Avatar dan Nasib Indigenous People Dunia

Saya rasa sudah banyak orang membahas betapa kerennya film Avatar karya James Cameron yang memakan budget hingga 400 juta US$ lebih ini. Film yang bercerita tentang perjuangan suku-suku asli bernama Navi di planet Pandora tahun 2154 yang melawan kekuatan korporasi dari planet bumi ini memang sangat lengkap. Cameron menggabungkan kecanggihan efek visual animasi, dengan cerita drama, dan aksi yang heroik ini dengan memikat. Memuaskan dahaga mata penontonnya.

Untuk mendapatkan hasil seperti yang terlihat di film ini, Cameron telah menyiapkannya sejak 1995, setelah dia meluncurkan film Titanic yang sukses besar itu. Namun dia menahan diri untuk menanti teknologi film yang mutakhir guna memberikan efek visualisasi yang tepat bagi film Avatar. Sambil menanti waktu yang tepat, Cameron telah memikirkan bagaimana bentuk planet dan isinya, menciptakan bahasa dan budaya bagi penghuninya, bahkan bentuk semua makhluknya, termasuk bangsa Navi “manusia” planet Pandora.

Karena alamnya masih begitu murni maka penghuninya pun berukuran “raksasa”. Bangsa Navi yang diciptakan Cameron dalam film ini berkulit biru, bertubuh manusia namun mempunyai hidung dan mata seperti Singa. Secara fisik mereka berukuran lebih tinggi dan lebih kuat dari manusia. Mereka juga mempunyai ekor dan rambut panjang yang pada bagian ujungnya ada selusuran rambut lainnya yang selalu digunakan ketika mereka ingin berinteraksi dengan makhluk lainnya di planet tersebut. Selusuran bagian rambut ujung ini seperti alat komunikasi mereka dengan alam. Secara sosial mereka sama seperti manusia namun lebih mengedepankan nilai-nilai kearifan dalam hidup harmoni bersama alam dan lingkungannya. Mereka juga cukup relegius dan mempercayai kekuatan dewa yang mereka sebut sebagai Eywa.

Tapi di sini saya tidak membahas tentang bagaimana hebatnya kecanggihan dan menariknya cerita di film tersebut.  Tulisan ini hanya ingin menjelaskan bahwa  gambaran perjuangan bangsa Navi, Suku Omitacaya, Planet Pandora, dalam film Avatar tersebut sesungguhnya hingga kini dalam kehidupan nyatanya masih terjadi di beberapa belahan planet bumi ini.

Dalam catatan yang ditulis news.mongabay.com menyebutkan bahwa selama beberapa dekade ini, suku-suku asli di seluruh dunia telah berhadapan dengan perusahaan pertambangan, penebangan kayu, perkebunan monokultur dan kelapa sawit, yang semuanya bertekad mengeksploitasi tanah tempat suku-suku asli itu berdiam sejak ribuan tahun lalu. Perusahaan-perusahaan ini, seperti halnya dalam film Avatar, biasanya didukung penuh oleh kekuatan pemerintah dan akses mendapatkan ‘pasukan keamanan’. Biasanya mantan-mantan militer dan polisi diikutsertakan dalam sektor pengamanan ini.

Namun tidak seperti film, di mana kelompok pribumi menang atas perusahaan dan penjajahan atas alam mereka, dalam kisah nyata suku-suku asli di planet bumi justru jarang berakhir dengan adil apalagi bahagia: dari Peru, Brasil, Ekuador, Malaysia, hingga Indonesia.

Kasus Papua

Di Papua misalnya. Sejak kedatangan PT. Freeport Indonesia tahun 1971, kehidupan suku Amugme kini tidak sama lagi seperti sebelumnya. Sebagai informasi PT Freeport adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

Seperti dalam film Avatar, perusahaan RDA Pandora menyerang tempat keramat bangsa Navi, dalam kasus Suku Amugme, Papua, PT Freeport menambang area tempat yang selama ini dikeramatkan suku tersebut, sejak Freeport datang ke sana di tahun 1971. Sejatinya tempat itu secara adat tidak diijinkan untuk dimasuki apalagi dieksplorasi. Tempat tersebut kemudian dikenal sebagi lokasi tambang Erstberg, dan suku Amugme pun dipindahkan ke luar dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.

Kontrak tambang Erstberg Freeport ini kembali diperpanjang ijin produksinya oleh Mentamben Ginandjar Kartasasmita pada 1996. Dalam ijin ini, tercantum pada AMDAL produksi yang diijinkan adalah 300 ribu /ton/hari.

Kejamnya perusahaan ini terhadap martabat orang Papua- bahkan Indonesia- bisa dilihat di berbagai situs dan berita-berita di media. Dalam situs http://id.wikipedia.org/wiki/Freeport_Indonesia diceritakan, bekas karyawan Freeport, James R Moffet, seorang ahli geologi kelahiran Louisiana, yang juga adalah pimpinan perusahaan ini, menceritakan bahwa bertahun-tahun mereka dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto waktu itu, dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport. Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Informasi ini diterima oleh New York Times.

Disebutkan pula dalam sumber tersebut, bahwa Freeport sendiri mengakui bahwa penambangan mereka dapat menghasilkan limbah/bahan buangan sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat Terusan Panama). Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitar lokasi pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang telah diberikan status khusus oleh PBB.

Sebuah studi bernilai jutaan dolar tahun 2002 yang dilakukan Parametrix, perusahaan konsultan Amerika, dibayar oleh Freeport dan Rio Tinto, mitra bisnisnya, yang hasilnya tidak pernah diumumkan mencatat, bagian hulu sungai dan daerah dataran rendah basah yang dibanjiri dengan limbah tambang itu sekarang tidak cocok untuk kehidupan makhluk hidup akuatik. Laporan itu diserahkan ke New York Times oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. New York Times berkali-kali meminta izin kepada Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mengunjungi tambang dan daerah di sekitarnya karena untuk itu diperlukan izin khusus bagi wartawan. Semua permintaan itu ditolak. Freeport hanya memberikan respon secara tertulis. Sebuah surat yang ditandatangani oleh Stanley S Arkin, penasihat hukum perusahaan ini menyatakan, Grasberg adalah tambang tembaga, dengan emas sebagai produk sampingan, dan bahwa banyak wartawan telah mengunjungi pertambangan itu sebelum pemerintah Indonesia memperketat aturan pada tahun 1990-an.

Kini, perjuangan suku Amugme masih terus berlangsung. Terakhi mereka melakukan gugatan class action atas kasus ganti kerugian pertambangan, kerugian kerusakan lingkungan, dan penggantian hak ulayat (Kontan, 12/12). Suku Amugme menggugat PT Freeport Indonesia dan Freeport McMoRan Cooper & Gold Inc. Keberadaan pertambangan Freeport telah menghancurkan hak ulayat milik suku Amugme. Karena itu, masyarakat adat suku Amugme menuntut ganti rugi sebesar US$ 30 miliar. Angkanya dihitung dari awal Freeport beroperasi di tanah ulayat suku Amungme di Tembagapura. Tapi ganti rugi ini jika pun dikembalikan tidak akan bisa memulihkan apalagi mengembalikan kawasan itu seperti sedia kala, atau menaikkan derajat hidup suku-suku Papua yang ada di sekitarnya.

Di Kalimantan

Sementara di kalimantan dalam laporan yang ditulis Tim Dodd dari Australian Financial Review, June 30, 2000 menyebutkan perusahaan tambang raksasa Rio Tinto pernah dituntut karena pekerjanya telah melakukan pelecehan seksual dan memperkosa perempuan lokal di daerah tambang emas Kalimantan yang mana perusahaan berselisih dengan indigenous people dalam penuntutan tanah dan pelanggaran HAM.

Sebuah penyelidikan independent tentang pelanggaran HAM, yang disetujui oleh perusahaan PT.KEM (90% sahamnya dimiliki Rio Tinto), Kaltim, menemukan sejumlah kasus dimana perempuan dan gadis Dayak telah diperkosa atau dipaksa untuk melakukan seks.

Ketua tim penyelidik atas kasus ini, Benjamin Mangkoedilaga, seperti disebut The Australian Financial Review menyebutkan bahwa sejumlah pekerja tambang bertanggungjawab untuk 16 kasus pelecehan seksual – kebanyakan melibatkan gadis-gadis dibawah umur 16 tahun – Selama 10 tahun dari 1987 sampai 1997. Dari enam kasus hanya melibatkan satu orang laki-laki. Keberadaan Rio Tinto di sana telah menciptakan kepiluan masyarakat Dayak lokal, karena dampak yang telah ditimbulkannya sejak perusahaan tambang itu datang, baik sosial, dan nilai-nilai kemanusiaan. Termasuk rusaknya lingkungan tempat mereka tinggal kini.

Dalam kasus pelecehan seksual, Mangkoedilaga yang juga seorang mantan hakim yang dihormati mengatakan bahwa temuan lain dalam penyelidikan tersebut termasuk: Para korban diberi uang dan dijanjikan untuk mendapatkan kerja oleh beberapa pekerja tambang dengan ditukar oleh hubungan seks. Seorang korban menjadi hamil dan melahirkan bayi, tapi tidak mau melaporkan hal ini karena dia bisa kehilangan janji untuk mendapatkan pekerjaan. Satu kasus pemerkosaan telah dilaporkan pada bagian keamanan tapi tidak ada tindakan yang diambil. Korban yang bekerja pada perusahaan yang melaporkan pelecehan seksual diancam akan di PHK. Para pekerja perusahaan tidak perduli dengan komplain korban tentang pelecehan seks. Hanya satu kasus yang pernah ditangani. Kebijakan perusahaan tentang anti pelecehan seksual yang diperkenalkan pada tahun 1994 tidak efektif. Disebutkan juga bahwa 2 orang yang melawan perusahaan mati secara misterius, satu sedang menjalani penahanan.

Kasus ini memang sering terjadi di setiap usaha-usaha tambang yang tersebar di hutan-hutan Indonesia. Tidak pernah ada kasus yang menyebutkan bahwa keberadaan kegiatan tambang telah mendatangkan kemaslahatan bagi suku-suku asli di sekitar. Justru sebaliknya, bahkan di luar bayangan kita sebagai manusia dan alam sekalipun.

Kasus Di Peru dan Amazon

Dalam film Avatar suku pribumi yang disebut Navi, menggunakan racun panah untuk membela diri terhadap senjata, gas, dan ledakan yang digunakan oleh penyerang mereka, manusia. Hal yang sama ditunjukkan suku-suku asli di Peru pada bulan Juni tahu lalu. Suku-suku asli ini membawa tombak. Mereka dihadapkan pada tentara yang dilengkapi senjata berat. Suku-suku asli Peru ini memprotes peraturan baru pemerintah Peru yang dipimpin oleh Presiden Alan Garcia-yang memudahkan perusahaan asing untuk mengeksploitasi minyak, gas, kayu, dan mineral pada tanah adat mereka

Demo protes ini berakhir bentrok dengan pihak kepolisian setempat dan menewaskan beberapa orang di kedua belah pihak. Korban tewas dari suku-suku asli ditenggarai disembunyikan dan dibuang ke sungai. Apa yang diketahui adalah bahwa 82 pemrotes menderita luka tembak dan 120 total luka-luka dalam perkelahian. Pengunjuk rasa mengatakan gas air mata digunakan; di samping beberapa orang mengatakan tentara telah menggunakan senapan mesin.

Hanya beberapa minggu setelah peristiwa berdarah di Peru, Perusahaan Hunt Oil berbasis di Texas didukung penuh oleh pemerintah Peru, pindah ke Komunal Amarakaeri Reserve dengan helikopter dan mesin besar untuk pengujian seismik.

Perusahaan itu datang memasuki wilayah masyarakat adat dengan kapal-kapal perang bersenjata canggih guna melakukan tes uji coba seismic yang menggunakan 12.000 bahan peledak di area sepanjang 300 mil. Mereka juga menggunakan 100 helikopter yang mendarat di tengah hutan hujan Amazon yang belum terjamah. Area yang merupakan tempat yang dilindungi bagi suku asli ini dalam waktu ke depan akan dijadikan area tambang minyak yang membuka hutan perawan di sana. Suku asli di sana mengatakan mereka tidak pernah di ajak Hunt Oil membahas atas penggunaan lahan mereka.

Presiden Gracia bahkan menyangkal keberadaan suku asli yang ada di tengah hutan kendati dalam foto terbaru diperlihatkan adanya suku asli yang hidup di tengah belantara hutan Amazon. Suku-suku asli yang tidak tersentuh ini tampak kaget dengan adanya pesawat yang melayang di area mereka dan berusaha mengusir dengan busur.

Dalam film Avatar, bangsa Navi disebut sebagai monyet biru, Presiden Gracia tanpa rasa kemanusiaan juga menyebut suku-suku asli sebagai, “kriminal,”orang biadab membingungkan”, “barbar”, “masyarakat kelas kedua. (baca- http://musfarayani.multiply.com/reviews/item/9 – sebutan itu sangat menyakitkan).

Aktifitas perusahaan tambang dari negara-negara yang disebut maju ini, juga didukung kekuasaan pemerintahnya dalam mengeksplorasi sumber daya alam demi sebuah kapitalisme dan gaya hidup yang tidak berlangsung lama. Kegiatan mereka ini akan semakin memicu meningkatnya zat karbon yang dapat merusak lapisan ozon bumi kita. Negara-negara maju sesungguhnya mempunyai hutang ekologis yang besar terhadap planet bumi. Skema karbon trading yang ditawarkan negara industry guna mengurangi pemanasan global, juga mencerminkan ketidaksungguhan mereka dalam mengurangi emisi karbonnya (kegiatan industri dan menambang).

Jikapun diterapkan, maka seperti halnya kasus-kasus carbon trading di Negara lain, justru memberikan keterbatasan bagi masyarakat adat sekitar atau dalam hutan dalam mengakses hutan. Padahal selama ini, mereka tidak pernah menggunakan sumber daya hutan dan yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan kapitalisme dan keserakahan. Carbon trading juga memancing para “broker-broker” dalam mekanisme korporasi dan hutang yang jatuhnya jutsru akan membebani rakyat.

Semoga, pesan dalam film itu juga bisa mengena kepada semua manusia yang mempunyai gaya hidup mewah sehingga memicu terksplorasinya alam bumi kita. Selamatkan bumi kita, bumi kita hanya satu. (Musfarayani/ berbagai sumber)

(Resources picture © Gleison Miranda/FUNAI:  Photos describing of an uncontacted tribe in the Terra Indigena Kampa e Isolados do Envira, Acre state, Brazil, near the border with Peru, caused a stir when they were released by Survival International, an NGO, in May 2008. The indigenous group is said to be threatened by oil exploration in the area.).

Related link:
http://news.mongabay.com/2008/0530-amazon_tribe.html
http://news.mongabay.com/2009/1222-hance_avatar.html
http://www.jatam.org/content/view/918/21/
http://globalclimatechangeaction.org/node/221
http://musfarayani.multiply.com/reviews/item/9
http://musfarayani.multiply.com/reviews/item/8
http://musfarayani.multiply.com/reviews/item/10

Listrik dan Tanah, PR Besar Pemerintah

SALAH satu pesan penting dari kalangan pengusaha kepada pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono yaitu infrastruktur. Dalam perhelatan nasional yang di-juduli National Summit di awal pemerintahan Yudhoyono Boediono, pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia menegaskan kembali pesan itu sebagai agenda utama dalam program 100 hari pemerintah baru.

Demi kelangsungan industri dalam negeri, infrastruktur adalah syarat mutlak Dari mazhab ekonomi neoklasik, pemerintah bertugas menyediakan infrastruktur untuk menjamin terlaksananya industri dari mulai produksi, distribusi, hingga pasar untuk menjamin mekanisme pasar berjalan dengan baik.Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pembangunan infrastruktur diterjemahkan dengan membangun sarana jalan, jalan tol, ketersediaan energi beserta saluran distribusinya terutama listrik, saluran irigasi, pelabuhan yang representatif, pipanisasi, dan sebagainya. Masalah utama pemerintah adalah ketiadaan dana investasi untuk membangun infrastruktur. Sementara, dana APBN tidak mampu menutupi semua kebutuhan.

Tulisan ini akan mengulas program 100 hari di bidang infrastruktur tetapi terbatas di sektor energi listrik dan upaya legal pemerintah membuka kran liberalisasi dengan maksud menarik investor yang hingga kini masih menemui kendala. Upaya legal yang akan dibahas di sini yaitu terkait liberalisasi energi listrik melalui UU No. 31 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan revisi Perpres No. 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

Energi listrik

Untuk menggambarkan proses terjadinya ketimpangan pembangunan di Indonesia, bisa kita ketahui dengan melihat ketersediaan energi listrik di daerah. listrik menjadi variabel penentu terciptanya kelas menengah di suatu daerah. Harus diakui, kelas menengah adalah sumbu kreativitas sekaligus pelaku industri dan jalannya roda ekonomi.Listrik adalah syarat mutlak industrialisasi dan distribusinya. Jika tidak ada pasokan listrik, tidak akan ada industrialisasi, tidak pula akan ada pendidikan yang baik, dan tidak akan terbentuk kelas menengah yang kuat dan stabil. Bahkan, menurut Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR), ketersediaan listrik berkorelasi positif dengan tingkat kemiskinan di suatu daerah.

Rasio elektrifikasi atau rasio cakupan listrik di Indonesia kini baru mencapai 63%. Artinya, masih ada 37% wilayah Indonesia yang tidak terjangkau listrik. Sebaran energi listrik yang ada pun masih timpang antar-wilayah.Hal itu diakui Direktur Perencanaan PT PLN, Nasri Sebayang. Menurut dia, PLN sekarang sedang kesulitan memperoleh dana investasi untuk membangun projek 10.000 mw listrik. Meski UU No. 31 Tahun 2009 tentang Kelistrikan menjadi penanda liberalisasi sektor kelistrikan, investor swasta (independent power producer/IP?) tidak serta-merta berinvestasi di Indonesia. Mereka tetap membutuhkan jaminan pemerintah.Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, 40% projek 10.000 mw listrik tahap kedua akan dipenuhi IPP, sementara 60% oleh PT PLN. Nasri menjelaskan, pinjaman untuk membangun listrik 10.000 mw dari Cina itu tetap minta jaminan dari pemerintah. “Seratus persen pendanaan untuk projek 10.000 mw oleh IPP adalah Cina,” katanya.

Ia menambahkan, tahun 2010 butuh anggaran untuk membangun investasi RP 70 triliun untuk membangun listrik 10.000 mw dan memperkuat transmisi serta distribusi. “Sekarang masih gap Rp 18 triliun,” ujarnya.Selain kesulitan dana investasi, PLN juga kesulitan memperoleh kepastian bahan bakar dasar pembangkit, di antaranya batu bara dan gas. Selama ini, pasokan batu bara dan gas kerap tersendat karena ketiadaan infrastruktur distribusi. Ia mencontohkan kesulitan pada saat membutuhkan pasokan gas untuk pembangkit Muara Karang dan Priok.Ternyata masalah gas ini misterius karena pembangkit sudah ada, tetapi tidak ada gasnya. Akhirnya kita bakar tetap dengan BBM. Masalahnya bukan karena gas tidak ada, tetapi infrastruktur ke Muara Karang dan Priok tidak ada. Akhirnya diangkut dengan cara LNG,” ujarnya.

Rencana pemerintah dan PLN membangun projek 10.000 mw tahap kedua itu menuai reaksi. Berdasarkan evaluasi IESR, program percepatan pembangunan PLTU 10.000 mw yang pertama telah gagal. Indikasinya adalah, pertama, tidak ada pembangkit listrik masuk daftar PLTU yang akan dibangun dan siap beroperasi pada tahun 2009, sebagaimana dijanjikan tim percepatan pembangunan PLTU dan PLN.PLTU Suralaya (600 mw) dan Paiton (600 mw) baru akan berproduksi pada tahun 2010 tetapi masih dibayangi tingkat keandalan; kedua, dari total kebutuhan pembiayaan lo miliar dolar AS, hanya sekitar 25-30 persen yang didapatkan. Itu pun setelah pemerintah memberikan penjaminan (government guarantee).

Menurut IESR, penetapan rencana ini lebih kental dengan nuansa politisnya dan mengabaikan aspek teknis ekonomis serta perencanaan yang diperlukan untuk menjamin pasokan tenaga listrik yang andal untuk jangka panjang. Pendekatan pembuatan keputusan yang dipakai mirip dengan program percepatan pertama, tanpa mempertimbangkan faktor teknis-ekonomis.”Kami percaya karena sifatnya yang sangat politis dan tingginya risiko projek, program percepatan kedua ini akan menghadapi masalah yang sama dengan yang pertama, di antaranya investor yang berkualitas rendah, kesulitan mendapatkan pembiayaan dari institusi keuangan, risiko investasi yang besar, kesulitan lahan dan rendahnya infrastruktur pendukung, serta permintaan untuk jaminan pemerintah yang meningkatkan risiko pengelolaan keuangan negara,” kata Direktur IESR, Fabby Tumiwa.

Pengadaan tanah

Selain masalah listrik sebagai sumber energi industri, pembangunan infrastruktur lainnya kerap tertunda dan tidak investor./hend/t/ karena problem tanah. Kementerian Pekerjaan Umum memprioritaskan revisi aturan pengadaan tanah untuk mencapai pembangunan infrastruktur dalam masa 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu II. Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan, penyelesaian program 100 hari di Kementerian Pekerjaan Umum menjadi modal awal yang baik bagi Kementerian ini untuk mencapai target program pembangunan tahun 2014. Demikian disampaikannya dalam Jumpa Pers di Gedung Pekerjaan Umum yang juga dihadiri pejabat di lingkungan Kementerian PU, Jln. Pattimura, Jakarta Selatan (21/1).”Selesaikan debottle neck (sumbatan). Selama lima tahun ini banyak program yang tidak jalan. Soal pengadaan tanah itu dianggap bottle neck. Perundang-undangan tentang pengadaan tanah dalam 100 hari ini setidaknya bisa selesai,” tutur Djoko.

Ia mengatakan, revisi berbagai regulasi seputar pengadaan tanah harus diprioritaskan penyelesaiannya agar dapat mempermudah pelaksanaan rencana pemerintah dalam bidang infrastruktur. Saat ini, draf revisi Perpres No. 67 Tahun 2005 tentang kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur telah dibahas di tingkat Menko Perekonomian. “Sudah dirapatkan para menteri tinggal ditandatangani presiden,” ujarnya.Berdasarkan revisi Perpres No. 67 itu, proses pengadaan tanah akan semakin cepat. Ia berharap, pembangunan jalan tol yang selama ini terhambat pembebasan lahan dapat segera diwujudkan. “Soal pembebasan tanah untuk kepentingan umum, ada revisi UU. Proses biasa, tetapi cepat,” ucapnya. (lina Nur-santy/”PR”) ***

sumber: bataviase.co.id.