Kenaikan TDL Tak Otomatis Turunkan Subsidi

VIVAnews – Pemerintah berencana menaikkan tarif dasar listrik tiga persen per triwulan. Namun, hal itu dipandang tidak akan berdampak signifikan dan tak lantas mengurangi subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, karena hanya menyesuaikan dengan harga minyak mentah yang semakin tinggi.

“Kenaikan TDL bertahap selama tiga kali belum tentu menurunkan besaran subsidi di APBN, karena harga minyak naik terus. Jadi, ini hanya kompensasi perubahan harga minyak untuk subsidi,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa, di Jakarta, Selasa 6 Maret 2012.

Menurut dia, efek kenaikan tiga persen terlalu kecil bagi APBN dan terlalu politis, sehingga hanya dimanfaatkan lawan politik pemerintah. Lebih baik, pemerintah menggunakan kebijakanone shoot, yaitu menaikkan TDL langsung 20 persen dan menaikkan lagi 10 persen pada tahun depannya hingga bertemu di titik keseimbangan antara tarif listrik dan biaya pokok produksi (BPP) listrik.

“Pemerintah harus mengumumkan rencana kenaikan TDL secara jangka panjang, tidak mendadak seperti ini. Umumkan naik 20 persen dan kenaikan bertahap 10 persen hingga titik keseimbangan. Idealnya, titik keseimbangan 80 persen TDL merefleksikan biaya keekonomian, ini bisa dicapai,” kata Fabby.

Fabby menjelaskan, IESR telah membuat kajian, kenaikan tarif listrik sebesar 20 persen masih terjangkau oleh pelanggan 450 kilovolt (KV) dan 900 KV, karena hanya ada kenaikan tambahan bayar listrik sebesar Rp15-20 ribu per bulan.

“Dua golongan tersebut pelanggan paling besar, yakni 36 juta pelanggan. Kalau ini di-adjust 20 persen, shock-nya tidak begitu besar. Pemerintah harus memberi tahu dari sekarang biar ada persiapan,” ujarnya.

Ia menambahkan, dari tarif listrik saat ini untuk menuju BPP listrik diperlukan kenaikan TDL 40 persen. Untuk itu, diperlukan penurunan BPP listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan mengurangi konsumsi bahan bakar minyak, karena konsumsi BBM oleh PLN masih tinggi.

“Sederhana saja, turunkan konsumsi BBM dari saat ini sembilan juta kiloliter menjadi enam juta KL. Maka, paling tidak Rp20 triliun bisa dihemat dan BPP bisa turun 10-15 persen dari Rp1.300 per kwh menjadi Rp1.100 per kwh, itu titik keseimbangan di tengah,” tuturnya. (art)

sumber: vivanews.com.

Ekspor Listrik Perlu Regulasi yang Jelas

VIVAnews – Pemerintah berencana memulai ekspor listrik pada 2014. Namun, hal itu harus didukung dengan regulasi yang jelas. Sebab, jangan sampai terjadi Indonesia ekspor listrik tapi Indonesia masih kekurangan listrik dan menanggung beban polusi karbon dioksida (CO2).

“Pembangkit listrik di Indonesia dari batu bara Indonesia, listriknya diekspor. Mereka (negara tujuan ekspor) dapat listrik murah dan bebas emisi tapi yang nanggung polusi CO2 Indonesia. Itu secara konvensi internasional, Indonesia yang bertanggung jawab,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa di Jakarta, Selasa 6 Maret 2012.

Fabby menjelaskan, untuk itu perlu ada regulasi yang mengatur harga jual listrik antarnegara. Aturan tersebut, harus tercantum ekspor listrik dipastikan tidak akan mengganggu kemanan energi nasional.

“Harus jelas konsep perencanaan, hingga aturan kontrak. Contoh, kalau tiba-tiba Batam memerlukan listrik tambahan, maka ekspor listrik ke Singapura bisa dialihkan. Yang penting, kalau kekurangan listrik jangan susah kembali,” katanya.

Aturan kedua yang wajib dicantumkan adalah aturan kompensasi CO2. Listrik yang diekspor nantinya harus terkena pajak CO2 sehingga harga listrik untuk ekspor terdiri dari biaya pokok listrik (BPP), margin, dan pajak CO2.

“Karena sebenarnya urusan energi di Malaysia dan singapura bukan concern Indonesia, yang penting energi di Indonesia terjaga,” ujar Fabby. “Kalau mereka mau listrik dari Indonesia, mereka harus bayar dampak CO2,” tambahnya.

Seperti diketahui, PT Perusahaan Listrik Negara akan mulai mengekspor-impor listrik pada 2014 dengan target awal 50-100 megawatt. Namun, PLN berjanji tetap akan memprioritaskan kebutuhan listrik dalam negeri.

Pemerintah saat ini sedang mengkaji regulasi khusus yang akan mengatur jual beli listrik antarnegara. Aturan berbentuk peraturan pemerintah tersebut akan terbit pada pertengahan 2012.

Sumber: vivanews.com.