Catatan Perjalanan IV : Habis Gelap Terbitlah Mikrohidro

Sinerginya Kemajuan Teknologi dan Kearifan Lokal di Desa Adat Ciptagelar

Kali ini kami harus akui bahwa perjalanan dari Cidaun menuju Sukabumi cukup menguras kenyamanan fisik kami. Sebuah perjalanan yang mencerminkan betapa masih belum meratanya akses jalan yang baik untuk desa-desa terpencil. Bahkan meski di Pulau Jawa sekalipun yang notabene dekat dengan pusat pemerintahan. Bukannya kami ingin mengeluh karena jalan yang kami temukan dalam beberapa hari perjalanan menuju desa-desa terpencil ini begitu buruk sehingga membuat kami kelelahan fisik. Tapi kami hanya merasa prihatin, betapa pembangunan ternyata memang tidak bisa dinikmati untuk masyarakat desa terpencil. Ini baru pulau Jawa, daerah Jawa Baratnya. Tidak terbayangkan yang di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, atau pulau-pulau kecil Indonesia lainnya.

Cuaca sepanjang kami melakukan perjalanan menuju Sukabumi juga terus menerus diguyur hujan. Kami baru tiba di Pelabuhan Ratu Sukabumi pada pukul lima pagi. Kami mencoba mencari penginapan dan  beristirahat sejenak sekadar untuk meluruskan badan dan memulihkan kelelahan kami. Pukul delapan pagi, kami tidak menunda waktu lagi. Kami langsung meneruskan  perjalanan menuju Ciptagelar. Jam 9 kami sampai di rumah Pak Yono mertua Abah Ugi dimana jalan beraspal habis sampai disini, yang kemudian dari titik ini kami melanjutkan perjalanan menggunakan ojek menuju Ciptagelar, Kampung Cicemet, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.

Dan sepanjang menuju desa Ciptagelar adalah hal luar biasa lainnya yang kami alami. Seperti biasa kami harus melalui jalan yang tidaklah mulus, dan kembali melakukan “off-road”. Namun semuanya itu bukan halangan berarti lagi bagi kami yang mulai terbiasa dengan jalanan yang luar biasa “asik” untuk dilalui. Seperti pengalaman kami di desa-desa sebelumnya perjalanan kami kali ini ke Ciptagelar juga selalu disuguhi pemandangan yang luar biasa indah. Namun berbeda dengan desa sebelumnya, menuju Ciptagelar selalu disuguhi keeksotisan tersendiri, hal ini disebabkan adanya pemandangan alam sekitar Gunung Halimun yang memesona.

Sebagai suatu kawasan taman nasional yang dilindungi pemerintah, kawasan ini sungguh menyuguhkan pemandangan menakjubkan,  hutan-hutan nan lebat yang cantik dan jelas masih begitu lestari dan alami. Istimewa lagi bagi kami adalah sepanjang perjalananan yang ditempuh dalam waktu 1,5 jam tersebut kami ditemani oleh kicauan Surili (Presbytis comata). Surili adalah salah satu satwa yang dilindungi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ini.  Ada 2 satwa yang mendominasi, di antaranya; Owa Jawa (Hylobates moloch) dan Surili (Presbytis comata).

Kami kemudian membayangkan suasana kasepuhan Ciptagelar yang terletak di dalam zona inti TNGHS ini. Bagaimana kehidupan mereka yang terisolasi, kondisi sosial ekonomi mereka. Kami membayangkan sebuah desa tertinggal dengan pemandangan yang mungkin membuat kami akan prihatin dengan sangat.

Tapi nyatanya, adalah sebuah kejutan bagi kami. Kami justru dihadapkan pada suatu pemandangan desa yang cukup cantik. Suatu desa yang tampak terlihat keteraturan tata desanya. Lanskap pemukiman yang diatur sedemikian rupa menjadikan lanskap masyarakat adat ini tidak kalah teraturnya dengan lanskap perkotaan. Selain itu, terpusatnya pemerintahan masyarakat desa di kediaman Abah Ugi (Panggilan masyarakat adat kepada Kepala Adat Ciptagelar. Dalam kedudukannya, Abah ugi disebut juga sebagai Sesepuh Girang-red), yang disebut dengan imah gede, menjadikan kasepuhan ini menjadi lebih terstruktur.

Ciptagelar menjadi salah satu daerah yang cukup unik terkait dengan adat istiadatnya dan keterbukaan masyarakat terhadap modernisasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan desa mereka. Hal ini pun secara langsung diungkapkan oleh Kang Yoyo, salah satu warga di Kasepuhan ini yang mendampingi kami selama kunjungan serta Abah Ugi selaku Ketua Adat di tempat tersebut. Keberadaan mikrohidro sendiri telah ada selama kepemimpinan adat Abah Anom, pemimpin sebelumnya yang telah meninggal pada tahun 2009. Kesepakatan untuk mengenalkan teknologi kepada masyarakat bermula dari keinginan dari beberapa pihak luar yang peduli akan keberlanjutan keberadaan kampung adat. Oleh karena itu, Abah menerima banyak bantuan dari beberapa LSM selama bantuan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan adat yang ada. Salah satunya adalah IBEKA yang memberi bantuan berupa pembangunan PLTMH

Mengenai keberlanjutan mikrohidro tersebut di atas, Abah Ugi menyatakan bahwa akses listrik ini sangat penting bagi warga, karena itu instalasi mikro hidro sebisa mungkin diperbanyak di pemukiman warga yang cukup jauh dari pusat kasepuhan. Hingga saat ini, Kasepuhan Ciptagelar telah memiliki 9 unit mikro hidro dan pikohidro.

Meskipun sebenarnya PLN telah masuk ke daerah tersebut, Abah Ugi tetap memiliki kebijakan untuk tidak melakukan interkoneksi dengan PLN. Alasannya adalah keinginan beliau untuk meratakan penggunaan listrik bagi seluruh masyarakat, tidak ada yang lebih banyak ataupun lebih sedikit. Ini juga untuk melatih warga untuk dapat memanfaatkan teknologi seperlunya. Tapi, lanjut Abah Ugi, eksistensi PLN juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena itu, Abah berencana untuk membangun satu mikrohidro lagi yang dikhususkan bagi interkoneksi dengan PLN dengan harapan bahwa nantinya interkoneksi ini dapat memberikan pemasukan tambahan bagi Kasepuhan Ciptagelar untuk kegiatan perekonomiannya.

Walaupun modernisasi telah masuk di kasepuhan Ciptagelar ini, adat istiadat yang telah dijunjung tinggi selama ini tidaklah menjadi luntur. Keserasian dengan alam, budaya yang turun temurun seperti kearifan dan kemandirian tidak membuat masyarakat bergantung pada teknologi yang ada seperti televise, radio lokal, wi-fi, handphone, faksimili yang telah dapat digunakan secara cuma-cuma ditempat tersebut. Itulah yang membuat Kang Yoyo, seorang seniman yang telah mengecap kehidupan di beberapa negara di Amerika dan Eropa ini, akhirnya memutuskan untuk kembali ke tanah kelahiran nenek moyangnya.

“Saya itu selalu membayangkan hidup di tempat yang ada komputer, telepon, listrik tapi tidak crowded. Saya ingin hidup dengan damai. Awal mulanya, saya ke Ciptagelar, saya sudah merasa inilah tempatnya. Kedua kalinya, saya semakin merasa yakin. Ketiga kalinya, saya tidak mau turun lagi dan akhirnya menetap disini sampai saat ini,” ujar Kang Yoyo.

Selain itu, pengadaan listrik di daerah ini pun memberikan dampak positif lain terkait dengan era teknologi yang juga semakin berkembang. Dengan diadakannya televisi dan radio lokal, muncul suatu inisiatif untuk meningkatkan mutu pendidikan anak disesuaikan dengan kearifan lokalnya yaitu dengan membuat program sekolah alam yang akan menjadi program di televisi lokal mereka, sebagai salah satu wujud pelestarian kearifan lokal daerah setempat.

Semakin menarik juga untuk mengupas lebih banyak mengenai budaya masyarakat adat Ciptagelar dan perjuangan mereka dalam menyelaraskan perkembangan teknologi dengan budaya mereka. Kami sungguh belajar banyak dengan mereka…..(selesai).