Lumpur Lapindo dan Deepwater Horizon : Kecanduan Bahan Bakar Fossil serta Ancaman Ekonomi dan Ekologi

Oleh: Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR)

foto diambil dari kabariindonesia.com

Belum sirna dari ingatan kita akan bencana Lumpur Lapindo yang dimulai 4 tahun lalu dan hingga hari ini masih juga belum teratasi. Dikhawatirkan luapan lumpur yang tidak berhenti akan menyebabkan sebagaian besar kawasan Porong bahkan Sidoarjo bakal amblas. Bencana lumpur lapindo dikuatirkan semakin mengancam kesehatan masyarakat dan pengguna jalan di wilayah Porong yang membuat Pemprov Jatim membentuk Tim Satgas Kesiapsiagaan Bencana Lumpur Sidoardjo minggu lalu.i

Puluhan ribu kilometer dari tanah air Indonesia, ada bencana lain yang serupa. Pada tanggal 20 April lalu, sebuah anjungan eksplorasi minyak lepas pantai (rig) yang berada sekitar 64 km dari Louisiana, milik perusahaan Deepwater Horizon yang dikontrak oleh BP, salah satu perusahaan minyak terbesar dunia dan produsen minyak dan gas terbesar di AS, terbakar dan tenggelam ke dasar laut teluk Mexico (Gulf of Mexico) dua hari sesudahnya. Kecelakaan ini mengakibatkan 11 orang pekerja di anjungan lepas pantai tersebut terenggut nyawanya.

Bukan hanya nyawa pekerja yang hilang, serta rig seharga miliaran dollar terbenam di dasar laut, tetapi juga tumpahan

photo release-deepwater horizon response

minyak yang tidak dapat dicegah. Sudah hampir satu bulan sejak bencana terjadi, berbagai upaya yang dilakukan belum juga berhasil menutup retakan dari pipa bor yang pecah di dasar laut dan menghambat aliran minyak. Awalnya menurut perkiraan US Coast Guard lebih dari 5 ribu barrel minyak setiap harinya tumpah tetapi sejumlah ahli yang mempelajari video tumpahan minyak tersebut memperkirakan sekitar 20 ribu – 70 ribu barrel per hari mencemari lautan teluk Mexico. Jumlah ini bisa lebih besar 15-20% karena terdapat retakan lain pada pipa sekunder. Menurut blog Skytruth.org, hingga hari ke-26 kecelakaan ini diperkirakan sudah hampir 700 ribu barrel minyak tumpah ke laut.ii Jumlah ini jauh lebih besar dari tumpahan minyak oleh kapal tanker Exxon Valdez tahun 1989 di laut Alaska sebesar 260 ribu barrel.

Gambar 1. Peta NOAA yang memperkirakan penyebaran tumpahan minyak per tanggal 17 Mei 2010. Tumpahan minyak meliputi area seluas ratusan mil persegi dan masih akan terus bertambah selama rekahan pipa di dasar laut tidak dapat ditutupi (sumber: http://blog.al.com/live/2010/05/bp_reports_progress_against_gu.html)

Kantor berita Associated Press menulis, laporan terakhir menunjukkan bahwa tumpahan minyak membentuk sejumlah gumpalan kolom minyak raksasa di bawah air. Salah satunya diperkirakan sepanjang 10 mil, lebar 3 mil dan dengan ketebalan 300 kaki.iii Gumpalan minyak ini tidak hanya mengancam fauna laut, tetapi juga ekosistem terumbu karang (coral reef) di sepanjang pantai Florida dan wilayah AS yang berada di sekitar teluk Mexico, dan kehidupan di bawah air. Wilayah Florida Keys di AS menyimpan sumber daya alam bawah laut yang luar biasa kaya, serta merupakan daya tarik bagi wisatawan. Setiap tahunnya, kawasan ini menarik 2 juta wisatawan.iv Bayangkan kerugian ekologi dan ekonomi yang dapat ditimbulkan oleh bencana Deepwater Horizon ini jika tidak cepat ditanggulangi. Diperkirakan BP akan mengeluarkan biaya sebesar lebih dari 30 milyar dollar untuk biaya pembersihan tumpahan minyak serta kompensasi ekonomi akibat bencana ini.

Ironisnya bencana “Deepwater Horizon” ini terjadi tidak lama setelah Presiden Obama mengumumkan untuk mencabut larangan pengeboran minyak dan gas bumi sepanjang pantai timur AS dan perairan sekitar Alaska yang memiki situs ekologis yang ringkih.v Keputusan yang mendapatkan kecaman keras dari aktivis lingkungan ini didasarkan pada tujuan objektif pemerintah Obama untuk mengurangi impor minyak dari negara-negara lain dimana sejumlah negara yang menjadi pemasok minyak AS adalah negara-negara yang saat ini justru dapat menjadi ancaman keamanan dalam negeri AS, yaitu Venezuela (eksportir no. 3) dan Arab Saudi (eksportir no. 5), serta rival AS dalam politik global yaitu Russia (eksportir no. 8). Dalam op-ed, majalah The Economist (8/05/2010) menulis: “jika AS tidak ingin menyerahkan uang dan kekuasaan kepada negara seperti Iran, Rusia dan Venezuela, maka argumentasi yang berlaku adalah bahwa pengeboran lepas pantai tidak boleh dibatasi.”

Ketergantungan dengan minyak

AS memiliki tingkat ketergantungan yang sangat besar terhadap minyak. Sekitar 25% total produksi minyak dunia dikonsumsi oleh masyarakat AS. Data EIA menunjukkan pada tahun 2008 rata-rata konsumsi minyak AS sebesar 19,5 juta barrel per hari, sekitar 11 juta barrel diimpor dari negara-negara lain dan hanya 8 juta barrel diproduksi di dalam negeri.vi Oleh karena itu, untuk memenuhi kecanduan masyarakat AS terhadap minyak dan bahan bakar fosil lainnya, pengeboran minyak dan gas tidak boleh terhenti.

Ekonomi dunia saat ini sudah saat terikat dengan minyak. Pasokan minyak global yang berkurang dapat menyebabkan resesi ekonomi di negara maju, terutama AS. Kalau ekonomi di negara maju sakit, dan efeknya dapat menular ke negara-negara lain, termasuk negara-negara berkembang. Harga minyak yang membumbung tinggi, baik karena permainan dan spekulasi harga di pasar komoditas atau karena memang terjadi defisit produksi minyak mentah, menyebabkan ratusan miliar dollar terbuang untuk membiayai impor minyak untuk memenuhi kebutuhan domestik yang menyebabkan defisit anggaran serta rontoknya cadangan devisa pemerintah.

Situasi ini tidak hanya terjadi di AS, tetapi juga di negara kita Indonesia. Tidak terlalu jelas tetapi ekonomi Indonesia sesungguhnya sangat tergantung pada minyak. Dari sisi pasokan minya, pada tahun 2009, Indonesia mengkonsumsi lebih dari 310 juta barrel per tahun, dimana sekitar sepertiganya atau 114 juta barrel diimpor dari negara lain. Tanpa impor minyak, dipastikan ekonomi Indonesia tidak akan bertumbuh. Kenaikan harga minyak bahkan dapat menyebabkan perubahan pada angka kemiskinan di negara ini. Sedemikian rentannya kita.

Dalam penyusunan APBN setiap tahunnya besaran lifting (produksi) minyak mentah serta harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price, ICP) menjadi dasar perhitungan pendapatan dan pengeluaran negara. Pada penyusunan APBN 2010, APBN adalah instrumen fiskal yang menentukan berhasil tidaknya pembangunan ekonomi dan non-ekonomi dilaksanakan. Walaupun variable lainnya, seperti asumsi makro ekonomi yang terdiri dari: pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah dan sertifikat BI dipakai sebagai dasar penyusunan APBN, kedua variabel yang berhubungan dengan minyak tersebut sangat menentukan profil penerimaan dalam APBN yang disusun, dan pada akhirnya menentukan defisit anggaran, alokasi pengeluaran dan pada akhirnya nasib perjalanan bangsa ini.

Pada tahun 2008 subsidi BBM (termasuk BBM untuk pembangkitan listrik) dan LPG mencapai 225 triliun rupiah, tertinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Pada tahun 2010, subsidi energi diperkirakan mencapai 150 triliun rupiah. Apabila rata-rata harga minyak lebih tinggi dari asumsi ICP yang dipakai pada APBN, jumlahnya subsidi bbm kemungkinan lebih tinggi. Kenaikan harga minyak 5 dollar diatas asumsi APBN akan meningkatkan subsidi sekitar 7-8 triliun rupiah. Sekitar 15 persen APBN 2010 dialokasikan untuk subsidi bbm.

Kecanduan dunia akan minyak dan bahan bakar fosil lainnya melahirkan bencana seperti Lumpur Lapindo dan Deepwater Horizon. Selain itu, ekonomi menjadi rentan, karena ditentukan pasokan dan permintaan, serta harga minyak. Ekonomi sebuah negara yang bergantung pada komoditas minyak dapat ambruk sekonyong-konyong karena perubahan harga minya di pasar dunia. Oil boom and burst merupakan fenomena dalam lima dekade terakhir.

Oleh karenanya sudah waktunya kita memikirkan secara serius decoupling ekonomi dunia dari minyak. Kita harus mempersiapkan diri untuk hidup pasca minyak. Tentunya tidak besok atau lusa, tetapi persiapan tersebut harus dilakukan mulai sekarang karena butuh lebih dari 3-4 dekade, bahkan lebih lama dari itu untuk mengubah struktur ekonomi dan pola adaptasi.

Negara berkembang seperti Indonesia yang tingkat konsumsi minyaknya relatif lebih rendah dibandingkan negara maju, mempunyai keuntungan yaiut lebih mudah untuk “banting setir” meninggalkan ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh minyak. Tingkat pertumbuhan konsumsi minyak masih dapat ditekan, melalui penetapan harga energi dan subsidi yang cerdas (smart), serta kampanye konservasi yang tidak kenal lelah. Kita harus menghindar menjadi negara yang “mencandu” (addicted) minyak seperti AS.

Masyarakat pun harus dibuat sadar bahwa energi itu mahal dan proses ekstraksi menyebabkan dampak ekologis yang besar. Padahal bukankah seharusnya kita meninggalkan warisan planet bumi ini kepada anak-cucu, generasi kita yang akan datang?

Hanoi, 17 Mei 2010

ihttp://www.mediaindonesia.com.
iihttp://blog.skytruth.org.
iiihttp://www.huffingtonpost.com.
ivhttp://www.huffingtonpost.com.
vhttp://www.nytimes.com.
vihttp://tonto.eia.doe.gov.