sumber daya terutama terkait lahanyang banyak menentukan efisiensi biaya investasi, energi, dan mobilitas. Keempat, ketersediaan teknologi pemanfaatan hidrogen, dalam membangun pasar domestik pemanfaatan yang berkelanjutan. Kelima, pasar potensial, terutama untuk ekspor pasar global yang memiliki nilai jual tinggi dan pasar domestik. Keenam, dukungan finansial seperti pemberian Insentif dan disinsentif yang mengikat,” terang Farid. 

Transisi Energi Berkeadilan: Pemulihan Lingkungan dan Ekonomi Masyarakat Pasca Tambang Harus Jadi Kewajiban Perusahaan

Jakarta,  24 Januari 2024 – Energi telah menjadi kebutuhan primer manusia. Oleh karena itu, transisi energi beralih dari energi fosil ke energi terbarukan akan berdampak pada kehidupan masyarakat. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang pelibatan seluruh masyarakat perlu dilakukan untuk memastikan bahwa transisi energi berlangsung secara berkeadilan.

Selama ini, industri batubara menjadi penyumbang besar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah penghasil batubara. Namun ke depannya, tren transisi energi diprediksi akan mempengaruhi penurunan permintaan batubara Indonesia dari negara tujuan ekspor.

“Sektor pertambangan batubara memang berkontribusi terhadap perekonomian daerah, terutama melalui dana bagi hasil. Namun sektor ini juga memiliki eksternalitas negatif, tidak hanya pada lingkungan, namun juga bagi masyarakat. Perusahaan batubara juga harus dilibatkan dalam transisi berkeadilan, tidak hanya pada daerah penghasil batubara, namun juga daerah lainnya,” ujar Wira dalam sambutannya pada Dialog Transisi Berkeadilan: Mengidentifikasi Peran Sektor Swasta dalam Pemberdayaan Sosial-Ekonomi Masyarakat, yang diselenggarakan di Jakarta (24/01).

Menurutnya, perusahaan berperan dalam mengurangi eksternalitas negatifnya, melakukan reklamasi dan kegiatan pasca tambang serta pengembangan masyarakat untuk penciptaan ekonomi baru setelah operasi tambang batubara berakhir.

Sulistiyohadi, Inspektur Tambang Madya/Koordinator PPNS Mineral dan Batubara memaparkan kegiatan reklamasi telah dimulai sejak tahap eksplorasi dan operasi produksi. Sementara rencana pasca tambang diajukan sejak tahap operasi produksi. Ia menjelaskan beberapa teknik reklamasi, di antaranya penatagunaan lahan, revegetasi, dan pemeliharaan  lahan. 

“Ada beberapa hal yang dilakukan untuk mereklamasi lubang bekas tambang yang meliputi; stabilisasi lereng, pengamanan lubang tambang (void), Pemulihan atau pemantauan kualitas air serta pengelolaan air dalam lubang bekas tambang void, dan pemeliharaan lubang bekas tambang,” ungkap Sulistiyo. 

Sebagai percontohan strategi reklamasi pasca tambang, Yulfaizon, General Manager PT Bukit Asam Tbk Unit Pertambangan Ombilin berbagi pengalaman agar wilayah bekas tambang dapat bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Tambang Ombilin merupakan tambang tertua di Indonesia, yang telah beroperasi sejak 1892 pada zaman penjajahan Belanda dan berakhir pada tahun 2016. 

Yulfaizon memaparkan beberapa kegiatan pasca tambang yang telah dilakukan oleh PT Bukit Asam antara lain pembangunan kebun binatang Sawahlunto, membuka pusat studi tambang batubara bawah tanah, pusat wisata Museum Lobang Mbah Soero.

Smelter Bukan Tujuan Akhir Hilirisasi

Jakarta, 26 Januari 2024– Hilirisasi akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat. Topik ini menguat seiring dengan kampanye salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menekankan agenda hilirisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hilirisasi atau penghiliran adalah proses pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam “Katadata Forum – Pascadebat Ke-4 Pilpres 2024 “Dilema Hilirisasi Tambang: Dibatasi atau Diperluas?” (25/1/2024) mengungkap berbagai bentuk pengolahan alam harus tetap mengakar pada 3 poin penting yakni kejelasan dan penegakan hukum, perolehan manfaat ekonomi yang optimal, dan rencana jangka panjang setelah sumber daya alam tersebut dikeruk dan cadangannya menipis.

“Siapapun presiden yang akan menjabat, semestinya fokus pada pembahasan rencana jangka panjang pemanfaatan sumber daya alam. Jangan sampai sumber daya sudah habis dikeruk, tetapi setelahnya alam rusak, ekonomi baru tidak ada, maka bisa jadi angka kemiskinan naik lagi. Mitigasi ini harus masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) kita,” tegas Fabby.

Menyoal hilirisari tambang, Fabby menyebut nikel merupakan salah satu mineral penting dalam teknologi energi terbarukan. Ia menuturkan nikel terbagi dalam dua kelas olahan. Nikel kelas satu diperuntukkan untuk bahan baku baterai kendaraan listrik, sementara nikel kelas dua digunakan untuk produk stainless steel. Ia mengamati sejak keluarnya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengamanatkan untuk pengolahan mineral dalam negeri sehingga akhirnya mendorong hilirisasi dan membuat rencana pertumbuhan proyek smelter atau fasilitas pengolahan hasil tambang menjadi bahan baku, semakin meningkat. Hingga tahun 2024, tercatat sebanyak 48 smelter kritikal mineral yang akan dibangun.

“Semakin banyak smelter maka semakin banyak ekstrasinya. Hilirisasi tidak cukup berhenti sampai di smelter. Melainkan perlu mengejar manfaat optimal dan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan dengan pembangunan industri baterai untuk kendaraan listrik dan berbagai industri energi terbarukan lainnya di Indonesia,” imbuhnya.

IESR membahas pula perkembangan rantai pasok industri baterai di Indonesia yang dapat dibaca dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2024.

Minimnya Dorongan Akselerasi Transisi Energi dari Ketiga Paslon saat Debat Cawapres

Jakarta, 23 Januari 2024 – Debat calon wakil presiden (cawapres) kedua yang berlangsung pada Minggu (21/1/2024) mengangkat isu pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa, menuai perhatian publik. Hal ini lantaran adu gagasan tersebut diwarnai dengan berbagai gimik serangan dan saling sindir.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) sekaligus panelis debat cawapres kedua,  Fabby Tumiwa menilai, debat keempat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 belum mengutamakan konten, khususnya berkaitan dengan transisi energi. Hal tersebut membuat sejumlah isu penting terkait ekonomi dan lingkungan  hidup jauh dari pembahasan serius.

“Menurut saya, banyak paslon yang tidak memahami pertanyaan panelis yang dibacakan oleh  moderator. Mereka terlihat tidak menanggapi pertanyaan secara tepat dan ketika sesi tanya-jawab, cawapres terlihat memberikan pertanyaan yang kurang substansial. Dengan demikian, saya melihat bahwa ketiga cawapres belum sungguh-sungguh berdebat (adu gagasan- red),” ujar Fabby Tumiwa dalam program acara Laporan Khusus Kompas TV pada Selasa (23/1/2024).

Fabby menyatakan, debat panas antara cawapres yang berlangsung di Jakarta Convention Center tersebut juga belum membahas persoalan secara esensial. Hal tersebut tak lepas dari format debat tersebut yang tidak mendukung untuk mengeksplorasi gagasan dengan cukup efektif.

 

Pernyataan Cawapres

Ketiga cawapres dalam debat kedua tersebut memiliki pandangan yang mirip mengenai transisi energi hijau.  Cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, menilai komitmen pemerintah saat ini belum serius dalam melakukan transisi energi yang ditunjukkan dari penurunan target energi baru terbarukan (EBT) dan penundaan pajak karbon. Untuk itu, Muhaimin berkomitmen untuk mempercepat implementasi pajak karbon sekaligus menjalankan transisi EBT.

Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, menyampaikan kebijakan pembangunan rendah karbon yang berkeadilan harus dilakukan dengan menghentikan ketergantungan terhadap energi fosil.

Di sisi lain, cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, hanya menyinggung terkait persoalan penyelesaian sumber daya alam dan energi yang harus diselesaikan secara menyeluruh dari hulu ke hilir.

Untuk mengetahui fakta di balik pernyataan ketiga cawapres di debat tersebut, IESR telah mengadakan Live Fact Check Debat Cawapres melalui Twitter, yang dapat diakses di Twitter IESR.