JAKARTA: Sebanyak 23 perusahaan industri ekstraktif di Indonesia dinilai masih tertutup soal pendapatan maupun pembayaran pajak dalam kerangka Extractive Industries Transparancy Initiative (EITI) padahal tenggat waktu pelaporan mengenai hal tersebut adalah 31 Maret 2012.
Data EITI per 23 Mei 2012 yang diperoleh Bisnis menunjukkan sebanyak 19 perusahaan batu bara dan empat perusahaan mineral belum mengembalikan formulir terkait dengan upaya transparansi di sektor ekstraktif.
Di bawah kerangka tersebut, perusahaan migas, mineral dan pertambangan melaporkan jumlah pendapatan yang diberikan kepada pemerintah dan pemerintah melaporkan berapa jumlah pendapatan yang dikumpulkan. Komisi multi-pihak kemudian akan mengawasi mengenai publikasi dan perbandingan antara keduanya.
Ruang lingkup EITI merujuk pada sektor ekstraktif, perusahaan dan unit produksi yang akan melapor, tipe aliran pendapatan yang dilaporkan dan pemerintah yang mengumpulkan aliran tersebut, serta jumlah aliran pendapatan yang dilaporkan.
Selain itu, terdapat upaya rekonsiliasi dengan audit terbatas serta audit penuh ketika angka sama sekali tak sesuai, tingkat disagregasi dalam laporan EITI akhir dan periode waktu yang dimasukkan dalam periode laporan pertama.
Ketika dimintai tanggapannya, mantan Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Ridaya Laodengkowe mengatakan yang harus diperhatikan adalah perusahaan batu bara karena pihaknya mendapatkan laporan sejumlah perusahaan tak dapat dihubungi. Menurutnya, jika itu dilakukan secara sengaja, maka ada hal-hal tertentu yang diduga disembunyikan.
“Mungkin saja ada alasan teknis. Tetapi status sebagian mereka cenderung diam, dan saya mendapatkan laporan tersebut. Mungkin perusahaan itu menghindari dan dapat diduga menyembunyikan sesuatu,” ujar Ridaya ketika dikonfirmasi Bisnis di Jakarta, Minggu 27 Mei 2012.
Data 19 perusahaan batu bara yang belum mengembalikan formulir terkait dengan pajak, non-pajak, serta volume produksi adalah Bahari Cakrawala Sebuku, Barajaya Utama, Binamitra Sumberarta, Borneo Indobara, Bukit Baiduri Energi, Fajar Bumi Sakti, Gema Rahmi Persada, Harifa Taruna Mandiri, dan Interex Sacra Raya,. Selanjutnya adalah Kartika Selabumi Mining, Kayanputra Utama Coal, Kideco Jaya Agung, Mandiri Intiperkasa, Multi Harapan Utama, Multi Tambangraya Utama, Nusantara Thermal Coal, Riau Bara Harum, Senamas Energindo Mulia, dan Transisi Energi Satunama.
Sementara itu, khusus perusahaan mineral adalah Donna Kebara Jaya, Gunung Sion, Makmur Jaya dan Newmont Nusa Tenggara. Tenggat waktu yang diberikan sebenarnya adalah 31 Maret 2012, namun perusahaan-perusahaan itu diberikan kesempatan terakhir pada 15 Mei 2012.
Pemerintah Indonesia akan melakukan proses validasi pada April 2013. Data EITI juga menyebutkan sekitar 35 perusahaan batu bara dan 13 perusahaan mineral telah mengembalikan formulir mengenai transparansi.
“Bagaimana pemerintah dapat melakukan proses validasi tahun depan ketika rekonsiliasi data belum dirampungkan?” kata Ridaya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan transparansi dan akuntabilitas sangat berpengaruh pada persoalan bisnis dan investasi di Indonesia. Jika pemerintah tak bisa melaporkan keterbukaan informasi di sektor ekstraktif, sambungnya, maka reputasi internasional Indonesia akan melorot.
Dia mengungkapkan hal itu akan berpengaruh pada risiko investasi yang dinilai akan semakin besar ketika Indonesia gagal membuat sektor ekstraktif menjadi transparan. Fabby memaparkan ketertutupan informasi dari sejumlah perusahaan itu juga dapat saja berasal dari faktor kesengajaan.
“Memang ada pelbagai kemungkinan, seperti masalah tidak tahu dan keterlambatan. Tetapi ada juga kemungkinan lainnya yakni mereka memang tak mau menyerahkan dan memang bandel,” paparnya. “Pemerintah seharusnya memberikan pinalti kepada perusahaan yang tidak patuh.”
Aturan mengenai transparansi industri ekstraktif diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 20/2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif. Dalam Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, BP Migas serta perusahaan industri ekstraktif menyerahkan laporannya kepada Tim Transparansi melalui Tim Pelaksana.
Fabby memaparkan pihaknya mendorong agar ada mekanisme yang dapat memberikan pinalti kepada perusahaan yang tak mematuhi aturan mengenai transparansi pendapatan, pajak maupun volume produksi.
Dia mencontohkan penalti itu bisa tidak diperpanjangnya izin-izin perusahaan yang bersangkutan. (ea)