Selasa, 23 Februari 2021-Indonesia perlu berupaya lebih keras untuk mencegah peningkatan suhu bumi di bawah 2℃, dengan mengurangi penambahan emisi gas rumah kaca (GRK) di dunia, di antaranya dengan mendorong penetrasi energi terbarukan dan transportasi yang ramah lingkungan.
Sektor transportasi menjadi penyumbang sekitar seperempat dari total emisi GRK global. Jumlah emisi ini akan semakin meningkat seiring semakin berkembangnya perekonomian suatu negara. Di tahun 2019, sektor transportasi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia terbesar kedua (157 juta ton CO2 atau 27 %) setelah sektor industri (215 juta ton CO2 atau 37%).Banyak negara di dunia, termasuk Cina, Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa semakin mengadopsi kendaraan listrik yang terbukti memiliki emisi rendah dan efisiensi penggunaan energi listriknya lebih baik daripada kendaraan konvensional.
Pada hari ini secara daring, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina, yang berisi rekomendasi strategi dan kebijakan penting bagi pemerintah untuk kemajuan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.
“Hingga hari ini ada 17 negara yang sudah tidak mengizinkan penjualan kendaraan berbasis fosil fuel dari 2025-2040, salah satunya adalah Norwegia yang akan melarang kendaraan internal combustion engine, pada tahun 2025,” tandas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Kendaraan listrik dipandang sebagai salah satu solusi untuk menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi. Perkembangan kendaraan listrik dalam satu dekade juga semakin pesat. Fabby menambahkan bahwa secara global, mobil listrik mengalami kenaikan pesat dalam satu dekade terakhir, dari 0,1 market share di 2011, menjadi 4,4 % di tahun 2020.
“Walaupun secara umum, penjualan kendaraan menjadi turun sebesar 15 persen karena pandemi Covid-19, tapi permintaan kendaraan listrik tercatat meningkat di sejumlah negara. Dibandingkan tahun 2019, di Cina naik 5 persen, Eropa meningkat 10 persen, Amerika Serikat naik 4 persen,” paparnya.
Mengutip data dari IEA, Fabby menegaskan bahwa agar temperatur bumi terjaga sesuai kesepakatan Paris, maka adopsi kendaraan listrik haruslah sebesar 13,4% dari total kendaraan dari tahun 2030.
Indonesia Belum Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik Secara Terencana
Idoan Marciano, Penulis Kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina menjelaskan alasan IESR memilih ketiga negara itu sebagai best practices yang bisa ditiru oleh Indonesia. Terbukti, negara yang mencatatkan adopsi kendaraan listrik tertinggi (2019) adalah Cina (3,4 juta unit) dan Amerika Serikat (1,5 juta unit), sedangkan negara dengan pangsa pasar kendaraan listrik terbesar di negaranya di dunia adalah Norwegia (lebih besar dari 50 persen).
IESR memandang bahwa ekosistem kendaraan listrik di Indonesia belum terbangun dengan baik. Adapun ekosistem yang dimaksud dalam studi ini mencakup beberapa aspek, yaitu: (a) insentif dan kebijakan pendukung dari pemerintah, (b) infrastruktur pengisian daya; (c) model dan pasokan kendaraan listrik; (d) kesadaran dan penerimaan publik; (e) rantai pasokan baterai dan komponen kendaraan listrik.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian menargetkan jumlah kendaraan listrik mencapai 20% dari total produksi kendaraan di tahun 2025 (400.000 kendaraan beroda empat Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) dan 1.760.000 kendaraan listrik beroda dua). Namun, hingga bulan Agustus 2020 tercatat baru ada sekitar 2.279 kendaraan listrik yang sudah layak jalan.
“Untuk motor listrik, sebanyak 1.947 unit, belum mencerminkan jumlah adopsi setelah Indonesia meluncurkan program akselerasi pengembangan kendaraan listrik karena angka tersebut masih menggambarkan kendaraan listrik berperforma rendah, sudah ada dari tahun sebelumnya,” imbuh Idoan.
Agar realisasi target terpenuhi, IESR mendorong agar pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan fiskal sehingga membuat harga kendaraan listrik lebih kompetitif. Berkaca dari pengalaman ketiga negara tersebut, insentif dapat berupa pembebasan PPN, pajak registrasi, bea impor serta pemberian subsidi. Sementara saat ini total insentif yang diberikan pemerintah Indonesia hanya mampu mengurangi sekitar 40 persen dari harga awal kendaraan listrik yang masuk ke Indonesia.
Tidak kalah penting adalah pemberian insentif non-fiskal yang sesuai dengan kebutuhan pengguna seperti kemudahan mendapatkan plat nomor (registrasi) yang dinilai sangat menambah daya tarik kendaraan listrik di Cina, pemberian akses ke jalur berpenumpang banyak (high occupancy vehicle) di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, dan pemberian akses jalur bus di Norwegia.
“Saat ini Indonesia belum mempunyai aturan pembatasan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, dibandingkan negara pembanding yg sudah menargetkan 100 persen EV di 5-20 tahun kedepan,” tukas Idoan.
Selain itu, dari sisi pasokan, pemerintah perlu pula meningkatkan kuantitas dan ketersediaan beragam model kendaraan listrik dengan memberikan kebijakan yang mendorong produsen untuk memproduksi lebih banyak kendaraan listrik, seperti dengan penetapan standar efisiensi bahan bakar pada tahap awal dan penggunaan mekanisme kredit kendaraan listrik saat pasar sudah semakin berkembang seperti yang diterapkan di Cina dan California.
Dalam mendukung terciptanya industri kendaraan listrik domestik, pemerintah dapat belajar dari Cina dengan memberikan insentif khusus bagi produsen lokal dan menggunakan pengadaan umum sebagai alat untuk menggenjot volume produksi kendaraan listrik buatan lokal sehingga mempercepat terjadinya economies of scale.
Pembangunan dan perluasan jaringan SPKLU dan SPBKLU, serta penyiapan infrastruktur home charging diperlukan untuk menunjang adopsi kendaraan listrik. Rasio kendaraan listrik terhadap SPKLU pada tahun 2019 di Cina paling masif yakni rasio 6,5:1. Rasio tersebut menggambarkan negara-negara dengan tingkat pengembangan kendaraan listrik yang lebih matang. Sementara Indonesia bila mengikuti peta jalan yang dikeluarkan PLN, hanya akan mencapai sekitar 70:1.
Studi ini merekomendasikan beberapa strategi dan kebijakan yang dapat diadopsi oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, yakni
- Penyelarasan target transisi menuju kendaraan listrik yang bersifat mengikat.
- Perlunya peta jalan transisi menuju kendaraan listrik yang terintegrasi
- Penerapan kebijakan pembatasan penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil
- Pemberian insentif finansial dari pemerintah pusat untuk mengurangi harga beli kendaraan listrik hingga minimal sekitar 50 persen untuk mobil listrik, untuk motor listrik hanya lebih mahal 5-10 persen dari harga motor konvensional
- Pemberian insentif fiskal dan non-fiskal oleh pemerintah daerah yang sesuai dengan kondisi daerah setempat
- Adanya ketentuan yang mensyaratkan transfer teknologi dalam kolaborasi dengan produsen internasional.
- Penetapan kebijakan dari sisi pasokan untuk mendorong produksi dan ketersediaan model kendaraan listrik
- Pemberian insentif yang menunjang R&D kendaraan listrik dan baterai
- Pengembangan industri dan rantai pasokan kendaraan listrik
- Pengembangan infrastruktur pendukung kendaraan listrik SPKLU dan SPBKLU perlu direncanakan yang lebih baik agar peta jalan tersebut dapat menyamai target
- Elektrifikasi transportasi umum sebagai jalur masuk adopsi kendaraan listrik. IESR mengapresiasi untuk kolaborasi yang sudah berjalan.
- Promosi dan kampanye kendaraan listrik sebagai kendaraan ramah lingkungan yang diinisiasi oleh pemerintah
Laporan kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina dapat diunduh di:
https://iesr.or.id/pustaka/mengembangkan-ekosistem-kendaraan-listrik-di-indonesia