Skip to content

Waduk untuk Pembangkit, PLN Menanti Kerja Sama Kementerian PUPR

jatiluhur

Author :

Authors

14 November 2019//19:08 WIB

Bisnis.com, JAKARTA – PT PLN (Persero) mengaku telah mengajukan permohonan kerja sama ke Kementerian PUPR untuk mendapatkan ijin memanfaatkan waduk eksisting sebagai pembangkitan.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani mengatakan pembangunan pembangkit dengan memanfaatkan waduk eksisting akan mempercepat realisasi bauran EBT. Setidaknya, produsen listrik tidak perlu membangun bendungan maupun waduk untuk membangun PLTA sehingga waktu konstruksi dapat dipersingkat.

Sripeni mengatakan dengan memanfaatkan waduk milik Kementerian PUPR, pembangunan pembangkit listrik tenaga hydro dapat dilakukan dalam waktu tiga tahun atau lebih singkat dari biasanya yang selama lima tahun. Pada satu tahun pertama pengadaan pembangkit listrik tenaga hydro, PLN akan melakukan studi kelayakan (feasibility study/FS).

Setelah itu, dua tahun selanjutnya akan dilakukan pembangunan pembangkitan. Artinya, dalam tiga tahun saja, pembangkit tersebut sudah dapat beroperasi komersial (commercial operation date/COD).

Menurutnya, selain dapat mempersingkat waktu pengadaan pembangkitan, waduk yang dibangun Kementerian PUPR juga memiliki ukuran-ukuran besar sehingga potensi listrik yang dihasilkan juga akan sebanding besarnya.

“Tiga [tahun] sudah jadi dengan memanfaatkan itu, cuma masalahnya waduk ada yang memang secara teknis bisa dimanfaatkan, masih cukup lahan untuk plant stall atau teknologi-teknologi, masih ada yang perlu kita kaji dan kita perlu detailkan,” katanya, Kamis (14/11/2019).

Sripeni menegaskan rencana memanfaatkan waduk tersebut sangat penting untuk mempercepat bauran EBT 23% pada 2025. Apabila mendorong realisasi pengadaan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) akan membutuhkan waktu tujuh tahun.

Sementara itu, jika memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) maupun pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) , diakuinya, bisa lebih cepat. Hanya saja, sifat PLTS dan PLTB adalah intermiten sehingga tetap perlu dibangun pembangkit yang mampu menjadi beban dasar (base load).

PLN juga memiliki pilihan untuk memanfaatkan sumber daya biomassa setempat. Hanya saja, listrik yang diproduksi biasanya kecil dan juga memperlukan sosialisasi ke masyarakat.

“23% pada 2025, itu mesti kita rinci, karena ebt ini relatif. Saya lagi nunggu Menteri PUPR dan PLN sudah mengajukan permohonan kerja sama,” katanya.

Direktur Perencanaan PLN Syofvi Felienty Roekman mengatakan pihaknya menarget pada tahun depan kerja sama dengan Kementerian PUPR tersebut sudah dapat dilakukan.

Rencananya, salah satu lokasi yang potensi airnya akan dimanfaatkan sebagai waduk sekaligus pembangkit listrik  berada di Kalimantan Timur. Pembangunan pembangkit listrik tenaga hidro di Kalimantan Tiur bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik ibukota baru.

Menurutnya, meskipun nota kesepahaman belum ditandatangi, pihaknya dengan Kementerian PUPR telah melakukan diskusi panjang untuk membahas rencana tersebut. Rencana tersebut dinilai harusnya bisa terealisasi tahun depan mengingat kebutuhan listrik yang cukup besar di sejumlah lokasi, terutama ibu kota baru di Kalimantan Timur.

Apalagi, rencana memanfaatkan waduk sebagai pembangkit listrik di Kalimantan Timur sejalan dengan harapan pemerintah yang menginginkan pemanfaatan energi baru terbarukan 100% sebagai sumber bahan bakar pembangkit listrik di ibu kota baru.

Adapun berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019 – 2028, potensi energi primer di Kalimantan Timur meliputi cadangan Batu Bara 25 miliar ton, Uranium, Cadangan Gas Bumi 46 triliun standard cubic feet (TSCF), cadangan Minyak Bumi 985 Million Stock Tank Barrels (MMSTB), potensi Gas Metan Batu Bara (CBM) 108 TSCF, Air 830 MW, Bioenergi 13,5 MW, dan Surya 0,7 MW.

Pemerintah melalui Kementerian ESDM memprediksi kebutuhan tambahan tenaga listrik di ibu kota baru yakni sekitar 1.196 MW. Sedangkan, untuk menjamin keandalan dengan cadangan atau reserve margin 30%, dibutuhkan pembangunan pembangkit sekitar 1.555 MW.

Sembari menunggu nota kesepahaman tersebut diteken, PLN saat ini juga sedang menyusun rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2020 -2029 yang nantinya akan memetakan sejumlah lokasi yang akan menerapkan kerja sama tersebut. Penentuan lokasi sangat penting lantaran tidak lokasi yang berpotensi dibangun waduk memiliki kebutuhan listrik yang tinggi.

PLN perlu memetakan demand atau kebutuhan listrik sebelum menentukan lokasi mana yang waduknya dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan. Hingga saat ini, lokasi yang dapat dipastikan untuk dilakukan pemanfaatan waduk sebagai pembangkitan adalah di Kalimantan Timur.

“Kemarin yang diminta Kalimantan Timur karena ingginya suplai EBT sesuai kebutuhan, ekpektasinya untuk mendukung ibu kota baru,” katanya.

PLN akan mengincar pembangunan pembangkit listrik pada waduk-waduk baru yang akan dibangun. Pasalnya, waduk-waduk eksting saat ini memiliki debit air kecil sehingga tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk pembangkitan.

Apabila kerja sama tersebut disepakati, PLN dan PUPR akan duduk bersama dalam mengembangkan desain waduk sehingga dapat sesuai untuk memenuhi kebutuhan pembangkitan.

“Waktu pertama kali bangun aduk, kita merencanakan un sudah harus duduk bersama-sama membahas berapa debiy mau bikin bendungan, desainnya sama, kita sebut joint planning,” katanya.

Terpisah, Kementerian ESDM mengaku mendukung rencana PLN melakukan kerja sama dengan Kementerian PUPR dalam membangun pembangkitan di waduk maupun bendungan.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Harris mengatakan sebenarnya kerja sama dalam pemanfaatan nilai tambah waduk telah dilakukan. Hanya saja kerja sama tersebut dilakukan antara Kementerian ESDM dengan Kementerian PUPR dengan pemanfaatan nilai tambah waduk berupa pemenuhan air baku, untuk irigasi, dan pembangkit listrik.

Dalam perjalanannya, pemanfaatan waduk untuk pembangkit listrik menjadi terkendala sejak dirilisnya peraturan menteri (Permen) ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi baru terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Beleid tersebut mewajibkan setiap pembangunan pembangkit EBT harus dilakukan melalui mekanisme pengadanaan yang memerlukan proses seleksi.

Di lain sisi, lantaran waduk yang dibangun merupakan aset Kementerian PUPR, juga dilakukan pelelangan untuk konstruksi. Dua mekanisme lelang tersebut menjadi tumpang tindih dan menghambat pengembangan waduk sebagai pembangkitan.

“Nah memang potensi itu banyak, kan ada ratusan waduk bisa dikembangkan dan melalui kementerian pupr dilakukan semacam meningkatkan nilai tambah aset dengan mengundang partispasi swasta mengembangkan PLTMH, rencana listrik jual ke PLN, konsepnya seperti itu kmren ad kendala kita lagi berproses,” katanya.

Direktur Institute For Essential Services (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan kerja sama antara PLN dan Kementerian PUPR dalam memanfaatkan waduk sebagai pembangkitan seharusnya sudah dimulai sejak lama. Setidaknya, selain dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga hydro, waduk tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai PLTS terapung maupun pump storage.

PLTA pump strorage akan menyokong atau menjadi cadangan sumber daya pembangkit energi baru terbarukan (ebt) yang bersifat intermiten atau tidak stabil. Pump Storage akan memanfaatkan air yang dibendung untuk mengerakkan turbin dalam menghasilkan listrik.

“Menurut saya ini hal yang bagus untuk diterapkan, sepanjang layak teknis dan ekonomisnya. Waduk yang dirancang multipurpose bisa saja dikembangkan menjadi pembangkit listrik ,” katanya.

Artikel asli

Share on :

Comments are closed for this article!

Related Article

IESR-Secondary-logo

Dengan mengirimkan formulir ini, Anda telah setuju untuk menerima komunikasi elektronik tentang berita, acara, dan informasi terkini dari IESR. Anda dapat mencabut persetujuan dan berhenti berlangganan buletin ini kapan saja dengan mengklik tautan berhenti berlangganan yang disertakan di email dari kami. 

Newsletter