Paris Agreement atau Kesepakatan Paris yang diadopsidi Conference of Party (COP) 21, dinilai sebagai keberhasilan diplomasi perubahan iklim global. Paris Agreement merupakan angin segar bagi diplomasi multilateral perubahan iklim setelah kegagalan COP 15 di Copenhagen tahun 2009 dalam menyepakati rejim iklim global. Paris Agreement yang bertujuan untuk membatasi kenaikan temperatur global dibawah 2°C dan disepakati oleh 195 negara, diibaratkan oleh Christiana Figueres, yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif UNFCCC, sebagai “huge flame of hope”. Paris Agreement menjadi model kontrak sosial dunia yang baru dalam mengatasi persoalan-persoalan global.
Kesepakatan Paris yang mengadopsi prinsip applicable to all Parties (berlaku untuk seluruh Pihak), memberikan pekerjaan rumah yang cukup besar untuk negara berkembang. Negara-negara berkembang, yang dalam konvensi disebut sebagai negara non-Annex, harus ikut serta dalam upaya global untuk me-mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) dan pada saat yang bersamaan harus beradaptasi menghadapi dampak perubahan iklim. Untuk itu negara-negara tersebut harus ber-transformasi dengan cepat, menuju pembangunan rendah karbon dan berdaya lenting terhadap dampak perubahan iklim.
Bagi negara-negara non-Annex yang berstatus emerging economy, tantangan yang lebih berat terletak di aspek dukungan pendanaan perubahan iklim, mengingat prioritas dana perubahan iklim akan lebih banyak dialokasikan bagi negara-negara di blok Least Developing Countries (LDCs) dan Small Island Developing States (SIDS).
Sebelum Kesepakatan Paris diadopsi oleh seluruh Negara Pihak yang tergabung dalam UNFCCC, terdapat pertimbangan bahwa akan diperlukan waktu yang cukup lama, sebelum New Agreement – istilah yang digunakan saat itu – dapat berlaku (entry into force). Hal ini didasarkan pada pengalaman pemberlakuan Protokol Kyoto, yang diadopsi pada 11 Desember 1997, namun baru bisa berlaku (entry into force) di tahun 2005. Itu sebabnya, pada negosiasi awal, tahun 2020 menjadi tenggat waktu yang disepakati bersama untuk memberlakukan Kesepakatan Paris. Namun, di Paris disepakati bahwa Kesepakatan Paris akan berkekuatan hukum pada saat minimal 55 negara yang mewakili 55% dari total emisi gas rumah kaca global meratifikasi kesepakatan ini[1].
Pada kenyataannya, ratifikasi berjalan cukup cepat. Sampai dengan 4 Oktober 2016, tercatat 62 negara yang telah meratifikasi Kesepakatan Paris, dengan total emisi sebesar 51,89% dari 55% yang dibutuhkan.
Tabel 1 Lima Negara yang telah meratifikasi Kesepakatan Paris dengan emisi terbesar
Negara yang telah meratifikasi Kesepakatan Paris | Emisi yang diwakilkan oleh Negara tersebut |
Amerika Serikat | 17.89% |
Brazil | 2.48% |
China | 20.09% |
India | 4.10% |
Meksiko | 1.70% |
Sesuai dengan ketentuan PBB, ada dua langkah yang perlu untuk dilakukan Negara Pihak (Parties) pada Konvensi untuk menyatakan kesediaannya meratifikasi Kesepakatan Paris. Pertama adalah melakukan proses domestik yang diperlukan dan/atau prosedur legislatif untuk menyetujui instrumen legal untuk ratifikasi perjanjian yang dimaksud; dalam hal ini Paris Agreement. Kedua adalah melakukan deposit instrumen ratifikasi yang diperlukan ke Depositary PBB[2]. Instrumen ratifikasi ini merupakan pernyataan dari Negara Pihak yang bersangkutan mengenai kesediaannya untuk mengikatkan diri pada kesepakatan yang dimaksud; dalam hal ini Kesepakatan Paris.
Dengan status saat ini, dimana diperlukan 3,11% dari total emisi lagi untuk memenuhi persyaratan minimal untuk diberlakukannya Kesepakatan Paris, maka jika sebelum tanggal 7 Oktober 2016 terdapat Negara Pihak yang mendepositkan instrumen ratifikasinya dengan besar emisi minimal 4%, maka Kesepakatan Paris akan resmi dimulai pada COP 22 di Marakesh.
Setelah ratifikasi, lalu?
Meratifikasi Kesepakatan Paris berarti mengambil tempat di dalam forum pengambilan keputusan untuk Konferensi Para Pihak (COP) yang diadakan di bawah payung Kesepakatan Paris, atau yang nantinya akan disebut sebagai Conference of Parties serving as the Meeting of the Parties to this Agreement (CMA). CMA, serupa dengan CMP untuk Protokol Kyoto, adalah forum pengambilan keputusan tertinggi untuk mengimplementasikan Kesepakatan Paris. Adapun bagi Negara Pihak yang tidak meratifikasi Kesepakatan Paris tidak akan memiliki hak suara di dalam forum tersebut. Dalam kasus CMP, Amerika Serikat tidak menjadi bagian dan tidak memiliki hak suara terkait implementasi Protokol Kyoto, dikarenakan Amerika Serikat tidak meratifikasi Protokol Kyoto. Itu sebabnya, sangat penting bagi suatu negara untuk meratifikasi Kesepakatan Paris sehingga memiliki suara dan dapat terlibat dalam pembahasan tentang penentuan mekanisme, penyusunan kelengkapan (modalitas) yang diperlukan untuk mengimplementasikan Kesepakatan Paris yang nantinya akan dibahas di CMA.
Salah satu contoh Artikel yang masih abu-abu di dalam Kesepakatan Paris adalah Artikel 6 mengenai Pendekatan Kooperatif (Cooperative Approaches), tentang penggunaan mekanisme pasar karbon dan non-pasar karbon untuk pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC). Artikel ini masih memerlukan begitu banyak rincian sebelum dapat dilaksanakan, contohnya mendefinisikan apa yang dimaksud dengan mekanisme non-pasar atau transaksi internasional terkait dengan keluaran mitigasi (mitigation outcome). Selain itu Artikel ini juga memuat ketentuan penyisihan pendapatan (share of proceeds) dari pasar karbon untuk pendanaan adaptasi, yang kemungkinan besar hanya akan dapat dinikmati oleh negara-negara yang meratifikasi Kesepakatan ini.
Perlukah Indonesia meratifikasi Kesepakatan Paris?
Meratifikasi Kesepakatan Paris sesungguhnya dapat membantu Indonesia untuk memastikan aksi mitigasi dan aksi adaptasi perubahan iklim untuk sungguh-sungguh dilakukan dan terencana secara ke dalam rencana pembangunan nasional.
Kesepakatan Paris menetapkan proses kajian berkala. Dengan demikian NDC yang dikomunikasikan kepada UNFCCC akan ditinjau bersama-sama setiap lima tahun. Dari proses ini diharapkan upaya atau ambisi dari masing-masing Negara Pihak akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Itu sebabnya, akan lebih mudah bagi Indonesia untuk menyusun NDC dengan mengacu pada perencanaan jangka panjang dan menengah yang sudah ada. Misalnya, target dan aksi mitigasi sektor energi di NDC disusun dengan mempertimbangkan dan mengacu pada Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) serta mempertimbangkan hasil dari implementasi Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK).
Dengan mengacu pada perencanaan yang sudah ada, Indonesia dapat memastikan bahwa aksi-aksi perubahan iklim di sektor-sektor terkait dapat diintegrasikan dalam perencanaan pembangunan dan dilaksanakan dengan dukungan pendanaan yang memadai. Dalam jangka menengah, dokumen-dokumen perencanaan sektoral ini pun dapat juga diselaraskan dengan perkembangan negosiasi perubahan iklim global. Kondisi ini menuntut perencanaan sektoral yang lebih fleksibel tapi berorientasi pada penurunan emisi GRK dan peningkatan daya lenting.
Perlu disadari juga, bahwa terdapat perbedaan pada status Indonesia jika meratifikasi Kesepakatan Paris dibandingkan dengan ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) atau Protokol Kyoto. Dengan meratifikasi Kesepakatan Paris Indonesia akan terikat dengan segala ketentuan yang berlaku, termasuk ketentuan melakukan penurunan emisi gas rumah kaca secara konsisten sebagaimana yang akan dijanjikan dalam naskah NDC.
Kesepakatan Paris mewajibkan seluruh Negara Pihak untuk transparan dan bertanggung-gugat (accountable) dalam melakukan aksinya. Negara-negara secara universal diminta untuk melaporkan hasil aksi mitigasinya, pembangunan dan penguatan daya lenting dalam rangka aksi adaptasi, dan mampu melakukan penelusuran (tracking) berbagai dukungan yang didapat baik melalui mekanisme bilateral maupun bilateral. Kesepakatan Paris telah menyetujui proses untuk memverifikasi data dan informasi untuk aksi-aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan cara atau mekanisme yang diberikan untuk mendukung aksi-aksi tersebut. Kesepakatan Paris juga menetapkan adanya sebuah komite, yang bertugas untuk memfasilitasi implementasi kesepakatan-kesepakatan yang ada, dan mempromosikan kepatuhan. Modalitas dan mekanisme kerja dari komite ini belum ditetapkan tetapi akan menjadi bagian dari pembahasan dalam CMA.
Oleh karena itu sebagai anggota CMA nantinya Indonesia dituntut untuk menerapkan seluruh ketentuan transparansi dan akuntabilitas melalui pelaksanaan instrumen MRV (measured, reported and verified) dalam melakukan aksi mitigasi, aksi adaptasi, penggunaan dukungan pendanaan, teknologi, dan pengembangan kapasitas. Instrumen MRV tidak hanya melibatkan aksi mitigasi dari proyek-proyek publik, tapi juga aksi mitigasi yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara khususnya industri dan bisnis, yang akan terkena ketentuan untuk melakukan aksi mitigasi. Sistem MRV untuk aksi adaptasi dan dukungan-dukungan yang diterima dalam bentuk dana, teknologi, dan pengembangan kapasitas juga perlu dibangun dan terintegrasi serta terpelihara.
Dalam hal transparansi untuk dukungan (support) saja, perlu sistem yang mengintegrasikan hibah luar negeri, pinjaman dan dukungan pendanaan lainnya, serta bantuan teknis dari untuk aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dari sumber-sumber bilateral dan multilateral yang perlu dikonsolidasikan secara nasional. Sistem result-based support/result based finance (bantuan/pendanaan berbasis hasil) yang menjadi roh dari elemen pendukung (support) dalam Kesepakatan Paris perlu mulai ditelaah kompatibilitasnya dengan instrumen penganggaran dan pelaporan yang saat ini berlaku di Indonesia.
Tantangan lainnya adalah memobilisasi pendanaan di tingkat domestik untuk mendanai aksi-aksi perubahan iklim. Dengan demikian Indonesia tidak harus selalu mengandalkan bantuan internasional, khususnya untuk melakukan aksi mitigasi yang dijanjikan dalam NDC.
Walaupun, kebutuhan pendanaan negara berkembang untuk mengimplementasikan masih menjadi prioritas untuk dukungan pendanaan, namun untuk negara seperti Indonesia sebaiknya mulai mengoptimalkan sumber pendanaan domestik yang tersedia, sembari memperbaiki kesiapan institusi domestik dan kemampuan mengakses pendanaan iklim di tingkat internasional secara langsung (direct access).
Bank Dunia dalam kajiannya yang bejudul Turn Down the Heat[3], menyatakan bahwa wilayah Asia Tenggara akan mengalami risiko di daerah pesisir dan juga dari segi produktivitas. Hal ini disebabkan karena Asia Tenggara memiliki paparan yang terus meningkat terhadap dampak slow-onset yang terkait dengan kenaikan muka air laut, pemanasan laut dan peningkatan asidifikasi yang dikombinasikan dengan peningkatan panas ekstrim dengan cepat. Kajian tersebut menyatakan bahwa hampir semua terumbu karang di wilayah Asia Tenggara akan mengalami tegangan termal dengan tingkat pemanasan antara 1.5oC – 2oC. Terkait dengan hal ini, kajian tersebut menyatakan bahwa Indonesia merupakan daerah wisata yang paling rentan dengan dampak ini.
Meratifikasi Kesepakatan Paris juga memberi kesempatan bagi Indonesia memahami secara utuh dampak perubahan iklim yang akan terjadi di Indonesia, termasuk potensi kehilangan dan kerusakan yang akan terjadi, jika temperatur rata-rata bumi meningkat lebih dari 2oC. Ini adalah modal baik untuk menetapkan sektor-sektor prioritas di masa depan, sasaran dan ragam intervensi yang perlu diambil untuk meningkatkan daya lenting dan mengurangi resiko dampak perubahan iklim. Meratifikasi Kesepakatan Paris berarti Indonesia juga memikirkan masa depan bangsa dengan berkontribusi secara global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, demi mengurangi dampak perubahan iklim yang mungkin terjadi di Indonesia.
Memperhatikan beberapa keperluan yang disebutkan di atas, sepertinya tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak meratifikasi Kesepakatan Paris, sebelum CMA 1 berlangsung, yang diperkirakan akan terjadi pada COP 22 di Marakesh mendatang. Sebagai negara yang merepresentasikan 1,49% dari total emisi dunia[4], Indonesia sudah seharusnya menunjukkan komitmennya untuk berbagi upaya (effort sharing) dengan negara lainnya, baik negara maju maupun negara berkembang, untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, serta mendukung aksi-aksi perubahan iklim lainnya, termasuk adaptasi perubahan iklim baik secara domestik, maupun bekerja sama melalui Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation).
Kerjasama erat dan komunikasi dari eksekutif, yang diwakili oleh Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan legislative yaitu DPR dan DPD merupakan kunci untuk Indonesia dapat meratifikasi Kesepakatan Paris melalui instrumen Undang-Undang sebelum COP-22 yang akan berlangsung mulai tanggal 7 November 2016. Tidak bisa ditinggalkan juga adalah kepedulian dan dukungan publik untuk memastikan Indonesia mengambil tanggung jawab yang sesuai dengan kemampuan dan situasi nasional untuk mengatasi tantangan perubahan iklim global.
[1] Artikel 21 dari Kesepakatan Paris paragraf pertama menyatakan bahwa, Kesepakatan Paris akan diberlakukan pada hari ketigapuluh setelah tanggal di mana 55 negara Pihak di bawah Konvensi dengan total perhitungan kontribusi emisi gas rumah kaca sebesar 55%, telah mendepositkan instrumen ratifikasi, penerimaan, atau pun aksesi.
[2] UNFCCC Legal Affairs Programme. Entry into force of the Paris Agreement: legal requirements and implications. Information Note.
[3] World Bank. Turn Down the Heat. Juni 2013.
[4] Report of the Conference of the Parties on its 21st session: Proceedings, Annex I, diambil dari: http://unfccc.int/resource/docs/2015/cop21/eng/10.pdf#page=30