Pembukaan AWG-LCA : Negosiasi di Bawah Konvensi Ibarat Membangun Rumah

Ad hoc Working Group on Long term Cooperation Actions dibuka pada hari Selasa, tanggal 16 Mei 2012, yang dipimpin oleh Mr. Aysar Ahmed Al Tayeb, sebagaimana diputuskan pada COP 17 lalu di Durban. Dalam pembukaannya, Mr. Al Tayeb mengibaratkan bahwa negosiasi perubahan iklim (terutama di sisi LCA), ibaratnya seperti membangun sebuah rumah.

Perumpamaan yang ia berikan adalah sebagai berikut: Ada suatu masa dimana sekelompok pengungsi menemukan sebuah tempat yang bernama Convention Land. Setelah menempati tempat tersebut, para pengungsi kemudian mulai membuat peraturan yang harus ditaati oleh orang-orang yang berada di tempat tersebut. Bukan hanya peraturan, bahkan mereka menentukan siapa yang mengerjakan apa di Convention Land tersebut. Semuanya dilakukan, untuk kepentingan bersama, dan untuk menjaga keberlanjutan dari Convention Land. Di tahunnya yang ke-11, para pengungsi ini kemudian memutuskan untuk membangun sebuah rumah. Dua tahun kemudian, di tahun mereka yang ke-13, mereka memutuskan untuk membangun rumah yang baru lagi. Lalu, bagaimana dengan nasib rumah yang pertama? Rumah yang pertama masih tetap ada. Sekitar 4 tahun kemudian, para pengungsi ini memutuskan untuk membangun rumah yang ketiga. Padahal, rumah yang kedua masih belum selesai. Masih ada bagian-bagian dari rumah yang kedua, yang belum diselesaikan.

Perumpamaan yang diberikan oleh pemimpin sidang LCA ini merupakan ilustrasi dari kondisi negosiasi di bawah konvensi, ada. Bagaimana awalnya konvensi dulu disepakati, kemudian Montreal Protocol, Bali Action Plan, hingga Durban. Ini mungkin menunjukkan bahwa, tendensi yang selalu dihasilkan dari sebuah negosiasi, terkadang meninggalkan sesuatu yang sedang dibangun tanpa selesai; namun, keinginan untuk membangun sesuatu yang baru, terus diikuti. Hal inilah yang terjadi dengan Dialogue, AWG-LCA, kemudian kini menjadi Durban Platform on Enhanced Action (ADP).

Perumpamaan ini muncul karena adanya perdebatan mengenai agenda tentang apa saja yang harus dibahas untuk kemudian disepakati, dan disimpulkan, di COP 18, Doha mendatang. Begitu banyak pandangan beredar mengenai apa yang sebenarnya harus didiskusikan, terutama mengenai transisi dari AWG-LCA ke ADP, dimana banyak negara berharap bahwa ADP tidak harus dilakukan dari nol, tapi seharusnya sudah mengadopsi beberapa upaya yang dilakukan selama AWG-LCA berjalan.

Pertanyaannya sekarang adalah: apakah ADP akan menjadi rumah yang benar-benar baru, yang akan dibangun dari nol; atau ADP akan menjadi bangunan tambahan, yang melengkapi keberadaan rumah yang kedua, yang adalah AWG-LCA? Dalam pembukaan AWG-LCA, hal ini pun belum diketahui persis.

Workshop LCA : Menyamakan Persepsi Mengenai Equitable Access to Sustainable Development (EASD)

Semenjak awal dibentuknya UNFCCC, terdapat beberapa prinsip yang digunakan dalam mengarahkan kesepakatan-kesepakatan yang ada. Beberapa yang seringkali digunakan adalah CBDR (Common but Differentiated Responsibilities), RC (Respective Capacity) serta Equity, sebagaimana tercantum dalam Konvensi artikel 3.1. Semenjak COP 16 di Cancun, Equity kemudian kembali disebut-sebut sebagai sebuah prinsip yang harus diterapkan dalam setiap negosiasi, serta tertulis di dalam teks negosiasi. Tahun 2011 yang lalu, menjelang Konferensi Para Pihak ke-17 di Durban (COP 17), negara-negara BASIC (Brazil, South Africa, India, dan China) memformulasikan sebuah prinsip ‘baru’ yang disebut sebagai ‘Equitable Access to Sustainable Development’, yang kemudian menjadi salah satu istilah yang digunakan di Durban. Sebagai kelanjutannya, pertemuan negosiasi perubahan iklim di Bonn mengagendakan workshop mengenai Equitable Access to Sustainable Development, yang bertujuan untuk menyamakan persepsi antar Pihak mengenai Equitable Access to Sustainable Development.  

Sebenarnya, prinsip ini sudah lama diadopsi dalam negosiasi perubahan iklim. Bahkan, apabila merunut dari pembuatan konvensi, prinsip ‘Equity’ telah ada selama 20 tahun; semenjak lahirnya konvensi di konferensi tingkat tinggi bumi Rio de Janeiro. Hanya saja, konvensi memang tidak menjabarkan definisi yang jelas mengenai ‘Equity’. Prinsip yang lebih jelas dibahas adalah prinsip CBDR atau Common But Diffferentiated Responsibilities.

Dalam workshop yang dilaksanakan pada tanggal 16 Mei 2012 di bawah kegiatan AWG-LCA, workshop Equitable Access to Sustainable Development memberikan beberapa gambaran dari para Pihak dan juga beberapa kelompok masyarakat sipil. Dari pemaparan yang diberikan, muncullah beberapa pendapat, diantaranya:

  1. Isu ‘Equity’ dalam konteksnya dengan perubahan iklim berhubungan dengan ‘fairness’ dan ‘ethical conduct’. Itu sebabnya, setiap proses negosiasi yang sedang dan akan berlangsung, seharusnya menjadi fair dan ethical.
  2. Equity’ belum memiliki definisi yang jelas; setidaknya, definisi ‘Equity’ tidak tercantum dalam konvensi. ‘Equity’ seharusnya disesuaikan dengan kondisi negara tertentu (national circumstances).
  3. Isu ‘Equity’ tidak seharusnya diberlakukan untuk kegiatan mitigasi saja, namun juga harus diterapkan di kegiatan adaptasi dan kegiatan-kegiatan pendukung lainnya, seperti: pendanaan/finance, transfer teknologi, dan capacity building
  4. Isu ‘Equity’ tidak seharusnya menjadi ‘milik’ LCA saja, namun juga harus ada di seluruh aspek negosiasi perubahan iklim; ADP, KP, SBI, SBSTA, atau komponen lain
  5. Harus ada rencana kerja mengenai bagaimana implementasi dari ‘Equity’ dapat dijalankan

Yang disebutkan di atas adalah beberapa hal yang baru tercetus pada workshop. Seluruh ide di atas, dapat berkembang menjadi suatu fondasi negosiasi menjelang COP 18 di Qatar mendatang. Terlepas dari apa yang menjadi definisi dari ‘Equity’, hal yang paling jelas adalah apabila ambisi penurunan emisi tidak setinggi mungkin, maka ketidakadilan akan terjadi; jelas negara-negara yang paling miskin yang akan merasakan penderitaannya.

Mengutip cerita Martin Khor, dari South Centre, salah satu tendensi dari keluarga atau negara miskin adalah berapa pun bantuan yang akan diberikan, akan didedikasikan untuk keluarga atau negara tersebut bertahan hidup. Mustahil rasanya untuk memberikan dana para keluarga atau negara yang miskin, untuk menggunakan uang yang diberikan dengan mengganti teknologi memasak dengan kompor tiga batu dengan kompor gas; atau mengganti lampu cempor berbahan bakar minyak tanah dengan lampu neon. Justru masyarakat miskin akan menggunakan uang bantuannya, dengan membayarkan anak mereka berobat di kala sakit, memperbaiki atap rumah yang bocor, atau kegiatan lainnya. Hal ini juga didukung oleh Mesir, yang mengatakan bahwa, “Semakin sedikit kebutuhan suatu negara beradaptasi, maka semakin banyak dana yang dapat digunakan, untuk mengurangi emisi. Namun, semakin banyak kebutuhan negara untuk beradaptasi, maka akan semakin sedikit dana yang dapat digunakan untuk melakukan mitigasi.”

Beberapa istilah di sini dibiarkan berbahasa inggris dan sengaja tidak diterjemahkan, untuk menghindari adanya perbedaan persepsi dari yang dikatakan di dalam pernyataan