RAN GRK : Rencana, Implementasi dan Sistem MRV untuk Mencapai Penurunan Emisi GRK 26% (atau 41%) Pada 2020

IESR menyelenggarakan diskusi ahli mengenai Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK)

(Jakarta, IESR) Pada tanggal 12 September 2011, IESR mengadakan sebuah diskusi ahli mengenai rencana kebijakan Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) di Jakarta. Diskusi ini ditujukan untuk mengetahui perkembangan dan status serta penjelasan mengenai perhitungan dari penurunan 26% (dan 41%) yang tercantum dalam RAN GRK. Sebagai narasumber diskusi adalah Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, pakar NAMAs (Nationally Appropriate Mitigation Actions), dan juga Sekretaris Pokja Mitigasi, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Adapun sekitar 25 orang peserta dari sejumlah Kementerian diantaranya Kehutanan, Pertanian, Perhubungan dan ESDM, serta anggota Dewan Energi Nasional, dan kelompok masyarakat sipil.

Dalam paparannya, ketiga narasumber menjabarkan bagaimana sebenarnya isi dan status dari draft Peraturan Presiden tentang RAN GRK yang telah disusun oleh Bappenas dan bagaimana hubungannya dengan dokumen NAMAs yang harus disusun oleh negara berkembang, serta pengaruhnya pada posisi Indonesia di area negosiasi perubahan iklim internasional.

Kesimpulan dari diskusi ini menggambarkan adanya kebutuhan untuk memiliki pendalaman khusus terhadap angka penurunan emisi yang dicantumkan di dalam lampiran RAN GRK, karena perhitungan baseline yang tidak jelas. Bappenas menjelaskan bahwa angka tersebut adalah angka indikatif, dan ada kemungkinan berubah, disesuaikan dengan hasil studi dari kelompok kerja yang telah dibentuk oleh Bappenas terkait dengan monitoring implementasi RAN GRK.

Diskusi ini juga mengusulkan agar kelompok kerja yang terbentuk, menyusun indikator-indikator keberhasilan guna memonitor implementasi dari RAN GRK tersebut.

Missing link

RAN GRK dan NAMAs seharusnya memiliki kaitan yang sangat erat, karena NAMAs secara konsep adalah rancangan kegiatan mitigasi negara berkembang untuk skala domestik dan skala internasional. Itu sebabnya, adopsi skema NAMAs sudah seharusnya dilakukan, dalam pengembangan RAN GRK, yang merupakan dokumen kerja penurunan emisi baik oleh usaha sendiri, maupun dengan bantuan internasional.

Hal terpenting yang harus tersedia dalam menentukan NAMAs adalah bagaimana menentukan reference level dari masing-masing sektor yang tercakup dalam NAMAs tersebut. Tentunya, dalam rencana penurunan emisi sebesar 26%, harus jelas tahun referensinya. Dengan demikian dapat diketahui, berapa jumlah yang terproyeksi di tahun yang terkait (dalam hal ini 2020), dan berapa banyak emisi yang dapat direduksi di tahun yang telah disepakati (dalam hal ini 2020).

Pada kenyataannya, proses penyusunan RAN GRK di Indonesia, tidak melalui tahapan tersebut. Melalui diskusi terbatas pada tanggal 12 September 2011 di Hotel Puri Denpasar, Jakarta, Indonesia, telah dikonfirmasi bahwa jumlah emisi yang tercantum dalam RAN GRK tidak memiliki tahun dasar (base year) yang jelas [1]. Dengan adanya ketidakjelasan tersebut, adalah sulit untuk masing-masing sektor dapat menentukan berapa banyak emisi gas rumah kaca yang dapat direduksi secara optimum. Hal ini lah yang sebenarnya terjadi dalam proses penyusunan RAN GRK itu sendiri.

Pada diskusi tanggal 12 September tahun 2011 tersebut, Bappenas menyatakan bahwa seluruh angka potensi penurunan emisi yang tercantum di RAN GRK adalah angka-angka indikatif yang dapat dicapai oleh masing-masing sektor dan disampaikan oleh masing-masing sektor tersebut. Walau demikian, seharusnya, angka-angka tersebut bukan berasal dari hasil indikasi masing-masing sektor, namun berdasarkan perhitungan yang sebenarnya dengan memperhitungkan baseline sebagai acuan emisi.

RAN GRK kemudian ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 20 September 2011 lalu. Hal ini berarti, pemerintah akan mulai mengimplementasikan seluruh rencana penurunan emisi seperti yang tercantum dalam Perpres 61 tahun 2011, dimana Bappenas akan membentuk sebuah kelompok kerja, dengan tanggung jawab untuk memonitoring jalannya implementasi kerja dari RAN GRK yang telah tersusun.

Indonesia: Memastikan Implementasi NAMAs

Ketiadaan koordinasi antara kementerian dan departemen di Indonesia membuat perlu diadakannya koordinasi kembali antar pihak. Sebuah perhitungan yang lebih komprehensif seharusnya dilakukan untuk dapat menentukan besaran emisi gas rumah kaca yang dapat dilakukan dengan APBN dan mana yang dapat dilakukan dengan dana internasional.

Dalam presentasi mengenai NAMAs, disampaikan bahwa biaya kegiatan penurunan emisi, berkaitan erat dengan pemilihan kegiatan penurunan emisi apakah itu dengan APBN ataupun dengan bantuan internasional. Hardiv Situmeang, mengatakan bahwa seharusnya ada prioritas berdasarkan biaya yang harus dibuat oleh Pemerintah sebelum menyusun RAN GRK. Prioritaskan teknologi-teknologi dengan biaya termurah untuk didanai oleh APBN, sedangkan yang mahal, seharusnya diajukan ke dalam skenario penurunan emisi 41%. Hal ini tidak didapati di RAN GRK itu sendiri.

Kesimpulan

Walaupun Presiden telah menandatangani RAN GRK sehingga sudah memiliki kekuatan untuk diimplementasikan, namun dalam diskusi tanggal 12 September lalu, Pemerintah masih perlu melakukan kajian lebih lanjut mengenai aksi-aksi terukur yang bisa dilakukan dari berbagai sektor untuk mendapatkan penurunan emisi 26% dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional secara nyata.

Beberapa hal yang harus kembali dikaji adalah:

  1. Penentuan baseline dari emisi BAU (Business as Usual). Bagaimana metode perhitungan tersebut harus dibuat transparan untuk konsumsi publik.
  2. Perlu dikaji kembali rencana aksi untuk setiap sektor dan target penurunan emisi yang diusulkan.
  3. Perlunya disusun sebuah metode monitoring untuk dapat memonitor apakah jumlah emisi yang tereduksi dari sebuah kegiatan yang tercantum di RAN GRK, adalah benar dengan jumlah emisi yang terukur secara langsung.
  4. Bappenas akan membentuk sebuah kelompok kerja yang memiliki tugas untuk merancang indikator keberhasilan penurunan emisi dari masing-masing sektor.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Henrietta Imelda (imelda@iesr.or.id) dan Fabby Tumiwa (fabby@iesr.or.id)


[1] Presentasi Bappenas menunjukkan bahwa baseyear yang digunakan adalah tahun 2005, sedangkan menurut DNPI (presentasi dapat dilihat di OECC Japan), baseyear yang digunakan bukan tahun 2005.