Pembangkit Listrik di Batam Jangan Hanya Menguntungkan Singapura

Jakarta, KOMPAS, 7 Nov 2011. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tengah mengkaji kemungkinan membangun pembangkit listrik berbasis batubara di Batam, Kepulauan Riau. Namun pemerintah diingatkan untuk berhati-hati mewujudkan rencana tersebut agar tidak semata-mata menguntungkan Singapura.

Pengamat kelistrikan yang juga Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reforms , Fabby Tumiwa di Jakata, Minggu (6/11), mengingatkan, rencana pembangunan pembangkit lisrik di Batam perlu disikapi dengan hati-hati. Ekspor listrik ke Singapura itu akan sangat menguntungkan Singapura dari sisi dampak lingkungan dan komersial. “Resiko emisi CO2 (karbon dioksida) dan kerusakan lingkungan akan ditanggung Indonesia,” kata Fabby.

Karena itu, seharusnya skema jual-beli listrik antar negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) memasukan biaya lingkungan. Selain itu, juga perlu mempertimbangkan keamanan pasokan energi nasional sebagai prioritas.

Sebelumnya Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo menyatakan, pemerintah mengkaji pembangunan pembangkit listrik berbasis batubara kapasitas 4.000 megawatt (MW) di Batam. Dari total daya itu, 3.000 diantaranya akan dieskpor ke Singapura, sisanya untuk Batam.

Pembangunan itu dilakukan karena saat ini Indonesia kelebihan produksi batubara dan hanya 30 persen yang terserap pasar domestik. Dengan demikian, gas tidak usah dikirim ke Singapura lagi. Pasokan gas dapat dimanfaatkan untuk Jawa.

“Singapura memang masih butuh gas untuk sebagian industrinya, tetapi untuk listriknya, paling tidak kita kirim listrik saja. Kalau yang untuk pabrik, kita tidak bisa ubah” kata dia. Artinya, pasokan gas dari Indonesia untuk listrik akan diganti dalam bentuk listrik.

Widjajono berharap ada persetujuan tentang penjualan tenaga listrik ke Singapura pada tahun 2012. Pembiayaan pembangkit listrik itu bisa dilaksanakan swasta melalui mekanisme lelang. “Pembiayaan gampang asalkan Singapura dan Indonesia setuju,” ujarnya.

Menanggapi rencana pembangunan listrik di Batam, Direktur Utama PT PLN Nur Pamudji menyambut positif, baik diekspor maupun disalurkan ke pulau sekitar. PT PLN berencana melaksanakan proyek kelistrikan untuk menghubungkan Batam dan Bintan sehingga menjadi sistem kelistrikan lebih besar. (EVY)

Kaji Ulang Pemanfaatan Gas Metana Batubara

JAKARTA, KOMPAS.com- Pemanfaatan gas metana batubara untuk memproduksi listrik perlu dikaji lebih mendalam. Selain ketidaksiapan dari sisi teknologi, potensi dampak pemanfaatannya terhadap lingkungan juga harus diantisipasi. Demikian disampaikan pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa, Minggu (6/11/2011), di Jakarta.

Dari sisi teknologi, pembangkit listrik dengan GMB belum matang penerapannya di Indonesia. “Saat ini baru pada tahap proyek percontohan, belum beroperasi penuh secara komersial,” ujarnya.

Selain itu, GMB memiliki potensi dampak lingkungan yang signifikan. Karena itu, sudah seharusnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan regulasi untuk mengatasi potensi dampak tersebut.

Manajemen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebelumnya menyatakan siap membeli gas metana batubara (GMB) dalam bentuk listrik maupun gas. Hal ini untuk memperkuat pasokan listrik di Indonesia.

Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 2011 mengatur tentang percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan nasional tahun 2011. Pemanfaatan GMB dari wilayah kerja Sanga Sanga yang dioperasikan Vico merupakan bagian dari program pemerintah itu.

Direktur Utama PT PLN Nur Pamudji, menegaskan, pihaknya siap membeli gas metana batubara dari pengembang manapun, mulai dari tahap dewatering sampai produksi dalam bentuk listrik mapun gas.

“Kami baru menandatangani MoU (nota kesepahaman) dengan Exxon terkait pengembangan gas metana batubara. Ephindo kemungkinan juga akan masuk,” kata dia menegaskan.

Pada fase dewatering, PLN membeli listrik dari pengembang GMB untuk melistriki warga, khususnya sekitar lokasi pengembangan GMB. Pada fase produksi, cakupan pemanfaatan CBM akan diperluas untuk pembangkit besar setempat dan lokasi lain. “PLN berharap kerja sama ini dapat ditingkatkan secara jangka panjang mengingat potensi CBM yang besar dan kebutuhan PLN untuk terus menerus menyalurkan listrik ke pelanggan,” ujar Nur Pamudji.

Sumber daya CBM Indonesia disinyalir sekitar 453 TCF. Sejak tahun 2008 sampai saat ini, telah ditandatangani 39 Kontrak kerja sama, termasuk Wilayah Kerja (WK) Sanga Sanga yang ditandatangani pada 30 November 2009.

Sumber: kompas.com.

Siaran Pers : Saatnya Pemimpin ASEAN Membahas Instrumen Tata Kelola Industri Ekstraktif dalam Kerjasama Ekonomi ASEAN

Jakarta (IESR), 7 November 2011. Masyarakat Sipil mendesak para pemimpin ASEAN supaya mendukung implementasi Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) di kawasan ini, serta segera menyiapkan kerangka kerja bersama untuk pengelolaan sumber daya minyak, gas dan mineral untuk peningkatan kesejahteraan setiap negara anggota ASEAN, pengurangan kemiskinan dan perbaikan kualitas pembangunan manusia untuk mencapai komunitas ASEAN yang makmur dan sejahtera. Demikian pernyataan Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR).

Kawasan Asia Tenggara memiliki potensi sumber daya minyak, gas dan mineral yang relatif besar, dan belum sepenuhnya dieksplorasi dan dieksploitasi. US Geological Survey (USGS, 2010) memperkirakan bahwa kawasan Asia Tenggara memiliki potensi cadangan minyak sebesar 26,1 milyar barrel minyak dan 299 triliun meter kubik gas alam yang belum ditemukan. Data USGS (2007) juga mengungkap adanya potensi sumber daya mineral yaitu tembaga, platina, dan potassium (potash), termasuk juga mineral-mineral lainnya seperti emas, nikel, fosfor, seng, timah yang cukup besar di hampir seluruh wilayah Asia Tenggara.

Berbagai Kecenderungan hingga sekarang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi ASEAN ditopang oleh eksploitasi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya ekstraktif, yang berfungsi sebagai sumber pendapatan dari negara-negara kaya sumberdaya tersebut. Eksploitasi sumberdaya ekstraktif juga ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku untuk produksi barang serta pasokan energi sebagaimana yang kecenderungan saat ini,” kata Fabby.

Indonesia  selama bertahun-tahun mengandalkan penerimaan sektor Migas, yang saat ini mencapai 30% dari total APBN. Brunei mengandalkan 85% pendapatan dari Migas untuk pembangunan negaranya. Sementara itu, sektor migas Vietnam berkontribusi 15-20% terhadap APBN, dan terus meningkat setiap tahunnya.

Walaupun demikian, kemungkinan sumber daya ekstraktif tidak dimanfaatkan dalam upaya memberikan kesejahteraan bagi rakyat, dan peluang negara-negara ASEAN yang kaya sumber daya ekstraktif terperangkap dalam kutukan sumber daya (resource curse) masih  cukup  besar. Penyebabnya adalah tingkat korupsi yang masih tinggi, khususnya di negara-negara yang ekonominya mulai tumbuh, Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam, serta Indonesia dan Philippines (lihat lampiran 1).

Padahal, keberhasilan tercapainya tujuan Komunitas ASEAN 2015 akan sangat ditentukan, tidak hanya oleh kemampuan negara-negara anggota ASEAN untuk mengimplementasikan berbagai rencana yang telah disepakati dalam ke-3 pilar ASEAN (politik dan keamanan, ekonomi, sosial dan budaya), tetapi juga kemampuan untuk membiayai berbagai rencana aktivitas ekonomi dan sosial dan menciptakan kondisi untuk iklim  investasi yang sehat.

Korupsi akan berdampak hilangnya peluang pendapatan bagi negara dari sektor ekstraktif, yang berakibat berkurangnya kemampuan pembiayaan pembangunan , selain daripada itu memperburuk iklim investasi di berbagai sektor ekonomi yang diperlukan oleh ASEAN untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah dicanangkan.

Di sektor ekstraktif seperti migas dan pertambangan, tata kelola yang buruk tidak hanya berdampak pada berkurangnya penerimaan negara, tetapi juga menciptakan ketidakamanan energi kawasan karena penguasaan sumber daya energi oleh negara- tertentu di luar ASEAN untuk kepentingan keamanan energi negara tersebut.

Solusinya menurut IESR, dalam jangka pendek adalah diadopsinya EITI sebagai sebuah standar kualitas global untuk penerimaan negara dari industri migas dan pertambangan/mineral oleh negara-negara ASEAN, dan jika diperlukan pengembangan kapasitas bagi negara-negara tersebut dalam mengimplementasikan EITI.  Di ASEAN baru Indonesia yang menerapakan EITI melalui Perpres 26/2010, serta diterima sebagai negara kandidat EITI sejak Oktober 2010 lalu.

EITI juga menciptakan ruang yang lebih luas bagi setiap pemangku kepentingan untuk terlibat memastikan bahwa penerimaan negara dari industri ekstraktif telah sesuai dengan jumlah sumber daya yang diekstraksi.

Dalam jangka menengah, para pemipin ASEAN juga dapat mulai membahas sebuah kerangka kerja dan kesepakatan ASEAN untuk pengelolaan sektor industri ekstraktif yang implementasinya mengikat negara anggota ASEAN dalam hal pengelolaan sumber daya energi dan mineral di seluruh negara anggota ASEAN paska 2015.

Adopsi dan implementasi EITI dan penetapan sebuah Kerangka Kerja ASEAN untuk industri ekstraktif merupakan sebuah langkah awal untuk memastikan agar kutukan sumber daya alam tidak terjadi melainkan terwujudnya masyarakat yang maju dan sejahtera untuk mencapai tujuan ASEAN,” kata Fabby.