Pencabutan Capping Industri Bukan Kenaikan Tarif

Oleh Nurbaiti | Created On: 10 January 2011.

JAKARTA: PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) membantah adanya penaikan tarif dasar listrik (TDL) yang diberlakukan sejak awal Januari 2011, seperti yang dikeluhkan oleh sebagian kalangan industri.

Direktur Utama PLN Dahlan Iskan menegaskan TDL yang diberlakukan kepada masyarakat pada tahun ini tetap mengacu pada Peraturan Menteri ESDM No.7/2010 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh Perusahaan Perseroan PT PLN.

“Tidak ada kenaikan TDL. Kalau kenaikan TDL, kan artinya semua [pelanggan] kena. Kita tetap laksanakan Permen 7/2010 secara penuh dan konsisten,” jelas dia hari ini.

Hanya saja, lanjut dia, penerapan pembatasan (capping) kenaikan dan penurunan tagihan rekening listrik maksimum sebesar 18% dari rekening sebelumnya yang diberlakukan untuk pelanggan industri, mulai tahun ini memang ditiadakan.

Dengan adanya capping itu, besaran kenaikan subsidi untuk kelompok pelanggan industri yang semula ditetapkan rerata 12,8% di kisaran 10%-15%, turun menjadi rata-rata 7,1%.

“Jadi, TDL untuk kelompok industri yang salama ini tidak seragam, sekarang diseragamkan. Itu juga tidak semua industri [waktu itu] yang terkena capping, hanya beberapa industri saja,” tutur Dahlan.

Berdasarkan keputusan bersama dalam Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mewakili pemerintah, PLN, kalangan dunia usaha dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 19 Juli 2010, ditetapkan besaran kenaikan TDL pelanggan industri di kisaran 10%-15%, dengan capping kenaikan dan penurunan maksimum 18% dari rekening sebelumnya.

Terkait TDL 2011, Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh mengatakan pemerintah tidak ada rencana untuk menaikkan TDL pada tahun ini. “Saya kira, pemerintah, sebagaimana yang dikoordinasi oleh Menko Perekonomian, tidak ada pemikiran tentang kenaikan TDL karena kita masih mengacu pada hasil rapat pemerintah dengan Komisi 7 DPR, mengenai asumsi TDL di APBN 2011,” ujar Darwin.

Di sisi lain, Pengamat Kelistrikan dan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat kelompok industri seharusnya sudah mengantisipasi soal penghapusan penerapan capping sebesar 18% tersebut.

Pasalnya, kata dia, pencabutan capping tersebut sudah berdasarkan kesepakatan pemerintah bersama PLN dan pengusaha pada tahun lalu. Dalam kesepakatan tersebut, jelas dia, kebijakan capping hanya diberlakukan kepada kelompok industri lama, sedangkan industri baru terkena kenaikan tarif secara penuh.

Selain itu, lanjut dia, disepakati juga bahwa besaran TDL sesuai dengan Permen ESDM 7/2010 akan berlaku penuh mulai awal 2011. Bahkan, dia menambahkan alokasi subsidi Rp40,7 triliun pada APBN 2011 dibuat dengan asumsi besaran TDL untuk industri dilakukan secara penuh.

Penghapusan capping sebelumnya sudah diterapkan PLN kepada pelanggan bisnis sejak Oktober tahun lalu dan sekarang diberlakukan bagi pelanggan industri.

“Industri seharusnya sudah mengantisipasi ini. Industri sebaiknya mengklarifikasi hal ini kepada DPR dan Menteri ESDM,” tutur Fabby.

Untuk diketahui, secara nasional sekitar 6,99 juta pelanggan PLN terkena capping 18% dan 4,92 juta di antaranya merupakan kelompok pelanggan yang berada di wilayah Jawa-Bali.

Menurut Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko PLN Murtaqi Syamsuddin, dengan adanya capping 18% tersebut, kenaikan TDL paling tinggi dikenakan kepada 47 pelanggan industri berdaya 30 MVA ke atas (I4) yakni rata-rata sebesar 9,8%. Padahal, dengan pengenaan TDL saja tanpa capping 18%, kelompok pelanggan tersebut hanya dikenakan kenaikan rata-rata sebesar 9,1%.

Di sisi lain, sekitar 4,89 juta pelanggan yang merupakan gabungan sosial (S), rumah tangga (R), bisnis (B), dan pemerintahan (P) berdaya hingga 200 kVA yang semula kenaikan TDLnya rata-rata 14,6%, turun menjadi 5,8% akibat capping 18%.

Menurut Murtaqi, berdasarkan perhitungan menggunakan capping 18% tersebut terdapat sekitar 3,6 juta pelanggan di Jawa Bali yang mengalami kenaikan tarif dan 1,3 juta pelanggan justru mengalami penurunan.

Untuk 25.770 pelanggan I2 dikenakan kenaikan tarif sebesar 6,8% atau turun dibandingkan perhitungan awal sebesar 11,6%. Begitu juga dengan 6.921 pelanggan I3 dengan daya di atas 200 kVA terkena kenaikan tarif sebesar 7,8% atau turun dari perhitungan semula naik sebesar 14%. (aph)

Sumber: www.bisnis.com.

Pengusaha Pusat Belanja Tolak “Capping”

JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah asosiasi pengusaha menolak rencana pembatalan kebijakan pencabutan kenaikan maksimal tarif dasar listrik atau capping 18 persen bagi pelanggan bisnis dan industri. Sebab, hal ini dinilai akan berdampak buruk bagi iklim investasi dan melanggengkan iklim persaingan usaha yang tidak sehat.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia Ellen Hidayat, Jumat (21/1/2011) di Jakarta, mengatakan, pihaknya setuju dengan penghapusan capping itu. Sebelumnya, asosiasi pelaku usaha itu telah beberapa kali menyatakan keberatan atas penerapan capping kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) ataupun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia A Stefanus Ridwan menjelaskan, penerapan capping menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Satu pelanggan dapat modal rendah, yang lain tinggi, bisa 1,5 kali lipat. Ini membuat harga jual tidak bersaing karena biaya operasional lebih tinggi, apalagi yang terkena adalah usaha baru. Ini akan mematikan orang untuk berinvestasi.

Meski tarif multiguna dan daya maksimum dihapus, menurut Ellen, dengan adanya capping 18 persen yang diberlakukan pada Agustus 2010, sejumlah pengelola pusat belanja belum menikmati tarif listrik sesuai harga yang berlaku umum.

“Kami menginginkan ada kesetaraan. Kalaupun harus naik, seharusnya sama tarifnya,” ujarnya.

Saat ini sedikitnya 12 pusat belanja tidak menikmati capping. Mereka adalah pengelola pusat belanja yang baru berdiri setelah tahun 2005. “Bagaimana mal-mal itu bisa bersaing jika tarif listriknya lebih mahal daripada mal yang sudah lebih dulu ada. Ini menyebabkan tarif sewa lahan di mal baru jadi lebih mahal,” kata Ellen.

Sebagai perbandingan, pelanggan bisnis dengan daya terpasang 10.380 kilovolt Ampere dengan tarif bisnis. Pelanggan baru terkena tarif di luar waktu beban puncak (LWBP) Rp 850 per kWh, dan waktu beban puncak (WBP) Rp 3.400 per kWh. Dengan tarif itu, rata-rata rekening listrik yang dibayar Rp 5,44 miliar. Pelanggan lama terkena tarif LWBP Rp 452 per kWh dan WBP Rp 904 per kWh sehingga rata-rata pembayaran ke PLN hanya Rp 2,89 miliar.

Setelah ada capping TDL 18 persen, rekening pelanggan baru Rp 3,73 miliar, sedangkan pelanggan lama tetap Rp 2,89 miliar.

“Dengan tanpa ada capping, tarif listrik untuk semua pelaku usaha disamakan sehingga sejak November lalu tarif listrik untuk pelanggan bisnis sama, yakni Rp 800 per kWh untuk luar waktu beban puncak, dan Rp 1.200 per kWh saat beban puncak,” kata dia.

Presiden Direktur PT Jababeka Tbk, pengelola kawasan industri Jababeka, SD Darmono menyayangkan mencuatnya kontroversi seputar pencabutan capping oleh PLN. Hal ini merugikan bagi iklim investasi di Indonesia. “Para calon investor akan mempertanyakan mengenai adanya capping dan disparitas harga ini,” ujarnya menegaskan.

Pada kesempatan terpisah, pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa menyatakan setuju capping dicabut. Kalau ada revisi kebijakan, seharusnya dibahas dan konsekuensinya dikaji pada tarif dan subsidi. Dengan mempertahankan capping, pemerintah justru tidak menjadi konsisten.

sumber: megapolitan.kompas.com.

Penambahan Subsidi Listrik Jangan Asal-asalan

JAKARTA–MICOM: Wacana penambahan subsidi listrik sebesar Rp2,3 triliun dari asumsi APBN 2011 Rp40,7 triliun dinilai tidak tepat sarsaran. Lebih baik, subsidi tersebut dialihkan untuk penambahan infrastruktur listrik di pedesaan mengingat baru 65% masyarakat Indonesia yang sudah menikmati listrik.

Hal itu dikemukakan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa selaku pengamat kelistrikan di Jakarta, Selasa (25/1).

“Pelanggan industri totalnya sekitar 48 ribu pelanggan sedangkan fasilitas capping atau pemberlakuan batas atas 18% hanya dinikmati 9 ribu pelanggan. Apakah perlu memberikan subsidi tambahan hanya untuk 9 ribu pelanggan ini dibandingkan keseluruhan pelanggan PLN sebanyak 45 juta pelanggan?” cetus Fabby.

Fabby mengaku tidak habis pikir mengapa perlu ada pemberlakuan tarif berbeda bagi pelanggan bisnis dan industri. Menurutnya, apabila pelanggan industri memang merasa terbebani, sebaiknya memang ada pembuktikan apakah betul biaya produksi mereka bertambah akibat perubahan tarif dasar listrik (TDL) ini. Fabby pun menilai kebijakan Pemerintah di dalam capping ini merupakan suatu standar ganda.

“Kalau penyebab utamanya bukan tarif listrik, masih ada insentif lain yang bisa diberikan. Kalau langsung menambah subsidi, ini akan menganggu mekanisme subsidi dan lain sebagainya,” tuturnya.

Lebih lanjut, Fabby mengaku mendukung rencana PT PLN (Persero) untuk mencabut pemberlakuan capping 18%. Sebaliknya, argumen yang dikeluarkan anggota Komisi VII DPR RI Satya W Yudha untuk menambah subsidi listrik Rp2,3 triliun justru berada di luar konteks. Bagaimanapun, sambung Fabby, dana di dalam APBN berasal dari tangan publik dan tidak bisa dikeluarkan begitu saja oleh DPR.

“Harusnya dialokasikan untuk hal-hal seperti pertumbuhan ekonomi, menambah kompetitif, dan lain sebagainya. APBN itu duit publik, bukan duit DPR, DPR hanya mengatur kemana yang paling efektif, jangan dipakai sebagai alat politik,” tukasnya.

Berdasarkan data yang dirilis PLN, golongan tarif industri tegangan rendah (TR) area Jawa yang terkena capping hanya 8.000 pelanggan atau 26% dari total keseluruhan. Sedangkan industri yang memberlakukan tarif penuh sebanyak 31 ribu pelanggan. Golongan tarif tegangan menengah (TM) yang terkena capping pun lebih sedikit, hanya 23%dari total 1.700 pelanggan. Sementara kelompok industri yang menikmati capping untuk golongan tarif tegangan tinggi (TT) bahkan lebih sedikit lagi, sekitar 6% atau total hanya 3 konsumen. Secara keseluruhan, hanya sekitar 9.700 pelanggan atau 25% dari total pelanggan sektor industri yang masih menikmati capping sebesar 18% itu. (*/OL-2)

Sumber: www.mediaindonesia.com.