Kelompok Menengah Paling Terkena Dampak

JAKARTA, KOMPAS.com — Kelompok masyarakat menengah diperkirakan akan paling terkena dampaknya jika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Untuk itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kemampuan atau daya beli masyarakat dan kemampuan anggaran dalam menetapkan besaran kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut.

Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam diskusi mengenai subsidi energi , Selasa (5/7/2011), di Hotel Akmani, Jakarta.

Menurut Fabby, jika tidak ada pembatasan penyaluran BBM bersubsidi, total subsidi BBM diperkirakan akan meningkat hingga melampaui Rp 130 triliun atau sekitar 30 persen dari total subsidi energi. Adapun total subsidi energi yang terdiri dari BBM, listrik, dan gas elpiji bisa mencapai Rp 190 triliun hingga Rp 200 triliun.

“Subsidi energi, khususnya BBM, perlu direformasi dengan melakukan kenaikan harga atau pembatasan, itu harus diputuskan,” katanya.

Pilihan kenaikan harga BBM dinilai lebih realistis dibanding pembatasan. Pengaturan BBM bersubsidi akan memiliki dampak sosial dan ekonomi, memicu kelangkaan sehingga menguntungkan spekulan karena pengawasan sulit dilakukan. Karena itu, lebih baik pemerintah menaikkan harga sesuai daya beli masyarakat dan kemampuan anggaran pemerintah.

Hal itu akan membantu pemerintah dalam mengalokasikan kebijakan APBN, pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan penciptaan lapangan kerja. Prinsipnya bisa dikerjakan kalau APBN sehat melalui rasionalisasi subsidi.

“Jadi subsidi tetap diperlukan, hanya perlu ditata agar tepat sasaran. Saat ini lima kelompok pendapatan tertinggi itu menikmati 45 persen dari total subsidi. Kalau subsidi BBM tahun ini Rp 58 triliun, mereka menikmati hampir separuhnya,” ujarnya.

Sebenarnya konsumen mampu membeli dengan harga setara dengan harga pertamax sekarang. “Kelompok menengah sebenarnya bisa membeli pertamax, tetapi karena ada premium, mereka akan membeli yang harganya lebih murah,” kata Fabby.

Di Vietnam, misalnya, harga BBM bisa mencapai Rp 8.000 sampai Rp 9.000 per liter dan mereka mampu membeli, padahal tingkat ekonominya lebih rendah daripada Indonesia. Adapun di Filipina, harga BBM bisa menembus Rp 10.000 per liter.

Namun kalau ada pembatasan penyaluran BBM bersubsidi, hal itu justru lebih berdampak negatif bagi aktivitas masyarakat menengah. Di perkotaan, jika tidak ada pasokan BBM bersubsidi, masyarakat menengah bisa menggunakan taksi atau alat transportasi lain.

Di daerah lain yang tidak ada taksi dan moda transportasi lain, hal itu akan membuat mereka kebingungan. “Lebih baik harganya lebih mahal, tetapi barangnya ada,” ujarnya.

Diakui, jika ada kenaikan harga BBM, ada pengeluaran tambahan di kelas menengah tetapi dalam jangka pendek akan menyeimbangkan APBN. Memang yang terpukul adalah kelas menengah, tetapi kan jumlahnya hanya sekitar 40 juta atau 20 persen dari total jumlah penduduk.

“Yang dipertimbangkan adalah kelompok menengah yang tidak kaya-kaya amat agar daya belinya tidak berkurang meski ada kenaikan harga BBM. Yang tidak biasa naik bus  didorong untuk naik bus,” kata Fabby.

“Dari hasil kajian kami, kelompok miskin mengalami dampak kalau harga-harga barang naik sebagai dampak kenaikan harga BBM, itu pun konsumsi mereka terbatas pada pangan yang tidak terlalu terpengaruh akan harga-harga barang kebutuhan lain. Ini yang perlu dipikirkan pemerintah,” ujarnya.

Pemerintah harus membuat studi komprehensif tentang biaya dan pengaruhnya terhadap subsidi energi, misalnya, terhadap buruh dan nelayan.

BBM Murah Masyarakat Tidak Efisien

JAKARTA, KOMPAS.com — Harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia terbilang murah sehingga perilaku masyarakat pun tidak efisien.

Hal ini disampaikan oleh Andie Megantara selaku Kepala Pusat Kebijakan Makro Ekonomi Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dalam acara seminar subsidi energi yang diadakan oleh Institute for Essential Services Reform di Jakarta, Selasa (5/7/2011).

“(Harga) BBM kita lebih murah daripada Vietnam dan Filipina,” ujar Andie.

Saat ini, harga Pertamax telah mengalami penurunan menjadi Rp 8.400 per liter untuk wilayah DKI, sedangkan premiun tetap dengan harga Rp 4.500 per liternya.

“Artinya, sudah saatnya kita mulai batasi atau kurangi volume (BBM bersubsidi), atau naikkan harga,” tuturnya.

Saat ini, sesuai dengan road map Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah akan berupaya mengendalikan subsidi energi, termasuk BBM.

“Pengalihan subsidi harga ke subsidi langsung dan bantuan subsidi melalui penguatan program-program penanggulangan kemiskinan,” sebutnya sebagai salah satu upaya pemerintah.

Selain itu, pemerintah pun akan mengurangi volume BBM tertentu, salah satunya dengan melakukan diversifikasi energi dan menggunakan patokan harga BBM yang tepat.

Sementara itu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyebutkan telah dipesankan untuk menjaga anggaran BBM subsidi dengan kuota sebesar 38,6 juta kiloliter.

“Tahun lalu, waktu dilakukan realisasi kan melewati sampai ke 42 juta kilolitrer. (Sementara) yang sekarang ini dengan kami memiliki pesan bahwa yang 38,6 juta kiloliter itu harus dijaga, tentu tadi ketiga instansi, BPH Migas, Pertamina, dan ESDM, akan berusaha,” katanya.

Agus mengatakan, realisasi BBM bersubsidi pada kuartal pertama tahun ini naik 7 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Terkait hal ini, Pertamina mengungkapkan adanya realisasi premium sebesar 66.060 kiloliter per hari, yang berada di atas angka kuota, sebesar 63.540 kiloliter per hari, atau naik sebesar 3,9 persen per 22 Mei 2011.

Hingga tanggal tersebut, Pertamina telah merealisasikan 9,37 juta kiloliter dari 23,19 juta kiloliter yang disediakan untuk kuota pada tahun ini. Angka kuota tersebut pun telah meningkat dari 23,10 juta kiloliter pada tahun sebelumnya.

Bahkan, pada 2012, kuota BBM bersubsidi ini akan meningkat dengan volume 25,2 hingga 27,8 juta kiloliter.

Sejauh ini, pemerintah akan tetap berupaya untuk mengimbau masyarakat agar tidak menggunakan BBM bersubsidi bagi mereka yang tergolong mampu. Pemerintah pun telah beberapa kali menunda pembatasan BBM ini, yang seyogianya dilakukan pada Oktober tahun lalu. Namun, belum bisa dilaksanakan dengan alasan perlu adanya pembangunan infrastruktur, salah satunya ketersediaan BBM jenis Pertamax di setiap pom bensin.

sumber: kompas.com.

Momentum Kenaikan Harga BBM Tidak Tepat

JAKARTA – Pemerintah menilai saat ini bukan lagi waktu yang tepat untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pemerintah pun belum memiliki rencana untuk menaikkan harga BBM bersubsidi tahun ini.

Dalam pandangan Kementerian Keuangan, Maret hingga Mei merupakan waktu yang tepat untuk menaikkan harga BBM karena merupakan masamasa deflasi. Dengan demikian, kenaikan harga BBM bersubsidi relatif tidak akan memicu kenaikan inflasi. “Kalau sekarang dinaikkan sudah telat dan justru akan menyulitkan.

Rakyat jadi terbebani, karena sebentar lagi liburan sekolah selesai (mulai tahun ajaran baru), masa panen sudah habis, dan akan masuk bulan puasa serta Natal di akhir tahun,” tutur Andie Megantara, kepala Pusat Kebijakan Ekonomi
Makro, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, dalam Workshop Reformasi Subsidi Energi di Indonesia, Jakarta, Selasa (5/7).

Menurut dia, jika harga BBM dinaikkan sekarang, akan meningkatkan inflasi dan harga ma kin tidak keruan. Selain angka kemiskinan menjadi naik, industri juga kena dampak negatif dan pertumbuhan ekonomi melambat Dampak itu menyulitkan Ke
menterian Koordinator Bidang Perekonomian untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, meski Kementerian Keuangan sudah mendesak terus agarAPBN tidak jebol. “Jika hendak menaikkan harga BBM, mau tidak mau, dila kukan tahun depan,” papar dia.

Saat ini, lanjut Andie, langkah yang tepat adalah mengurangi kenaikan konsumsi BBM bersubsidi. Caranya adalah mengurangi volume pasokan BBM tersebut atau menahan kuotanya. Sejak 2005, realisasi konsumsi BBM bersubsidi selalu lebih dari kuota yang ditetapkan APBN. Sepanjang tahun ini, realisasi konsumsi bahan bakar tersebut sudah di atas 50% dari kuota yang sebelumnya dipatok pemerintah sebanyak 38,6 juta kiloliter untuk 2011.

Di tempat terpisah, Menko Perekonomian Hatta Rajasa menjelaskan, meski subsidi BBM membengkak pada paruh pertama 2011, pemerintah belum memutuskan untuk menaikan harga BBM H. Sebab, pemerintah juga memikirkan efek domino kenaikan harga tersebut, termasuk pengaruhnya terhadap penambahan jumlah orang miskin.

“Aspek fiskal bukan satu-satunya yang dipertimbangkan pemerintah,” jelas Hatter usai menerima menteri urusan Uni Eropa dan kerja sama internasional Belanda di Jakarta, kemarin.

Saat ini, menurut Hatta, pemerintah masih mempertimbangkan berbagai hasil kajian pengaturan BBM bersubsidi, baik yang dilakukan tim ekonom pimping Anggito Abimayu maupun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Kalau inflasi menjadi tinggi dan days bell masyarakat menurun, kemiskinan naik dan ini juga costyang besar sekali. Oleh sebab itu, semuanya kami hitung,” jelas Hatta.

Hatta mengatakan, pemerintah menyadari risiko tidak menaikkan harga BBM bersubsidi, termasuk ancaman lembaga pemeringkat untuk tidak meningkatkan status Indonesia menjadi investment grade (layak investasi) tahun depan. Meski pemerintah memperhitungkan juga soal peringkat layak investasi tersebut, hal ini bukanlah segala-galanya.

“Memang ada risiko, namun kitalah yang paling tahu bagaimana melindungi masyarakat dan me-manage perekonomian sendiri. Dulu waktu pemerintah
menaikkan harga BBM tahun 2005, butuh waktu untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia,” ujar Hatta.

Menteri Keuangan (Menkeu) Agus DW Martowardojo menjelaskan, opsi kenaikan harga BBM bersubsidi masih terus dipelajari. Adanya moratorium pengiriman TKI dan faktor-faktor lain harus diperhitungkan.

“Jadi, kami nggak menaikkan harga BBM dulu,” tukas dia usai menghadiri rapat paripurna di Gedung DPP, Jakarta, kemarin.

Tahun ini, jelas Agus, ada tambahan kuota BBM bersubsidi menjadi 40,4juta kiloliter sehingga anggaran subsidinya naik menjadi Rp 120 triliun. Pemerintah sebelumnya mengalokasikan Rp 95,9 triliun untuk subsidi BBM 2011 dan hingga semester I diperkirakan telah terpakai Rp 41,6 triliun. Namun, pada semester II, konsumsi BBM tersebut diperkirakan lebih besar dan membutuhkan subsidi Rp 79,2 triliun. “Anggaran Rp 120 triliun itu digunakan untuk BBM bersubsidi maksimum 40,4 juta kiloliter,” kata Agus.

Dalam APBN 2011, pemerintah semula mematok asumsi harga minyak US$ 80 per barel, namun harga minyak dunia melonjak dan sempat mencapai US$ 115 per barel.

Pada semester I lalu, harga rata-rata minyak dunia diperkirakan menembus US$111 per bare] dan pada semester II mendatang diproyeksikan sebesar US$ 79 per bareL “Sedangkan outlook2011 sebesar US$ 95 per barel,” papar Menkeu.

Penyelewengan Sementara itu, anggota Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Adi Subagyo mengatakan, kelangkaan BBM di sejumlah daerah dan antrean panjang di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) bukan karena kelangkaan BBM. PT Pertamina hingga kini masih mempunyai stok yang cukup untuk dipasok ke masyarakat.

Menurut dia, masalah tersebut terjadi karena penyalahgunaan BBM bersubsidi. Penyebab lain adalah penggunaan BBM berlebihan dan pertumbuhan kendaraan yang mencapai 22% per tahun. Masyarakat juga panik melihat antrean di SPBU, sehingga menjadi ikut-ikutan membeli dalam jumlah besar.

Adi menjelaskan, adanya disparitas harga antara BBM subsidi dan nonsubsidi menyebabkan BBM tersebut dijual ke industri dan secara eceran dengan harga lebih tinggi. Para pelaku penyalahgunaan BBM itu memperbesar kapasitas tangki bensin mobil dari 20 liter menjadi 50-100 liter. Sedangkan pedagang eceran membeli BBM bersubsidi di SPBU berulang kali. “Hal itu menyebabkan berkurangnya stok BBM di SPBU, berpindah ke mobil modifikasi pars pelaku penyalahgunaan BBM bersubsidi,” ucap dia.

Dia menjelaskan, perbedaan harga antara BBM bersubsidi dan nonsubsidi tergantung pada harga keekonomian BBM dan keputusan pemerintah. Untuk harga keekonomian, pemerintah Indonesia tidak bisa mengontrol, karena mengikuti harga minyak mentah dunia.

Executive Dlrectorlnstitute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memperkirakan, total subsidi energi tahun depan mencapai Rp 180 triliun lebih. Tahun ini, kebutuhan subsidi BBM dan listrik itu diperkirakan Rp 160-170 triliun, melonjak dari anggaran yang semula ditetapkan Rp 137 triliun.

Dalam lima tahun terakhir, lanjut dia, subsidi energi berkisar 15-18% dari total realisasi APBN. `°Tahun ini, kenaikan kebutuhan subsidi itu akibat melonjaknya harga minyak mentah di pasar internasional yang sudah melebihi asumsi APBN, ditambah konsumsi BBM bersubsidi meningkat. Konsumsi BBM untuk pembangkit listrik juga ,naik, akibat keterlambatan program percepatan PLTU 10.000 megawatt,” papar Fabby.

la menyarankan pemerintah segera mereformasi kebijakan subsidi energi, yang makin tinggi kebutuhannya seiring kenaikan konsumsi dan harga. Hal itu dapat dilakukan melalui rasionalisasi dan penetapan target penerima manfaat subsidi yang lebih tepat, dengan didukung kebijakan mitigasi untuk mengantisipasi dampak reformasi.

Agar subsidi tidak makin membebani anggaran negara, kata Agus, salah satu caranya adalah pemerintah `melepas’ harga BBM jenis Pertamax ke harga pasar. Minyak tanah – yang termasuk jenis BBM bersubsidi – konsumsinya juga telah turun berkat keberhasilan program konversi ke elpiji.

“Kita memang melihat adanya peningkatan konsumsi BBM bersubsidi, namun sebenarnya ada pula penurunan konsumsi minyak tanah karena keberhasilan program konversi ke elpiji,” terang dia.

la mengatakan, dari sisi fiskal, pemerintah tidak ingin ada pos anggaran yang terlampaui. Untuk itu, pihaknya berusaha mengendalikan agar konsumsi BBM bersubsidi tidak terus meningkat. (wyu/c10/c06/c05)

sumber: migas.esdm.go.id.

Siaran Pers : Saatnya Pemerintah Serius Melakukan Reformasi Subsidi Energi

Jakarta, 5 Juli 2011. Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Global Subsidies Initiative (GSI) menemukan sejumlah fakta yang menunjukkan bahwa subsidi listrik dan BBM dalam lima tahun terakhir di APBN semakin meningkat. Bahkan, jumlahnya lebih besar dari total anggaran yang dialokasikan untuk kesehatan, pendidikan dan jaminan sosial, dan setara dengan kombinasi ketiganya ditambah dengan anggaran untuk pertahanan dan keamanan. Subsidi energi mencapai 15-18 persen dari total realisasi APBN dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Pada tahun 2011, anggaran subsidi BBM, LPG dan listrik mencapai Rp. 137 triliun dan diperkirakan dapat mengalami pembengkakan hingga Rp. 160-170 triliun rupiah, akibat kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional yang sudah melebihi asumsi APBN 2011 serta kenaikan volume BBM bersubsidi, ditambah lagi dengan kenaikan konsumsi BBM untuk pembangkit listrik akibat terlambatnya program percepatan PLTU 10 ribu MW. Sedangkan pada tahun 2012, subsidi energi diperkirakan mencapai lebih dari Rp. 180 triliun.

“Pemerintah harus segera melaksanakan upaya reformasi pemberian subsidi energi yang semakin tinggi, seiring dengan kenaikan konsumsi dan harga energi di Indonesia. Reformasi tersebut dapat dilakukan melalui rasionalisasi dan penetapan target penerima manfaat subsidi yang lebih ketat, serta dukungan kebijakan mitigasi untuk mengantisipasi dampak dari reformasi subsidi energi tersebut” kata Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR).

Selain itu, karena subsidi tidak dibatasi, penerima manfaat subsidi BBM terbesar justru kelompok masyarakat yang mengkonsumsi BBM dalam jumlah banyak, yaitu kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi. Bahkan, kelompok masyarakat dengan penghasilan terendah, tidak menikmati subsidi BBM sama sekali. Fakta ini menyalahi tujuan awal adanya kebijakan subsidi BBM dan listrik.

Kebijakan subsidi BBM dan listrik yang tidak rasional dan salah sasaran mengakibatkan naiknya resiko fiskal APBN.

“Kenaikan subsidi akibat fluktuasi harga minyak dan kenaikan volume bahan bakar mengakibatkan kenaikan defisit anggaran, yang dibarengi dengan kenaikan jumlah utang pemerintah serta biaya utang tersebut. “ kata Fabby Tumiwa.

Dalam jangka panjang, beban fiskal ini harus ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk sebagian besar kelompok masyarakat yang hanya menikmati sebagian kecil subsidi BBM.

Kerryn Lang dari GSI menyatakan bahwa reformasi subsidi energi harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di setiap negara. Dalam tahap persiapan maupun implementasinya harus mempertimbangkan sejumlah hal: kajian tentang biaya dan manfaat kebijakan subsidi, dampak penghapusan atau pembatasan subsidi, komunikasi dan konsultasi dengan beragam pemangku kepentingan, serta kebijakan komplementer yang dapat mengurangi dampak negatif dari penghapusan atau pembatasan subsidi.

Menurut Fabby, subsidi energi tetap dibutuhkan di Indonesia untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan energi bagi masyarakat-khususnya masyarakat miskin dan yang hampir miskin. Untuk itu, tambahnya kebijakan reformasi subsidi energi harus dirancang secara hati-hati untuk mengurangi dampaknya terhadap kelompok miskin dan berpendapatan rendah.

Salah satunya dengan melaksanakan kebijakan komplementer seperti bantuan langsung tunai bersyarat (conditional cash transfer), yang didukung dengan data dan informasi yang lebih transparan dan akuntabel, serta melaksanakan program konversi BBM ke LPG, dengan standar keamanan yang tinggi dan distribusi pasokan LPG yang lebih terjamin.

Adapun untuk masyarakat berpendapatan menengah, reformasi subsidi energi perlu disertai dengan pembangunan sarana infrastruktur transportasi publik dan jaminan sosial yang lebih baik.

“Sudah waktunya pemerintah serius membenahi kebijakan subsidi energi di Indonesia. Yang diperlukan saat ini komitmen dan rencana yang jelas untuk membenahi kebijakan subsidi yang carut marut, yang merugikan kepentingan publik secara luas,” kata Fabby.

####

Media Kontak

Yesi Maryam
Telephone: 08159418667
Email: yesi@iesr.or.id
Untuk berbicara dengan Fabby Tumiwa
Telephone: 0811-949-759 atau 021-7992945
Email: fabby@iesr.or.id