Skip to content

Momentum Kenaikan Harga BBM Tidak Tepat

Author :

Authors

JAKARTA – Pemerintah menilai saat ini bukan lagi waktu yang tepat untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pemerintah pun belum memiliki rencana untuk menaikkan harga BBM bersubsidi tahun ini.

Dalam pandangan Kementerian Keuangan, Maret hingga Mei merupakan waktu yang tepat untuk menaikkan harga BBM karena merupakan masamasa deflasi. Dengan demikian, kenaikan harga BBM bersubsidi relatif tidak akan memicu kenaikan inflasi. “Kalau sekarang dinaikkan sudah telat dan justru akan menyulitkan.

Rakyat jadi terbebani, karena sebentar lagi liburan sekolah selesai (mulai tahun ajaran baru), masa panen sudah habis, dan akan masuk bulan puasa serta Natal di akhir tahun,” tutur Andie Megantara, kepala Pusat Kebijakan Ekonomi
Makro, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, dalam Workshop Reformasi Subsidi Energi di Indonesia, Jakarta, Selasa (5/7).

Menurut dia, jika harga BBM dinaikkan sekarang, akan meningkatkan inflasi dan harga ma kin tidak keruan. Selain angka kemiskinan menjadi naik, industri juga kena dampak negatif dan pertumbuhan ekonomi melambat Dampak itu menyulitkan Ke
menterian Koordinator Bidang Perekonomian untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, meski Kementerian Keuangan sudah mendesak terus agarAPBN tidak jebol. “Jika hendak menaikkan harga BBM, mau tidak mau, dila kukan tahun depan,” papar dia.

Saat ini, lanjut Andie, langkah yang tepat adalah mengurangi kenaikan konsumsi BBM bersubsidi. Caranya adalah mengurangi volume pasokan BBM tersebut atau menahan kuotanya. Sejak 2005, realisasi konsumsi BBM bersubsidi selalu lebih dari kuota yang ditetapkan APBN. Sepanjang tahun ini, realisasi konsumsi bahan bakar tersebut sudah di atas 50% dari kuota yang sebelumnya dipatok pemerintah sebanyak 38,6 juta kiloliter untuk 2011.

Di tempat terpisah, Menko Perekonomian Hatta Rajasa menjelaskan, meski subsidi BBM membengkak pada paruh pertama 2011, pemerintah belum memutuskan untuk menaikan harga BBM H. Sebab, pemerintah juga memikirkan efek domino kenaikan harga tersebut, termasuk pengaruhnya terhadap penambahan jumlah orang miskin.

“Aspek fiskal bukan satu-satunya yang dipertimbangkan pemerintah,” jelas Hatter usai menerima menteri urusan Uni Eropa dan kerja sama internasional Belanda di Jakarta, kemarin.

Saat ini, menurut Hatta, pemerintah masih mempertimbangkan berbagai hasil kajian pengaturan BBM bersubsidi, baik yang dilakukan tim ekonom pimping Anggito Abimayu maupun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Kalau inflasi menjadi tinggi dan days bell masyarakat menurun, kemiskinan naik dan ini juga costyang besar sekali. Oleh sebab itu, semuanya kami hitung,” jelas Hatta.

Hatta mengatakan, pemerintah menyadari risiko tidak menaikkan harga BBM bersubsidi, termasuk ancaman lembaga pemeringkat untuk tidak meningkatkan status Indonesia menjadi investment grade (layak investasi) tahun depan. Meski pemerintah memperhitungkan juga soal peringkat layak investasi tersebut, hal ini bukanlah segala-galanya.

“Memang ada risiko, namun kitalah yang paling tahu bagaimana melindungi masyarakat dan me-manage perekonomian sendiri. Dulu waktu pemerintah
menaikkan harga BBM tahun 2005, butuh waktu untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia,” ujar Hatta.

Menteri Keuangan (Menkeu) Agus DW Martowardojo menjelaskan, opsi kenaikan harga BBM bersubsidi masih terus dipelajari. Adanya moratorium pengiriman TKI dan faktor-faktor lain harus diperhitungkan.

“Jadi, kami nggak menaikkan harga BBM dulu,” tukas dia usai menghadiri rapat paripurna di Gedung DPP, Jakarta, kemarin.

Tahun ini, jelas Agus, ada tambahan kuota BBM bersubsidi menjadi 40,4juta kiloliter sehingga anggaran subsidinya naik menjadi Rp 120 triliun. Pemerintah sebelumnya mengalokasikan Rp 95,9 triliun untuk subsidi BBM 2011 dan hingga semester I diperkirakan telah terpakai Rp 41,6 triliun. Namun, pada semester II, konsumsi BBM tersebut diperkirakan lebih besar dan membutuhkan subsidi Rp 79,2 triliun. “Anggaran Rp 120 triliun itu digunakan untuk BBM bersubsidi maksimum 40,4 juta kiloliter,” kata Agus.

Dalam APBN 2011, pemerintah semula mematok asumsi harga minyak US$ 80 per barel, namun harga minyak dunia melonjak dan sempat mencapai US$ 115 per barel.

Pada semester I lalu, harga rata-rata minyak dunia diperkirakan menembus US$111 per bare] dan pada semester II mendatang diproyeksikan sebesar US$ 79 per bareL “Sedangkan outlook2011 sebesar US$ 95 per barel,” papar Menkeu.

Penyelewengan Sementara itu, anggota Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Adi Subagyo mengatakan, kelangkaan BBM di sejumlah daerah dan antrean panjang di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) bukan karena kelangkaan BBM. PT Pertamina hingga kini masih mempunyai stok yang cukup untuk dipasok ke masyarakat.

Menurut dia, masalah tersebut terjadi karena penyalahgunaan BBM bersubsidi. Penyebab lain adalah penggunaan BBM berlebihan dan pertumbuhan kendaraan yang mencapai 22% per tahun. Masyarakat juga panik melihat antrean di SPBU, sehingga menjadi ikut-ikutan membeli dalam jumlah besar.

Adi menjelaskan, adanya disparitas harga antara BBM subsidi dan nonsubsidi menyebabkan BBM tersebut dijual ke industri dan secara eceran dengan harga lebih tinggi. Para pelaku penyalahgunaan BBM itu memperbesar kapasitas tangki bensin mobil dari 20 liter menjadi 50-100 liter. Sedangkan pedagang eceran membeli BBM bersubsidi di SPBU berulang kali. “Hal itu menyebabkan berkurangnya stok BBM di SPBU, berpindah ke mobil modifikasi pars pelaku penyalahgunaan BBM bersubsidi,” ucap dia.

Dia menjelaskan, perbedaan harga antara BBM bersubsidi dan nonsubsidi tergantung pada harga keekonomian BBM dan keputusan pemerintah. Untuk harga keekonomian, pemerintah Indonesia tidak bisa mengontrol, karena mengikuti harga minyak mentah dunia.

Executive Dlrectorlnstitute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memperkirakan, total subsidi energi tahun depan mencapai Rp 180 triliun lebih. Tahun ini, kebutuhan subsidi BBM dan listrik itu diperkirakan Rp 160-170 triliun, melonjak dari anggaran yang semula ditetapkan Rp 137 triliun.

Dalam lima tahun terakhir, lanjut dia, subsidi energi berkisar 15-18% dari total realisasi APBN. `°Tahun ini, kenaikan kebutuhan subsidi itu akibat melonjaknya harga minyak mentah di pasar internasional yang sudah melebihi asumsi APBN, ditambah konsumsi BBM bersubsidi meningkat. Konsumsi BBM untuk pembangkit listrik juga ,naik, akibat keterlambatan program percepatan PLTU 10.000 megawatt,” papar Fabby.

la menyarankan pemerintah segera mereformasi kebijakan subsidi energi, yang makin tinggi kebutuhannya seiring kenaikan konsumsi dan harga. Hal itu dapat dilakukan melalui rasionalisasi dan penetapan target penerima manfaat subsidi yang lebih tepat, dengan didukung kebijakan mitigasi untuk mengantisipasi dampak reformasi.

Agar subsidi tidak makin membebani anggaran negara, kata Agus, salah satu caranya adalah pemerintah `melepas’ harga BBM jenis Pertamax ke harga pasar. Minyak tanah – yang termasuk jenis BBM bersubsidi – konsumsinya juga telah turun berkat keberhasilan program konversi ke elpiji.

“Kita memang melihat adanya peningkatan konsumsi BBM bersubsidi, namun sebenarnya ada pula penurunan konsumsi minyak tanah karena keberhasilan program konversi ke elpiji,” terang dia.

la mengatakan, dari sisi fiskal, pemerintah tidak ingin ada pos anggaran yang terlampaui. Untuk itu, pihaknya berusaha mengendalikan agar konsumsi BBM bersubsidi tidak terus meningkat. (wyu/c10/c06/c05)

sumber: migas.esdm.go.id.

Share on :

Comments are closed for this article!

Related Article

IESR-Secondary-logo

Dengan mengirimkan formulir ini, Anda telah setuju untuk menerima komunikasi elektronik tentang berita, acara, dan informasi terkini dari IESR. Anda dapat mencabut persetujuan dan berhenti berlangganan buletin ini kapan saja dengan mengklik tautan berhenti berlangganan yang disertakan di email dari kami. 

Newsletter